Anda di halaman 1dari 128

RITUAL POSUO ADAT KESULTANAN BUTON DITINJAU DARI

HUKUM ISLAM

(Studi Ritual di Kecamatan Murhum, Kota Baubau Sulawesi Tenggara)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah


Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

IFFA AFIA AMIN KITABI

NIM. 1112044100032

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
ABSTRAK

Iffa Afia Amin Kitabi. NIM 1112044100032. RITUAL POSUO ADAT


KESULTANAN BUTON DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Ritual di
Kecamatan Murhum, Kota Baubau Sulawesi Tenggara). Program Studi Hukum
Keluarga Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. Xi + 75 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui makna filosofis dari ritual posuo
yang merupakan adat Kesultanan Buton, proses dan pengaruh pembentukan
karakter dalam ritual posuo menuju kehidupan berumah tangga, alasan penyebab
gadis-gadis remaja dipilih dalam ritual posuo, dan tinjauan hukum Islam
mengenai ritual posuo.

Penelitian ini merupakan penelitian Empiris yang bertitik tolak pada data
primer yaitu masyarakat eks Kesultanan Buton, kota Baubau dengan data awal
yang diperoleh melalui metode penelitian pustaka (library research) dan
penelitian di lapangan (field research). Penelitian ini berlokasi di Keraton
Kesultanan Buton (Kraton Wolio) tepatnya di Kecamatan Murhum, Kota Baubau
Buton Sulawesi Tenggara. Alasan pemilihan lokasi ini adalah dikarenakan masih
kentalnya ritual posuo yang dilangsungkan di lokasi penelitian.

Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa ritual posuo


merupakan ritual untuk menandai peralihan seorang gadis dari remaja menuju
dewasa menurut adat. ritual posuo juga merupakan suatu sistem penanaman nilai
moral dan budi pekerti yang baik bagi seorang remaja yang menjadi pembiasaan
hingga menuju kehidupan berumah tangga. Alasan pemilihan gadis-gadis remaja
sebagai peserta posuo dikarenakan kebiasaan perempuan untuk menunggu dilamar
sehingga posuo menandakan kebolehan seorang gadis dilamar karena telah
menginjak usia dewasa. Ritual posuo merupakan ritual pra Islam yang kemudian
diintrepretasi dalam nilai-nilai keislaman yang terus dilestarikan dan telah menjadi
kebiasaan masyarakat Buton yang kemudian terus berlangsung dan relevan
dengan Hukum Islam.

Kata Kunci : Posuo, Pembentukan karakter, Kehidupan berumah tangga,


Hukum Islam.

Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, SH., MH.

Daftar Pustaka : 1982 – 2015

ii
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Puji syukur hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam dengan segala
Kemahaan-Nya dan segala ridho, rahmat, taufiq serta hidayah dan inayah-Nya
yang tak terhingga yang telah memberi anungrah ilmu pengetahuan dan nikmat
yang tak berujung, kesempatan untuk selalu mengharap belas kasih-Mu,
mempelajari dan membaca serta mengambil pelajaran dan hikmah dari setiap suka
duka kehidupan yang dilalui yang membuat diriku bangga sekaligus tuduk dan
bahagia hadir sebagai mahluk-Mu di dunia ini.

Ya Allah, limpahkanlah salawat serta salam kepada pemimpin serta suri


tauladan kami Muhammad saw, penutup para nabi dan rasul, dan kepada keluarga
dan sahabatnya, dan yang mengakui mereka dengan penuh ihsan hingga hari
kiamat.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini,


banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi hingga
terselesaikannya skripsi ini, yang berjudul : RITUAL POSUO ADAT
KESULTANAN BUTON DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Ritual di
Kecamatan Murhum, Kota Baubau Sulawesi Tenggara) yang disusun dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas
Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari dalam hal apapun tidak ada kata sempurna begitu juga
dengan skripsi ini karena kesempurnaan hanyalah milik Allah swt. Namun, yang
terpenting adalah penulis telah berusaha semaksimal mungkin memberikan yang
terbaik dalam wacana keilmuan dengan skripsi ini. Dengan selesainya skripsi ini

iii
penulis merasa berkawajiban mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya
kepada :

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor UIN syarif Hidayatullah


Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H Abdul Halim, M. Ag dan Arip Purkon, MA, Ketua dan Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga.
4. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, SH., MH, selaku pembimbing
skripsi ini yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya serta
dengan kebaikan dan kebijaksanaan dalam memberi arahan yang berharga
dalam penudunan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tidak lupa juga kepada staff dan karyawan Perpustakaan Utama
UIN syarif Hidayatullah Jakartadan perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas
dalam studi perpustakaan.
6. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Baubau, Dinas Pariwisata dan
Masyarakat Buton khususnya di kecamatan Murhum yang banyak sekali
membantu penulis dalam mendapatkan sumber dan pengelolaan data
skripsi ini.
7. Terimakasih tak terhingga secara khusus dan yang selalu saya banggakan
dan saya cintai, Ayahanda Aminudin S.Ag dan Ibunda Zunaya S.Ag yang
dengan jerih payahnya, tetes darah, keringat dan air mata membesarkan,
mendidik dan memotivasi serta memberikan kasih sayang tak terhingga
serta dengan penuh cinta kasih dan pengorbanan baik moril maupun
finansial serta do’a restunya sejak kecil hingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan strata I ini, do’a Ayah dan Ibu sunggu Luar
Biasa.

iv
8. Teimakasih kepada kedua adikku Fatahhuddin Amin Kitabi dan Wardatun
Kamilah Amin Kitabi yang selalu memberikan motivasi dan dukungan
serta do’a kepada kakanya untuk terus menjadi contoh yang baik untuk
kalian. Kepada Bibi dan Paman di Bekasi dan Bogor serta anak-anaknya,
kalian yang terdekat di rantau ini. Kepada bunda Aira dan suami yang
telah meberikan fasilitas tempat tinggal dan membantu penulis dalam
penelitian, serta Keluarga di Buton Nepa Mekar dan Siompu terimaksih
terlah memberi cerita indah selama penelitian di Buton dan membuat
penulis bangga menjadi orang Buton, juga kepada seluruh keluarga di
Ambon terkhusus neneku tersayang dan kerabat yang penulis cintai dan
sayangi yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu atas
perhatian dan do’a kalian yang luar biasa hingga penulis dapat melewati
masa perkuliahan ini.
9. Kepada seluruh keluarga HIPPMIB (Himpunan Pemuda Pelajar
Mahasiswa Indonesia Buton) Jakarta, terkhusus para senior Ust. Rosid,
Ust. Falah, Pak Guru Mi’raj, kakak Sepupu terbaik (ka Sem), Ust.
Kasman, Ust. Sairul, ka syarif, ka Huluk, ka Harsin, ka Awal dan ka Lisna
yang telah banyak membantu penulis mulai dari awal sampai di Ciputat
hingga sekarang, teman-teman seperjuangan saat masuk UIN ka Yudi, ka
Jamal, ka Iwan, ka Eko, dan ka Didin serta kawan-kawan dan adik-adik
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu terimakasih untuk
mewarnai cerita perjuangan penulis di Ciputat.
10. Kepada Keluarga Besar LTTQ (Lembaga Tahfidz dan Ta’lim Qur’an),
teman teman haiah tahsin terkhusus ust. Muamar dan Ustz. Lina yang
telah mengajarkan dan memotivasi saya untuk selalu dekat dengan al-
Qur’an, ka Saulia dan ka Ani, jug aka Nia serta senior yang tidak dapat di
sebutkan namanya satu persatu, teman seperjuangan (kawan sejawat) dan
semua keluarga LTTQ ku terimakasih untuk selalu memotivasi saya
menjadi lebih baik lagi.

v
11. Kawan-kawan di LAZIS FATHULLAH yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk belajar banyak hal tentang kehidupan
bermasyarak, menumbuhkan jiwa sosial saya untuk berbagi dan memberi,
serta membuat saya merasa bermanfaat di masyarakat.
12. Teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga 2012 terkhusus kelasa PA.A
mba Aish, mba Nafis, Uni Deza, Fida, April, Nanik, Ipeh, Nisa dan Putri,
serta Dhiba, Rahma, ka Ais dan fifah dan lainya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, terimakasih telah menjadi bagian dari proses studi
penulis selama di strata I ini.
13. kawan-kawan di KKN Expresso, Rahmi, Rani, Putri, Lala, Ita dan yang
lainnya yang tidak dapat di sebutkan satu persatu, terimakasih kawan
untuk cerita indah selama di KKN.
14. Untuk sahabat rantau Fitratussalamah, Muadi Mawaddah dan Putri Zahra
dan adik-adik kece dari Tual, bahagiaku karena diberi kesempatan
mengenal dan berproses bersama kalian.

Terakhir, kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantun dan


perhatiannya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan
skripsi ini. Semoga jasa baik yang telah kalian berikan menjadi ladang amal dan
mendapat balasan yang setimpal dari Allah swt.

Penulis sadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena di
dalamnya masih terdapat kekurangan dan kekeliruan, oleh karena itu kritik dan
saran dari para bembaca yang budiman sangat penulis harapkan demi kebaikan
dan perbaikan karya ilmiah ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna
bagi kita semua, terutama bagi penulis sendiri. Amiin.

Ciputat, 2 Oktober 2016

Penulis

Iffa Afia Amin Kitabi

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

LEMBAR PERNYATAAN...…………………………………………………... i

ABSTRAK ……………………………………..……………………………… ii

KATA PENGANTAR …………...………………………………......................iii

DAFTAR ISI ……………………...………………………………………….... vii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………................. 1

A. Latar Belakang ……………………………………………................... 1


B. Identifikasi Masalah ………………………………………….............. 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………...……. 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………...……... 7
E. Review Studi Terdahulu ………………………………………...……. 8
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual ……………………............ 9
G. Metode Penelitian ……………………………………..…………….. 13
H. Sistematika Penulisan ……………………………………..……….... 17

BAB II KONSEP RUMAH TANGGA DAN KELUARGA BAHAGIA


SERTA PERAN PEREMPUAN DALAM MEMBENTUK RUMAH
TANGGA BAHAGIA …….................................................................. 20

A. Pengertian Rumah Tangga dan Keluarga Bahagia…...……………… 20


B. Fungsi Rumah Tangga dan Keluarga Bahagia…………...………….. 23
C. Pembinaan Rumah Tangga dalam Mencapai Tujuan Perkawinan ….. 27
D. Peran Perempuan dalam Membentuk Rumah Tangga Bahagia ..…… 29

vii
BAB III POTRET KESULTANAN BUTON SULAWESI TENGGARA
DAN KOTA BAUBAU …………………………….………………. 34

A. Sejarah Kesultanan Buton ………………………..…………………. 34


B. Letak Geografis …………………..…………………………………. 36
C. Kondisi Demografis ...…………………………………...................... 38
D. Keadaan Ekonomi ……...……………………………………………. 39
E. Pendidikan …………………………………..………………………. 40
F. Keagamaan ………………………………………..………………… 41
G. Keadaan Sosial Budaya …………………………………………..…. 41
H. Sistem Ritual ………………………………………...………………. 43

BAB IV RITUAL POSUO ADAT BUTON DAN TINJAUANNYA DALAM


HUKUM ISLAM ………………………………………………..…. 46

A. Makna dan Prosesi Rirual Posuo Adat Buton ……………................. 46


B. Analisis Tentang Pembentukan Karakter Bagi Remaja dalam Ritual
Posuo Menuju Kehidupan Berumah Tangga………............................ 53
C. Analisis Tentang Kekhususan Perempuan Sebagai Peserta dalam Ritual
Posuo Adat Buton ………………………...………………...……….. 62
D. Tinjauan Hukum Islam Mengenai Ritual Posuo ……………..….….. 68

BAB V PENUTUP …………………………………..…………………….... 73

A. Kesimpulan ……………………………………...…………………... 73
B. Saran …………………………………………………………...……. 74

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum di Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem,

yang terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang satu sama lain saling

berkaitan dan berhubungan untuk mencapai tujuan yang didasarkan pada

UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah pancasila.1 Hukum menentukan

bentuk masyarakat. Masyarakat yang belum dikenal dapat di coba

mengenalnya pada pokok-pokoknya dengan mempelajari hukum yang

berlaku dalam masyarakat itu, hukum mencerminkan masyarakat.2

Hukum yang berlaku di masyarakat itu sendiri dapat dilihat dari

berbagai aspek salah satunya adalah perkawinan, karena dari perkawinan

itulah dapat terbentuk idividu-indivdu yang kemudian hidup

bersama.Pengertian perkawinan sendiri sangat banyak walaupun tidak ada

pertentangan antara pendapat-pendapat itu, adapun perkawinan menurut

Sayuti Thalib adalah perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan. Unsur perjanjian disini untuk

memperlihatkan segi kesengajaan dari suatu perkawinan serta penampakan

1
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta : Literata Jendela Dunia,
2010), h.1
2
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur‟an dan Hadit, (Jakarta :
Tintamas, 1982 ), h.1

1
2

kepada masyaraka ramai. Sedangkan sebutan suci untuk untuk pernyataan

segi keagamaan dari suatu perkawinan.3

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir bantin antara laki-laki

dan perempuan yang didasari pada keyakinan dan kesamaan prinsip untuk

mencapai sebuah tujuan hidup. Tujuan pernikahan tersebut senada dengan

pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

rahmah.

Setiap pasangan yang mengarungi bahtera rumah tangga tentu

menginginkan terciptanya keluarga atau rumah tangga yang sejahtera lahir

batin dan bahagia di dunia dan di akhirat kelak. Dari keluarga sejahtera

dan bahagia inilah kelak akan terwujud masyarakat yang tentram dan

makmur. Kehidupan keluarga inilah yang menjadi cita-cita dan tujuan

pembangunan nasional di Indonesia.

Untuk mencapai tujuan dari pernikahan tersebut maka di Indonesia

sendiri melalui KMA No. 477 tahun 2004 tentang pencatatan nikah,

mengamanatkan agar sebelum pernikahan berlangsung, para calon

3
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI-Press, 1986 ) h. 47
3

pengantin (catin) mengadakan bimbingan pranikah atau di kenal dengan

suscatin (kursus calon pengantin) dan bimbingan bimbingan sejenisnya

yang berhubungan dengan kehidupan berumah tangga nantinya.

Bimbingan pranikah sangat berperan penting dalam pembinaan keluarga

atau kehidupan berumah tangga dan pembangunan bangsa di era

globalisasi ini. Keunggulan dan daya saing bangsa hanya akan terwujud

jika pembinaan keluarga sejahtera mendapat perhatian yang semestinya.

Peraturan Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama No. DJ. II/491

tahun 2009 menginstruksikan bahwa penyelenggara bimbingan pranikah

adalah BP4 (Badan Penasihat, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan),

adapun peserta dari bimbingan pranikah atau suscatin adalah calon

pengantin yang siap untuk menikah dan telah mendaftarkan diri di KAU.

Selain Lembaga pemerintah dalam hal ini BP4, di masyarkat

sendiri juga terdapat bimbingan-bimbingan untuk menuju kehidupan

berumah tangga, bahkan bagi masyarakat adat bimbingan pranikah ini

sudah ada dan berkembang menjadi sebuah tradisi dalam ritual atau

upacara seperti dalam ritual adat kesultanan Buton. Ritual tersebut dikenal

dengan ritual posuo yang merupakan tradisi yang sudah lama ada dan

sudah berlangsung di masyarakat Buton asli (Wolio) yang kemudian

mengalami penambahan unsur keagamaan yaitu agama Islam yang

kemudian menjadi agama mayoritas masyarakat Buton terutama di

wilayah kesultanan.
4

Ritual ini kemudian dilaksanakan dengan cara dipadukan kedua

unsur yaitu unsur adat dan unsur agama Islam. Dalam hal ini, mereka

masih tetap mempertahankan adat istiadat yang telah ada sejak lama

kemudian menggabungkannya dengan ajaran Islam yang telah mereka

anut dengan tetap mempertimbangkan segala ketentuan-ketentuan yang

berlaku tanpa harus meninggalkan kebiasaan lama mereka. Kedua unsur

ini, kemudian dibiarkan tetap hidup dalam kehidupan mereka sehingga

menjadi suatu bentuk acuan untuk bertindak dalam kehiduapan

kesehariannya.

Posuo dilaksanakan khusus bagi gadis remaja yang sudah

menginjak usia dewasa yaitu 14 sampai 19 tahun.4 Adapun pihak yang

terlibat di dalam ritual adalah para tokoh adat yang disebut bhisa. Dalam

ritual ini para gadis diberikan pembinaan baik fisik maupun mental berupa

wejangan-wejangan tentang etika pergaulan dalam kehidupan sehari-hari

yang harus diperhatikan oleh seorang gadis.

Fungsi utama ritual ini adalah penggemblengan secara fisik dan

mental kepada para gadis yang nantinya akan memasuki kehidupan

berumah tangga.5 Penggemblengan atau pembentukan karakter dalam

ritual pasuo merupan sebuah bimbingan pranikah bagi para gadis remaja

dalam mematangkan jiwa untuk mencapai tujuan pernikahan atau

kehidupan berumah tangga.

4
M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (Bau-bau :
Penerbit Respect, 2011) h. 250.
5
M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, h.250
5

Kematangan jiwa bagi calon pasangan pengantin sangan

diperlukan untuk menuju kehidupan yang harmonis, tangguh menghadapi

tantangan taufan dan badai kehidupan perkawinan. Disamping kematangan

jiwa pasangan yang melakukan perkawin, pada gilirannya akan dapat

melahirkan keturunan yang baik, kuat, sehat dan cerdas.6 Berbeda dengan

suscatin (kursus calon pengantin) dan bimbingan pranikah lainnya, dalam

ritual posuo penggemblengan tersebut hanya dilakukan pada gadis remaja

untuk menuju kehidupan berumah tangga.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membahas

lebih lanjut mengenai ritual posuo untuk memperoleh kepastian tentang

pembentukan karakter dalam sebuah ritual khususnya paga gadis remaja

menuju kehidupan berumah tangga dan tinjauannya dalam hukum Islam

yang diuraikan dalam skripsi yang berjudul : RITUAL POSUO ADAT

KESULTANAN BUTON DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi

Ritual di Kecamatan Murhum, Kota Baubau Sulawesi Tenggara).

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, penulis mengidentifikasi

masalah yang akan diteliti sebagai berikut :

1. Pengaruh hukum Islam di Kesultanan Buton.

2. Pengaruh hukum adat di Kesultanan Buton.

6
Sayyid Muhammad Husain Fadhullah, Dunia Remaja : Tanya Jawab Seputar Pergaulan
dan problematika remaja, ( Jakarta :Pustaka Hidayah, 2005), h.69
6

3. Pandangan Masyarakat wilayah Kesultanan Buton tentang ritual

posuo.

4. Pengaruh adat terhadap ritual posuo di Kesultanan Buton.

5. Ketentuan dalam ritual posuo adat Kesultanan Buton.

6. Makna Filosofis ritual posuo adat Kesultan Buton.

7. Penjelasan tentang kehidupan berumah tangga dalam ritual posuo adat

Kesultanan Buton.

8. Gadis-gadis remaja yang dipilih menjadi peserta dari ritual posuo adat

Kesultanan Buton.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Melihat banyaknya masalah di atas, untuk mempermudah

melakukan penelitan, maka penulis membatasi masalah mengenai

pembentukan karakter dalam ritual posuo pada gadis-gadis remaja

menuju kehidupan berumah tangga, dalam adat kesultanan Buton dan

tinjauannya dalam hukum Islam.

2. Perumusan Masalah

Rumusan tersebut penulis rincikan dalam pertanyaan sebagai

berikut :

1. Apa makna Filosofis yang terkandung dalam ritual posuo adat

Kesultanan Buton?

2. Bagaimana proses pembentukan karakter yang terkandung

dalam ritual posuo adat Kesultanan Buton?


7

3. Mengapa gadis-gadis remaja dipilih menjadi peserta dalam

ritual posuo adat Kesultanan Buton?

4. Bagaimana ritual posuo adat Kesultanan Buton ditinjau dari

hukum Islam ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui makna Filosofis yang terkandung dalam

ritual posuo adat Kesultanan Buton.

2. Untuk mengetahui proses pembentukan karakter yang

terkandung dalam ritual posuo adat Kesultanan Buton.

3. Untuk mengetahui penyebab gadis-gadis remaja dipilih

menjadi peserta dalam ritual posuo adat Kesultanan Buton.

4. Untuk mengetahui ritual posuo adat Kesultanan Buton ditinjau

dari hukum Islam.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Secara Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini adalah dalam rangka

mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan hukum keluarga

Islam khususnya mengenai pembentukan karakter yang memiliki


8

pengaruh dalam ritual posuo adat Kesultanan Buton menuju

kehidupan berumah tangga dan tinjauannya dalam hukum Islam.

b. Secara Praktis

Secara praktis dari hasil penelitian ini adalah untuk

memperluas pengetahuan diri penulis dan sebagai bahan bacaan

dan informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang

pembentukan karakter dalam ritul posuo khususnya menuju

kehidupan berumah tangga, serta untuk memenuhi syarat akademis

dalam rangka memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Syariah dan

Hukum.

E. Review Studi Terdahulu yang Relevan

Berdasarkan telaah yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber

kepustakaan, penulis melihat terdapat tulisan yang memiliki hubungan

dengan penelitian ini, yaitu :

1. Iskandar Engku, dalam penelitian yang berjudul “Masalah

Posuo Bagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di

Kabupaten Dati II Buton”

Tulisan tersebut menjelaskan tentang Pengaruh ritual posuo

bagi gadis-gadis remaja dalam hal kepatuhan dalam

melaksanakan ritual dan perubahan moral dan perilaku baik

fisik maupun mental gadis remaja setelah ritual posuo.


9

2. Muhammad Alifudin, dalam jurnal dengan judul tulisan

“Signifikansi Upacara Siklus Posuo dalam Membangun

Semesta Kepribadian Remaja Wanita Pada Masyarakat

Buton”

Tulisan ini menjelaskan tentang pentingnya dan signifikansi

upacara atau ritual posuo dalam membentuk perilaku yang baik

bagi anak- anak perempuan yang didasarkan pada nilai etnik

dan agama serta untuk menumbuhkan rasa solidaritas

masyarakat Buton.

3. Budi Wahidin, dalam tulisan yang berjudul “Tradisi Pingitan

(Posuo) dalam Masyarakat Buton”

Tulisan ini menjelaskan penafsiran kebudayaan masyarkat

Buton dalam tradisi Pingitan (Posuo) dan intrepretanya.

Berbeda degan beberapa tulisan di atas, skripsi yang penulis angkat

ini lebih membahas mengenai pentingnya ritual posuo dalam upaya

membentuk karakter para gadis remaja di Buton menuju kehidupan

berumah tangga nantinya dan tinjauannyadalam hukum Islam.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepstual

1. Kerangka Teori

Proses pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai moral

dalam kehidupan berumah tangga dalam ritual posuo yang

dilaksanakan semenjak usia remaja merupakan sebuah usaha

masyarakat dalam mewujudkan karakter bangsa yang positif serta


10

merupakan budaya yang harus tetap dilestarikan dan dijaga nilai-nilai

ritualnya. Teori yang digunakan dalam penelitian tentang pembentukan

karakter pada ritual posuo ini adalah teori dari Dr. K. Kupper bahwa

kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan

pengarah bagi masyarkat yang baik guna mewujudkan karakter bangsa

yang baik pula. Selanjutnya, teori Koentjaraningrat yang menyatakan

bahwa kebudayaan merupakan sistem gagasan, tindakan, dan hasil

karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan

milik diri manusia.

Menurut Koenjaraningrat, adat merupakan wujud ideal dari

kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan dan menyatakan

kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang

harus dibiasakannya dengan belajar serta keseluruhan hasil dari budi

dan karyanya. Kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta

buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti „budi‟ atau

akal, dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang

bersangkutan dengan budi dan akal.7 Selain itu, dalam kajian ushul

fiqh juga di kenal istilah „urf‟ yang merupakan sumber hukum Islam.

Ini merupakan satu sumber hukum yang di ambil oleh mazhab Hanafy

dan Maliky, yang berada di luar lingkup nash. „Urf (tradisi) adalah

bentuk-bentuk mu‟amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi

adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) ditengah

7
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000),h. 19.
11

masyarakat,8 dimana posuo merupakan ritual yang sudah berlangsung

menjadi kebiasaan sosial budaya masyarakat Buton, sehingga „urf

menjadi satu teori yang akan digunakan dalam analisis ritual posuo.

Teori-teori di atas, dimaksud untuk menganalisi dampak

sebuah ritual terhadap pola pembentukan karakter masyarakat Buton

khususnya dalam kehidupan berumah tangga dan tinjauannya hukum

Islam.

2. Kerangka Konseptual

Konteks budaya dalam menformulasikan tentang konsep

keluarga sangat penting diperhatikan, dalam konsep perkawinan

tradisional berlaku pembagian dan peran suami istri. Konsep ini lebih

mudah dilakukan karena segala urusan rumah tangga dan pengasuhan

anak menjadi tanggunjawab istri, sedangkan suami bertugas mencari

nafkah. Namun tuntutan perkembangan kini semankin mengaburkan

pembagian tugas tradisional tersebut. Kenyataan terus meningkatnya

kecenderungan pasangan yang sama-sama bekerja membutuhkan

keluwesan pasangan untuk melakukan pertukaran atau berbagi tugas

dan peran baik untuk urusan mencari nafkah maupun urusan

domestik.9

8
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqih, (Jakarta :PT.Pustaka Firdaus, 2011) h.416
9
Sri Lestari, Pisikologi Keluarga (Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga), (Jakarta : Prenada Media grup, 2013) h.10
12

Karakter ialah tabiat, tingkah laku atau kebiasaan yang melekat

pada diri seseorang, sedangkan pembentukan karakter ialah

penanaman pola pikir, prinsip-prinsip dan sistem keyakinan serta

kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu.10

Bimbingan yang merupakan proses pembentukan karakter

terkait kehidupan rumah tangga di masyarakat Buton menjadi sebuah

ritual yang di laksanakan sejak para gadis berusia remaja untuk

menanamkan nilai-nilai moral dalam bertingkah laku di kehidupan

sehari-hari khususnya menjalani kehidupan kehidupan berumah tangga

yang di kenal dengan ritual posuo.

Ritual posuo menurut istilah bahasa Indonesia disebut pingitan

yang di laksanakan 4 sampai 8 hari dimana peserta pasuo diasingkan

dan dijauhkan dari keluarga dan masyarakat sekitar serta dunia luar

dan diajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian

wanita dan keterampilan rumah tangga dibawah panduan beberapa

tokoh adat perempuan yang disebut bhisa.

Kehidupan rumah tangga merupakan kehidupan di mana

terdapat sepasang suami istri dan kemudian anak-anak yang akan

dibesarkan suami istri tersebut sebagai orang tua yang menjalankan

fungsi serta tujuan berkeluarga dan membentuk pribadi dan tabiat juga

tingkah laku anak secara individu sehingga dapat hidup di masyarkat.

10
N. K. Singh dan Mr. A. R. Agwan, Encyclopeadia of the Holy Qur‟an, (New Delhi :
Balaji Offset, 2000), h. 175
13

Sebagaimana ritual adat lainnya, ritual posuo berdasarkan pada

atuaran-aturan adat di kesultanan Buton dan aturan agama mayoritas

masyarakat Buton yaitu agama Islam. Dua unsur, agama dan adat

inilah yang menjadi dasar dalam pembentukan dan penanaman nilai

moral para gadis remaja yang dipasuo. Hukum Islam sendiri tidak

melarang atau menolak adanya adat dan tradisi yang sudah

berlangsung di masyarkat selama tidak bertentangan dengan al-Qur‟an

dan sunnah serta tidak menimbulkan kemudharatan atau kerugian.

G. Metode penelitian

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, maka penulis

menggunakan beberapa langkah yaitu :

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Empiris yang bertitik tolak

pada data primer yaitu masyarakat eks Kesultanan Buton, kota Baubau

dengan data awal yang diperoleh melalui metode penelitian pustaka

(library research) dan penelitian di lapangan (field research).

a. Metode penelitian pustaka (library research)

Cara untuk mendapatkan bahan-bahan melalui metode library

research ini, penulis melakukannya dengan cara mengkaji buku-

buku, literature-literatur, yang berkaitan dengan pokok masalah

terutama buku-buku dan kitab-kitab serta berbagai sumber lainnya


14

yang menjadi dasar metode penelitian dan juga sumber hukum

Islam yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

b. Penelitian lapangan (field research)

Penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang

dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data lapangan yang

berkaitan dengan penelitian ini.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Keraton Kesultanan Buton (Kraton

Wolio) tepatnya di kecamatan Murhum, kota Baubau Buton Sulawesi

Tenggara. Alasan pemilihan lokasi ini adalah dikarenakan lokasi ini

masih merupakan wilayah eks Kesultanan Buton dan masih kentalnya

ritual posuo yang dilangsungkan di lokasi penelitian.

3. Sumber Data

a. Data Primer : Data yang didapati dari hasil wawancara dengan

masyarakat dan tokoh adat di Kesultanan Buton yang

melakukan tradisi Posuo menurut adat Kesultanan Buton ini

penulis menggunakan teknik wawancara secara mendalam (in-

depth interview) dengan menggunakan pokok-pokok masalah

sebagai pedoman wawancara, adapun penetuan masyarakat

yang diwawancarai berdasarkan pada masyarakat yang ditunjuk

oleh tokoh adat setempat yang dianggap mampu untuk

menjelaskan permasalahan yang diteliti.


15

b. Data Sekunder : Data yang diperoleh dengan tujuan

mengadakan studi review atas dokumen-dokumen yang

berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-

dokumen yang dimaksud adalah al-Qur‟an, al-Hadist, buku-

buku ilmiah dan literatur yang mempunyai relevansi dalam

penelitian ini serta data lapangan tempat penelitian, ataupun

data lain yang berkumpul dan yang mempunyai hubungan

dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data-data akurat saat penelitian, penulis

menggunakan beberapa teknik, yaitu:

a. Interview (wawancara), adalah dialog yang dilakukan

pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari

terwawancara, pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini

adalah tokoh adat dan tokoh masyarakat di Kesultanan Buton

yang pernah melaksanakan tradisi posuo dengan data

pertanyaan yang bersifat terbuka.

b. Observasi, adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis

terhadap gejala-gejala yang diteliti, penulis melakukan

observasi secara langsung ke tempat yang menjadi objek

penelitian yaitu Kesultanan Buton, kota Baubau Sulawesi

Tenggara.
16

c. Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dari beberapa literatur

yang ada kaitannya dengan penelitian ini, literature ini berupa

buku, internet, surat kabar, buletin, jurnal dan sebagainya.

5. Jenis Data

Adapun jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini

merupakan penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif, analitis, yaitu metode yang

menggambarkan dan memberikan analisis terhadap kenyataan di

lapangan berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang yang

diamati.

6. Teknik Analisis Data

penelitian ini penulis menggunakan teknik analisa dengan cara

menganalisis dari reduksi data serta penyajian data dan mengambil

kesimpulan dari data-data yang ada.

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan salah satu dari teknik analisis data

kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan

mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat

diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi data.


17

b. Penyajian Data

Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis data

kualitatif. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi

yang disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan

kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif

(berbentuk catatan lapangan).

c. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan salah satu dari teknik analisis

data kualitatif. Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang dapat

digunakan untuk mengambil tindakan.

7. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan dalam penelitian skripsi ini ialah

dengan menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.

H. Sistematiaka Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi

ini, maka penulis mengklarifikasikan penelitian ini kedalam beberapa bab,

sebagai berikut:
18

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan, sebagai gambaran

umum penelitian, pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, review studi terdahulu yang relevan, kerangka

teori dan kerangka konseptual, metode penelitian, serta sistematika

penulisan.

Bab kedua, menjelaskan tentang konsep kehidupan berumah tangga

dan berkeluarga yang meliputi pengertian rumah tangga dan keluarga

bahagia, fungsi rumah tangga dan keluarga bahagia, pembinaan rumah

tangga dalam mencapai tujuan perkawinan, serta peran perempuan dalam

rumah tangga bahagia.

Bab ketiga, bab ini berisikan tentang potret Kesultanan Buton

secara umum, meliputi letak geografis dan letak demografis, kondisi sosial

budaya, keadaan ekonomi, pendidikan, agama, dan sistem ritual di

Kesultanan Buton Sulawesi Tenggara.

Bab keempat, pada bab ini akan diuraikan pembahan mengenai

gambaran umum ritual posuo dan pelaksanaannya, analisis pembentukan

karakter bagi remaja dalam ritual pasuo menuju kehidupan berumah

tangga, analisis kekhususan perempuan yang diposuo, dan tinjauan hukum

Islam tentang ritual posuo.


19

Bab kelima, merupakan penutup yang memuat kesimpulan dari

hasil penelitian yang telah dilakukan dan memberikan saran yang

berkaitan dengan permasalahan yang dibahas untuk memproleh solusi atas

permasalahan tersebut serta dilengkapi dengan daftar pustaka dan

lampiran-lampiran yang dianggap penting.


BAB II

KONSEP RUMAH TANGGA DAN KELUARGA BAHAGIA SERTA

PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBETUKAN RUMAH TANGGA

BAHAGIA

A. Pengertian Rumah Tangga dan Keluarga Bahagia

Rumah tangga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

diartikan dengan : suatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam

rumah, berkenaan dengan keluarga.1

Rumah tangga adalah suatu kumpulan dari masyarakat terkecil,

yang terdiri dari pasangan suami istri, anak-anak, mertua dan sebagainya.

Terwujudnya suatu rumah tangga yang sah setelah didahului oleh akad

nikah atau perkawinan sesui dengan ajaran agama dan Undang-Undang

No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.2

Demikian pula pengertian keluarga dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) diartikan dengan : ibu, bapak dengan anak-anaknya,

orang seisi rumah yang menjadi tanggungan, sanak saudara dan kaum

kerabat, satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. 3

Keluarga adalah kelompok orang yang ada hubungan darah atau

perkawinan. Orang-orang yang termsuk keluarga adalah ibu, bapak, dan

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka: 2000), h .758
2
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah), (Jakarta :
Pedoman Ilmu jaya), h.26
3
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h . 413

20
21

anak-anaknya. Ini disebut keluarga batih (nuclear family) dan keluarga

yang diperluas (extended Family).4

Adapun menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004), defenisi tentang

keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu

defenisi strktural, defenisi fungsional, dan defenisi intersaksional.

1 Defenisi struktural, keluarga didefenisikan berdasarkan kehadiran dan

ketidak hadiran anggota keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat

lainya. Defenisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari

keluarga. Dari prespektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga

sebagai asal usul (families of orogining), keluarga sebagai wahana

melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih

(extended family) mencakup semua orang dari satu keturunan dari kakek

dan nenek yang sama, termasuk keturunan suami dan istri.

2 Defenisi Fungsional, keluarga didefenisikan dengan penekanan pada

terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi

tersebut mencakup perawatan sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan

materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Defenisi ini memfokuskan

pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga.

3 Defenisi Transaksional, keluarga didefenisikan sebagai kelompok yang

mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan

rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi,

4
Kusdwiratri Setiono, Pisikologi Keluarga, ( Bandung : PT. Alumni, 2011) h. 24
22

pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Defenisi ini

memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.5

Dalam literatur al-Qur’an, keluarga di istilahkan dengan al-ahlu

(‫ )االاهل‬yang berarti family, keluarga dan kerabat.6 Sebagaimana firman

Allah dalam surah al-Tahrim sebagai berikut :

)6:)66( ‫(التحشي‬......‫س ُك ْن َوأَ ْهلِيكُ ْن ًَاسًا‬


َ ‫يَا أَ ُّيهَا اَّلزِييَ آ َهٌُىا قُىا أًَْ ُف‬

Artinya : “Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka...” (QS.At-Tahrim (66): 6)

Sedangkan hidup berkeluarga adalah kehidupan bersama dua orang

lawan jenis yang bukan mahramnya yang telah mengikatkan diri dengan

tali perkawinan beserta anak keturunannya yang dihasilkan dari akibat

perkawinan tersebut.7

Keluarga Islam terbentuk dalam keterpaduan antara ketentraman,

penuh rasa cinta dan kasih sayang. Ia terdiri dari istri yang patuh dan setia,

suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu

yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra putri yang patuh dan taat

serta kerabat yang saling membina silaturrahmi dan tolong menolong.8

Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Ar-Ruum :

َ‫ى‬
ّ ‫حوَةً ِإ‬
ْ َ‫ج َعلَ بَيْ ٌَ ُكنْ هَىَ ّدَةً َوس‬
َ ‫سكٌُُىا ِإلَ ْيهَا َو‬
ْ ‫س ُكنْ َأصْوَاجًا ِل َت‬
ِ ‫خلَقَ َلكُنْ ِهيْ أًَْ ُف‬
َ ْ‫َوهِيْ آيَاتِهِ أَى‬

)12:)03( ‫ك آليَاتٍ لِ َقىْ ٍم يَتَ َف ّكَشُوىَ (الشوم‬


َ ‫فِي َرِل‬
5
Sri Lestari, Pisikologi Keluarga (Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga), (Jakarta : Prenada Media grup : 2013) h.5
6
Huzaemah T Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Jakarta : yayasan Indonesia
Baru,2013) h.128
7
Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h.129
8
Huzaemah T. Yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, h.127
23

Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia


menciptakan untukmu pasang-pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS.
Ar-Ruum (30) : 21)

William J. Goode menjelaskan, kedudukan utama setiap keluarga

ialah fungsi pengantar pada masyarakat besar. Sebagai penghubung

pribadi dengan struktur sosial yang lebih besar.9

B. Fungsi Rumah Tangga dan Keluarga Bahagia

PP No.21 tahun 1994 tentang penyelenggaraan Pembangunan

Keluarga Sejahtera Bab II pasal 4 ayat (2) menjelaskan fungsi keluarga

adalah sebagai berikut:

1. Fungsi keagamaan, yaitu dengan memperkenalkan dan mengajak anak dan

anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala

keluarga untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur

kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.

2. Fungsi sosial budaya, dilakukan dengan membina sosialisasi pada anak,

membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat

perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

3. Fungsi cinta kasih, diberikan dalam bentuk memberikan kasih sayang dan

rasa aman, serta memberikan perhatian di antara anggota keluarga.

9
William J. Goode, Sosiologi Keluarga, (Jakarta : PT. Bumi Aksara) h.3
24

4. Fungsi melindungi, bertujuan untuk melindungi anak dari tindakan-

tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindung

dan merasa aman.

5. Fungsi reproduksi, merupakan fungsi yang bertujuan untuk meneruskan

keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memelihara dan merawat

anggota keluarga.

6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, merupakan fungsi dalam keluarga yang

dilakukan dengan cara mendidik anak sesuai dengan tingkat

perkembangannya, menyekolahkan anak. Sosialisasi dalam keluarga juga

dilakukan untuk mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang

baik.

7. Fungsi ekonomi, adalah serangkaian dari fungsi lain yang tidak dapat

dipisahkan dari sebuah keluarga. Fungsi ini dilakukan dengan cara

mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,

pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan

keluarga, dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga dimasa

datang.

8. Fungsi pembinaan lingkungan.

Untuk dapat mewujudkan 8 fungsi keluarga di atas dibutuhkan

kerja sama serta kesadaran akan tanggung jawab baik dari pihak suami

maupun istri untuk terus melaksanakan fungsi-fungsi keluarga tersebut.

Selanjutnya Mufida Ch juga menjelaskan fungsi dibenuknya

keluarga adalah sebagai berikut:


25

1. Fungi Biologis

Perkawinan dilakukan antaran lain bertujuan agar memperoleh keturunan,

dapat memelihara kehormatan serta martabat manusia sebagai mahluk

yang berakal dan beradab. Fungsi biologis inilah yang dapat membedakan

perkawinan manusia dan binatang, sebab fungsi ini diatur dalam suatu

norma perkwinan yang diakui bersama.

2. Fungsi Edukatif

Keluarga merupakan tempat pendidikan paling dasar bagi semua anggota

keluarganya, dimana orang tua memiliki peran yang sangat penting untuk

menentukan kualitas pendidikan anaknya dengan tujuan untuk

mengembangkan aspek metnal spiritual, normal, intelektual, dan

profesional.

3. Fungsi Religius

Keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral agama melalui

pemahaman, penyadaran dan praktek dalam kehidupan sehari-hari

sehingga pembiasaan ibadah dengan disiplin dan pembentukan

kepribadian sebagai seorang yang beriman sangan penting dalam

mewarnai terwujudnya masyarakat religius.

4. Fungsi Protektif

Keluarga merupakan tempat paling aman untuk dijadikan perlindungan

dari gangguan yang bersifat internal maupun ekstrnal. Yang dimaksud

dengan gangguan internal di sini berkaitan dengan keragaman kepribadian

anggota keluarga seperti adanya perbedaan pendapat dan kepentingan.


26

Adapun gangguan eksternal kelurga biasanya lebih mudah dikenali oleh

masyarakat yang berada pada wilayah publik. Selain itu, keluarga juga

dapat dijadikan sebagai tempat untuk menangkal pengaruh negativ dari

luar.

5. Fungsi Sosialisasi

Fungsi sosialisasi ini sendiri berkaitan dengan mempersiapkan anak

menjadi anggota masyarakat yang baik,maupun memegang norma-norma

kehidupan secara universal baik di dalam keluarga maupun dalam

pergaulan masyarakat yang pluralistik lintas suku, bangsa, ras, golongan,

agama, budaya, bahasa maupun jenis kelaminnya. Fungsi ini diharapkan

anggota keluarga dapat memposisikan diri sesuai dengan status dan

struktur keluarga itu sendiri.

6. Fungsi Rekreaif

Keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukkan dan

melepas lelah dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga.

Fungsi rekreatif ini dapat mewujudkan suasana keluarga yang

menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan menghibur masing-

masing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai,

kasih sayang, dan setiap anggota merasa “rumahku surgaku”.10

Dari fungsi-fungsi yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa

keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter individu

10
Mufida Ch, Pisikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang : UIN Malang
Press, 2008), h. 42-44
27

setiap orang terutama bagi para remaja, sehingga fungsi-fungsi tersebut

harus terus dipelihara, karena jika salah satu fungsi keluarga tidak berjalan

sebagai mana mestinya akan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam

keluarga.

C. Pembinaan Rumah Tangga dalam Mencapai Tujuan Perkawinan

Perkawinan merupakan awal dari kehidupan berumah tangga dan

berkeluarga dimana suami istri harus memahami hak dan kewajiban

masing-masing untuk mewujudkan tujuan perkawinan.

Tujuan perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Undang-

Undang No. 1 tahun 1974 yaitu :

“ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sidi Nazar Bakri menjelaskan bahwa membina pendidikan dan

memberikan pengarahan yang baik dalam rumah tangga berarti telah ikut

memperbaiki sebagian dari masyarakat yang luas secara tidak langsung.11

Rumah tangga adalah kelompok terkecil dari masyarakat, sedangkan

negara adalah kumpulan atau susunan dari masyarkat yang luas. Dari

rumah tanggalah masyarakat itu berkembang dan seterusnya, karena itu

pembinaan dan pengarahan untuk masyarakat yang baik harus dimulai dari

masing-masing rumah tangga.

11
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah), (Jakarta :
Pedoman Ilmu jaya) h.36
28

Dalam mewujudkan rumah tangga bahagia sejahtera banyak hal

yang harus diselenggarakan semenjak dari urusan pribadi suami istri,

urusan anak sampai masalah kebersihan dan pengaturan perabotan

termasuk keuangan dan sebagainya.12 Keberhasilan sebuah keluarga dan

rumah tangga tersebut dihubungkan pula dengan menejemen dan

pengelolaan yang baik.

Keluarga dan rumah tangga adalah pusat segala-galanya bagi setiap

orang baik untuk pendidikan, pembinaan watak dan kepribadian, moral

dan akhlak serta rasa sosial, cinta dan kasih sayang. 13 Tujuan dari

mengatur rumah tangga dengan menejemen yang baik adalah demi

tercapainya apa yang disebut “rumah tangga sejahtera bahagia” atau

kesejahteraan keluarga.14 Jika kita meminjam istilah menejemen modern di

antara prinsipnya adalah menetapkan tujuan dan sasaran yang hendak

dicapai, maka dalam perkawinan Islam tujuan dan sasaranya jelas dan

terang, yaitu :

a. Membina kehidupan keluarga yang rukun, tenang dan bahagia.

b. Hidup cinta-mencintai dan kasih mengasihi.

c. Melanjutkan dan memelihara kehidupan manusia.

d. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan membentengi diri dari

perbuatan maksiat atau dengan kata lain menyalurkan naluri seksual secara

halal.

12
Modul pembinaan keluarga sakinah, (Jakarta : departemen Agama RI ,2000) h. 158
13
Modul pembinaan keluarga sakinah, h.162
14
Modul pembinaan keluarga sakinah, h.167
29

e. Membina hubungan kekeluargaan yang akrab dan mempererat silaturahmi

antar keluarga.

D. Peran Perempuan dalam Membentuk Rumah Tangga Bahagia

Peran individu mempunyai arti penting dalam sebuah sistem sosial,

sebagaimana peran perempuan sebagai individu tidak dapat dipisahkan

dari kehidupan berumah tangga, karena secara individu keberadaannya

merupakan bagian dari kebutuhan dalam sebuah rumah tangga.

Posisi perempuan dalam Islam, pada dasarnya sejajar dengan kaum

laki-laki dalam berbagai masalah kehidupan, sesuai dengan kodratnya

masing-masing. Tugas dan tanggungjawab perempuan dalam rumah

tangga misalnya, terutama peran seorang istri yang harus ikut mendukung

keberhasilan tugas-tugas suami sebagai pemimpin keluarga.

Sesuai dengan kodratnya perempuan memiliki keterbatasan

dibandingkan laki-laki, namun dari keterbatasan tersebutlah terdapat

keistimewaan perempuan yang tidak dimiliki laki-laki, misalnya menurut

Yusuf Qaradhawi, perempuan telah disiapkan Allah memiliki perasaan

yang sensitif untuk mendukung tugas-tugas keibuannya, ada jabatan-

jabatan penting yang tidak diberikan Allah kepada wanita seperti jabatan

kenabian dan kerasulan. Akan tetapi, bukankah yang melahirkan para nabi

dan rasul adalah kaum wanita ? begitu terhomatnya Maryam, ibunda Nabi

Isa as, sehingga disebutkan dalam al-Qur’an sebagai wanita shalehah dan

bertakwa. Demikian pula Asiah dan Mashita, wanita pejuang di zaman


30

Fir’aun, serta Khadijah dan Aisyah di zaman Nabi Muhammad SAW,

adalah figure wanita-wanita mulia.15

Agama Islam memberikan petunjuk mengenai keluarga bahagia

(sakinah mawaddah warahmah) diantarnya ialah tercurahnya rahmat

Allah, terealisasinya motif dasar kehidupan, kemampuan menyelaesaikan

konflik, berikhtiar dan bersyukur serta adanya kedudukan yang jelas dalam

keluarga.16

Rumah tangga sebagai kerajaan kecil dari suatu keluarga, memang

sudah selayaknya dipimpin oleh seorang pria, namun derajat

kepemimpinan pria atas wanita bukanlah derajat kemuliaan, melainkan

lebih kepada derajat tanggungjawab dan tugas secara fungsional sebagai

kepala keluarga.17

Adapun fungsi dan tugas atau peran perempuaan sesuai dengan

kodratnya adalah :18

1. Sebagai Kepala Rumah tangga

Perempuan (Istri) adalah pemimpin dalam urusan rumah tangga,

sedangkan suami adalah pemimpin dalam urusan keluarga, hal ini sesuai

dengan hadits Rasulullah saw19 :

15
Hasan M. Noer (ed), Portet Wanita Shalihah, (Jakarta : Penamadani, 2004), h.4-5
16
Huzaemah T yanggo, Hukum Keluarga dalam Islam, (Jakarta : yayasan Indonesia
Baru,2013), h. 96
17
Hasan M. Noer (ed), Portet Wanita Shalihah, (Jakarta : Penamadani, 2004) h.5
18
Hasan M. Noer (ed), Portet Wanita Shalihah, h.6
19
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz II, (Beirut : Darulkitan al Arabi :1422) h.5
31

: ‫عهٍَِّْ َٔسََهىَ ٌَقُٕ ُل‬


َ ُّ ‫صهَى انَه‬
َ ِّ َ‫ج َرسُٕلَ انه‬
ُ ْ‫عًَرَ ٌَقُٕلُ سَ ًِع‬
ُ ٍَ‫َأٌَ عَ ْب َذ انهَِّ ْب‬

‫ج ُم‬
ُ َ‫عٍَ ِخِّ َٔانر‬
ِ ‫عٍْ َر‬
َ ‫عٍْ َرعِ ٍَ ِخ ِّ انْإِيَب ُو رَاعٍ َٔ َيسْئُٕ ٌل‬
َ ‫ُكُه ُكىْ رَاعٍ َٔ ُكُه ُكىْ َيسْئُٕ ٌل‬

‫عٍْ َرعٍَِخِِّ َٔانًَْرَْأ ُة رَاعٍَِ ٌت فًِ بٍَْجِ زَ ْٔجَِٓب َٔ َيسْئَُٕن ٌت‬


َ ‫ع فًِ أَْْهِ ِّ ََُْٕٔ َيسْئُٕ ٌل‬
ٍ ‫رَا‬

)‫عٍْ رَعٍَِخِ ِّ (رٔاِ انبخبري‬


َ ٌ‫عٍْ َرعٍَِخَِٓب َٔا ْنخَب ِدوُ رَاعٍ فًِ يَبلِ سَ ٍِ ِذ ِِ َٔيَسْئُٕل‬
َ

Artinya : Bhwa sesungguhnya Abdullah Ibn Umar berkata. Aku


mendengar Rasulullah saw, beliau bersabda : “ Kalian adalah
pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin dan dia
akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya, seorang suami
adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas keluarganya, demikian pula seorang isteri
adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya dan akan dimintai
pertanggung jawaban atasnya. Dan seorang khadim (pembantu)
adalah pemimpin atas harta tuannya dan dia akan dimintai
pertanggungjwaban atas kepemimpinananya. ” (HR. Bukhari )

Perempuan dengan kelemah lembutannya sebagai ibu rumah tangga

dapat berperan sebagai faktor penyeimbang kaum pria dalam kehidupan

keluarga. Wanita dapat mengerjakan apa yang tidak dapat (sempat)

dikerjakan oleh pria, seperti mengatur urusan rumah tangga memasak

mengasuh, mendidik anak-anak dan menyiapkan keperluan suami maupun

anak-anaknya, dan sebagainya.

Fungsi dan tugas dalam urusan rumah tangga ini bisa saja

didelegasikan kepada orang lain (asisten rumah tangga atau pembantu),

namun tetap berada dalam koordinasi dari sang istri. Alangkah bahagianya

sebuah rumah tangga saat suami istri dapat menyerasikan dan

menyeimbangkan tugas kerumah tanggaannya dengan penuh kepedulian

dan kasih sayang.


32

2. Sebagai Ibu dari Anak-anaknya

Bagi seorang perempuan yang menikah, rasanya belum sempurna

statusnya sebagai seorang istri bila belum memiliki anak. Hamil dan

melahirkan adalah anjuran agama. Sebagaimana hadits Rasulullah saw20 :

ٍّ‫صهى اهلل عه‬- ‫ى‬ ِ ِ‫ٍ ٌَسَبرٍ قَبلَ جَبءَ َرجُ ٌم إِنَى انَُب‬ ِ ‫ٍ َيعْقِمِ ْب‬ ْ‫ع‬ َ َ‫ٍ قُ َرة‬ ِ ‫ٍ ُيعَبٌَِٔ َت ْب‬ ْ‫ع‬ َ
,‫ ال‬:‫ب َٔجًََبلٍ َٔإِ ََٓب الَ َحِه ُذ أَ َفأَحَسَ َٔجَُٓب قَبل‬ٍ َ‫حس‬َ َ‫ج ايْرََأ ًة رَاث‬ ُ ْ‫ فَقَب َل إَِِى َأصَب‬-‫ٔسهى‬
‫ حَسَ َٔجُٕا انْ َٕدُٔدَ انْ َٕنُٕدَ فَإَِِى ُيكَبثِرٌ ِب ُك ُى‬:‫ُث َى أَحَب ُِ انّثَبَِ ٍَتَ فَََُٓب ُِ ُثىَ أَحَب ُِ انّثَبنِ َّثتَ فَقَبل‬
)‫ا ُأل َيىَ (رٔاِ ابٕدأد‬

Artinya : Dari Muawwiyah bin Qurrata dari Ma’kul bin Yasari


berkata: telah datang seorang laki-laki menemui Nabi saw kemudian
berkata : aku menyukai seorang perempuan terpandang, cantik, dan
dia tidak mempunyai keturunan, bolehkan menikahinya, Nabi berkata :
tidak, kemudian datang lagi pada kali yang kedua dan Nabi melarang,
kemudian datang lagi pada yang ketiga kalinya, kemudian Nabi
Bersabda : “menikalah dengan wanita yang penuh cinta kasih dan
banyak melahirkan keturunan, karena sesungguhnya aku merasa
bangga dengan banyaknya jumlah kalian” (HR. Abu Daud)

Saat umat Islam sudah banyak, maka hadits ini tidak harus

dimaknai secara kuantitatif tapi lemah secara kualitatif, yaitu tidak sekedar

banyak secara kuantitatif tapi lemah secara kualitatif. Lebih baik sedikit

berkualitas dari pada banyak tak berkualitas dan lebih baik lagi jika

banyak dan berkualitas.

Sesuai kodratnya perempuan tidak cukup dengan hanya hamil dan

melahirkan saja, perempuan juga ikut bertanggung jawab untuk mendidik

anak-anaknya dengan baik agar ia cerdas dan berahlak baik, sehingga

20
Abu Daud, Sunan Abi Daud, juz II, (Beirut : Darulkitan al Arabi, t.th) h.175
33

menjadi manusia yang berkualitas. Anak cerdas dan berbudi pekerti baik

tidak mungkin akan hidup terlantar dan menjadi beban bagi orang lain di

kemudian hari. Sebagaimana Firman Allah :

‫ال‬
ً ْ‫عَليْ ِهنْ َفلْ َيتَقُىا اهللَ َولْيَقُىلُىْا قَى‬
َ ‫ضعَافًا خَافُىا‬
ِ ً‫خلْ ِفهِنْ ُرسِيَة‬
َ ْ‫َولْ َيخْشَ الَزِيْيَ لَىْ َتشَكُىْا هِي‬

)9:)4(‫(الٌساء‬.‫س ِذيْذًا‬
َ

Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang


seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu
hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. (Qs. An-Nisaa (4): 9).

Dalam sebuah rumah tangga diperlukan seorang penanggungjawab

utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya pada usia

balita. Di sinilah mengapa agama (Islam) menoleh perempuan sebagai ibu,

memiliki keistimewaan. Perempuan sebagai ibu mempunyai sifat-sifat

kasih sayang, ulet dan telaten dalam mendidik putra-putrinya pada

umumnya.21

Meskipun demikian, peran ibu dalam pendidikan ini dapat

digantikan orang lain (misalnya ayahnya), sebab mendidik anak

merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap orang tua

(ayah dan ibu).22

21
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Jakarta : el-Kahfi,
2008, h. 302.
22
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 303.
BAB III

POTRET KESULTANAN BUTON SULAWESI TENGGARA DAN KOTA

BAUBAU

A. Sejarah Kesultanan Buton

Kerajaan/Kesultana Buton yang menurut cerita rakyat setempat

didirakan oleh imigran dari Johor dan Sumatra yang telah lama menjalin

kontak kekuasaan dengan daerah atau kerajaan-kerajaan lain sekitarnya.

Para imigran itu terdiri dari Sipajonga, Simalui, Sitamananjo, dan

Sijawangkti. Dalam masyarakat Buton mereka dikenal dengan sebutan

“mia patamiana”, yang berarti “yang empat orang”.

Kesultanan Buton merupakan sebuah kerajaan di Nusantara yang

hidup dari abad ke-14. Sebelum Islam diterima sebagai agama resmi,

ajaran agama Hindu mempunyai pengaruh yang cukup kuat. Raja pertama

sampai raja keenam masih menganut agama Hindu, hingga kemudian raja

keenam bernama Lakaliponto memeluk agama Islam. Ia menerima Islam

pada tahun 848 H atau 1540 M dari seorang muballig yang datang dari

Malaka, bernama Syekh Abdul Wahid. Setelah memeluk Islam,

Lakaliponto diberi gelar “sultan”, dan namanya popular dengan sebutan

Sultan Murhum. Setelah memeluk Islam dan mendapat gelar sultan,

kemudian secara perlahan ditetapkanlah agama Islam menjadi agama

resmi di Kesultanan Buton, yang kemudian secara perlahan mempengaruhi

nilai-nilai kehidupan social kebudayaan masyarakat Buton.

34
35

Dari sultan pertama, Murhum, sampai dihapusnya kesultanan pada

tahun 1960, telah memerintah 37 orang raja yang bergelar sultan. Sebelum

Islam masuk ke Buton, masyarakat Buton sudah teratur dengan kelompok-

kelompoknya sesuai dengan aturan-aturan adat tersendiri. Dimana adat

tersebut merupakan kebiasaan kebiasaan masyarakat setempat yang

mengatur interaksi sesama anggota masyarakat, sistem struktur, sistem

nilai, dan hukum yang kemudian mewujudkan pola perilaku ideal. Kendati

demikian, masyarakat Buton tetap membuka ruang bagi kebudayaan luar

untuk masuk dalam kehidupan mereka.

Keterbukaan masyarakat Buton tersebut memberikan ruang yang

memperlancar usaha para dai’ atau ulama untuk menyiarkan agama Islam,

dan lambat laun menjadi bagian dari adat sehingga berbagai kebiasaan

tumbuh dan berkembang di masyarakat Buton. Banyak hal yang telah

terpadu antara adat kebiasaan leluhur dengan tradisi Islam. Keduanya

berdampingan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini terlihat dalam

pelaksanaan upacara-upacara adat tertentu yang terdapat perpaduan seni

budaya leluhur dan syariat Islam. Adat dan syariat Islam ini yang menjadi

dasar bagi masyarakat Buton.

Masyarakat Buton pada masa kerajaan digolongkan atas tiga

golongan, yaitu : golongan kaumu, walaka, dan papara. Golongan kaumu

dan walaka adalah golongan yang mengendalikan pemerintahan, dan

mereka tinggal di kraton, sedangkan golongan papara adalah rakyat biasa

yang menghuni kadie.


36

Kerajaan/Kesultanan Buton pernah eksis selama 664 tahun

lamanya. Dalam masa itu dipimpin oleh enam orang raja selama 245 tahun

lalu seiring masuknya Islam, berganti menjadi kesultanan selama 419

tahun dengan 38 kali pergantian sultan.

B. Letak Geografis

Wilayah Kesultanan Buton terletak di antara kepulauan Maluku

dan pulau Sulawesi, dimana pusat pemerintahannya terletak di bagian

selatan pulau Buton. Luas wilayah kekuasaan Kesultanan Buton,

berdasarkan informasi dari Ligtoveot, Sekretaris Urusan dalam Negri

Hindia Belanda di Makassar. Ketika berkunjung di Buton pada tahun

1873, ia mencatat wilayah kekuasaan Buton meliputi gugusan kepulauan

di kawasan bagian tenggara jazirah Sulawesi Tenggara, yaitu :

1. Pulau Buton, yaitu sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara

jazirah Suawesi Tenggara yang dibatasi oleh selat Buton.

2. Pulau Muna atau Woena, yang disebut dalam dokumen Belanda

dengan Pancano, yaitu sebuah pulau yang terletak di antara pulau

Buton dan jazirah Sulawesi Tenggara.

3. Pulau Kabaena, sebuah pulau yang terletak di sebelah barat pulau

Muna atau di sebelah selatan jazirah Sulawesi Tenggara.

4. Sejumlah pulau-pulau kecil di dekat pulau Buton dan Muna. Pulau-

pulau ini adalah pulau Tiworo, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil yang

terletak di selat Tiworo, pulau Makassar atau Liwotu yang terletak di


37

selatan Buton, pulau Kadatua, Masiring dan Siompu yang terletak di

sebelah barat daya pulau Buton, pulau Talaga Besar dan Talaga Kecil

yang terletak di sebelah selatan pulau Buton.

5. Sejumlah Pulau yang berjejer di sebelah tenggara pulau Buton yang di

kenal dengan kepulauan Tukang Besi yang terdiri dari pulau wengi-

wengi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.

6. Poleang dan Rumbia yang terletak di daratan jazirah Sulawesi bagian

tenggara, berhadapan dengan pulau Kabaena.

7. Pulau Wawoni yang terletak di sebelah utara pulau Buton.

8. Selain itu masih terdapat sejumlah gugusan pulau-pulau kecil yang

terletak di sela-sela pulau-pulau tersebut di atas yang kurang populer

namanya dan tidak tampak di peta yang merupakan wilyah kekuasaan

Kesultanan Buton.1

Berdasarkan wilayah kekuasaan seperti yang tersebut di atas, maka

dapat ditentukan bahwa batas-batas Kesultanan Buton adalah :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kerajaan Luwu, Laiwui, dan Pulau

Wawoni yang merupakan pengaruh kerajaan Ternate.

b. Sebelah timur berbatasan dengan Laut Banda/Selat Maluku.

c. Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores.

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Bone.

1
A. lightvoet, Beschrijving en Geschi edenis van Boeton, dalam BKI, Vol. 26, s-
Gravenhage, Martinus Nijhoff, h.1-5.
38

Dengan demikian, wilayah Kesultanan Buton tersebut terletak pada

121,40o Bujur Timur dan 124,50o Bujur Timur serta 4,2o Lintang selatan

dan 6,20o Lintang Selatan.2

Adapun letak geografis Kota Baubau secara astronomis terletak di

bagian selatan garis khatulistiwa di antara 5.21o –5.33o Lintang Selatan

dan di antara 22.30°-122.47° Bujur Timur. Berdasarkan letak

geografisnya, Kota Baubau memiliki batas-batas sebagai berikut : Utara

berbatasan dengan Kabupaten Buton, Selatan berbatasan dengan

Kabupaten Buton Selatan, Timur berbatasan dengan Kab. Buton dan

sebelah barat berbatasan dengan Selat Buton.3

C. Kondisi Demografis

Bila dilihat dari segi etnis maka kota Baubau memiliki penduduk

yang homogen yakni mayoritas penduduknya adalah suku Buton. Hal ini

dikarenakakan kota Baubau merupakan pusat pemerintahan kesultanan

Buton pada masa itu. Adapun penduduk beretnis selain suku Buton yang

sudah menetap di kota Baubau disebabkan faktor perkawinan atau tugas

Negara.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik kota

Baubau tahun 2015, jumlah penduduk yang berdiam di daerah ini pada

2
Susanto Zuhdi dkk, Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara : Kesultanan Buton,
(Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996),h.6
3
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, (Baubau : CV. Kainawa Molagina 2016), h.2
39

tahun 2010 berjumlah 136.981 jiwa. Pada tahun 2015 jumlah penduduk

kota Baubau meningkat menjadi 154.877 jiwa, yang terdiri dari laki-laki

76.395 jiwa dan perempuan 78.482 jiwa, dengan demikian dalam lima

tahun penduduk di kota Baubau bertambah sebanyak 17.906 jiwa atau

sama dengan 13,06%.4

D. Keadaan Ekonomi

Pada dasarnya setiap manusia selalu berusaha untuk meningkatkan

taraf hidupnya. Demikian halnya dengan masyarakat kota Baubau, dalam

meningkatkan sumber pendapatan, masyarakat menggeluti berbagai

bidang penghidupannya yang bersumber dari berbagai kegiatan sebagai

mata pencaharian masyarakat sehari-hari, namun demikian angka

pengangguran di kota ini masih sangat tinggi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, jumlah

angka kerja kota Baubau 2015 sebesar 70.332 orang, dengan jumlah yang

bekerja sebesar 65.292 orang dan menganggur sebanyak 5.040 orang.

Tingkat Pengangguran di Kota Baubau sebesar 7,17 persen, sedangkan

tingkat partisipasi angkatan kerja sebesar 66,40 persen.5

4
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, h. 52-53
5
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, h.65
40

E. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

perkembangan sumber daya manusia. Searah dengan kebijakan yang

digariskan bahwa pendidikan mengupayakan adanya perluasan dan

pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Kota Baubau

merupakan Daerah yang memiliki jumlah sarana pendidikan yang

memadai baik dari jumlah serta kualitasnya,mulai dari taman kanak-kanan,

sekolah dasar sampai sekolah lanjutan.

Dari survei angkatan kerja tahun 2015 diketahui bahwa penduduk

berusia 7 - 24 tahun yang tidak/belum pernah sekolah sebanyak 634 orang,

yang masih bersekolah sebesar 47.054 orang dan yang tidak bersekolah

lagi sebanyak 11.926 orang .6

Jumlah fasilitas pendidikan di tahun 2015 sebanyak 77 sekolah SD

dan MI, 32 sekolah SMP dan MTs, 25 sekolah SMA, SMK dan MA.

Berdasarkan data tahun 2015 dapat diketahui bahwa Jumlah murid SD dan

MI sebanyak 20.486 siswa, SMP dan MTs sebanyak 9.738 siswa dan

SMA, SMK dan MA sebanyak 10.268 siswa.7

6
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, h.88
7
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, h.90
41

F. Keagamaan

Kesultanan Buton merupakan salah satu kerajaan Islam Nusantara

yang terus berkembang dan mempengaruhi kehidupan masyarakat

kesultanan Buton hingga berakhirnya masa kesultanan 1960.

Masyarakat Buton yang mendiami wilayah kota Baubau khususnya

masyarakat kelurahan Murhum pada umumnya menganut agama Islam

sebagai pengaruh pemerintah ekskesultanan yang juga masyarakatnya

dominan menganut agama Islam.

Pada Tahun 2015 terlihat jumlah sarana peribadatan di Kota

Baubau sebanyak 164 buah yang terdiri dari masjid 114 buah, mushala 36

buah, gereja katholik 1 buah, gereja protestan 5 buah dan pura/vihara 8

buah.8

G. Keadaan Sosial Budaya

Secara historis, Buton masa lalu merupakan sebuah kesultanan

dengan kota Baubau sebagai pusat pemerintahannya sehingga sistem

kekerabatan, stratifikasi sosial dan bahasa daerah masih berlaku.

Sistem kekerabatan biasanya bersifat parental (kebapak-ibuan),

meskipun ada kecenderungan patrineal. Hak dan kewajiban suami istri dalam

rumah tangga pada prinsipnya adalah sama, meskipun peran suami kadang

lebih dominan untuk menafkahi dan istri mengurus rumah tangga. Anak laki-

8
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau Dalam Angka :Baubau
Municipality in figures 2016, h.110
42

laki dan perempuan memiliki nilai yang sama, begitu pula hak dan mewajiban

mereka dalam rumah tangga, adapun sikap anak terhadap orang tua dan

keluarga lainnya bersifat bebas, tetapi dalam pertemuan adat atau di tempat

umum berlaku tata tertib adat, dimana anak harus menghormati orang tua.

Dalam pergaulan kekerabatan karena perkawinan, sesorang memiliki

hubungan bebas terhadap kerbat dari suami maupun sebaliknya serta suami

dan istri harus memiliki rasa hormat terhadap mertua.9

Stratifikasi sosial pada masyarakat Buton khususnya kota Baubau

bersifat vertikal yang tediri dari kaomu (golongan bangsawan) sebagai

stratifikasi pertama dan walaka yang juga masih termasuk rumpun elit yang

merupakan stratifikasi kedua, serta papara yang terakhir. Setiap lapisan sosial

yang dimaksud mempunyai hak dan kewajiban yang bebeda terutama pada

masa kesultanan. Golongan kaomu mempunya kedudukan yang lebih tinggi

seperti sultan, sapati, kanepu maupun lakina. Golongan walaka sebagai

golongan kedua juga memegang jabatan dalam pemerintahan seperti bonto

ongena (perdana mentri besar) dan bonto lainya dan sekaligus sebagai badan

legislatif. Baik golongan kaumu dan walaka berkedudukan di keraton,

sedangkan golongan papara adalah masyarakat biasa.

Sebagian wilayah kepulauan, Buton memiliki rumpun bahasa yang

sangat banyak. Hasil identifikasi sementar menyebutkan tidak kurang dari 40

jenis bahasa yang digunakan di Buton. Meski demikian terdapat bahasa induk

9
Yusniar Razak, “Kedudukan Perempuan (Bhisa) Dalam Tradisi Perkawinan Adat
Buton”(Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Dayanu Ikhsanuddin
Baubau, 2014), h.40
43

yang dahulunya merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Buton yaitu bahas

Wolio.10 Pada masyarakat kota Baubau khususnya kecamatan Murhum dalam

pergaulan sehari-harinya menggunakan bahasa Wolio sebagai bahasa daerah,

namun secara umum masyarakat menggunkan bahasa Indonesia sebagai

bahasa persatuan.

H. Sistem Ritual

Manusia dalam kehidupannya sangat lekat dengan masa peralihan.

yakni dilahirkannya ke muka bumi, menjadi remaja atau proses menjadi

dewasa, kemudian dewasa dan menikah selanjutnya kematian yang dikenal

dengan lingkaran hidup (life circle). Masing-masing mempunyai upacara

tersendirinya, dimulai dari upacara yang dilakukan untuk seorang ibu yang

sedang mengandung, upacara kelahiran seorang bayi, upacara akil baligh,

kemudian upacara pernikahan dan upacara kematian. Semuanya dilakukan

secara bertahap sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam suatu etnis.

Masyarakat Buton sendiri memiliki sistem ritual sebagai

uangkapan religi mereka, Muhammad Alifudin dalam bukunya Islam Buton

membagi sistem ritus yang berkembang dalam kehidupan social budaya

masyarakat Buton secara general menjadi dua hal pokok yaitu :

1. Sistem kepercayaan yang secara utuh berasal dari ajaran Islam yang

meliputi ajaran yang tertuang dan tergambar dalam rukun Iman.

Kepercayaan ini meliputi keyakinan tentang Tuhan yaitu Allah SWT dan
10
Muhammad Alifudin, Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), (Jakarta :
Badan Litbang dan Diklat Depertemen Agama RI, 2007), h. 47
44

mahluk-Nya yang memegang fungsi tertentu seperti malaikat dan para

nabi. Selain itu kepercayaan akan adanya kehidupan sesudah mati dan

mahluk-mahluk ghaib lainnya.

2. Kepercayaan alamiah atau kepercayaan warisan dimana kepercayaan ini

terbentuk dari sistem kepercayaan yang lahir dan tumbuh di tengah

masyarakat dan merupakan kepercayaan pra Islam yang kemudian

dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu :

a. Sistem kepercayaan yang bersumber dari nilai-nilai pra Islam tetapi

telah diintrepretasi ke dalam Islam.

b. Sistem kepercayaan yang secara utuh masih merupakan nilai-nilai pra

Islam.11

Selanjutnya dari dua sistem ritus diatas dalam prakteknya di

masyarakat dibagi lagi menjadi tiga kelompok sebagai berikut :

1. Kelompok ritual sehari-hari yang berasal dari ajaran Islam atau rukun

Islam yaitu sahadat, ritual bersuci, sembahyang yang menurut La Ode

Muchiru dalam sara Patanguna menulis bahwa tradisi Buton masa lalu

mengenal empat bagian salat yaitu : salat al-nafs atau salat al-jasad, salat

jama’ah, salat al-wusta, dan salat azmi. Kemudian puasa, zakat, dan haji.

2. Kelompok ritual peralihan yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat

Buton, baik yang bersumber dari ajaran Islam atau yang diduga bersumber

dari ajaran Islam yaitu, Haro’a, ritual perkawinan yang terdiri dari

tunangan dan perjodohan (pobaisa), upacara perkawinan, akad nikah,

11
Muhammad Alifudin, Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), h. 374-375
45

Akomata atau bersanding, mandi kembang, adat menetap di rumah mertua,

perceraian serta warisan. Selanjutnya Hamil dan melahirkan yang di

dalamnya terdiri dari ritual kehamilan, Aqidah dan upacara lainnya pasca

kelahiran. Kemudian ritual tandaki atau posusu, upacara pingitan atau

posuo, serta ritual kematian yang terdiri dari penyelenggaraan jenazah,

pemakaman, tahlilan, dan alo atau doa. Ritual bersih desa atau do’a tolak

bala.

3. Kelompok ritual berulang tetap yang merupakan yang secara periodik

telah terjadwal yaitu ritual Muharram, ritual Safar atau sampuana uwena

safara, ritual Rabiul Awal atau Maulid Nabi, ritual Sya’ban, haro’a

Rajab, ritual Ramadhan yang terdiri dari haro’a dan ziarah kubur, puasa,

dan tarwih di Keraton, serta ritual Syawal.12

Pembagian sistem ritual secara umum dan prakteknya ini

merupakan sistem yang sama dalam hal kepercayaan maupun upacara

Keagamaan yang masih menjadi tradisi yang terus berlangsung di masyarakat

Buton hingga sekarang.

12
Muhammad Alifudin, Islam Buton (Interaksi Islam dengan Budaya Lokal), h.209-309.
BAB IV

RITUAL POSUO ADAT BUTON DAN TINJAUANNYA DALAM HUKUM

ISLAM

A. Makna dan Prosesi Rirual Posuo Adat Buton

Posuo menurut bahasa berasal dari kata po dan suo, po merupakan

sebuah awalan yang mengandung makna sebagai pembentuk kata kerja

yang menyatakan berada dalam suatu keadaan atau singkatnya disebut

“ber”, sedangkan suo artinya ruang belakang.1 Menurut adat, posuo

adalah istilah untuk menunjukan suatu prosesi upacara peralihan status

individu (wanita); dari status gadis remaja (kabuabua) ke status gadis

dewasa (kalambe),2 atau disebut juga aposuoakoe. Dalam penelitiannya

Engku menyatakan bahwa pengertian posuo adalah suatu upacara adat

istiadat tradisional yang dilaksanakan oleh orang tua kepada anak gadisnya

yang sudah memesuki alam dewasa untuk mendapatkan gemblengan fisik

dan mentalnya, sehingga matang dalam kehidupan berumah tangga.3

Selain itu, Alifudin menjelaskan bahwa posuo adalah salah satu

ritual peralihan yang masih sering dilakukan oleh masyarakat Buton

hingga sekarang. Dalam pengertian yang lebih lazim pada masyarakat

Indonesia, Posuo bermakna “pingitan” yaitu suatu tradisi yang diwarisi

turun temurun dimana seorang anak gadis yang telah melalui proses ritual
1
Wawancara Pribadi dengan H. ML. Raziluddin, Baubau, 04 Agustus 2016.
2
M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (Bau-bau
:Penerbit Respect, 2011) h. 250.
3
Iskandar Engku, Masalah PosuoBagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton, (Baubau : Institut Agama Islam Negri Alaudin Ujung Pandang, 1982),
h.9.

46
47

ini hampir seluruh kebebasannya telah dibatasi yang dikenal dengan istilah

kalambe.4

Tinjauan historis ritual posuo merupakan sebuah tradisi turun

temurun yang telah dan masih berlangsung hingga sekarang, dimana

dalam tradisi masyarakat Buton sendiri dikenal dengan tiga jenis posuo

yaitu posuo Wolio yaitu ritual pingitan berdasarkan adat asli Wolio yang

sudah belangsung sejak zaman nenek moyang orang Wolio, posuo Johoro

yaitu pingitan berdasarkan tradisi Johor-Melayu mengingat secara historis

kerajaan Buton (sebelum menjadi Kesultanan) didirikan oleh imigran dari

Johor-Melayu yang dikenal dengan mia patamiana, dan posuo Arabu yang

pertama kali diperkenalkan oleh Kinepulu Bula (Syekh Haji La Ode Abdul

Ganiyu) yang merupakan seorang ulama besar dimasa Sultan La Ode

Muhammad Idrus Qaimuddin Al-Butuny, Sultan Buton kedua puluh dua.5

Syekh Haji La Ode Abdul Ghaniyu juga dikenal di Mesir dan Magribi

(Tunisia) sebagai Mufti Zawawi.6 Beliau melakukan modifikasi tatacara

posuo dengan menghilankan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan nilai-

nilai Islam dari posuo Wolio. Posuo modifikasi inilah yang kemudian

disebut posuo Arabu (posuo Arab) yang dipandang sebagai

4
M. Alifudin, Signifikansi Upacara Siklus Posuo Dalam Membangun Semesta
Kepribadian Remaja Wanita Pada Masyarakat Buton, Al-Izzah X, no. 1 (Juli 2015): h.4
5
Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
6
M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (Bau-bau :
Penerbit Respect, 2011) h. 251.
48

pengejawantahan dari rukun Nabi Ibrahim seperti halnya bersunat/khitan

(tandaki).7

Masyarakat Buton memilki kecenderungan yang masih kental

dengan ritual adat yang dipadukan dengan ajaran Islam. Hal ini terlihat

pada proses ritual posuo yang dimulai dengan pembacaan salawat

(maludu) yang berisikan tentang puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw

yang bertujuan sebagai suatu pembuka jalan bagi para gadis sebelum

menuju kehidupan baru sebagai gadis dewasa. Adapun unsur adat berupa

alat dan bahan-bahan yang digunakan serta setiap bacaan yang dilafalkan

oleh para bhisa ketika memandikan para peserta, yang berupa permohonan

izin kepada roh-roh halus (Sumanga) agar tidak mengganggu jalannya

ritual tersebut, Sehingga prosesi ritual posuo dapat dilaksanakan dengan

lancar.

Ritual posuo yang diadakan khusus bagi para gadis remaja ini

diawali dengan persiapan oleh para keluarga yang akan mengadakan posuo

dengan musyawarah dalam keluarga, selaku penyelenggara acara keluarga

ini bisa berupa keluarga tunggal (satu keluarga) untuk satu peserta saja

ataupun kolektif yang terdiri dari beberapa keluarga. Adapun hal yang

dimusyawarahkan berkaitan dengan kebutuhan dan personalia dalam ritual

nanti. Musyawarah ini pun dilakukan jauh sebelum pelaksanaan ritual

tersebut untuk menentukan tanggal dan bulan pelaksanaan serta berapa

7
M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, h. 250.
49

hari ritual ini akan diselenggarakan juga siapa saja dari keluarga yang

akan diundang.

Setelah musyawarah, dilanjutkan dengan persiapan perlengkapan

untuk posuo seperti ruangan belakang yang akan digunakan (suo), pakaian

untuk peserta posuo, para penabuh gendang (poganda),8 rempah-rempah

untuk luluran peserta yaitu kunyit dan beras yang sudah dihaluskan, juga

air untuk mandi peserta yang berasal dari 8 sumber mata air yaitu uwe

kanakea (kelurahan Nganganaumala), uwe topa ogena (kelurahan Bone-

bone), uwe kasilea, uwe mardadi (kelurahan Baruta), uwe bhatu poara

(Kelurahan Wameo), uwe piri mahammah (kelurahan Wajo), uwe dhete

(kelurahan Melai), uwe moko atau uwe waramusio (kelurahan

Kadolomoko), jika air yang bersumber dari 8 mata air itu sulit didatangkan

maka sebagai gantinya digunakan air yang bersumber dari sungai yang

mengalir, serta mempersiapkan jamuan untuk para tetamu yang datang

selama berlangsungnya prosesi ritual posuo.

Selain persiapan di atas, pihak keluarga atau penyelenggara juga

menghubungi bhisa (tokoh adat) dalam hal posuo ini yaitu menghubungi

bhisa bawine (tokoh adat perempuan) yang akan memandu para peserta di

dalam suo nanti selama berlangsungnya posuo. Peserta tidak

diperbolehkan berinteraksi dengan dunia luar, baik kelurga maupun

lingkungan sekitar. Mereka akan diasingkan selama hari pelaksanaan

posuo yang telah di tentukan dalam musyawarah. Kumpulan bhisa bawine

8
Penabuhan gendang dalam ritual Posuo hanya dilakukan bagi golongan koumu
sedangkan bagi golongan walak tidak ada penabuhan gendang.
50

yang dipanggil diyakini berasal dari kumpulan orang yang pandai dan

memiliki citra dan kredibilitas yang baik di tengah masyarakat, yaitu

mereka paham dan mengerti pelaksanaan upacara, ibu-ibu yang

mempunyai keturunan yang baik, yang dibuktikan dengan anak-anak yang

sukses dan ibu-ibu yang berasal dari keturunan pejabat pemangku adat.9

Pelaksanaan posuo terdiri dari tiga sesi yaitu molano tangia

(malam isak tangis), bhaliana yimpo dan matana karia. Ritual posuo

diawali dengan pauncura atau pengukuhan peserta oleh bhisa senior yang

disebut dengan parika dengan membakar dupa atau kemenyan yang

kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa dan menyapukan asap dupa

ke badan para peserta posuo (phanimpa) setelah itu diumumkanlah perihal

pelaksanaan posuo dan nama-nama peserta yang akan diposuo serta

aturan-aturan dalam suo nanti. Setelah nama-nama peserta disebutkan,

para peserta mulai terdiam dan kemudian mulai menangis bagi yang tidak

menangis akan dicubit atau di pukul di bagian tertentu hingga menangis

karena menurut mitos jika ada peserta yang tidak menangis, maka ada

pertanda buruk untuk masa depannya10. Ada juga beberapa peserta yang

mengatakan menangis karena bahagia akan terlaksananya ritual ini sebagai

tanda telah lepas satu tanggung jawab orang tua dan telah berusaha

melaksanakan ritual ini.11 Inilah sesi pertama yang disebut molano tangia

atau malam isak tangis. Sejalan dengan tangis peserta para penabuh

gendang juga menabuh gendang disertai nyanyian salawat (maludu) untuk


9
Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
10
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Mulima, Baubau, 29 juli 2016.
11
Wawancara Pribadi dengan Kiki Masria, Baubau, 20 juli 2016.
51

mengiringi isak tangis peserta. Kemudian ditutup dengan haroa dan

makan bersama. Untuk hari pertama gendang ditabuh semalaman penuh

tanpa henti sedangkan hari berikutnya gendang ditabuh sesuai dengan

aktifitas para gadis yang diposuo seperti saat mereka makan, mandi serta

meluluri badan dengan bedak dari kunyit dan beras.

Ritual posuo dilaksanakaan selama 4 sampai 8 hari, dimulai

dengan malona tangia (malam isak tangis) kemudian dilanjutkan pebhaho

(mandi) untuk membuang sial. Adapun di hari-hari berikutnya peserta

diphanimpa dengan memberi sapuan asap dupa kepada peserta dua kali

sehari pagi dan sore, kemudian diajarkan mengenai merawat diri (luluran)

dan diberi nasihat-nasihat mengenai etika, moral dan tingkah laku.

Sesi kedua yaitu bhaliana yimpo yang merupakan perubahan gerak

atau posisi yang berlangsung pada hari ke 4 malam ke 5 (bagi yang

melaksanakan 8 hari) atau pada hari ke dua malam ke 3 (bagi yang

melaksanakan 4 hari) dimana peserta yang semula posisi tidur kepala

menghadap ke selatan dan kaki ke utara menjadi kepala kearah barat dan

kaki kearah timur begitu pula dengan lulur yang digunakan dimana

sebelumnya menggunakan kunyit diganti dengan beras yang sudah

dihaluskan.

Sesi terakhir dari ritual posuo adalah matana karia yang

merupakan puncak acara sebagai upacan selamat dari para keluarga,

kerabat dan sahabat serta para tetamu undangan sebagai tanda berakhirnya

posuo dan memandakan gadis yang telah diposuo sudah menjadi gadis
52

dewasa. Sesi ini dilaksanakan pada malam terakhir yang diawali dengan

prosesi memandikan peserta (phaebo) dengan menggunakan wadah

buyung yang terbuat dari tanah liat (bhosuo) dan para peserta mandi

dengan kain sarung (timbasa) yang kemudian kain itu tidak bisa digunakan

lagi seumur hidup (biasanya dibuang kelaut) dengan harapan segala dosa

dan noda gadis di masa remaja terbawa sehingga menjadi lebih baik saat

dewasa.12 Khusus bagi peserta yang atau akan siap menikah keesokan

harinya air mandinya dicampur dengan bunga kempaka dan kamboja (uwe

kadu khusus bagi yang akan menikah). Setelah itu para peserta didandani

dengan baju adat buton khusus gadis dewasa (aja kalambe) dan diarahkan

menuju tempat peresmian untuk meresmikan peserta posuo menjadi gadis

dewasa, peresmian ini dilakukan oleh istri pejabat pada masjid Agung

Keraton (moji) dengan megusap debu (tanah) pada telapak kaki peserta,

setelah itu resmilah para peserta posuo menjadi gadis dewasa menurut

adat.13 Pada umumnya setelah selesai peresmian ada juga penyampaian

hikmah posuo kepada tamu undangan dan ditutup dengan perjamuan dan

ucapan selamat serta pemberian hadiah kepada para peserta posuo yang

telah resmi menjadi gadis dewasa.

Gambaran prosesi ritual posuo yang telah diuraikan merupakan

data yang berasal dari hasil wawancara dengan sejumlah tokoh adat baik

moji maupun bhisa bawine dan sejumlah kepustakaan tentang posuo juga

merupakan hasil pengamatan langsung pada acara posuo yang


12
Wawancara Pribadi dengan H. LM. RAzinuddin, Baubau, 04 Agustus 2016.
13
M. Mu‟min Fahimuddin, ed., Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, (Bau-bau :
Penerbit Respect, 2011) h. 263.
53

diselenggarakan oleh Keluarga La Oda, S. Pd dan Keluarga Amran S. Pd

yang berlangsung selama 4 hari.

B. Analisis Tentang Pembentukan Karakter bagi Remaja dalam Ritual

Posuo Menuju Kehidupan Berumah Tangga

Usia Remaja adalah usia yang paling indah bagi setiap orang. Pada

usia remaja umumnya orang sedang mancapai masa penuh idialisme,

penuh harapan, dan angan-angan yang tinggi. Usia penuh emosi dan

perasaan yang peka. Idealisme begitu tinggi sampai kadang-kadang sulit

dikendalikan. Dengan demikian pada usia remaja perlu mendapat

perhatian yang lebih seksama.

Pertumbuhan dan perkembangan fisik yang cepat terjadi pada

remaja, sering kali menimbulkan tanggapan yang berbeda-beda. Ada yang

berpendapat bahwa masa remaja adalah masa penuh persoalan dan

kesukaran, di pihak lain ada yang memandang umur remaja adalah umur

yang paling indah, menyenangkan, dan penuh dengan aneka mukjizat.14

Pada Masa ini ada beberapa perilaku yang menonjol pada sebagian

besar remaja, sehingga orang kemudian sering mengatakan masa remaja

itu sebagai berikut :

14
Zakiah Drajat, Remaja : Harapan dan Tantangan, (T.tp, CV. Ruhama, 2001) h.13
54

1. Masa Penting

Perkembangan fisik yang cepat disertai perkembangan mental yang cepat

pula, terutama pada awal masa remaja. Keadaan ini menuntut adanya

penyesuaian mental dan perlunya sikap, nilai dan minat baru.

2. Masa Peralihan

Peralihan berarti melanjutkan perkembangan dari suatu tahap ke tahap

berikutnya. Segala sesuatu yang terjadi sebelumnya akan terus membekas

pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Pada saat seorang anak

beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, anak-anak harus

“meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kanak-kanak” dan ia harus

mempelajari pola perilaku dan sikap baru sesuai dengan tuntutan pada

masa tersebut.

3. Masa bermasalah

Setiap tahap perkembangan memiliki masalah sendiri, namun masalah

pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak

laki-laki atau anak perempuan terdapat dua alasan bagi kesulitan itu,

pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalahmu sebagian diselesaikan

oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak

berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, kamu ingin menjadi

lebih mandiri atau ingin dianggap sudah mandiri, sehingga kamu mencoba

mengatasi masalah-masalahmu sendiri dan menolak bantuan orang tua

serta guru-guru.
55

4. Masa Perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar

dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika

perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga

berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan

perilaku menurun juga.15

Berkenaan dengan pertumbuhan remaja, dalam Islam ditegaskan

mengenai pentingnya melindungi anak, sebagaimana diungkapkan dalam

hadis yaitu16:

-‫صّلى اهلل عّليو ًسّلم‬- ِ‫ج ِّدهِ قَالَ قَالَ َرسٌُ ُل الَّلو‬ َ ْ‫عن‬ َ ‫عنْ أَبِي ِو‬ َ ٍ‫شعَيْب‬ُ ‫ن‬ ِ ‫عنْ عَمْرًِ ْب‬ َ
‫عشْ ِر‬
َ ُ‫عّلَيْيَا ًَ ُىمْ أَبْنَاء‬
َ ْ‫ن ًَاضْرِبٌُ ُىم‬
َ ‫الةِ ًَ ُىمْ أَبْنَا ُء سَبْ ِع سِنِي‬
َ ‫ّص‬
َ ‫« مُرًُا أًَْ َال َد ُكمْ بِال‬
)‫ن ًَفَ ِرقٌُا بَيْنَ ُيمْ فِى الْ َمضَاجِعِ » (رًاه ابٌ داًد‬ َ ‫سِنِي‬

Artinya : Dari Umar bin Syuaib dari Ayahnya, dari Kakeknya Bekata,
Rasulullah saw bersabda : perintahkanlah kepada anakmu solat pada
tujuh tahun pertama, dan pukulah (didiklah) ia pada usia sepuluh tahun,
dan pisahkanlah tempat tidur mereka”(HR.Abu Daud (

Hadits tersebut lebih tepatnya ditujukan kepada keluarga yang

dalam hal ini adalah orang tua, keluarga memiliki peran penting dalam

pembentukan karakter remaja di masyrakat, karena keluarga adalah

lembaga terkecil dalam masyarakat yang pada gilirannya dapat berperan

membentuk masyarakat sebgaimana yang diharapkan.

15
Direktorat Urusan Agama Islam dan pembinaan Syri‟ah, Tuntunan Keluarga Sakinah
Bagi Remaja Usia Nikah Seri Pisikologi, (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syari‟ah, 2006) h. 36
16
Abu Daud, Sunan Abi Daud, juz I, (Beirut : Darulkitan al Arabi, tth) h.185
56

Salah satu cara membentuk karakter remaja yang baik adalah

dengan menciptakan suasana yang hangat dalam rumah tangga. Keluarga

merupakan benteng pertama dalam filterisasi arus buruk yang menimpa

remaja, namun juga tidak membatasi kretivitas remaja yang bernilai

positif. Selain itu mananamkan dan mensosialisasikan nilai moral yang

baik bagi remaja juga merupakan faktor penting dalam pembentukan

karakter remaja.

Posuo merupakan ritual yang menjadi sistem penanaman nilai-nilai

moral dan pembentukan karakter bagi gadis remaja yang meliputi

komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk

melaksanakan nilai-nilai tersebut, dimana sebelum mereka mengikuti

ritual posuo ada rasa penasaran pada gadis remaja tersebut sehingga

berusaha menjadi lebih baik dan layak untuk diposuo agar bisa menjadi

gadis dewasa yang siap berumah tangga. Adapun unsur pendidikan yang

diajarkan dalam ritual posuo yaitu pendidikan kedisiplinan, pendidikan

kerumah tanggaan, dan pendidikan kemasyaratan17 yang kesemuanya

sangat berpengaruh pada seorang gadis remaja menuju kehidupan berumah

tangga nantinya.

Unsur pendidikan kerumah tanggaan dalam posuo dapat dilihat

dalam praktik pemberian bimbingan oleh para bhisa kepada gadis remaja

17
Iskandar Engku, Masalah PosuoBagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton, (Baubau : Institut Agama Islam Negri Alaudin Ujung Pandang, 1982),
h.27
57

yang sementara menjalani posuo dengan materi pengajaran, antara lain

sebagai berikut :

a. Ketaatan/kepatuhan kepada orang tua (ayah dan ibu)

b. Kesetiaan kepada suami

c. Tatacara melayani suami dengan sebaik-baiknya

d. Pendidikan seksualitas

e. Kehidupan dalam rumah tanagga.18

Dalam ritual posuo diajarkan mengenai pembawaan diri yaitu

palego (pengaturan mengenai gerak saat berdiri) pakole (pengaturan gerak

saat duduk dan berbaring), mengenai nilai-nilai moral dan akhlak, juga

nilai sosial dari makanan yang diawali dengan posipo (disuapi oleh bhisa)

kemudian diajarkan menjaga bentuk tubuh dengan diet yang ketat (makna

secara jelas) dimana peserta hanya boleh makan sedikit yang terdiri dari

nasi dan telur rebus dibagi dua dengan yang memasak yang maknanya

agar bisa berbagi dan makanannya juga ditakar hanya sedikit agar peserta

posuo bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain diluaran sana yang

kadang makan kadang juga tidak (makna tersirat dari makanan yang

sedikit), juga diajari tentang bagaimana merawat diri dengan luluran dan

sejenisnya menggunakan bahan-bahan alami seperti kunyit dan beras yang

sudah dihaluskan.19

18
Iskandar Engku, Masalah PosuoBagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton,h.29
19
Wawancara Pribadi dengan Naasifa, Baubau, 20 juli 2016.
58

Dari hasil penelitian dan mengenai pembentukan karakter pada

gadis remaja, pada umumnya yang paling berperan adalah orang tua,

namun bagi masyarakat Buton, posuo merupakan ritual yang sejak awal

telah membentuk karakter para remaja sebelum menjadi gadis dewasa dan

siap berumah tangga, dimana saat usia remaja para gadis merasa penasaran

tentang posuo sebagaimana diungkapkan oleh beberapa narasumber

mengenai perasaan saat akan diposuo mereka mengaku merasa senang

karena sebelumnya sangat penasaran dengan apa yang akan diajarkan

dalam posuo nanti, sehingga menjaga sikap sebelum diposuo karena

terdapat mitos bahwa ritual posuo merupakan ritual untuk menguji

kesucian (keperawanan) gadis Buton.

Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yang lain juga

yang mengaku sangat senang ketika mengetahui akan diposuo karena dulu

saat remaja mereka sangat penasaran mengenai posuo dan mereka

disugestikan oleh orang tua untuk berperilaku baik agar bisa diposuo.

Selanjutnya saat di dalam ruang suo juga mereka diajarkan

mengenai bagaimana merewat diri, menjaga moral dan tingkah laku

sebagai seorang gadis dewasa, namun saat ditanya apakah mereka

diajarkan kehidupan rumah tangga ada yang mengaku tidak diajarkan, ada

yang mengaku diajarkan secara sersirat melalui ramalan-ramalan masa

depan dan jodoh yang kemudian bagi para narasumber yang berstatus ibu

rumah tangga merasa bahwa apa yang diajarkan dalam posuo itu, termasuk

kehidupan rumah tangga yang hanya secara tersiratpun bagi mereka sangat
59

berdampak kepada keutuhan rumah tangga mereka yang harmonis hingga

kini karena bagi mereka suami mereka adalah takdir yang sudah

diramalkan saat posuo yang awalnya mereka tidak percaya tapi setelah

mengalaminya mereka meyakini adanya kebenaran dari ramalan tersebut

tapi bagi mereka itu sudah takdir dari Allah.

Pengakuan narasumber di atas sejalan dengan penuturan tokoh

agama juga yang menerangkan mengenai adanya pengajaran kehidupan

rumah tangga yang pada umumnya hanya tersirat dan tidak secara

gamblang atau jelas akan tetapi posuo juga menandakan bahwa setelah ini

anaknya sudah dewasa dan bisa diajarkan tentang kehidupan berumah

tangga, jadi ritual posuo hanya sebagai simbol peralihan masa ke dewasa,

karena yang akan mengajarkan kehidupan rumah tangga secara jelas

adalah langsung dari orang tua dan juga menjadi doa bahwa setelah

diposuo anak gadisnya yang sudah dewasa segera menikah.20

Selain itu juga ada penuturan seorang narasumber yang mengaku

diajarkan secara jelas tentang kehidupan rumah tangga saat diposuo yang

kemudian sangat berdampak baik pada kehidupan rumah tangga mereka

seperti pengakuannya sebagai berikut :

“Pada saat posuo saya diajarkan kehidupan berumah tangga karena


kebetulan pada saat itu saya sudah berusia 23 tahun sebagai doa juga agar
saya segera menikah jadi orang tua saya yang meminta langsung kepada
bhisa agar saya diajarkan bagaimana nanti kalau sudah bersuami harus
bersikap dewasa, sabar, harus baik kepada mertua, juga batasan-
batasannya. Jadi ajaran saat diposuo sangat membekas kepada saya. Inti

20
Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
60

dari posuo itu kita diajarkan untuk berbakti kepada orang tua saat gadis
dan kepada mertua jika sudah menikah nanti. Karena perempuan itu saat
gadis dia adalah tanggung jawab orang tuanya dan saat menikah dia adalah
tanggung jawab suami sehingga perempuan harus berbakti pada suami dan
orang tua suami (mertua).”21
Informasi lain yang didapat dari bhisa yang dalam hal ini dua

orang yang dijadikan narasumber, mengaku bahwa Kehidupan rumah

tangga diajarkan dalam posuo tapi hanya secara tersirat melalui pengejaran

moral dan tingkah laku karena itu akan menjadi kebiasaannya hingga

kehidupan berumah tangga tapi tidak diajarkan secara jelas dan rinci

kecuali bagi peserta posuo yang sudah pasti akan menikah setelah ritual

posuo usai atau sudah jelas calonnya melamar hingga setelah posuo

langsung menikah maka diajarkan secara rinci tentang bagaimana bersikap

sebagai seorang istri atau jika orang tua peserta posuo meminta diajarkan

kehidupan berumah tangga dalam posuo kepada bhisa maka akan

diajarkan secara jelas juga.22

Adapun manfaat yang didapat dari ritual posuo secara umum

adalah sebagai pembersih diri bagi seorang gadis untuk menuju kehidupan

dewasa, karena jika tidak posuo rasanya tidak akan lengkap sehingga

posuo merupakan pelengkap gadis untuk sampai ke masa dewasa untuk

kehidupan berumah tangga,23 menurut salah seorang peserta yamg baru

resmi menjadi gadis dewasa (secara adat) menuturkan manfaat posuo

adalah ritual posuo sangat bermanfaat untuk menjadi diri yang lebih baik

21
Wawancara Pribadi dengan Nurjaya, Baubau, 21 juli 2016.
22
Wawancara pribadi dengan Naasifa, Baubau, 20 juli 2016.
23
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Mulima, Baubau, 29 juli 2016.
61

lagi ketika menjadi dewasa,24 dan bagi mereka yang sudah menikah

berpendapat bahwa manfaat posuo adalah untuk menjadikan rasa lebih

percaya diri untuk berumah tangga dan apa yang dulunya kita tidak tahu

menjadi tahu, memahami karakter suami, cara berbicara, sopan santun

kepada suami.25 Selanjutnya diperjelas menurut tokoh agama bahwa

manfaat posuo adalah sebagai pembiasaan bagi para gadis sebelum menuju

kehidupan berumah tangga hingga nanti berkeluarga dan berumah tangga

dan makna posuo adalah untuk mendoakan kebaikan hidup gadis remaja

setelah dewasa nanti semoga menjadi lebih baik. 26

Dari uraian para narasumber di atas sangat jelas disebutkan bahwa

posuo sangat berperan penting dalam pembentukan karakter gadis remaja

yang ada di Buton hingga mereka menjadi gadis dewasa menurut ukuran

adat, yang kemudian secara alami terus terbentuk dan diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari dan selanjutnya menciptakan kematangan fisik

maupun mentar untuk memasuki kehidupan berumah tangga, dan saat

kehidupan berumah tangga nanti rumah tangga tersebut menjadi harmonis

dan menjadi perwujudan dari sebuah tujuan pernikahan yaitu membentuk

keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.

24
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Deviarni, Baubau, 23 Juli 2016.
25
Wawancar Pribadi dengan Nurjaya, Baubau, 21 juli 2016.
26
Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
62

C. Analisis Tentang Kekhususan Perempuan Sebagai Peserta dalam

Ritual Posuo Adat Buton.

Kehidupan rumah tangga menuntut peran penting bagi pihak laki-

laki maupun perempuan untuk berbagi peran dan tugas serta menjadi

tanggung jawab bersama dalam mewujudkan keluarga bahagia, namun

dalam konsep perkawinan tradisional berlaku pembagian dan peran suami

istri dimana segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi

tanggunjawab istri, sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Hal ini

ternyata sesuai dengan konsep Islam dalam rumah tangga dimana

perempuan memiliki peran penting dalam rumah tangga dalam hal

mengurus rumah tangga dan mendidik putra serta putri (anak-anak) yang

membanggakan.

Masyarakat Buton sendiri memiliki konsep perkawinan yang masih

tradisional dimana perempuan lebih banyak mengurus urusan rumah

tangga dan pengasuhan anak, walaupun seiring perkembangan zaman

sudah banyak perempuan yang aktif di luaran rumah seperti mengajar serta

bekerja di lingkungan pemerintah dan mendelegasikan urusan rumah

tangga kepada asisten rumah tangga tetapi tidak melupakan kodratnya dan

fungsinya dalam rumah tangga sehingga menjadikan rumah tangganya

menjadi harmonis dan bahagia.


63

Potret keluarga harmonis dan bahagia yang terlihat dilingkungan

masyarakat Buton tentu tidak serta merta berlangsung begitu saja

melainkan melalui proses pembentukan individu-individunya terkhusus

bagi perempuan karena memiliki peran penting dalam rumah tangga

nantinya. Pembentukan individu tersebut sudah ada sejak zaman kerajaan

yang kemudian berubah menjadi kesultanan dan masih terus berlangsung

hingga sekarang yaitu dengan adanya ritual posuo yang hanya terkhusus

bagi para perempuan, baik pesertanya maupun pendamping yang akan

mengajari mereka selama hari yang telah ditentukan dalam ritual.

Seiring perubahan zaman yang terus berkembang dan menjadi

lebih maju, tidak merubah ritual posuo turun temurun masyarakat yang

dulunya kesultanan Buton hingga menjadi masyarakat eks Kesultanan,

sebagaimana diungkapkan oleh narasumber bahwa tidak ada perbedaan

dalam ritual posuo pada zaman kesultanan dan sekarang karena

masyarakat dan tokoh adat masih terus mempertahankan nilai-nilai luhur

yang ada dalam posuo,27 selain itu narasumber lainnya berpendapat bahwa

Tidak ada perbedaan dalam ritual posuo zaman kesultanan dengan

sekarang, jika ada mungkin dalam segi hari untuk posuo biasanya 4

sampai 8 hari, dulu biasanya masyarakat lebih memilih 8 hari untuk lebih

menambah kesakralan dari ritual posuo tapi sekarang lebih di percepat

menjadi 4 hari karena sekarang banyak yang sekolah dan punya

kepentingan, jadi untuk tetap melestarikan ritual ini kebanyakan


27
Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
64

masyarakat lebih memilih yang 4 hari.28 Selain itu bagi masyarakat Buton

semua gadis Buton harus diposuo sebagaimana diungkapkan semua

narasumber yang sepakat mengatakan keharusan semua gadis Buton

diposuo karena dari sinilah sebuah kehidupan seorang gadis dewasa

(kalambe) dimulai sehingga sebelum memulainya harus terlebih dahulu

diberikan pengajaran-pengajaran dasar yang terus membentuk perilakunya.

Bagi masyarkat Buton sendiri tidak ada kesulitan dalam

pelaksanaan ritual Posuo, baik dari segi persiapan maupun dalam prosesi

ritualnya, sebagaimana penuturan narasumber yang merupakat tokoh adat

bahwa :

“Bagi masyarkat Buton, tidak ada kesulitan dalam pelaksanaan ritual


Posuo karena semua masyarkat berusaha melestarikan budaya Posuo ini
dengan menyelenggarakannya, jika ada kendala dalam hal ekonomi maka
dilaksanakan Posuo satu malam menjelang pernikahan sebagai syarat
terpenuhinya satu siklus (Posuo) sebelum siklus selanjutnya
(perkawinan).”29
Selanjutnya ditambahkan oleh bhisa yang merupakan tokoh adat

perempuan yang langsung mendampingi peserta posuo bahwa “Tidak ada

kesulitan dalam ritual posuo karena sudah merupakan tradisi dan semua

masyarkat paham akan ritual tersebut, paling dalam prosesinya pada saat

malona tangia, kami para bhisa berusaha membuat peserta posuo untuk

menangis karena ada mitos yang mengatakan jika peserta tidak menangis

ada pertanda buruk untuk masa depannya.”30

28
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Mulima, Baubau, 29 juli 2016.
29
Wawancara Pribadi dengan H. ML. Raziluddin, Baubau, 04 Agustus 2016.
30
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Mulima, Baubau, 29 juli 2016.
65

Adapun alasan kekhususan dalam ritual ini yaitu hanya bagi para

gadis atau perempuan saja, menurut peneturunan narasumber adalah

dikarenakan perbedaan keseharian laki-laki dan perempuan dan pola

hidupnya, laki-laki bisa mendapatkannya pelajaran di masyarakat laur

yang luas sedangkan perempuan zaman dulu hanya di rumah dan kalau

keluar harus ada yang menemani.31 Alasan lain juga dikarena Perempuan

mempunyai peran besar dalam rumah tangga nantinya sehingga harus

diajarkan sejak dini segala hal melalui ritual posuo, juga sebagai tanda

bahwa gadis remaja sudah menjadi dewasa sehingga setelah posuo sudah

bisa dilamar.32

Selain itu, Engku dalam penelitian menjelaskan bahwa pada

umumnya gadis-gadis remaja sudah menjadi kebiasaannya untuk

membantu orang tuanya, seperti memasak, menjahit dan sebagainya dalam

pekerjaan rumah tangga, bahkan kadang-kadang mengasuh adik-adinya,

namun suatu kenyataan yang tidak dapat dielahkan bahwa pada umumnya

pula gadis tersebut sering menghabiskan waktunya hanya mengobrol

dengan teman-temannya, bahkan kadang-kadang saling mencelah dan

mengejek satu sama lain. Sikap seperti inilah yang perlu mendapatkan

perobahan setelah mereka melalui upacara posuo yang menjadikan

31
Wawancara Pribadi dengan Naasifa, Baubau, 20 juli 2016.
32
Wawancara Pribadi dengan H. ML. Raziluddin, Baubau 04 Agustus 2016.
66

semakin baiknya pribadi seorang gadis, yang tentu semakin baik pula

kelakuan dan tingkah lakunya dalam praktek kehidupannya sehari-hari.33

Seperti halnya alasan peran yang lebih besar bagi perempuan

dalam rumah tangga maka posuo ibaratnya seperti mengumumkan masa

peralihan seorang gadis dari remaja ke dewasa yang menandakan bahwa

perempuan tersebut sudah bisa menikah, karena pada umumnya

perempuan itu menunggu jadi biasanya kalau seorang gadis sudah diposuo

maka tidak lama lagi akan menikah.34

Dari penelitian yang dilakukan, ternyata ritual posuo sangat

berdampak positif bagi para perempuan di Buton dalam menjalani

kesehariannya yang terus tercermin dalam sopan santun dan budi pekerti

seorang gadis hingga dewasa dan menikah, kemudian membimbing anak-

anaknya seperti bagaimana perilakunya dibentuk sebagai individu yang

berbudi pekerti dalam masyarakat.

Penyelenggaraan ritual posuo bagi gadis remaja memberi pengaruh

besar terhadap perubahan sikap mereka baik fisik maupun mental, serta

dapat meningkatkan kedisiplinan pribadi seorang gadis, sehingga mereka

33
Iskandar Engku, Masalah PosuoBagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton, (Baubau : Institut Agama Islam Negri Alaudin Ujung Pandang, 1982),
h.20
34
Wawancara Pribadi dengan Wa Ode Mulima, Baubau, 29 juli 2016.
67

dapat mengerti status dan kedudukannya dalam rumah tangga dan dalam

masyarakat.35

Akan tetapi hasil penelitian ini berbeda dengan data kongrit yang

di dapat dari Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (BADILAG)

Mahkama Agung tengtang laporan perkara yang diterima dan diputus oleh

Pengadilan Agama Baubau yang menrengkan bahwa selama lima tahun

terakhir ini angka perceraian gugat lebih tinggi dibandingkan dengan

perceraian talak, pada tahun 2012 misalanya, jumlah perkara cerai talak

yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama Baubau sebanyak 79 perkara,

angka ini lebih kecil dibandingkan dengan jumlah perkara cerai gugat

yang kabulkan yaitu sebanyak 225 perkara dan angka perkara cerai gugat

ini terus meningkat pada tahun 2016 yaitu sebanya 244 perkara yang

dikabulkan dibandingkan angka perkara cerai talak yang mengalami

sedikit penurunan yaitu sebanyak 93 perkara yang dikabulkan.36

Hal tersebut menerangkan bahwa kekhususan perempuan sebagai

peserta dari ritual posuo berdampak positif bagi pembentukan karakter

individu para perempuan di Buton, namun belum bisa menekan angka

perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Baubau.

35
Iskandar Engku, Masalah PosuoBagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat Pendidikan di
Kabupaten Dati II Buton, (Baubau : Institut Agama Islam Negri Alaudin Ujung Pandang, 1982),
h.31.
36
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama MA RI, “Laporan Tentang Perkara yang
Diterima dan Diputus-L1PA.8Pengadilan Agama Baubau, Laporan diakses pada 14 Oktober 2016
dari http://badilag.net/rekap-perkara-diterima-dan-diputus.
68

D. Tinjauan Hukum Islam Mengenai Ritual Posuo

Posuo merupakan tradisi masyarakat Buton yaitu pingitang untuk

menandai masa peralihan dari seorang gadis remaja (kabuabua) menjadi gadis

dewasa (kalambe). Dalam syariat Islam tidak ada pembahasan rinci dan jelas

mengenai pengadaan pingitan untuk menandai masa peralihan seorang

individu dari remaja menuju dewasa. Namun pada prakteknya posuo

merupakan tradisi yang sudah berlangsung bahkan sejak pra Islam dan budaya

ini terus dilestarikan oleh masyarkat dan menjadi adat atau kebiasaan,

sebagaimana dalam kaidah fiqih menyebutkan bahwa:

‫العادة محكمة‬

“Adat itu dapat menjadi dasar hukum”

Adat atau dalam istilah ushul fiqh disebut ‘urf yaitu (tradisi) adalah

bentuk-bentuk mu’amalah (hubungan kepentingan) yang telah menjadi

adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah

masyarakat.37 Adat yang dimaksud yaitu kebiasaan yang dalam perbuatan

itu terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharat atau unsur

manfaatnya lebih besar dari unsur mudharatnya serta adat yang pada

prinsipnya secara substansial mengandung unsur maslahat. „Urf sendiri

terbagi menjadi beberapa aspek :

37
Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqih, (Jakarta :PT.Pustaka Firdaus, 2011) h.416
69

a. Dari segi objeknya ‘urf terbagi menjadi 2 yaitu „urf qauly yaitu kebiasaan

berupa ucapan dan „urf amaly yaitu kebiasaan berupa perbuatan.

b. Dari segi cakupannya, urf dibagi menjadi 2 yaitu „urf Aam (umum) dan

„urf Khas (khusus). Urf Aam (umum) yaitu kebiasaan yang telah di

sepakati semua manusia di seluruh Negara misalanya mandi, berpakaian

dan menjaga kebersihan. Sedangkan ‘urf khas (khusus) yaitu kebiasaan

yang di sepakati manusia pada sebagian wilayah, golongan atau penduduk

Negara tertentu, seperti tradisi adat tertentu.

c. Dari aspek keabsahan penilaian baik dan buruknya, ‘urf terbagi menjadi 2

macam, yaitu „urf sahih dan „urf fasid. „Urf sahih ialah sesuatu yang

telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil

syara‟, juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan

yang wajib. Sedangkan ‘urf fasid yaitu apa yang saling dikenal orang, tapi

berlainan dari syariat, atau menghalalkan yang haram, atau membatalkan

yang wajib.

Ulama yang mengamalkan adat sebagai dalil hukum menetapkan 4

syarat dalam pengamalannya:

a. Adat itu bernilai maslahat.

b. Adat itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada

dalam lingkungan tertentu.

c. Adat itu telah berlaku sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
70

d. Adat itu tidak bertentangan dengan nash.38

Kaidah ‘adah muhakkamah’ ini dalam praktisnya mengakui

budaya lokal dan memberikan sinar serta sentuhan keagamaan pada tradisi

tersebut jika bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam suatu ritual budaya,

terdapat nilai lokalitas budaya dan universalitas ajaran Islam yang sudah

bersinergi dan terinternalisir dalam budaya sebagai bukti kepedulian Islam

dalam budaya leluhur dengan strategi Islamisasi budaya, sebagaimana

posuo yang sudah ada sejak zaman pra Islam dan kemudian mengadopsi

ajaran-ajaran Islam dalam pelaksanaan ritualnya, hal ini sesuai dengan

penuturan salah satu narasumber bahwa :

“Setelah adanya kesultanan Buton maka semua ritual dan kebiasaan


masyarakat Buton baik di lingkungan keraton maupun di masyarakat
semuanya berdasarkan Agama Islam. Sehingga ritual posuo sangat
berhubungan dengan Islam”39
Budaya lokal sangat berperan penting dalam proses formulasi

hukum Islam, posuo merupakan bentuk implementasi budaya lokal yang

sebelumnya bernuansa Hindu Budha yang kemudian diintrepretasikan ke

dalam hukum Islam yang dalam hal ini merupakan adat kebiasaan

masyarakat Buton. Ritual posuo, dari segi objeknya termasuk kedalam al

‘urf al-‘amali, yakni kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan

perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Sedangkan dari segi

cakupannya, ritual posuo termasuk ke dalam al ‘urf al-khash yakni

kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan di daerah tertentu, dalam hal ini

38
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), h. 144
39
Wawancara Pribadi dengan H. ML. Raziluddin, Baubau, 04 Agustus 2016.
71

ritual merupakan tradisi khusus di Kesultanan Buton dan kemudian terus

dilestarikan oleh masyarakat Buton hingga sekarang. Adapun dalam segi

keabsahannya dari pandangan syara‟, ritual posuo termasuk kedalam Al-

‘urf al-shahih yakni kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak

bertentangan dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan

kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.

Akan tetapi, nilai-nilai budaya pra Islam yang masih dipertahankan

menjadikan adanya percampuran antara ‘urf shahih dan ‘urf fasid yang

berlainan dengan syariat yang akan membawa kepada kesyirikan

sebagaimana terlihat pada ramalan-ramalan masa depan mengenai jodoh

dan sapuan asap dupa (phanimpa) pada peserta posuo.

Menurut masyarakat Buton sendiri ritual posuo merupakan do‟a

orang tua kepada anaknya agar kelak menjadi peribadi yang baik dan

perempuan yang anggun dengan budi pekerti dan tingkah laku yang

berbudi, sebagaimana penuturan nara sumber sebagai berikut :

“Agama Islam berdasarkan kebaikan, sebagaimana Rasul diutus sebagai


penyempurna akhlak, dalam posuo juga di ajarkan tentang kebaikan dan
pembentukan ahlak yang baik sehingga posuo sangan berkaitan erat
dengan Agama Islam karena posuo adalah ritual yang dibungkus dengan
Agama. Jadi makna posuo adalah untuk mendoakan kebaikan hidup gadis
remaja setelah dewasa nanti semoga menjadi lebih baik.”40
Dari penuturan di atas dapat dipahami bahwa masyarakat Buton

menjadikan posuo sebagai pembentuk perilaku berbudaya di masyarakat

yang dapat tercermin dari segala hal sehingga meningkatkan kualitas

40
Wawancara Pribadi dengan La Ode Aslan Azis, Baubau, 21 juli 2016.
72

individu dan masyarakatnya, sebagaimana al-Qur‟an telah meletakkan

dasar yang kuat mengenai tatakrma, firman Allah :

‫خرَ وَ َذ َكرَ اَلّ َه‬


ِ ‫ن َيرْجُو اَلّهَ وَالْيَوْمَ الْآ‬
َ ‫حسَنَ ٌة ِلمَهْ كَا‬
َ ‫ل اَلّهِ ُأسْوَ ٌة‬
ِ ‫لَ َقدْ كَانَ َلكُمْ فِي َرسُو‬

)12:)33(‫كَثِيرًا (األخزاب‬

Artinya : “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suritauladan yang
baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapa rahmat Allah dan
kedatangan hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah (Qs. Al-Ahzab
(33) : 21)

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam diri pembawa risalah Al-

qur‟an sendiri yaitu Muhammad saw telah ada suri tauladan atau budi

pekerti yang baik dan Dia diutus sebagai penyempurna akhlak (perilaku)

ummat sebagaimana ritual posuo sebagai salah satu pembentuk karakter

bagi para remaja dalam mempersiapkan diri dan memotivasi diri menuju

kehidupan berumah tangga dan mengerti statusnya dalam masyarakat.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan

dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan akhir sebagai berikut :

1. Makna filosofis yang terkadung dalam ritual posuo adalah sebagai tanda

bagi masa peralihan seorang perempuan dari remaja menjadi dewasa

dengan mengasingkan diri orang-orang dan lingkungan sekitar untuk

merenung kehidupan serta masa depannya dan belajar memperbaiki diri

agar lebih baik untuk menuju kehidupan gadis dewasa yang akan berumah

tangga.

2. Posuo merupakan ritual yang menjadi sistem penanaman nilai-nilai moral

dan pembentukan karakter bagi gadis remaja yang meliputi komponen

pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan

nilai-nilai tersebut, di mana sebelum mereka mengikuti ritual posuo ada

rasa penasaran pada gadis remaja bagaimana berada dalam suo (ruangan

untuk ritual posuo) nanti sehingga berusaha menjadi lebih baik dan layak

untuk diposuo agar bisa menjadi gadis dewasa yang siap berumah tangga,

dan hal ini sudah ditanamkan sejak kecil oleh orang tua khususnya ibu si

gadis agar gadis tersebut menjaga sikap dan tingkah laku sehingga ketika

remaja menuju dewasa, gadis tersebut akan siap memasuki masanya.

73
74

3. Kekhususan perempuan sebagai peserta dalam ritual posuo ini adalah

untuk mengumumkan telah dewasanya perempuan yang dulunya gadis

remaja dan bisa dilamar karena pada kebiasaannya perempuan menunggu

untuk dilamar dan untuk menandakan kebolehan dilamar ini dengan

mengadakan posuo dan setelah selesainya pasuo maka perempuan biasa

dilamar serta untuk pembimbingan lebih intensif bagi perempuan dimana

perempuan memiliki peran besar dalam rumah tangga nantinya serta

membentuk perilaku dan budi pekerti bagi anak-anaknya. Akan tetapi

kekhususan perempuan sebagai peserta dalam ritual posuo ini belum bisa

menekan angka perceraian dalam perkara cerai gugat di Pengadilan

Agama Baubau.

4. Ritual Posuo merupakan ritual yang sudah ada sejak sebelum masuknya

Islam di Buton dan kemudian ritual tersebut diintrepretasikan ke dalam

Hukum Islam dan merupakan tradisi yang relevan dengan hukum Islam

karena merupakan kebiasaan yang telah berlangsung di masyarakat yang

membawa maslahat dan tidak menimbulkan kemudharatan dimana dalam

posuo ini diajarkan membentuk akhlak dan budi pekerti yang baik bagi

perempuan secara individu yang akan diwariskan kepada anak cucu kelak,

namun masih ada nilai-nilai ritual yang berlainan dengan syariat Islam

yang bisa membawa kepada kesyirikan

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mengemukakan beberapa saran

sebagai berikut :
75

1. Diharapkan kepada seluruh masyarakat untuk terus mempertahankan

budaya dan kearifan lokal yang dapat membentuk perilaku dan mengontrol

kehidupan sosial kemasyarakatan khususnya dalam hal ritual budaya-

budaya lokal sehingga dapat menghindari kepunahan budaya tersebut.

2. Diharapkan kepada para akademisi agar melakukan kajian yang lebih

mendalam lagi untuk menambah literature dan bahan referensi dalam

ranah keilmuan mengenai ritual posuo, baik dari segi sikologi, sosial,

budaya, serta lebih memperhatikan lagi aspek yang berkaitan dengan adat

dan Hukum Islam.

3. Diharapkan kepada masyarakat Buton agar tetap menjaga dan terus

melestarikan ritual posuo dengan menghilangkan unsur-unsur yang dirasa

bertentangan dengan syariat yang bisa membawa kepada syirik sehingga

arus moderenisasi dan kemajuan teknologi tidak dapat menggeser

kedudukan budaya leluhur dan mempertahankan nilai-nilai moral terutama

nilai-nilai keislaman sampai generasi penerus nantinya, serta untuk

menekan angka perceraian khususnya perkara cerai gugat.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, 2013.


Abu, Zahrah, Muhammad, ushul Fiqih, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus, 2011.
Abu Daud, Sunan Abi Daud, juz I, (Beirut : Darulkitan al Arabi : t.th.

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2012.
Al- Bukhari, Shahih Bukhari, juz II, (Beirut : Darulkitan al Arabi :1422
Alifuddin, Muhammad, Islam Buton : Interaksi Islam Dengan Budaya Lokal,
Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2007.
Ali, Mohammd dan Asrori, Muhammad, Pisikologi Remaja (Perkembangan
Peserta Didik), Jakarta : PT. bumi Aksara, 2011.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Baubau, Kota Baubau dalam Angka :Baubau
Municipality in Figures, 2016, Baubau : Cv. Kainawa Molagina, 2016.
Ch, Mufida, pisikologi Kelurga Berwawasan Gender, Malang : UIN Malang
Press, 2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Istiadat Daerah Sulawesi
tenggara, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Sulawesi
Tenggara, 1978.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta : Balai Pustaka, 2000.
Direktorat Badan Pembinaan Peradilan Agama, Kompilas Hukum Islam, Jakarta :
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2001.
Direktorat Urusan Agama Islam dan pembinaan Syri’ah, Tuntunan Keluarga
Sakinah Bagi Remaja Usia Nikah Seri Pisikologi, Jakarta: Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah, 2006.
Direktorat Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Dep.Agama RI, Pedoman
Konselor Keluarga Sakinah, Jakarta : Direktorat Masyarakat Islam dan
Penyelenggara Haji Dep. Agama RI 2002.
Drajat, Zakiah, Prof, Dr, Hj, , Remaja : Harapan dan Tantangan, CV. Ruhama,
2001.
Elizabeth, Hurlock, Pisikologi Perkembangan (Terjemahan), Jakarta : Penerbit
Erangga, 1992.

ix
Engku, Iskandar, Masalah Posuo Bagi Gadis-Gadis Remaja Sebagai Alat
Pendidikan di Kabupaten Dati II Buton, Baubau : Institut Agama Islam
Negri Alaudin Ujung Pandang, 1982.
Fadlullah, Sayyid, Muhammad, Husain, Dunia Remaja : Tanya Jawab Seputar
Pergaulan dan Problematika Remaja, Jakarta : Pustaka Hidayah, 2005.
Fahimuddin, Mu’Min, Ed, Menafsir Ulang Sejarah dan Budaya Buton, Baubau :
Penerbit respect, 2011.
Haroen Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta : Logos, 1996.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta :
Tintamas, 1982.
J.Goode, William, Sosiologi Keluarga, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2007.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta : Balai Pustaka, 2000.
Lestari, Sri, Pisikologi Keluarga (Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik
dalam Keluarga),Jakarta : Prenada Media Grup, 2013.
Lightvoet, A, Beschrijving en Geschi edenis van Boeton, dalam BKI, Vol. 26, s-
Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1987.
M. Thaib, Analisa Wanita dalam Bimbingan Islam,Surabaya : Al-Iklas,1987.
Modul pembinaan keluarga sakinah, Jakarta : departemen Agama RI ,2000.
Nazar Bakri, Sidi, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah),
Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
R.Gultom, Elfrida, Hukum Waris Adat di Indonesia, Jakarta : Literata, 2010.
Setiono, Kusdwiratri, Pisikologi Keluarga, Banung : PT.Alimni, 2011.
Singh, N.K dan Agwan, A.R, Encyclopeadia of the Holy Qur’an, New Delhi :
Balaji Offset, 2000.
Soekanto, Soejono, Hukum Adat di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pres, 2015.
Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Jakarta : el-
Kahfi, 2008.
Sutopo, Aristo Hadi, dan Adrianus Arief, Terampil Mengolah Data Kualitatif
Dengan NVIVO, Jakarta : Prenada Media Group, 2010.
Syarifudddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta : Perda Media
Group, 2006.

x
Tahido Yanggo, Huzaemah, Hukum Keluarga dalam Islam, Jakarta : Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru, 2013.
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI-Press, 1986.
Yunus, Abdul Rahim, Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan
Buton Abad ke-19, Jakarta : INIS, 1995.
Zuhdi, Susanto dkk, Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara : Kesultnan Buton,
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996.

Jurnal, Skripsi, Undang-Undang dan Website.

Alifuddin, Muhammad, Signifikansi Upacara Siklus Posuo dalam Membangun


Semesta Kepribadian Remaja Wanita Pada Masyarakat Buton, Al-
Izzah X. NO. 1, Juli 2015.
Razak, Yusniar, “Kedudukan Perempuan (Bhisa) dalam Tradisi Perkawinan Adat
Buton”, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Dayanu Ikhsanuddin, Baubau, 2014.
Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
http://badilag.net/rekap-perkara-diterima-dan-diputus (Diakses hari Jum’at 14
Oktober 2016).

xi
DAFTAR NARASUMBER

No Nama Jabatan Jumlah

1 La Ode Aslan Azis Tokoh Adat 1 orang

2 H. LM. Razinuddin, SE, M.Si Tokoh Agama 1 orang

3  Naasifa Bhisa (Tokoh Adat 2 orang

 Wa Ode Mulima Perempuan)

4  Nur Jaya Ibu Rumah Tangga 3 orang

 Wa Ode Nuriati

 Wa Emi

5  Kiki Masria Kalambe (gadis yang 3 orang

 Wa Ode Deviarni telah diposuo)

 Dewi Asrifa

Total 10 orang
PEDOMAN WAWANCARA

1. Apakah makna filosofis dari ritual posuo ?

2. Bagaimana pandangan masyarakat tentang ritual posuo ?

3. Apakah ada kesulitan dalam pelaksanaan ritual posuo ?

4. Apakah perbedaan ritual posuo pada masa Kesultanan dengan ritual

posuo sekarang ?

5. Materi-materi apa yang di ajarkan dalam ritual posuo ?

6. Apakah dalam ritual posuo juga diajarkan tentang kehidupan berumah

tangga ?

7. Mengapa gadis remaja dipilih menjadi peserta dalam ritual posuo ?

8. Apakah semua gadis Buton diposuo ?

9. Apa manfaat dari pelaksanaan ritual posuo ?

10. Bagaimana relevansi ritual posuo dengan Hukum Islam ?


HASIL WAWANCARA

Nama : La Ode Aslan Aziz

Status : Tokoh Agama

Hari/tanggal : kamis 21 juli 2016

Tempat : kediamannya

1. Apa Sapaan Masyarakat kepada Anda ?


Jawab :
Abha.

2. Apakah Abah Asli Buton ? Buton Manakah ?


Jawab :
Saya Asli Buton, Buton Wolio.

3. Apakah Abah ketahui tentang Posuo ? Apa itu Posuo ?


Jawab :
Posuo dalam bahasa Indonesianya pingitan, dimana pingitan itu menandakan
peralihan dari gadis remaja menjadi gadis dewasa yang dilakukan selama 4-8
hari didamping oleh bhisa (tokoh adat perempuan) yang di dalamnya
diajarkan tentang tatakrma untuk diri sendiri dan untuk masyarakat.

4. Apakah dalam ritual Posuo diajarkan tentang kehidupan berumah tangga ?


Jawab :
Pada umumnya orang Buton, bagi anak gadisnya yang sudah Posuo berarti
setelah Posuo sudah menjadi gadis dewasa dan siap menerima lamaran,
sehingga di dalam Posuo juga diajarkan kehidupan berumah tangga tapi hanya
tersirat saja tidak secara jelas dan gamblang, akan tetapi posuo juga
menandakan bahwa setelah ini anaknya sudah bisa di ajarkan tentang
kehidupan berumah tangga, jadi ritual posuo hanya sebagai simbol, karena
yang akan mengajarkan adalah orang tuanya langsung dan juga menjadi doa
bahwa setelah diposuo anak gadisnya yang sudah dewasa segera menikah.
5. Apa semua gadis Buton Harus diposuo ? Mengapa ?
Jawab :
Harus diposuo, karena itu merupakan tradisi turum temurun yang harus di
lestarikan. Jika ada kendala dalam melaksanakan posuo maka biasanya di
laksanakan saat malam sebelum perkawinan hanya sebagai syarat telah
terpenuhunya salah satu ritual (posuo) sebelum ritual lainnya (perkawinan).
Biasanya yang diadakan satu malam menjelang pernikahan maka itu diajarkan
juga mengenai kehidupan berumah tangga secara gambling dan jelas oleh
bhisa (tokoh adat perempuan).

6. Adakah perbedaan posuo dulu dimasa kesultanan dan sekarang ?


Jawab :
Tidak ada perbedaannya, karena masyarakat dan tokoh adat masih terus
mempertahankan nilai-nilai luhur yang ada dalam posuo. Masyarkat mengenal
tiga jenis posuo yaitu posuo Wolio yaitu ritual pingitan berdasarkan adat asli
Wolio yang sudah belangsung sejak zaman nenek moyang orang Wolio, posuo
Johoro yaitu pingitan berdasarkan tradisi Johor-Melayu mengingat secara
historis kerajaan Buton (sebelum menjadi Kesultanan) didirikan oleh imigran
dari Johor-Melayu yang dikenal dengan mia patamiana, dan posuo Arabu
yang pertama kali diperkenalkan oleh Kinepulu Bula (Syekh Haji La Ode
Abdul Ganiyu) yang merupakan seorang ulama besar dimasa Sultan La Ode
Muhammad Idrus Qaimuddin Al-Butuny, Sultan Buton kedua puluh dua.

7. Apa manfaat dari ritual posuo ?


Jawab :
Manfaat posuo adalah sebagai pembiasaan bagi para gadis sebelum menuju
kehidupan berumah tangga hingga nanti berkeluarga dan berumah tangga.
Dalam posuo peserta tidak diperbolehkan berinteraksi dengan dunia luar, baik
kelurga maupun lingkungan sekitar. Mereka akan diasingkan selama hari
pelaksanaan posuo yang telah di tentukan dalam musyawarah. Kumpulan
bhisa bawine yang dipanggil diyakini berasal dari kumpulan orang yang
pandai dan memiliki citra dan kredibilitas yang baik di tengah masyarakat,
yaitu mereka paham dan mengerti pelaksanaan upacara, ibu-ibu yang
mempunyai keturunan yang baik, yang dibuktikan dengan anak-anak yang
sukses dan ibu-ibu yang berasal dari keturunan pejabat pemangku adat.
8. Apa hubungan posuo dengan Agama (Islam) ?
Jawab :
Agama Islam berdasarkan kebaikan, sebagai mana Rasul diutus sebagai
penyempurna akhlak, dalam posuo juga diajarkan tentang kebaikan dan
pembentukan akhlak yang baik sehingga posuo sangan berkaitan erat dengan
Agama Islam karena posuo adalah ritual yang dibungkus dengan Agama. Jadi
makna posuo adalah untuk mendoakan kebaikan hidup gadis remaja setelah
dewasa nanti semoga menjadi lebih baik.
HASIL WAWANCARA

Nama : H. La Ode Muhammad Razinuddin, SE, M.Si

Status : tokoh Adat

Hari/Tanggal : Kamis, 04 Agustus 2016

Tempat :Kantor Dinas Pariwisata

1. Apa pengertian atau makna dari posuo ?


Jawab :
Posuo bermakna melakukan pingitan atau disuo, posuo menurut bahasa
berasal dari kata po dan suo, po merupakan sebuah awalan yang mengandung
makna sebagai pembentuk kata kerja yang menyatakan berada dalam suatu
keadaan atau singkatnya disebut “ber”, sedangkan suo artinya ruang
belakang, karena peserta posuo membutuhkan ketenangan dalam pelaksanaan
ritual sehingga di laksanakan di ruang belakang.

2. Apa Hubungan Ritual posuo dengan Agama Islam ?


Jawab :
Setelah adanya Kesultanan Buton maka semua ritual dan kebiasaan
masyarakat Buton baik di lingkungan Keraton maupun di masyarakat
semuanya berdasarkan Agama Islam. Sehingga ritual posuo sangat
berhubungan dengan Islam.

3. Apakah Ada Kesulitan dalam pelaksanaan Ritual posuo ?


Jawab :
Bagi masyarkat Buton, tidak ada kesulitan dalam pelaksanaan ritual posuo
karena semua masyarkat berusaha melestarikan budaya posuo ini dengan
menyelenggarakannya, jika ada kendala dalam hal ekonomi maka
dilaksanakan posuo satu malam menjelang pernikahan sebagai syarat
terpenuhinya satu siklus (posuo) sebelum siklus selanjutnya (perkawinan).
4. Adakah Perbedaan antara ritual posuo Pada masa Kesultanan dengan posuo
sekarang ?
Jawab :
Tidak ada perbedaan antara posuo dulu zaman kesultanan dengan sekarang
karena budaya ini diwarisi turun temurun dengan tetap dijaga prosesinya.

5. Apakah semua gadis Buton harus diposuo ?


Jawab :
Harus, jika tidak biasanya rata-rata dilaksanakan pada malam sebelum
pernikahan, sehingga menjadi rangkaian dari pernikahan.

6. Mengapa hanya perempuan yang diposuo ?


Jawab :
Karena Perempuan mempunyai peran besar dalam rumah tangga nantinya
sehingga harus diajarkan sejak dini sega hal melalui ritual posuo, juga
sebagai tanda bahwa gadis remaja sudah menjadi dewasa sehingga setelah
posuo sudah bisa dilamar.

7. Bagaimana pandangan bapak mengenai Ritual posuo ?


Jawab :
Posuo merupakan ritual yang menjadi do’a untuk kebaikan gadis yang
dulunya remaja menjadi dewasa, dimana pada sesi matana karia dalam posuo
terdapat prosesi memandikan peserta (phaebo) dengan menggunakan wadah
buyung yang terbuat dari tanah liat (bhosuo) dan para peserta mandi dengan
kain sarung (timbasa) yang kemudian kain itu tidak bisa digunakan lagi
seumur hidup (biasanya dibuang kelaut) dengan harapan segala dosa dan noda
gadis di masa remaja terbawa sehingga menjadi lebih baik saat dewasa.
HASIL WAWANCARA

Nama : Naasifa

Satatus : Bhisa (tokoh adat perempuan)

Hari/ tanggal : 20 juli 2016

Tempat : keidiamaannya

1. Apa panggilan gadis yang diposuo untuk anda ?


Jawab :
Ina artinya ibu dalam bahasa Buton.

2. Sudah berapa lama menjadi Bhisa ?


Jawab :
Sekitar 20 tahun, sejak tahun 1995.

3. Bagaimana prosesi ritual posuo ?


Jawab :
Ritual posuo dilaksanakaan selama 4-8 hari, yang diawali dengan malona
tangia (malam isak tangis) kemudian dilanjutkan pebhaho (mandi) untuk
membuang sial kemudian di hari- hari berikutnya peserta dipanimpa dengan
memberi sapuan asap dupa kepada peserta dua kali sehari pagi dan sore,
kemuan diajarkan mengenai merawat diri (luluran) dan diberi nasihat-nasihat
mengenai kehidupan hingga berakhir dengan matana karia (malam puncak)
sebagai tanda berakhirnya posuo dan memandakan gadis yang telah diposuo
sudah menjadi gadis dewasa.

4. Apa yang di ajarkan dalam posuo ?


Jawab :
Dalam ritual posuo diajarkan mengenai pembawaan diri yaitu palego
(pengaturan mengenai gerak saat berdiri) pakole (pengaturan gerak saat duduk
dan berbaring), mengenai nilai-nilai moral dan ahlak, juga nilai sosial dari
makanan yang diawali dengan posipo (disuapi oleh bhisa) kemudian hanya
boleh makan sedikit yang terdiri dari nasi dan telur rebus dibagi dua dengan
yang memasak yang maknanya agar bisa berbagi dan makanannya juga di
takar hanya sedikit agar peserta posuo bisa merasakan apa yang di rasakan
orang lain diluaran sana yang kadan makan kadang juga tidak, juga diajari
tentang bagaimana merawat diri dengan luluran dan sejenisnya menggunakan
bahan-bahan alami seperti kunyit dan beras yang sudah dihaluskan.

5. Apakah kehidupan rumah tangga di ajarkan dalam ritual posuo ?


Jawab :
Kehidupan rumah tangga diajarkan dalam posuo tapi hanya secara tersirat
melalui pengejaran moral dan tingkahlaku karena itu akan menjadi
kebiasaannya hingga kehidupan berumah tangga tapi tidak di ajarkan secara
jelas dan rinci kecuali bagi peserta posuo yang sudah pasti akan menikah
setelah ritual posuo usai atau sudah jelas calonnya melamar hinga setelah
posuo langsung menikah maka di ajarkan secara rinci tentang bagaimana
bersikap sebagai seorang istri atau jika orang tua peserta posuo meminta
diajarkan kehidupan berumah tangga dalam posuo kepada bhisa maka akan di
ajarkan secara jelas juga.

6. Apakah kesulitan dalam Pelaksanaan ritual posuo ?


Jawab :
Tidak ada kesulitan dalam pelaksaanaan ritual posuo baik dari segi persiapan
dan pelaksanaan maupun para peserta posuo sendiri karena mereka sudah tahu
dan paham mengenai ritual posuo.

7. Apa saja yang anda persiapkan dalam posuo ?


Jawab :
Yang di persiapkan bhisa pada umumnya hanya berwudhu sebelum memulai
semua ritual dan pisau untuk di shuba kepada peserta posuo apa bila ingin ke
toilet atau aktifitas lainnya diluar ritual.

8. Apa manfaat Ritual posuo ?


Jawab :
Manfaat ritual posuo ini adalah untuk pembentukan moral dan tingkahlaku
para gadis ketika menjadi dewasa.
9. Mengapa hanya perempuan yang diposuo ?
Jawab :
Karena perbedaan keseharian laki-laki dan perempuan dan pola hidupnya,
laki-laki bisa mendapatkannya pelajaran di masyarakat laur yang luas
sedangkan perempuan zaman dulu hanya di rumah dan kalau keluar harus ada
yang menemani dan perbedaan keseharian lainnya.

10. Bagaimana Pandangan anda mengenai ritual posuo ?


Jawab :
Posuo merupakan tradisi turun temurun dari zaman kesultanan hingga
sekarang sehingga harus dilestarikan dan dipertahankan hingga ke anak cucu.
HASIL WAWANCARA

Nama : Wa Ode Mulima

Satatus : Bhisa (tokoh adat perempuan)

Hari/ tanggal : Jum’at, 29 juli 2016

Tempat : keidiamaannya

1. Apa panggilan gadis yang diposuo untuk anda ?


Jawab :
Ina artinya ibu dalam bahasa Buton.

2. Sudah berapa lama menjadi Bhisa ?


Jawab :
Sudah 26 tahun jadi bhisa, tapi bukan untuk ritual tapi lebih kepada
peelengkapan posuo seperti dalam pakaian untuk peserta suo dan rempah-
rempah alami untuk luluran.

3. Apa yang diajarkan dalam ritual posuo ?


Jawab :
Dalam ritual posuo diajarkan bagaimana berperilaku atau tatakrama sebagai
gadis dewasa karena berbeda dengan gadis remaja.

4. Apakah kehidupan berumah tangga juga diajarkan dalam ritual posuo ?


Jawab :
Umumnya dalam posuo tidak diajarkan tentang kehidupan berumah tangga
secara jelas hanya melalui ramalan-ramalan masa depan dan jodohnya tapi
jika peserta posuo itu diposuo menjelang pernikahan biasanya di ajarkan
secara jelas karena sudah pasti akan menuju kehidupan berumah tangga kalau
posuo yang pada umumnya, posuo sebagai tangga bahwa gadis itu sudah
dewasa dan setelah diposuo sudah bisa diajarkan tentang kehidupan berumah
tangga.
5. Adakah kesulitan dalam pelaksanaan ritual posuo ?
Jawab :
Tidak ada kesulitan dalam ritual posuo karena sudah merupakan tradisi dan
semua masyarkat paham akan ritual tersebut, paling dalam prosesinya pada
saat malona tangia, kami para bhisa berusaha membuat peserta posuo untuk
menangis karena ada mitos yang mengatakan jika peserta tidak menangis ada
pertanda buruk untuk masa depannya. Pelaksanaan posuo terdiri dari tiga sesi
yaitu molano tangia (malam isak tangis), bhaliana yimpo dan matana karia.
Ritual posuo diawali dengan pauncura atau pengukuhan peserta oleh bhisa
senior yang disebut dengan parika dengan membakar dupa atau kemenyan
yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa dan menyapukan asap
dupa ke badan para peserta posuo (phanimpa) setelah itu diumumkanlah
perihal pelaksanaan posuo dan nama-nama peserta yang akan diposuo serta
aturan-aturan dalam suo nanti. Setelah nama-nama peserta disebutkan, para
peserta mulai terdiam dan kemudian mulai menangis bagi yang tidak
menangis akan dicubit atau di pukul di bagian tertentu hingga menangis
karena menurut mitos jika ada peserta yang tidak menangis, maka ada
pertanda buruk untuk masa depannya.

6. Apa manfaat dari ritual posuo ?


Jawab :
Manfaat posuo adalah sebagai pembersih diri bagi seorang gadis untuk
menuju kehidupan dewasa, karena jika tidak posuo rasanya tidak akan
lengkap sehingga posuo merupakan pelengkap gadis untuk sampai ke masa
dewasa.

7. Adakah perbedaan antara ritual posuo di zaman kesultanan dan sekarang ?


Jawab :
Tidak ada perbedaan dalam ritual posuo zaman kesultanan dengan sekarang,
jika ada mungkin dalam segi hari untuk posuo biasanya 4 sampai 8 hari, dulu
biasanya lebih memilih 8 hari untuk lebih menambah kesakralan tapi sekarang
lebih di percepat menjadi 4 hari karena sekarang banyak yang sekolah dan
punya kepentingan, jadi untuk tetap melestarikan ritual ini kebanyakan
masyarakat lebih memilih yang 4 hari.
8. Apa saja yang dipersiapkan bhisa untuk ritual posuo ini ?
Jawab :
Persiapan untuk bhisa biasanya kain putih 2 meter (untuk duduk peserta
posuo) dan Impo (rempak-rempah untuk luluran peserta posuo).

9. Mengapa hanya perempuan yang diposuo ?


Jawab :
Karena posuo ibaratnya seperti mengumumkan masa peralihan seorang gadis
dari remaja ke dewasa yang menandakan bahwa perempuan tersebut sudah
bias menikah, karena perempuan pada umumnya perempuan itu menunggu
jadi biasanya kalau seorang gadis sudah diposuo maka tidak lama lagi akan
menikah.

10. Bagaimana pandangan anda mengenai ritual posuo ?


Jawab :
Bagi saya ritual bukan hanya sebuar ritual keagamaan melainkan sebuah
warisan orang tua kepada anak perempuannya dan untuk mendoakan mereka
menjadi lebih baik sehingga harus terus dilestarikan.
HASIL WAWANCARA

Nama : Nur Jaya

Status : Ibu Rumah Tangga

Hari/tanggal : Kamis, 21 Juli 2016

Tempat : kediamannya

1. Berapa usia pernikahan anda ?


Jawab :
Saya menikahn tahun 2009 jadi sekitaar 7 tahun usia pernikahan saya.

2. Pada usia berapa anda diposuo ?


Pada saat diposuo saya berusia 23 tahun dan dua tahun kemudia pada usia 25
tahun saya menikah.

3. Berapa hari anda diposuo ?


Jawab :
Saya diposuo selama 8 hari d posuo.

4. Apa yang anda ketahui tentang posuo ?


Jawab :
Posuo merupakan masa peralihan dari remaja ke dewasa bagi seorang gadis
yang merupakan proses pembiasaan selama dipingit (diposuo), sehingga
dengan pembiasaan itu menjadi lebih baik lagi.

5. Apa perasaan anda saat diposuo ?


Jawab :
Senang karena ramai-ramai, karena akan dibimbing dan dinasehati karena
sebelum posuo biasanya penasaran apa yang di ajarkan diposuo jadi ketika
sampai masanya gadis diposuo maka dia akan merasa senang.
6. Apa dalam posuo diajarkan kehidupan berumah tangga ?
Jawab :
Pada saat posuo saya diajarkan kehidupan berumah tangga karena kebetulan
pada saat itu saya sudah berusia 23 tahun sebagai doa juga agar saya segera
menikah jadi orang tua saya yang meminta langsung kepada bhisa agar saya
diajarkan bagaimana nanti kalau sudah bersua harus bersikap dewasa, sabar,
harus baik kepada mertua, juga batasan-batasannya. Jadi ajaran diposuo
sangat membekas kepada saya. Inti dari posuo itu kita diajarkan untuk
berbakti kepada orang tua saat gadis dan kepada mertua jika sudah menikah
nanti. Karena perempuan itu saat gadis dia adalah tanggung jawab orang
tuanya dan saat menikah dia adalah tanggung jawab suami sehingga
perempuan harus berbakti pada suami dan orang tua suami (mertua).

7. Adakah manfaat posuo setelah menikah ?


Jawab :
Manfaat setelah menikah itu lebih percaya diri untuk berumah tangga dan apa
yang dulunya kita tidak tahu menjadi tahu, memahami karakter suami, cara
berbicara, sopan santun kepada suami.

8. Bagaimana pandangan anda tentang ritual posuo ?


Jawab :
Posuo merupakan sebuah ritual yang baik karena intinya adalah membentuk
moral dan ahlak seorang wanita terhadap orang tua, yang lebih muda serta
lawan jenis, juga kepada lingkungan.

9. Mengapa hanya perempuan yang di posuo ?


Jawab :
Karena hanya perempuan yang ada akan merawat bagian di rumah, sedangkan
laki-laki akan lebih banyak mencari nafkah di luar.
HASIL WAWANCARA

Nama : Wa Ode Nuriati

Status : Ibu Rumah Tangga

Hari/tanggal : Sabtu 23 juli 2016

Tempat : kediamannya

1. Berapa usia pernikahan anda ?


Jawab :
Usia pernikahan saya 6 tahun.

2. Pada umur berapa anda diposuo ?


Jawab :
Umur 25 tahun.

3. Berapa hari anda diposuo ?


Jawab :
Diposuo selama 4 Hari.

4. Apa yang anda ketahui tentang posuo ?


Jawab :
Posuo semacam tangga siklus kehidupan selanjutnya dari remaja ke dewasa.

5. Apa yang diajarkan dalam ritual posuo ?


Jawaban :
Dalam ritual posuo diajarkan untuk tenang, jangan gelisah dan sabar dalam
segala situasi.

6. Adakah manfaat posuo setelah menikah ?


Jawab :
Manfaatnya setelah saya menikah, mengerti tentang tahapan-tahapan
kehidupan yang harus di lalui dengan sabar hingga sekarang.
7. Apakah ada perbedaan posuo dulu saat zaman kesultanan dengan sekarang ?
Jawab :
Untuk posuo dari segi prosesi ritual tidak ada yang berubah masih sama hanya
saja bedanya sekarang kalau ada yang ujian sekolah saat diposuo mau tidak
mau harus tetap pergi untuk mengikuti ujian.
8. Bagaimana pandangan anda tentang ritual posuo ?
Jawab :
Ritual posuo harus terus dilestarikan walaupun zaman semakin modern tapi
nilai luhur posuo harus terus dipertahankan dan dilestarikan.

9. Apakah semua gadis Buton diposuo ?


Jawab :
Semua gadis Buton harus diposuo bahkan jika tidak sempat melakukan ritual
posuo dan akan melaksanakan pernikahan maka biasanya dimandikan dulu
sebagai syarat untuk memenuhi satu ritual (posuo) sebelum ritual selanjutnya
(perkawinan).
HASIL WAWANCARA

Nama : Wa Emi

Status : Ibu Rumah Tangga

Hari/tanggal : Sabtu, 23 Juli 2016

Tempat : kediamannya

1. Berapa usia pernikahan anda ?


Jawab :
Usia pernikahan saya sekitar 13 tahun.

2. Pada usia berapa anda diposuo ?


Jawab :
Saya diposuo pada usia 16 tahun dan satu tahun kemudian, pada usia 17 tahun
saya menikah.

3. Berapa hari anda diposuo ?


Jawab :
Saat itu saya diposuo selama 4 hari.

4. Apa yang anda ketahui tentang posuo ?


Jawab :
Posuo merupakan ritual peralihan dari remaja ke dewasa.

5. Apa yang diajarkan dalam ritual posuo ?


Jawab :
Dalam posuo diajarkan tentang tingkah laku dan nilai moral serta sedikit
ramalan-tentang jodoh dan masa depan yang awalnya tidak percaya tapi
setelah dilalui ternyata ada benarnya.
6. Apakah kehidupan berumah tangga diajarkan dalam ritual posuo ?
Jawab :
Tidak di ajarkan secara jelas tentang rumah tangga, hanya melalui sedikit
ramalan masa depan, juga bagi masyarkat Buton meyakini bahwa gadis yang
sudah posuo berarti sudah dekat jodohnya sehingga harus mempersiapkan diri
dan berperilaku sebagai gedis dewasa bukan lagi remaja.

7. Adakah manfaat posuo setelah menikah ?


Jawab :
Manfaat posuo sekarang terasa, tenyata apa yang dikatakana orang tua saat
posuo dan setelah posuo itu terasa saat setelah menikah dan menjalani
kehidupan berumah tangga.

8. Bagaimana pandangan anda tentang ritual posuo ?


Jawab :
Posuo harus terus dilestsrikan karena merupakan ritual turun temurun dan
biasanya ada dampak bagi yang tidak melaksanakan ritual posuo tersebut
(menurut kepercayaan masyarakat) kalau tidak posuo biasanya ada semacam
karma (tidak punya keturunan atau sakit-sakitan) jadi harus di posampe
(menyampaikan kalau harus melaksanakan posuo dengan dimandikan).
HASIL WAWANCARA

Nama : Kiki Masria

Status : Gadis yang telah diposuo (kalambe)

Hari/tanggal : Rabu, 20 Juli 2016

Tempat : kediamannya

1. Bagaimana Perasaan saat diposuo ?


Jawab :
Senang, apalagi saat dikenang karena saat saya posuo itu diadakan masal dan
diadakan oleh keluarga bangsawan (ode) dengan peserta sebanyak 35 orang,
tapi tidak semua saling mengenal karena banyaknya peserta.

2. Berapa hari d Posuo ?


Jawab :
Saya diposuo selama 8 hari

3. Berapa bhisa saat di Posuo ?


Jawab :
Bhisa yang mendampingi peserta saat posuo sebanyak 8 orang.

4. Apa yang anda ketahui tentang posuo ?


Jawab :
Posuo merupakan masa peralihan dari remaja menuju kehidupan dewasa.
5. Apa yang di ajarkan dalam ritual Posuo ?
Jawab :
Diberikan nasihat-nasihat moral serta batasan-batasan bagi seorang wanita
dengan sistem ceramah bersama-sama, serta perawatan fisik.

6. Apakah kehidupan rumah tangga diajarkan saat posuo ?


Jawab :
Tidak di ajarkan secara rinci, kecuali yang mau menikah atau ketiaka orang
tuanya meminta kepada bhisa untuk mengajarkan kehidupan rumah tangga.
Tapi sebenarnya tanpa diminta juga para bhisa sudah mengajarkan kehidupan
rumah tangga melalui potret diri bhisa tersebut.

7. Apa yang dirasakaan atau manfaat dari ritual posuo ?


Jawab :
Secara otomatis kita merasa harus menjadi lebih baik dari sikap, tingkah laku,
ahlak serta kecantikan diri dan hati karena sudah menjadi gadis dewasa, posuo
juga diibaratkan dengan bersemedi atau mengasingkan diri untuk merenung
kesalahan-kesalahan saat remaja sehingga nantinya menjadi gadis dewasa
yang baik. Juga secara otomatis langsung berpikir untuk masa depan atau
bagaimana kedepannya. Apa lagi saat pertama diposuo saat molano tangia
trus menangis karena bahagia telah terlaksananya salah satu tangggung jawab
orang tua dan telah berusaha mengikut sertakan anaknya dalam ritual ini.

8. Apa semua gadis Buton harus diposuo ?


Jawab :
Iyah, posuo itu semacam suatu keharus untuk membentuk pribadi para gadis-
gadis Buton hingga menjadi Ibu kelak dan mewariskan kebaikan kepada anak-
anaknya.
HASIL WAWANCARA

Nama : Wa Ode Deviarni

Satatus : Remaja yang telah di Posuo (kalambe)

Hari/ tanggal : Sabtu, 23 Juli 2016

Tempat : Rumah Posuo

1. Bagaiman perasaan anda saat akan diposuo ?


Jawab :
Perasaannya senang karena menurut cerita yang pernah diposuo nanti saat
diposuo akan diajarkan hal spesifik dari biasanya yang artinya akan menjadi
dewasa.

2. Berapa hari anda diposuo ?


Jawab :
Saya diposuo selama 4 hari.

3. Bagaimana perasaan anda saat di dalam Suo ?


Jawab :
Perasaan di dalam suo agak gelisah karena ingin keluar, dan merasa pengap di
dalam ruangan terus.

4. Apa yang di ajarkan selama diposuo ?


Jawab :
Dalam Posuo diajarkan tentang bagaimana merawat diri, penanaman nilai-
nilai moral dan mulai memikirkan masa depan juga dengan ramalan-ramalan
jodoh dan kehidupan kedepan.

5. Apakah saat diposuo diajarkan tentang kehidupan berumah tangga ?


Jawab :
Kehidupan rumah tangga diajarkan tapi tidak terlalu mendalam hanya
dinasehati bagaimana bersikap setelah posuo hingga nanti bersuami dan
berkeluarga.

6. Bagaimana perasaan anda setelah diposuo ?


Jawab :
Senang karena sudah melewati satu siklus kehidupan.

7. Apa manfaat yang anda dapatkan dari ritual posuo ?


Jawab :
Ritual posuo sangat bermanfaat untuk menjadi diri yang lebih baik lagi ketika
menjadi dewasa.

8. Bagaimana Pendapat anda tentang ritual posuo ?


Jawab :
Posuo harus terus dilestarikan karena merupakan budaya turun temurun.
HASIL WAWANCARA

Nama : Dewi Asrifa

Status : Remaja

Hari/tanggal : Sabtu, 23 Juli 2016

Tempat : Rumah Suo

1. Bagaiman perasaan anda saat akan diposuo ?


Jawab :
Perasaan saya saat akan diposuo, senang karena bagi saya posuo adalah
tanggung jawab orang tua yang harus dilaksanakan kepada anak gadisnya dan
ketika akan diposuo berarti akan lepas satu lagi tanggung jawab orang tua.

2. Bagaimana Perasaan anda saat dalam Suo ?


Jawab :
Perasaan saat di dalam Suo, ada Bosan dan senang juga, bosan karena terus
dalam ruangan tapi senang karena diajarkan hal baru tentang merawat diri dan
lain-lain.

3. Berapa hari anda diposuo ?


Jawab :
Saya di Posuo selama 4 hari.

4. Apa saja yang diajarkan dalam ritual posuo ?


Jawab :
Dalam posuo diajarkan tentang bagaiman bertingkahlaku dan bersikap sebagai
gadis dewasa, menjaga suaranya agar pelan-pelan saat berbicara dan sikapnya
tapi saat diposuo saya sambil ujian akhir di kampuas jadi saya izin keluar dan
harus mendapatkan persetujuan bhisa untuk keluar, tapi keluarnya serba
tertutup dan tetap memakai kunyit, mitosnya kalau kulit peserta posuo yang
dipakaikan kunyit selama posuo terkena matahari maka kulitnya akan
kebiruan.
5. Apakah diajarkan tentang kehidupan Berumah Tangga dalam posuo ?
Jawab :
Tidak diajarkan tentang kehidupan rumah tangga secara jelas hanya melalui
ramalan-ramalan masa depan tentang jodoh.

6. Bagaimana perasaan anda setelah diposuo ?


Jawab :
Perasaan setelah diposuo senang karena sudah menjadi gadis dewasa dan
harus berpikir menjadi lebih baik di masa depan.

7. Apa yang anda Pahami tentang posuo ?


Jawab :
Posuo adalah pingitan sebagai tanda peralihan dari gadis remaja menjadi
gadis dewasa.

8. Apa manfaat dari ritual posuo ?


Jawab :
Manfaat dari posuo adalah perubahan pada diri baik fisik maupun mental
untuk menjadi lebih baik dan menghilangkan sifat dan sikap buruk saat
remaja untuk bisa lebih baik lagi.

9. Bagaimana Pandangan anda terhadap ritual posuo ?


Jawab :
Menurut saya posuo adalah ritual turun temurun yang harus di lestarikan.

Anda mungkin juga menyukai