Anda di halaman 1dari 2

NGOMONG2 SANTAI SOAL TURISME, KERAMAHAN TUAN RUMAH DAN KEBAIKAN HATI..

~~~~~~~~~~~~~~~~

Beberapa waktu belakangan ini, sejak pandemi, youtuber banyak tumbuh, bisa menjadi alternatif
sumber pendapatan yang menarik. Youtuber asal Amerika ini, Alexader White, cukup menonjol
dibandingkan lainnya, karena produksi vlog-nya yang lumayan rapi. Dia tidak terlalu produktif atau rajin
mengupload, tetapi sebagian besar postingannya, mendapat jumlah viewer yang tinggi.

Karena itu saya agak heran bahwa jumlah pelanggan atau pengunjung tetap yang mencatat diri sebagi
'pelangan" di channel Alexander, tidak terlalu banyak.

Vlog-nya amat informatif, dan mempermudah teman-teman asingnya untuk belajar dari
pengalamannya, sehingga bisa berjalan di Indonesia dengan lebih bebas dan efektif dari sisi biaya,
waktu, manfaat serta kebahagiaan yang diperoleh. Beberapa bulan lalu, ia mengupload vlog berisi tips
menggunakan transportasi umum di Jakarta. Ia memang tinggal selama beberapa bulan di Jakarta, guna
dilaporkan melalui vlog-nya berapa biaya hidup dalam jangka waktu tersebut di Jakarta. Selama ini ia
tinggal di Bali.

Tak lama sebelumnya, lusinan vlogger/youtuber, baik dari Indonesia dan luar negeri (terutama yang
pernah tinggal di sini), berdatangan ke Jakarta. Mereka seperti mendapatkan kekuatan 'ekstra' dari
informasi yang diberikan Alexander White. Banyak di antara mereka setelah melakukan hal yang sama,
mengupload pengalaman menggunakan transportasi umum, melaporkan berapa biaya hidup selama
satu bulan di Jakarta, bahkan makan di daerah pinggir jalan di area yang pasti oleh Alexander White.
Bisa dikatakan ia adalah influencer. Saya juga melihat ia seperti penasehat bagi mereka yang kembali
lagi ke Bali, setelah pandemi ini, merekomendasikan sahabat2nya dimana tinggal dll. Contohnya,
pasangan Rhett dan Claire dari Afrika Selatan, tinggal di villa yang sama dengan Alexander setelah
kembali lagi ke Bali.

Intinya, anak muda yang memiliki kekasih mojang Priangan ini, berlaku selayaknya duta turisme tak
resmi, di Indonesia.

@@@

Saya sering mendengar komentar para youtuber, dari manapun negaranya, tentang kesan mereka
tentang Indonesia. Begitu juga, dari orang asing yang tinggal di negeri ini. Mereka mengatakan bahwa
yang paling mengesankan dari Indonesia adalah kebaikan, dan keramah-tamahan. Tetapi ketika
berselancar di vlog traveler lain, yang mengelilingi dunia, saya rasa kita kalah dengan Pakistan, Srilangka,
yang bukan saja ramah, tetapi berlaku benar-benar seperti tuan rumah. Mereka kadang tak mau dibayar
untuk barang-barang tertentu yang dibeli turis.

Saya rasa, betul kekuatan kita ada untungnya bagi hati, bisa diuji pada 'moment of truth". Jika selama ini
dirancang dan didesain untuk uang bagi, buat negara, maka kita tak betul-betul baik hati kan?

Lantas saya membayangkan alternatif skema mengembangan pariwisata. Biasa deh, si Yana, kayanya
kebanyakan ide gitu.

Saya membayangkan kerumitan untuk wisatawan, yang diukur dari sejumlah uang, bisa dialihkan ke
sektor lain. Misalnya, satu triliun yang kita pakai untuk membangun infrastruktur, kita bisa alihkan untuk
memastikan pendapatan per kapita naik berpegang pada prinsip pemertaan, yang artinya kita fokus
mengembangkan ekonomi keraykatan/kreatif/ artisan. Dengan cara ini, lebih besar penyajian warga
dalam negeri yang naik "penghasilan diskresi" (bagian dari pendapatan yang bisa dibelanjakan) secara
signifikan, dan dapat dipakai mereka untuk menikmati semua keindahan, sambil menciptakan kekayaan
('kreasi kekayaan'). Jangan-jangan sumbangan kepada perekonomian oleh pelancong dalam negeri lewat
sektor pariwisata ini juga sama bobot dan seksinya dengan kalau pengeluaran ini dilakukan oleh
wisatawan mancanegara? Sejumlah X yang diperoleh dari sejumlah N wisatawan asing, bisa jadi
seimbang jumlah jumlah X yang sama yang diungkapkan oleh satu juta N wisatawan dalam negeri.
gapapa juga kan?

Alasan kedua dari proposal saya, dipaparkan di bawah ini....

@@@

Yang sering tidak dipertimbangkan dalam pembangunan ekonomi adalah sisi psikologi-sosial-budaya
manusia-manusia pelakunya. Padahal bagaimana perilaku manusia -atau dalam hal ini, warga- ketika
memutuskan hal - hal di wilayah ekonomi, banyak tergantung pada tiga hal ini. Contohnya: jika fokus
pada pengembangan kemampuan warga mencetak kekayaan/nilai yang kuat, maka peningkatan
pendapatan yang bijaksana, warga lokal juga akan lebih banyak menikmati dunia sebagai wisatawan. Ok,
sampai sini, masuk akal kan ya? Nah, kombinasi dari (A) kemampuan untuk menciptakan kekayaan atau
nilai yang naik (dalam bahasa umumnya bisa dikatakan kemampuan enterprising-nya atau dalam
beberapa kasus bisa dilihat sebagai kompetensi tambah tinggi) dengan (😎 kesempatan untuk menkmati
dunia sebagai wisatawan, karena pendapatan meningkat, dan tekanan ekonomi berkurang, maka
kombinasi kedua faktor ini (A) dan (😎 ini menghasilk

Anda mungkin juga menyukai