0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
14 tayangan6 halaman
Buku ini membahas perkembangan mental anak yang terbagi dalam tiga periode utama, dimana setiap periode merekonstruksi periode sebelumnya ke tingkat yang lebih tinggi. Perkembangan ini dipengaruhi oleh faktor kematangan organik, pengalaman, sosialisasi, namun tidak sepenuhnya dijelaskan oleh faktor-faktor tersebut. Perkembangan terjadi secara berangsur-angsur melalui konstruksi berulang tanpa adanya rencana terstrukt
Buku ini membahas perkembangan mental anak yang terbagi dalam tiga periode utama, dimana setiap periode merekonstruksi periode sebelumnya ke tingkat yang lebih tinggi. Perkembangan ini dipengaruhi oleh faktor kematangan organik, pengalaman, sosialisasi, namun tidak sepenuhnya dijelaskan oleh faktor-faktor tersebut. Perkembangan terjadi secara berangsur-angsur melalui konstruksi berulang tanpa adanya rencana terstrukt
Buku ini membahas perkembangan mental anak yang terbagi dalam tiga periode utama, dimana setiap periode merekonstruksi periode sebelumnya ke tingkat yang lebih tinggi. Perkembangan ini dipengaruhi oleh faktor kematangan organik, pengalaman, sosialisasi, namun tidak sepenuhnya dijelaskan oleh faktor-faktor tersebut. Perkembangan terjadi secara berangsur-angsur melalui konstruksi berulang tanpa adanya rencana terstrukt
Pada dasarnya, perkembangan mental anak muncul sebagai satu rangkaian dari tiga periode. Masing-masing periode ini memperluas periode sebelumnya, merekonstruksinya pada suatu level baru, yang kemudian bahkan melampauinya dalam tingkatan yang lebih besar. Hal inipun berlaku pada periode pertama karena evolusi skema sensori-motor mempengaruhi dan mengungguli struktur organic yang berlangsung selama masa embreogenesis. Relasi semiotic, penalaran, dan hubungan interpersonal menginternalisasi skema tindakan ini dengan merekonstruksi mereka ke level representasi baru, dan melampaui representasi baru hingga semua operasi konkrit dan struktur kooperatif telah terbentuk. Terakhir, setelah usia 11-12 tahun, penalaran formal yang baru mulai berkembang menyusun ulang operasi konkret dengan mensubordinasinya menjadi struktur baru yang perkembangannya akan berlangjut hingga sepanjang masa remaja dan kehidupan kelak ( bersama dengan banyak transformasi lainnya pula).
Integrasi struktur yang berurutan, yang masing-masing menyebabkan kemunculan
integrasi berikutnya, memungkinkannyya untuk membagi perkembangan anak menjadi peiode- periode atau tahapan panjang dan sub-sub berikut:
1. Urutan rangkaiannya bersifat konstan, meski usia rata-rata berlangsungnya berbeda-beda
pada tiap individu, menurut tingkatan kecerdasannya atau lingkungan pergaulannya. Dengan demikian, perkembangan tahapan akan mengakibatkan ekselerasi atau retardasi, tetapi urutannya tetap konstan dalam area-area (operasi-operasi, dan lain-lain), dimana tahapan-tahapan semacam itu telah menunjukkan keberadaannya. 2. Tiap tahapan dikarakterisasi oleh keseluruhan struktur yang dengan merujuk kepadanya pola-pola perilaku utama dapat dijelaskan. Guna membangun tahapan-tahapan ekspalanatoris tersebut tidaklah cukup merujuk pada pola-pola ini saja atau pada kelaziman suatu karakteristik tertentu (sebagaimana tahapan-tahapan yang diusulkan oleh Frued dan Wallon). 3. Struktur-struktur menyeluruh ini bersifat integrative dan tak dapat dipertukarkan. Setiap hasil dari struktur sebelumnya beritegrasi menjadi struktur subordinat, dan mempersiapkan struktur yang berikutnya, yang cepat atau lambat berintegrasi dengan sendirinya. Berdasarkan keberadaan perkembangannya semacam ini dan arah integrative yang menunjukkan suatu posteriori, masalahnya adalah memahami mekanismenya. Pada kenyataannya, hal ini adalah perluasan dari masalah yang diajukan oleh para ahli embreologi saat mereka ingin tahu apakah organisasi ontogenetis merupakan hasil praformasi atau epigenetic, dan proses kausal apakah yang dilibatkan. Namun, kami hanya mencapai solusi sementara, dan teori-teori yang akan datang akan bisa diterima hanya bila berhasil mengintegrasikan interpretasi atas embreogenesis, pertumbuhan organik, dan perkembangan mental menjadi suatu keseluruhan yang harmonis. Sementara itu, kita harus cukup puas dengan diskusi empat factor umum yang sejauh ini diberikan pada perkembangan mental: 1. Factor pertama adalah pertumbuhan organic dan terutama kematangan sistem saraf dan sistem endokrin. Tidak diragukan bahwa sejumlah pola perilaku bergantung pada berfungsinya pertama-tama struktur/sirkuit tertentu. hal ini berlaku pada koodinasi penglihatan dan pemahaman muncul pada usia 4,5 bulan. Kondisi organic untuk persepsi visual tidak sepenuhnya disadari hingga masa remaja, sedangkan berfungsinya retina terjadi cukup dini. Kematangan berperan sepanjang pertumbuhan mental. Tetapi peran apa? Kami memiliki pengetahuan yang sedikit terperinci tentang kematangan, dan kami lebih tidak tahu apa-apa tentang kondisi-kondisi yang akan memunculkan pembentukan struktur operatoris umum. Pada beberapa data yang kami miliki, kami melihat bahwa kematanagan pada dasarnya, tercakup dalam terbukanya kemungkinan-kemungkinan baru dan, oleh karenanya, merupakan kondisi-kondisi yang diperlukan, tetapi tidak dengan sendirinya mencukupi bagi kemunculan pola perilaku tertentu. kemungkinan- kemungkinan yang telah terbuka ini juga harus terpenuhi. Agar bisa terjadi, kematangan perlu dikuatkan dengan latihan-latihan fungsi dan pengalaman minimum. Disamping itu, semakin jauh kemahiran-kemahiran dipindahkan dari sensori-motor yang merupakan asal mereka, semakin berubah kronologi- kronologi mereka, mksudnya bukan serangkaian mereka, tetapi waktu kemunculan. Kematangan hanyalah satu dari banyak factor yang terlibat dan terpengaruh oleh lingkungan fisik dan sosial bertambah penting terhadap pertumbuhan anak. Tidak diragukan lagi bahwa kematangan organic adalah factor yang diperlukan dan memiliki peran yang sangat berarti dalam urutan rangkaian tahapan perkembangan anak yang tidak berubah, tetapi tidak menjelaskan seluruh perkembangan dan hanya mewakili satu factor di antara beberapa yang lain. 2. Factor pokok kedua adalah peran pelatihan dan pengalaman yang diproleh dalam tindakan-tindakan yang dilakukan pada objek-objek (yang dipertentangkan dengan pengalaman sosial). Hal ini juga merupakan factor mendasar dan diperlukan, termasuk dalam membentuk struktur logika- matematis. Akan tetapi, situasi ini tidak dengan sendirinya menjabarkan segala hal, meski demikian yang diklaim oleh para empiris. Sifatnya sangat konfleks karena ada dua jenis pengalaman: a. Pengalaman fisik, yang terdiri atas tindakan terhadap objek, yang bertujuan mengabstaksi sifat-sifat mereka (misalnya, membandingkan dua beban tanpa mengindahkan volumenya). b. Pengalaman logika-matematis, yang tercakup dalam tindakan terhadap obejek dengan maksud mempelajari hasil koordinasi tindakan (contohnya, saat anak usia 5-6 tahun menemukan secara empiris bahwa sejumlah kelompok objek tidak terkait dengan disposisi special mereka atau urutan penghitungan mereka.) dalam (b), pengetahua lebih bersumber pada tindakan (yang mengatur atau menggabungkan) dibandingkan pada objek. Pengalaman dalam hal ini, sekedar fase praktis dan quasimotor atas apa yang nantinya akan menjadi dedukasi operatoris, yang tidak dapat disamakan dengan pengalaman dalam pengertian tindakan lingkungan eksternal. Sebaliknya, ini adalah persoalan tindakan konstruktif yang dilakukan oleh subjek pada objek eksternal. Bagi (a), pengalaman fisik sama sekali bukan perekaman fenomena yang sederhana, tetapi merupakansuatu strukturasi aktif karena selalu melibatkan asimilasi ke struktur-struktur logika-matematis (dengan demikian, membandingkan dua beban mensyaratkan terjadinya hubungan dan, oleh karenanya, pengonstruksian suatu bentuk logis). 3. Factor pokok ketiga adalah intraksi dan transmisi sosial. Meski diperlukan dan sangat penting, factor ini juga tidak cukup dengan sendirinya. Sosialisasi merupakan suatu strukturasi yang kepadanya individu berkontrubusi sebanyak yang ia peroleh darinya, dari sinilah terjadi interdependensasi dan isomorfisme “operas” dan “kooperasi” bahkan, dalam suatu transmisi dimana subjek tampak sangat pasif, seperti pengajaran disekolah, tindakan sosial tidak efektif tanpa asimilasi aktif oleh anak, yang mensyaratkan adanya struktur operatoris yang memadai. 4. Tiga factor yang sangat berlainan tidak menjelaskan perkembangan berorientasi sama sederhana dan regulernya dengan tiga tahapan berangkai besar yang sudah dijelaskan. Dengan mempertimbangkan peran subjek dan koordinasi umum tindakan dalam perkembangan ini, kita dapat terdorong untuk membayangkan sebuah rencana yang dibentuk sebelumnya dalam pengertian aprioritas finalitas internal. Akan tetapi sebuah rencana a priori dapat didasari secara biologis hanya lewat mekanisme-mekanisme bawaan lahir dan kematangan, dan kami telah menyaksikan bahwa mereka saja tidak dapat menjelaskan seluruh fakta. Finalitas adalah sebuah konsep yang subjektif, dan suatu perkembangan berorientasi (perkembangan yang mengikuti suatu arah: tidak lebih) tidak perlu diartikan menuntut rencana yang dibentuk sebelumnya: misalnya, entropi dalam termodinamika. Dalam perkembangan anak, tidak ada rencana yang dibentuk sebelumnya, tetapi suatu evolusi berangsur-angsur dimasa setiap inovasi bergantung pada sebelumnya. Setiap penjelasan tentang perkembangan anak perlu mempertimbangkan dua dimensi: dimensi antogenetik dan dimensi sosial (dalam pengertian transmisi karya yang melintasi generasi ke generasi). Bagaimanapun, masalahnya agak sama dalam kedua kasus tersebut karena pada keduanya persoalan pokoknya berurusan dengan mekanisme internal seluruh konstruktivisme. Mekanisme internal ( walaupun tidak dapat direduksi menjadi hereditas saja dan tidak memiliki rencana yang dibentuk sebelumnya karena sebenarnya ada konstruksi) dapat diamati pada waktu setiap konstruksi parsial dan setiap transisi dari satu tahapan ke tahapan berikutnya. Hal ini merupakan suatu proses enkuilibrium, bukan dalam pengertian keseimbangan kekuatan sssederhana (sebagaimana dalam mekanika) atau peningkatan entropi (seperti dalam termodinamika), tetapi dalam pengertian yang sekarang sudah ditunjukkan dengan begitu jelasnya oleh sibernetika regulasi diri; yaitu serangkaian kompensasi aktif pada pihak subjek dalam merespon gangguan eksternal dan suatu penyesuaian diri yang retroaktif (sistem putaran atau umpan balik) dan juga antisipatoris, yang membentuk sistem kompensasi yang permanen. Sebagaimana yang sudah kita lihat berkali-kali, efektivitas membentuk energetic dari pola perilaku yang asfek kognitifnya merujuk pada struktur saja. Tidak ada pola perilaku, betapapun intelektualnya, yang tidak mencakup factor-faktor afektif sebagai motif, tetapi secara resiprokal, tidak mungkin ada kondisi apektif tanpa intervensi persepsi atau pemahaman yang menyusun struktur kognitif mereka. Dengan demikian, perilaku berciri sama, sekalipun strukturnya tidak menerangkan energetiknya dan bila, sebaliknya, energetiknya tidak menjelaskan strukturnya. Dua aspek, afektif dan kognitif, pada waktu bersamaan tidak dipisahkan dan tidak dapat direduksi. Justru kesatuan perilaku inilah yang membuat factor-faktor dalam perkembangan menjadi umum bagi aspek kognitif dan afektif. Dan, sifat keduanya yang tidak dapat direduksi tersebut tidak bisa mencegah terjadinya paralelisme fungsional yang agak mengejutkan, bahkan dalam detailnya (seperti yang sudah kita lihat dalam hubungannya dengan “relasi objek” koneksi interpersonal, dan sentiment moral). Tentu saja sentiment-sentimen melibatkan sumber herediter yang tidak perlu diragukan lagi yang akan mengalami proses kematangan. Mereka mengalami diversitifikasi selama pengalaman yang sesungguhnya. Mereka mendapatkan pengkayaan yang fundamental dari percakapan interpersonal dan sosial. Namun, diluar tiga factor ini, mereka pasti melibatkan konflik atau krisis, dan ekuilibrasi ulang karena pembentukan kepribadian didominasi oleh pencarian atas koherensi dan organisasi nilai yang akan mencegah konflik internal (atau mencari mereka, tetapi demi suatu perspektif sistematik baru seperti “ambiguitas” dan sintesis subjek lainnya). Bahkan, jika kita tidak menghiraukan fungsi sentiment moral, dengan ekuilibrium normatifnya (dimana mereka begitu dekatnya dengan struktur opratoris, tetap mustahil menafsirkan perkembangan kehidupan afektif dan motivasi tanpa menitikberatkan pada semua peran penting regulasi-diri, yang pengaruhnya pun sudah ditekankan seluruh mazhab pemikiran, meski dengan beragam nama. Interpretasi ini dapat mengklaim member penjelasan yang cukup layak mengenai fakta yang telah sangat banyak diketahui ini, pertama-tama karena ekuilibrasi diperlukan untuk merekonsiliasi peran-peran proses kematangan, pengalaman dengan objek, dan pengalaman sosial. Selanjutnya, juga struktur-struktur sensori-motor dimulai dari ritme awal pada regulasi, dan dari regulasi ke permulaan reversibilitas. Regulasi bergantung langsung pada factor ekuilibrasi, dan seluruh perkembangan akhir (baik penalaran, resiprositas moral dan kooperasi) adalah proses berlanjut yang bergerak dari regulasi ke reversibilitas, dan ekstensi reversibilitas. Eversibilitas merupakan sistem kompensasi yang lengkap dengan kata lain sepenuhnya seimbang dimana setiap transformasi diseimbangkan oleh kemungkinan inverse atau resiprokal. Dengan demikian, ekuilibrasi oleh regulasi-diri menyusun proses pembentukan struktur yang sudah kami diskripsikan. Psikologi anak memungkinkan kita mengikuti evolusi mereka setahap demi setahap, bukan dalam kondisi abstrak, tetapi dalam dialektika subjek yang hidup dan yang dihidupkan, dalam tiap generasi dengan masalah-masalah yang selalu berulang tanpa henti dan yang terkadang mencapai solusi sedikit lebih baik daripada generasi-generasi sebelumnya.