SEJARAH
PERKEMBANGAN NASIONALISME
DI ASIA DAN AFRIKA
Guru Matapelajaran:
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Kelompok 6
Nama Anggota:
1).Rascya Simbolon
2).Junita Naibaho
3).Rut Sinaga
4). Canris Situmorang
5).Andreas Sitohang
6).Rihat malau
SMA/S
ST.MIKHAEL
PANGURURAN
2023
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan atas hadirat Tuhan Yang Maha Esa yg memberikan
rahmadnya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah sejarah tepat pada waktu.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada guru pembimbing yang selalu memberikan
dukungan dan bimbingannya.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi nilai tugas sejarah. Tak hanya itu,
kami juga berharap makalah ini bisa bermanfaat untuk kami pada khususnya dan
pembaca pada umumnya. Walaupun demikian, kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya kata, kami berharap semoga makalah sejarah ini bisa memberikan informasi
dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Kami juga mengucapkan terima kami kepada
para pembaca yang telah membaca makalah ini hingga akhir.
1
DARTAR ISI
2
BAB 1 PENDAHULUAN
Pasca-Perang Dunia II, semangat untuk menentukan nasib sendiri dari Negara-negara
jajahan sangat mendominasi Negara-negara Asia dan Afrika seperti India, Filipina, Turki,
dan Mesir. Semangat untuk menentukan nasib sendiri ini juga menular ke Indonesia. Proses
dekolonisasi Negara-negara Asia dan Afrika kemudian menjadi fenomena yang dominant
pada akhir Perang Dunia II. Kondisi ekonomi dan politik Indonesia pun mengalami berbagai
perubahan yang signifikan.
Runtuhnya kekuasaan kolonial di kawasan Asia dan Afrika ini menjadi awal dari
berubahnya struktur politik global. Jumlah Negara-negara menjadi berkembang lebih
banyak. Tercatat pada pasca Perang Dunia II jumlah Negara mencapai 51 negara, dan saat
ini telah mencapai 192 negara. Proses dekolonisasi ini dipicu oleh adanya gerakan-gerakan
nasionalisme yang berkembang di masing-masing Negara di Asia dan Afrika. Tercatat
seperti Gerakan Turki Muda, Gerakan Nasionalisme Filipina, Gerakan Nasionalisme Cina,
Gerakan Nasionalisme India, dan berbagai gerakan serupa yang muncul di Negara-negara
seperti Cina, Jepang, Mesir, Libya,India, dan lainnya.
3
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujua
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
belakang pemberontakan ini adalah korupsi yang meluas dalam EIC setelah hampir 100 tahun
meluaskan kekuasaan di India, rasa tidak puas raja-raja wilayah atas dominasi EIC, selain itu
juga ambisi Imperium Britania untuk memerintah India secara langsung. Pemicu pemberontakan
adalah penggunaan lemak sapi dan babi dalam latihan para sepoy yang dianggap menodai agama
Hindu maupun Islam, sehingga menimbulkan kericuhan antara para sepoy dengan para perwira
mereka yang orang Eropa dan beragama Kristen. Selain itu faktor kasta juga penting.
Divisi Bengal didominasi oleh kasta tinggi, seperti Rajput, sementara
divisi Bombay dan Madras didominasi oleh kasta rendah. Pemberontakan ini kadang
dinamakan Pemberontakan Sepoy atau Perang Kemerdekaan India Pertama.
Sumber: wikimedia.org
Setelah memberontak, para sepoy mendapat dukungan dari raja-raja wilayah di India yang
sebelumnya terampas kekuasaannya oleh EIC. Kemudian secara bersama-sama mengangkat
Maharaja Mughal (penguasa India sebelum EIC) sebagai lambang perlawanan. EIC berhasil
memadamkan pemberontakan setelah mendatangkan pasukan dari Eropa dan koloninya yang lain
terutama Burma, dengan dibantu para sepoy yang masih setia dari kaum Sikh.Setelah
pemberontakan berhasil dipadamkan, EIC dibubarkan pada tahun 1858. Selanjutnya, kekuasaan
di India dijalankan secara langsung oleh mahkota Britania.
Mohandas Karamchand Gandhi adalah seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India.
Gandhi adalah salah seorang yang paling penting yang terlibat dalam Gerakan Kemerdekaan
India. Ia adalah aktivis yang menggunakan perlawanan tanpa kekerasan, mengusung gerakan
kemerdekaan melalui aksi demonstrasi damai. Pada masa kehidupan Gandhi, banyak negara
yang merupakan koloni Britania Raya. Penduduk di koloni-koloni tersebut
mendambakan kemerdekaan agar dapat memerintah negaranya sendiri.
6
b. Nasionalisme turki
1. Melemahnya pengaruh kesultanan ottoman
Kesultanan Utsmaniyah atau Ottoman yang berkuasa selama berabad-abad, pada 3
Maret 1924 mengalami keruntuhan. Kesultanan yang berdiri kurang lebih 625 tahun lalu
itu dibubarkan lewat Majelis Nasional Agung dalam sidangnya sejak Februari
1924.Majelis memutuskan menghapus jabatan khalifah dan mempersilakan khalifah
terakhir, Abdul Majid II meninggalkan Turki. Ottoman mengendalikan banyak wilayah,
tidak hanya mencakup Asia tapi sebagian besar Eropa Tenggara, Timur Tengah, dan
Afrika Utara.Kesultanan menguasai wilayah dengan militer yang kuat, perdagangan yang
menguntungkan, dan pencapaian yang mengesankan di berbagai bidang. Mulai dari
arsitektur sampai astronomi.
2. Era Nasionalisme Pertama: “Utsmani Muda” dan “Turki Muda”
Perjuangan Gerakan Utsmani dan Turki Muda tidak dapat dilupakan begitu saja, jasa
nya dalam perkembangan negara Turki sangat banyak hingga membuat Negara Turki
sekarang dapat beridiri. Bahkan pengaruhnya pun menyebar hingga ke berbagai negara,
terutama Indonesia.
Sultan Abdul Aziz, sultan yang memiliki sifat otoriter dan kepemimpinannya
bersifat absolut dilawan oleh gerakan Utsmani Muda. Keinginan untuk berdirinya negara
demokrasi yang maju dan dapat bersaing dengan negara lain adalah tujuan utama dari
gerakan Utsmani Muda. Hingga mereka pun dapat menurunkan Sultan Abdul Aziz, tetapi
absolutisme Sultan Turki tidaklah berakhir dan dilanjutkan oleh Sultan Abdul Hamid.
Sehingga dapat dikatakan perjuangan dari Utsmani Muda tidaklah berhasil.
Namun perjuangan dari Utsmani Muda pun dilanjutkan oleh golongan Turki Muda,
mereka melawan Sultan Abdul Aziz dan pada akhirnya dapat menurunkannya dari jabatan
sultan, sehingga Turki pun menjadi milik Golongan Turki Muda. Tetapi karena kekuasaan
berantakan karena tidak diatur dengan rapi, dan pada akhrinya Turki Muda pun gagal
dalam mewujudkan cita-citanya, dan hanya berhasil dalam menggulingkan kekuasaan
aboslutisme saja.
Pada Perang Dunia I, Ottoman bersekutu dengan Jerman yang tergabung dalam Blok
Sentral. Keinginan untuk merebut kembali bekas wilayahnya di kawasan Eropa Timur
7
menjadi alasan utama Turki Ottoman mengikuti Perang Dunia I. Kekaisaran Turki
Ottoman (Turki Usmani) yang saat itu berkuasa, berperang melawan bekas jajahannya
yang memerdekakan diri.
Pemimpin dari Turki Muda pada masa ini dikenal sebagai tiga serangkai yakni
Enver Bey, Talaat, dan Jamal. Mereka berpihak kepada Jerman karena membenci Rusia
yang selalu mengancam Turki. Sehingga ketika meletusnya Perang Dunia I, Turki
membantu Jerman yang membuat Sekutu mneyatakan perang dengan Turki. Penyerangan
Sekutu terhadap Turki dilakukan di daerah Dardanella, namun karena ketatnya
pengawalan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal, Sekutu gagal menerobos benteng
pertahanan Turki dan setiap serangannya dapat dipatahkan.
Peperangan besar bangsa Turki di kawasan Timur Tengah adalah mealawan Inggris
dan Prancis.Inggris mendapat bantuan bangsa Arab dan memperoleh kemenangan, lalu
pada tanggal30 Oktober 1918 terjadilah gencatan senjata. Dapat dikatakan dalam Perang
Dunia I, pihak Turki mengalami kekalahan.Kemenangan berada di pihak Sekutu yang
akhirnya dapat menguasai wilayah Turki. Pada tahun 1919, Rusia berhasil menguasai
sebagian wilayah Turki yang terletak di sebelah timur Laut Hitam, sedangkan Kota
Azmir berhasil dikuasai oleh Yunani.
Selanjutnya, pada tanggal 20 Agustus 1920 diadakan perjanjian Serves antara pihak Turki
yang diwakilkan oleh Sultan Muhammad VI. Melalui perjanjian ini, Perdana Menteri
Farid Pasha dipaksa untuk menerima isi perjanjian tersebut, antara lain:
1. Daerah Turki dipersempit dan tersisa Konstantinopel, Anatoli dan sekitarnya
2. Smyrna dan daeah Thracia diberikan kepada Yunani
3. Bosporus, Marmora dan Dardanella di internasionalisir
4. Armenia menjadi negara yang merdeka.
Gerakan Turki Muda dengan semangat kebangsaan yang tinggi terus berupaya
melakukan rongrongan, baik terhadap pihak Sekutu yang telah mengkotak-kotakkan
daerah Turki tetapi juga berjuang melawan kemunafikan Sultan untuk memperbaiki
kondisi pemerintahannya (Soebantardjo, 1954).
Akibat adanya Perjanjian Sevres ini muncul tokoh Mustafa Kemal Pasha dikenal
sebagai “The Strong Man” yang tampil karena menganggap Perjanjian Sevres sangat
menyudutkan kebesaran Turki.
8
wikimedia.org
Sum
9
ke Ankara untuk mendesak Kemal Pasha agar mau mengakui Perjanjian Sevres, namun
gagal. Bahkan daerah Smyrna yang menurut Perjanjian Sevres diserahkan kepada
Yunani, berhasil direbut kembali oleh Turki (Iswati, 2018: 99).
Peperangan kedua antara Turki dan Yunani terjadi pada Maret 1921 dan berakhir
dengan kekalahan di pihak Yunani pada April 1921. Ambisi YUnani untuk balas dendam
dapar diredam oleh semangat pantang menyerah dari pasukan Turki. Pada bulan Agustus
hingga pertengahan September 1921,tentara Yunani berjumlah sekitar 200.000 dapat
ditumpas oleh Turki dalam pertempuran Sakaria (Noor, 2018: 301). Melalui
keberhasilannya, Kemal Pasha mendapatgelar “Al Gahz”.Setelah beberapa kali
peperangan, kemudian diadakan pertemuan antara Sekutu dan kaum nasionalis dibawah
pimpinan Mustafa Kemal Pasha, kemudian terjadilah Konferensi Mudania pada tanggal 3
Oktober 1922. Kaum nasionalis diwakilkan oleh Ismet Psha atau Ismet Inonti, hasil dari
konferensi ini adalah:
c. Nasionalisme Mesir
Nasionalisme Mesir adalah bentuk perlawanan rakyat Mesir yang menolak campur
tangan pihak asing terhadap pemerintahan mereka. Gerakan nasionalisme di Mesir ini
bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan mendirikan negara Mesir yang
berdaulat tanpa adanya campur tangan dari negara-negara barat.
10
1. Mesir Sebelum Moderenisasi
Kesultanan Ottoman di bawah Selim I berhasil menaklukkan seluruh wilayah
kekuasaan Kesultanan Mamluk yang kini disebut Mesir, tepat pada 22 Januari 1517.
Keberhasilan Kesultanan Ottoman itu diraih setelah memenangi Pertempuran Ridaniya,
pertemuran terakhir di masa Perang Ottoman-Mamluk. Kesultanan Mamluk kemudian
dinyatakan runtuh setelah wilayahnya dikuasai Kesultanan Ottoman.
2. Era Moderenisasi Mesir (1805–1953)
Sejarah Mesir di bawah pemerintahan dinasti Muhammad Ali (berlangsung
sejak tahun 1805 hingga tahun 1953). Pemerintahan dinasti Muhammad Ali meliputi
periode Mesir Utsmaniyah, termasuk Kewalirajaan Mesir yang berada di bawah
perlindungan Imperium Britania, serta Kesultanan Mesir dan Kerajaan Mesir. Periode
pemerintahan tersebut berakhir ketika terjadinya Revolusi 1952 dan
pembentukan Republik Mesir.
Sumber: Commons.wikimedia.org
11
1803 hingga tahun 1807 dan berhasil dimenangkan pihak Albania yang dipimpin
oleh Muhammad Ali Pasha. Kemudian pada tahun 1805 Muhammad Ali Pasha
mengambil alih kekuasaan di Mesir, ketika Sultan Ottoman mengakui posisinya.
Perang Utsmaniyah-Saudi (1811-1818 )
Perang Utsmaniyah-Saudi berlangsung sejak tahun 1811 dan berakhir pada tahun 1818.
Perang tersebut merupakan pertempuran anatara Mesir yang dipimpin oleh Muhammad
Ali dan Kesultanan Utsmaniyah melawan Tentara Negara Saudi Pertama.Pada tahun
1802 ketika Wahabbi merebut Mekah, kesultanan Utsmaniyah memerintahkan
Muhammad Ali Pasha dari Mesir untuk mulai bergerak melawan Wahabbi untuk
menaklukkan dan merebut kembali Mekah dari kekuasaan Wahabi.
Kampanye Arab pertama
Pada tahun 1811 atas perintah Porta Ottoman, Muhammad Ali mengerahkan 20.000
pasukannya dan 2.000 kuda untuk melawan Negara Saudi Pertama yang dipimpin oleh
putranya yang saat itu masih berusia enam belas tahun yang bernama Tusun Pasha.
Perang tersebut kemudian dikenal dengan perang Utsmaniyah-Saudi. Meskipun pasukan
yang dipimpin oleh Tusun telah mengalami keberhasilan dalam peperangan, namun
pada pertempuran Al-Safra mereka berhasil dipukul telak oleh pihak lawan. Akhirnya
mereka memutuskan untuk mundur terlebih dahulu ke Yanbu—yang
merupakan pelabuhan penting yang ada di Laut Merah di provinsi Al Madinah, Arab
Saudi barat. Tusun akhirnya mendapatkan bala bantuan pada akhir tahun. Lalu dia
kembali melakukan serangan dan berhasil merebut Madinah setelah melalui pengepungan
dan pertempuran yang panjang. Setelah itu dia juga berhasil merebut Jeddah dan Mekkah,
serta mengalahkan Negara Saudi Pertama serta menangkap jenderal musuh.
Pada musim panas tahun 1813 Muhammad Ali harus meninggalkan Mesir untuk
menyelesaikan suatu masalah, sehingga putranya Ibrahim Pasha yang bertanggung jawab
sementara atas negara tersebut. Muhammad Ali menghadapi tantangan yang serius di
Arab, namun secara keseluruhan pasukan yang ia pimpin dapat lebih unggul
dibandingkan pasukan musuh. Dia berhasil menggulingkan dan mengasingkan Syarif
Mekkah, dan setelah kematian Abdullah bin Saud yang merupakan pemimpin Negara
Saudi Pertama, Muhammad Ali membuat perjanjian dengan putra dan penerus Abdullah
bin Saud pada tahun 1815.
Kampanye Arab kedua
Tusun kembali ke Mesir setelah dia mendengar kabar mengenai pemberontakan militer
yang terjadi di Kairo, Mesir. Akan tetapi Tusun meninggal dunia di awal usia dua puluh
tahun pada tahun 1816. Muhammad Ali yang merasa tidak puas dengan perjanjian yang
disepakati dengan Negara Saudi Pertama dan dengan tidak terpenuhinya klausul tertentu.
Dia kemudian bertekan untuk mengirim tentara lain ke Arab, dan memasukkan di
dalamnya tentara yang baru-baru ini terbukti melakukan kekacauan. Ekspedisi ini
dilakukan pada tahun 1816 oleh putra tertua Muhammad Ali yang bernama Ibrahim
Pasha.[10] Ekspedisi tersbut merupakan perang berat yang berlangsung lama. Tapi pada
tahun 1818 Ibrahim berhasil merebut Diriyah, yang merupakan ibu kota dari Negara
Saudi Pertama. Abdullah I bin Saud Al Saud yang merupakan pimpinan mereka dijadikan
12
sebagai tawanan, sedangkan bendahara dan sekretarisnya dikirim ke Istanbul (dalam
beberapa referensi dikirim ke Kairo). Terlepas dari janji keselamatan Ibrahim, mereka
akhirnya dijatuhi hukuman mati. Pada akhir tahun 1819 Ibrahim kembali setelah
menaklukkan semua oposisi yang ada di Arab.
Ekonomi
Ketika Mesir berada di bawah pimpinan Muhammad Ali pada awal abad ke-19,
mereka memiliki industri kapas yang paling produktif kelima di dunia (dalam hal jumlah
spindel per kapita).[11] Industri kapas tersebut awalnya beroperasi dengan memanfaatkan
mesin yang menggunakan sumber energi tradisional. Sumber energi tradisional tersebut
berasal dari tenaga hewan, kincir air, maupun kincir angin. Energi-energi tersebut juga
merupakan sumber energi utama yang digunakan di Eropa Barat hingga sekitar tahun
1870.[11]
Pada 1551 seorang insinyur Ottoman Mesir yang bernama Taqi ad-Din Muhammad
ibn Ma'ruf pernah melakukan uji coba terhadap sumber tenaga uap, ketika dia
menemukan sebuah mesin roasting jack yang digerakkan oleh turbin uap.[12][13] Kemudian
pada abad ke-19, Mesir memperkenalkan sebuah mesin uap ke industri manufaktur
dibawah pemerintahan Muhammad Ali. Meskipun mengalami kekurangan dalam
pasokan batu bara di Mesir, para penambang tetap melakukan penambangan cadangan
batu bara di sana. Kemudian mereka membuat ketel uap yang digunakan dalam industri
Mesir, seperti pabrik besi, pabrik tekstil, pabrik kertas, dan juga pabrik
penggilingan. Batu bara juga diimpor dari luar negeri dengan harga yang sama dengan
batu bara yang import di Prancis hingga tahun 1830-an, ketika Mesir memperoleh akses
ke sumber batu bara yang ada di Lebanon. Yang ketika itu Lebanon memiliki produksi
batu bara tahunan sebesar 4.000 ton. Apabila dibandingkan dengan Eropa Barat, Mesir
juga memiliki keunggulan dalam sektor pertanian dan
jaringan transportasi melalui sungai Nil yang efisien. Sejarawan ekonomi Jean
Batou berpendapat bahwa kondisi yang diperlukan untuk industrialisasi yang cepat ada di
Mesir selama periode tahun 1820-an hingga 1830-an.[11] Serta
penggunaan minyak sebagai sumber energi potensial yang digunakan pada mesin
uap pada abad ke-19.
13
pada abad ke-19.[15] Mesir pada abad ke-19 memiliki pola pertumbuhan penduduk secara
eksplisit non-malthusianisme dan dapat dikategorikan sebagai pertumbuhan hiperbolik.
4. Gerakan perlawanan
Selama 1870-an, ada dua macam gerakan perlawanan terhadap intervensi asing di
Mesir, yaitu pan-islamisme dan nasionalisme
Gerakan pan-islamisme
Pan-Islamisme adalah sebuah gerakan dan juga gagasan untuk
menyatukan kaum muslimin, kemudian membangun dunia islam di bawah satu
pemerintahan dan mengusir penjajahan dunia Barat atas dunia Islam. Gagasan
Pan-Islamisme lahir atas pemikiran Jamaluddin Al-Afghani pada akhir abad ke
19 masehi yang pada Saat itu Jamaluddin sedang berada di Mesir.
Adapun faktor-faktor yang melatar belakang kemunculan pan-Islamisme, yaitu:
Adanya ekspansi militer, ekonomi dan kebudayaan bangsa-bangsa Barat di negara
Islam Timur Tengah. Adanya perpecahan dari umat Islam yang disebabkan oleh
konflik antar golongan.
Pan-Islamisme bertujuan untuk menegaskan kembali landasan-landasan
umat Islam dalam membangun nasionalisme demi kemajuan peradaban Islam.
Tujuan yang ingin dicapai Pan-Islamisme, yakni: Menghapuskan penjajahan
bangsa Barat terhadap umat Islam Menghilangkan sifat kesukuan dan golongan
untuk mempersatukan umat Islam Membangkitkan solidaritas antar umat Islam
14
yang bernasib sengsara karena dominasi bangsa Barat Membangun sebuah sistem
pemerintahan Khilafah untuk memajukan peradaban Islam
Gerakan nasionalisme
Gerakan Nasionalisme di Mesir mulai muncul pada sekitar awal
abad ke- 19 Masehi.Gerakan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran
kebangsaan dan mendirikan negara Mesir yang berdaulat.
Terdapat beberapa peristiwa yang melatarbelakangi gerakan nasionalisme
Mesir, yaitu:
Runtuhnya kekuatan Kekhilafahan Turki Utsmani
Munculnya golongan cendekiawan di pemerintahan Mesir
Munculnya golongan terpelajar yang membawa gagasan
1. Melalui Ekspansi
2. Melalui Pendidikan
Saat itu Mesir merupakan bagian dari kekuasaan Ottoman yang bersekutu dengan
Jerman dan Austria yang merupakan musuh Inggris. Namun, pada 1922, seiring dengan
meningkatnya gerakan nasionalisme rakyat Mesir, Inggris secara sepihak mengumumkan
kemerdekaan Mesir. Meskipun demikian, pengaruh Inggris masih terus mendominasi
kehidupan politik Mesir dan Inggris membantu reformasi keuangan, administrasi, dan
pemerintahan di Mesir. Pada Perang Dunia II, pasukan Inggris menjadikan Mesir sebagai
basis tentara Sekutu. Meskipun selepas perang pasukan Inggris telah angkat kaki dari
Terusan Suez, perasaan anti-Inggris berkecamuk di tengah masyarakat nasionalis Mesir.
Nasionalisme Mesir dan sikap anti-Inggris semakin memuncak setelah didirikannya negara
Israel yang didukung penuh oleh Inggris. Pada 1952, Jenderal Muhammad Najib
menggulingkan Raja Faruk dan pada 1953 dan mengubah sistem kerajaan menjadi republik.
Pada 1954, Jenderal Najib digulingkan Kolonel Gamal Abdul Nasser yang kemudian
menasionalisasi Terusan Suez. Akibatnya, meletuslah perang Mesir melawan Inggris yang
15
bersekutu dengan Prancis dan Israel.
Mesir merupakan salah satu negara yang pernah dijajah Inggris. Semasa zaman
penjajahan itu telah menumbuhkan semangat nasionalisme dalam diri masyarakat Mesir
untuk berjuang menggapai kemerdekaan negaranya. Inisiatif untuk melakukan gerakan
pemberontakan sudah menggebu-gebu dalam diri para perwira muda militer yang selama
ini berada dibawah kontrol kerajaan. Pada tahun 1939, para perwira muda tersebut
mendirikan Organisasi Perwira Bebas yang merupakan sebuah organisasi rahasia pertama
yang beranggotakan perwira-perwira angkatan bersenjata. Organisasi Perwira Bebas ini
kemudian kian berkembang pesat. Para perwira yang tergabung dalam organisasi ini
berencana melakukan perlawanan bersenjata untuk menolak kehadiran Inggris di Mesir.
Kudeta dilakukan atas dasar ketidakpuasan para perwira terhadap kekuasaan Farouk yang
bergaya kemewahan. Raja Farouk yang masih remaja ini hidup dalam kemewahan.
Kendati memiliki banyak tanah yang luas, istana megah, dan dan ratusan mobil, raja
Farouk tidak pernah merasa puas dengan kekayaannya itu. Bahkan raja Farouk sering
melancong ke Eropa untuk berbelanja. Selain itu pada masa-masa sulit semasa Perang
Dunia II, Raja Farouk sering dikritik karena cara hidupnya yang mewah. Keputusan Raja
Farouk untuk tetap menyalakan semua lampu istananya di Alexandria saat seluruh lampu
di kota dimatikan ketika terjadi pengeboman yang dilakukan tentara Italia, menyebabkan
Raja Farouk kian dibenci.
Raja Farouk
16
Peran gamal abdul nasser
Gamal Abdul Nasser lahir pada tanggal 15 Januari 1918 di Alexandria. Ayahnya adalah
seorang tukang pos. Nama Gamal adalah pemberian ibunya, kemudian ayahnya menerima
dengan gembira. Abdul Nasser karena keadaan negerinya yang tidak stabil membuat ia
sering berpindah-pindah, dari Alexandria pindah ke Khathathibah dan disanalah ia mulai
mengecap pendidikan di bangku sekolah, kemudian pindah ke kairo dan tinggal bersama
pamannya.
Gamal Abdul Nasser pada waktu mudanya aktif melakukan demonstrasi atau
penentangan terhadap pengaruh Inggris di Mesir. Dia memasuki sekolah menengah al
Nadlah di Kairo dan lulus pada tahun 1936, sebelumnya Ia pernah sekolah di Ra’is al Tin di
Alexandria. Pendidikan Militernya dimulai setelah dua kali melamar di Kulliyah Harbiyah
(semacam Akademi Militer) yaitu pada tahun 1937. Selanjutnya berhasil menamatkan
pendidikannya pada umur 20 tahun, yakni pada tahun 1938 dengan pangkat letnan dua.
Sumber: wikimedia.org
Pada bulan Desember 1939, ia bersama-sama dengan satu batalion infanteri pindah
ke Sudan, di sana ia berjumpa dengan Abdul Hakim Amir yang kelak menjadi rekannya
dalam Revolusi Mesir. Pada tahun 1942, ia kembali ke Kairo dan mengajar di Akademi
Militer kemudian masuk Dinas Pendidikan Tinggi Militer di Kullyyah Arkan al Harb dan
lulus pada tahun 1948. Selanjutnya bergabung dengan pasukan infanteri menuju Palestina
dalam peperangan melawan Israel. Karir militer Gamal Abdul Nasser yang begitu dini
tidaklah terlalu istimewa, namun pada usia yang cukup muda sudah mampu menggalang
persahabatan dengan opsir-opsir yang kelak menjadi pendukungnya dalam usaha kudeta
terhadap Raja Farouk.
17
1. REVOLUSI dan HASILNYA
Tanggal 23 Juli, memiliki makna tersendiri bagi bangsa Mesir, serupa dengan “hari
keramat” bagi bangsa Indonesia pada 17 Agustus, yang setiap tahun diperingati sebagai
tonggak sejarah negara modern dan berdaulat. Berbeda dengan Indonesia, yang Hari
Nasionalnya diadopsi dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Mesir justru
menetapkan Hari Nasionalnya pada Revolusi 23 Juli 1952, yakni peralihan bentuk negara
Kerajaan menjadi Republik. Mesir sendiri memperoleh kemerdekaan dari penjahah
Inggris pada 28 Januari 1922, namun tanggal tersebut tampaknya tidak pernah
diperingatinya.
Revolusi 23 Juli 1952 itu diawali dengan kudeta militer yang diprakarsai oleh
beberapa perwira muda Angatan Darat pimpinan Letnan Kolonel Gamal Abdul Nasser.
Para perwira muda yang menamakan dirinya “Gerakan Perwira Bebas” itu berupaya
menumbangkan Raja Farouk dan menghapus konstitusi monarki untuk mengubah bentuk
negara kerajaan menjadi republik. Keberhasilan revolusi Mesir tersebut menyumbangkan
inspirasi bagi sejumlah negara Asia dan Afrika untuk melakukan gerakan serupa untuk
menumbangkan apa yang disebut sebagai rezim korup.
Revolusi yang dinilai berhasil dan mendapat dukungan rakyat itu bertumpu pada tiga
alasan ketidakpuasan. Pertama adalah ketidakpuasan atas berdirinya negara Israel di
tanah Palestina pada 1948. Raja Farouk dinilai terlalu lemah dalam mempertahankan
negara Palestina. Kedua, ialah penguasa Monarki dinilai melakukan korupsi dan terlalu
pro-Inggris, bekas penjajah Mesir dan Palestina, yang dikenal sebagai salah satu negara
yang menyokong berdirinya negara Israel. Ketiga, ketidakpuasan publik atas menjalarnya
korupsi dan penyelewengan kekuasaan yang merata di hampir semua lembaga
pemerintahan. Kemarahan rakyat kian memuncak ketika pasukan Inggris menyerang
barak-barak polisi di kota Ismailiah pada 25 Januari 1952, sehingga menewaskan 50
18
perwira polisi dan melukai ratusan personil lagi. Pada hari berikutnya, 26 Januari yang
juga disebut sebagai As-Sabt Al-Aswad (Sabtu Hitam), rakyat turun ke jalan-jalan di
Kairo dan sejumlah kota lain. Kata-kata “revolusi kedua” dikumandangkan oleh para
demontran yang mengingatkan revolusi pertama Mesir pada musim semi 1919, yang
diprakarsai Saad Zaghlul, pemimpin Gerakan Nasionalis yang dikucilkan Inggris di
Malta.
Revolusi Mesir
Kudeta itu sendiri awalnya dijadwalkan pada 5 Agustus 1952, namun kalangan
anggota Gerakan Perwira Bebas yang dimotori Letkol Gamal Abdel Nasser mendesak
agar mereka segera beraksi. Jenderal Mohamed Naguib, salah seorang tokoh Gerakan
Perwira Bebas yang dituakan, pun mengamini desakan untuk mempercepat aksi kudeta.
Akhirnya, hari Rabu, 23 Juli 1952, pukul 07:30 waktu Kairo (12:30 WIB), dari stasiun
Radio Nasional Mesir terdengar maklumat revolusi yang dibacakan Letkol Anwar
Saddat, anggota Gerakan Perwira Bebas. “Mesir telah melewati masa kritis yang
diakibatkan oleh korupsi, kolusi, kekacauan keamanan dan ketidakstabilan pemerintahan.
Lebih parah lagi, angkatan bersenjata yang sangat lemah mengakibatkan kekalahan besar
dalam perang mempertahankan Palestina melawan Zionis Yahudi,” begitu antara lain
19
Maklumat Revolusi yang dibacakan Letkol Saddat, presiden 1970-1981.
Gambar: Terusan Suez
20
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
nasionalisme Asia dan Afrika adalah aliran yang mencerminkan bangunnya bangsa-bangsa Asia
dan Afrika sebagai reaksi terhadap imperialisme dan kolonialisme bangsa-bangsa barat. Dengan
demikian nasionalisme Asia dan Afrika merupakan gerakan untuk menentang imperialisme dan
kolonialisme bangsa barat.
Nasionalisme negara-negara di Asia yang bangkit menentang kolonialisme antara lain terjadi di
India, Philipina, Indonesia, Turki, Jepang, dan Cina. Sedangkan negara di kawasan Afrika yang
mengembangkan ajaran nasionalisme akibat imperialisme antara lain Libya, Mesir, Angola, dan
Afrika Selatan.
Perkembangan Nasionalisme negara-negara Asia dan Afrika yang dilandasi oleh paham-paham
di atas membangkitkan semangat bangsa Asia-Afrika untuk mengembalikan harga dirinya yang
hilang akibat penindasan kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
21