Anda di halaman 1dari 4

Jembatan Ampera

Jembatan Ampera
‫جمبتن أمڤيرا‬

Koordinat 2.9917°S 104.7635°EKoordinat: 2.9917°S


104.7635°E

Mode Lalu lintas, pejalan kaki


Transportasi

Melintasi Sungai Musi

Lokal Palembang, Sumatra Selatan

Nama resmi Jembatan Ampera


‫جمبتن أمڤيرا‬
(Amanat Penderitaan Rakyat)

Nama lain Jembatan Bung Karno (1965-1966)

Karakteristik

Panjang total 224m

Bentang 61m
terpanjang

Jarak dari 9m
permukaan air

Sejarah

Dibuka 30 September 1965


Jembatan Ampera (Jawi : ‫)جمبتن أمڤيرا‬ (Amanat penderitaan rakyat) adalah sebuah jembatan di
Kota Palembang, Provinsi Sumatra Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi
semacam lambang kota, terletak di tengah-tengah Kota Palembang, menghubungkan
daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi. Jembatan Ampera
merupakan ikon kota Palembang yang paling terkenal.
Struktur
Panjang Jembatan 1.177 m, lebar 22 m (bagian tengah 71,90 m, berat 944 ton dan dilengkapi
pembandul seberat 500 ton), semua bagian tengah bisa diangkat agar kapal-kapal besar bisa
lewat namun sejak tahun 1970 bagian tengah sudah tidak dapat diangkat lagi. Bandul
pemberatnya pada tahun 1990  dibongkar karena dikhawatirkan dapat membahayakan. Tinggi
jembatan ini 11,5 m dari atas permukaan air, tinggi menara 63 m dari permukaan tanah dan
jarak antara menara 75 m.

Pemandangan Jembatan Ampera di waktu malam


Sejarah
Ide untuk menyatukan dua daratan di Kota Palembang ”Seberang Ulu dan Seberang Ilir”
dengan jembatan, sebetulnya sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat
jabatan Wali kota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat
dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya. Namun, sampai masa jabatan Le Cocq
berakhir, bahkan ketika Belanda hengkang dari Indonesia, proyek itu tidak pernah terealisasi.
Pada masa kemerdekaan, gagasan itu kembali mencuat. DPRD Peralihan Kota Besar
Palembang kembali mengusulkan pembangunan jembatan waktu itu, disebut Jembatan Musi
dengan merujuk nama Sungai Musi yang dilintasinya, pada sidang pleno yang berlangsung
pada 29 Oktober 1956. Usulan ini sebetulnya tergolong nekat sebab anggaran yang ada di
Kota Palembang yang akan dijadikan modal awal hanya sekitar Rp 30.000,00. Pada tahun
1957, dibentuk panitia pembangunan, yang terdiri atas Penguasa Perang Komando Daerah
Militer IV/Sriwijaya, Harun Sohar, dan Gubernur Sumatra Selatan, H.A. Bastari.
Pendampingnya, Wali kota Palembang, M. Ali Amin, dan Indra Caya. Tim ini melakukan
pendekatan kepada Bung Karno agar mendukung rencana itu.
Usaha yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan dan Kota Palembang, yang
didukung penuh oleh Kodam IV/Sriwijaya ini kemudian membuahkan hasil. Bung Karno
kemudian menyetujui usulan pembangunan itu. Karena jembatan ini rencananya dibangun
dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, yang berarti posisinya di pusat
kota, Bung Karno kemudian mengajukan syarat. Yaitu, penempatan boulevard atau taman
terbuka di kedua ujung jembatan itu. Dilakukanlah penunjukan perusahaan pelaksana
pembangunan, dengan penandatanganan kontrak pada 14 Desember 1961, dengan biaya
sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200,00).
Pembangunan Jembatan Ampera dipusatkan di wilayah hilir yang merupakan kawasan pusat
kota, terutama kawasan 16 Ilir. Sewaktu pembangunan Jembatan Ampera, banyak sekali
bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang dibongkar, salah satunya pusat perbelanjaan
terbesar Matahari atau Dezon, Kantor listrik (OGEM), dan Bank ESCOMPTO. Bangunan
peninggalan Belanda yang tidak dibongkar hanya menara air atau waterleding yang sekarang
digunakan sebagai Kantor Wali Kota. Di bagian hulu, banyak perumahan penduduk yang
juga ikut dibongkar.
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari
Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang.
Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.
Pada awalnya, jembatan ini, dinamai Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan
Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama
itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang,
untuk memiliki sebuah jembatan di atas Sungai Musi.

Pemandangan dari menara (tower) Jembatan Ampera.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965, sekaligus mengukuhkan nama
Bung Karno sebagai nama jembatan. Pada saat itu, jembatan ini adalah jembatan terpanjang
di Asia tenggara. Setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-
Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera (Amanat
Penderitaan Rakyat).
Sekitar tahun 2002, ada wacana untuk mengembalikan nama Bung Karno sebagai nama
Jembatan Ampera ini. Tapi usulan ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah dan
sebagian masyarakat.
Keistimewaan
Pada awalnya, bagian tengah dan bagian belakang dan bagian depan badan jembatan ini bisa
diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan.
Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat
masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10
meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan
selama 30 menit.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan
tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah
jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan
Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.
Sejak tahun 1970, aktivitas turun naik bagian tengah jembatan ini sudah tidak dilakukan lagi.
Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini dianggap mengganggu
arus lalu lintas di atasnya.
Pada tahun 1990, kedua bandul pemberat di menara jembatan ini diturunkan untuk
menghindari jatuhnya kedua beban pemberat ini.

Anda mungkin juga menyukai