SEJARAH
PERKEMBANGAN NASIONALISME
DI ASIA DAN AFRIKA
Guru Matapelajaran:
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Kelompok 6
Nama Anggota:
1).Rascya Simbolon
2).Junita Naibaho
3).Rut Sinaga
4). Canris Situmorang
5).Andreas Sitohang
6).Rihat malau
7).
SMA/S
ST.MIKHAEL
PANGURURAN
2023
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan atas hadirat Tuhan Yang Maha Esa yg memberikan
rahmadnya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah sejarah tepat pada waktu. Terima
kasih juga kami ucapkan kepada guru pembimbing yang selalu memberikan dukungan dan
bimbingannya.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi nilai tugas sejarah. Tak hanya itu,
kami juga berharap makalah ini bisa bermanfaat untuk kami pada khususnya dan
pembaca pada umumnya. Walaupun demikian, kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik
dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya kata, kami berharap semoga makalah sejarah ini bisa memberikan informasi
dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Kami juga mengucapkan terima kami kepada
para pembaca yang telah membaca makalah ini hingga akhir.
DARTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan masalah
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Faktor-faktor yang melatarbelakangi
Gerakan Nasionalisme Asia–Afrika
2.2 Nasionalisme India, Turki, dan Mesir
2.2.1.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
BAB 1 PENDAHULUAN
Pasca-Perang Dunia II, semangat untuk menentukan nasib sendiri dari Negara-negara
jajahan sangat mendominasi Negara-negara Asia dan Afrika seperti India, Filipina, Turki, dan
Mesir. Semangat untuk menentukan nasib sendiri ini juga menular ke Indonesia. Proses
dekolonisasi Negara-negara Asia dan Afrika kemudian menjadi fenomena yang dominant
pada akhir Perang Dunia II. Kondisi ekonomi dan politik Indonesia pun mengalami berbagai
perubahan yang signifikan.
Runtuhnya kekuasaan kolonial di kawasan Asia dan Afrika ini menjadi awal dari
berubahnya struktur politik global. Jumlah Negara-negara menjadi berkembang lebih
banyak. Tercatat pada pasca Perang Dunia II jumlah Negara mencapai 51 negara, dan saat
ini telah mencapai 192 negara. Proses dekolonisasi ini dipicu oleh adanya gerakan-gerakan
nasionalisme yang berkembang di masing-masing Negara di Asia dan Afrika. Tercatat
seperti Gerakan Turki Muda, Gerakan Nasionalisme Filipina, Gerakan Nasionalisme Cina,
Gerakan Nasionalisme India, dan berbagai gerakan serupa yang muncul di Negara-negara
seperti Cina, Jepang, Mesir, Libya,India, dan lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujua
Sumber: wikimedia.org
Setelah memberontak, para sepoy mendapat dukungan dari raja-raja wilayah di India yang
sebelumnya terampas kekuasaannya oleh EIC. Kemudian secara bersama-sama mengangkat
Maharaja Mughal (penguasa India sebelum EIC) sebagai lambang perlawanan. EIC berhasil
memadamkan pemberontakan setelah mendatangkan pasukan dari Eropa dan koloninya yang lain
terutama Burma, dengan dibantu para sepoy yang masih setia dari kaum Sikh.Setelah
pemberontakan berhasil dipadamkan, EIC dibubarkan pada tahun 1858. Selanjutnya, kekuasaan di
India dijalankan secara langsung oleh mahkota Britania.
Mohandas Karamchand Gandhi adalah seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India.
Gandhi adalah salah seorang yang paling penting yang terlibat dalam Gerakan Kemerdekaan India.
Ia adalah aktivis yang menggunakan perlawanan tanpa kekerasan, mengusung gerakan
kemerdekaan melalui aksi demonstrasi damai. Pada masa kehidupan Gandhi, banyak negara yang
merupakan koloni Britania Raya. Penduduk di koloni-koloni tersebut
mendambakan kemerdekaan agar dapat memerintah negaranya sendiri.
b. Nasionalisme turki
Perjuangan Gerakan Utsmani dan Turki Muda tidak dapat dilupakan begitu saja, jasa
nya dalam perkembangan negara Turki sangat banyak hingga membuat Negara Turki
sekarang dapat beridiri. Bahkan pengaruhnya pun menyebar hingga ke berbagai negara,
terutama Indonesia.
Sultan Abdul Aziz, sultan yang memiliki sifat otoriter dan kepemimpinannya bersifat
absolut dilawan oleh gerakan Utsmani Muda. Keinginan untuk berdirinya negara demokrasi
yang maju dan dapat bersaing dengan negara lain adalah tujuan utama dari gerakan Utsmani
Muda. Hingga mereka pun dapat menurunkan Sultan Abdul Aziz, tetapi absolutisme Sultan
Turki tidaklah berakhir dan dilanjutkan oleh Sultan Abdul Hamid. Sehingga dapat dikatakan
perjuangan dari Utsmani Muda tidaklah berhasil.
Namun perjuangan dari Utsmani Muda pun dilanjutkan oleh golongan Turki Muda,
mereka melawan Sultan Abdul Aziz dan pada akhirnya dapat menurunkannya dari jabatan
sultan, sehingga Turki pun menjadi milik Golongan Turki Muda. Tetapi karena kekuasaan
berantakan karena tidak diatur dengan rapi, dan pada akhrinya Turki Muda pun gagal dalam
mewujudkan cita-citanya, dan hanya berhasil dalam menggulingkan kekuasaan aboslutisme
saja.
3. Era Nasionalisme Kedua: Perang Dunia I (1914–1918)
Pada Perang Dunia I, Ottoman bersekutu dengan Jerman yang tergabung dalam Blok
Sentral. Keinginan untuk merebut kembali bekas wilayahnya di kawasan Eropa Timur
menjadi alasan utama Turki Ottoman mengikuti Perang Dunia I. Kekaisaran Turki
Ottoman (Turki Usmani) yang saat itu berkuasa, berperang melawan bekas jajahannya
yang memerdekakan diri.
Pemimpin dari Turki Muda pada masa ini dikenal sebagai tiga serangkai yakni
Enver Bey, Talaat, dan Jamal. Mereka berpihak kepada Jerman karena membenci Rusia
yang selalu mengancam Turki. Sehingga ketika meletusnya Perang Dunia I, Turki
membantu Jerman yang membuat Sekutu mneyatakan perang dengan Turki. Penyerangan
Sekutu terhadap Turki dilakukan di daerah Dardanella, namun karena ketatnya
pengawalan yang dilakukan oleh Mustafa Kemal, Sekutu gagal menerobos benteng
pertahanan Turki dan setiap serangannya dapat dipatahkan.
Peperangan besar bangsa Turki di kawasan Timur Tengah adalah mealawan Inggris
dan Prancis.Inggris mendapat bantuan bangsa Arab dan memperoleh kemenangan, lalu
pada tanggal30 Oktober 1918 terjadilah gencatan senjata. Dapat dikatakan dalam Perang
Dunia I, pihak Turki mengalami kekalahan.Kemenangan berada di pihak Sekutu yang
akhirnya dapat menguasai wilayah Turki. Pada tahun 1919, Rusia berhasil menguasai
sebagian wilayah Turki yang terletak di sebelah timur Laut Hitam, sedangkan Kota
Azmir berhasil dikuasai oleh Yunani.
Selanjutnya, pada tanggal 20 Agustus 1920 diadakan perjanjian Serves antara pihak Turki
yang diwakilkan oleh Sultan Muhammad VI. Melalui perjanjian ini, Perdana Menteri
Farid Pasha dipaksa untuk menerima isi perjanjian tersebut, antara lain:
1. Daerah Turki dipersempit dan tersisa Konstantinopel, Anatoli dan sekitarnya
2. Smyrna dan daeah Thracia diberikan kepada Yunani
3. Bosporus, Marmora dan Dardanella di internasionalisir
4. Armenia menjadi negara yang merdeka.
Gerakan Turki Muda dengan semangat kebangsaan yang tinggi terus berupaya
melakukan rongrongan, baik terhadap pihak Sekutu yang telah mengkotak-kotakkan
daerah Turki tetapi juga berjuang melawan kemunafikan Sultan untuk memperbaiki
kondisi pemerintahannya (Soebantardjo, 1954).
Akibat adanya Perjanjian Sevres ini muncul tokoh Mustafa Kemal Pasha dikenal
sebagai “The Strong Man” yang tampil karena menganggap Perjanjian Sevres sangat
menyudutkan kebesaran Turki.
Sumber: wikimedia.org
Sumber: Commons.wikimedia.org
Perebutan kekuasaan Muhammad Ali di Mesir merupakan perang panjang
antara Turki Utsmaniyah, Mamluk Mesir yang telah memerintah Mesir selama berabad-
abad, yang melawan tentara bayaran Albania. Perang tersebut berlangsung sejak tahun
1803 hingga tahun 1807 dan berhasil dimenangkan pihak Albania yang dipimpin
oleh Muhammad Ali Pasha. Kemudian pada tahun 1805 Muhammad Ali Pasha mengambil
alih kekuasaan di Mesir, ketika Sultan Ottoman mengakui posisinya.
➢ Perang Utsmaniyah-Saudi (1811-1818 )
Perang Utsmaniyah-Saudi berlangsung sejak tahun 1811 dan berakhir pada tahun 1818.
Perang tersebut merupakan pertempuran anatara Mesir yang dipimpin oleh Muhammad Ali
dan Kesultanan Utsmaniyah melawan Tentara Negara Saudi Pertama.Pada tahun 1802
ketika Wahabbi merebut Mekah, kesultanan Utsmaniyah memerintahkan Muhammad Ali
Pasha dari Mesir untuk mulai bergerak melawan Wahabbi untuk menaklukkan dan merebut
kembali Mekah dari kekuasaan Wahabi.
➢ Kampanye Arab pertama
Pada tahun 1811 atas perintah Porta Ottoman, Muhammad Ali mengerahkan 20.000
pasukannya dan 2.000 kuda untuk melawan Negara Saudi Pertama yang dipimpin oleh
putranya yang saat itu masih berusia enam belas tahun yang bernama Tusun Pasha. Perang
tersebut kemudian dikenal dengan perang Utsmaniyah-Saudi. Meskipun pasukan yang
dipimpin oleh Tusun telah mengalami keberhasilan dalam peperangan, namun
pada pertempuran Al-Safra mereka berhasil dipukul telak oleh pihak lawan. Akhirnya
mereka memutuskan untuk mundur terlebih dahulu ke Yanbu—yang
merupakan pelabuhan penting yang ada di Laut Merah di provinsi Al Madinah, Arab
Saudi barat. Tusun akhirnya mendapatkan bala bantuan pada akhir tahun. Lalu dia kembali
melakukan serangan dan berhasil merebut Madinah setelah melalui pengepungan dan
pertempuran yang panjang. Setelah itu dia juga berhasil merebut Jeddah dan Mekkah, serta
mengalahkan Negara Saudi Pertama serta menangkap jenderal musuh.
Pada musim panas tahun 1813 Muhammad Ali harus meninggalkan Mesir untuk
menyelesaikan suatu masalah, sehingga putranya Ibrahim Pasha yang bertanggung jawab
sementara atas negara tersebut. Muhammad Ali menghadapi tantangan yang serius di Arab,
namun secara keseluruhan pasukan yang ia pimpin dapat lebih unggul dibandingkan
pasukan musuh. Dia berhasil menggulingkan dan mengasingkan Syarif Mekkah, dan
setelah kematian Abdullah bin Saud yang merupakan pemimpin Negara Saudi Pertama,
Muhammad Ali membuat perjanjian dengan putra dan penerus Abdullah bin Saud pada
tahun 1815.
➢ Kampanye Arab kedua
Tusun kembali ke Mesir setelah dia mendengar kabar mengenai pemberontakan militer
yang terjadi di Kairo, Mesir. Akan tetapi Tusun meninggal dunia di awal usia dua puluh
tahun pada tahun 1816. Muhammad Ali yang merasa tidak puas dengan perjanjian yang
disepakati dengan Negara Saudi Pertama dan dengan tidak terpenuhinya klausul tertentu.
Dia kemudian bertekan untuk mengirim tentara lain ke Arab, dan memasukkan di
dalamnya tentara yang baru-baru ini terbukti melakukan kekacauan. Ekspedisi ini
dilakukan pada tahun 1816 oleh putra tertua Muhammad Ali yang bernama Ibrahim
Pasha.[10] Ekspedisi tersbut merupakan perang berat yang berlangsung lama. Tapi pada
tahun 1818 Ibrahim berhasil merebut Diriyah, yang merupakan ibu kota dari Negara Saudi
Pertama. Abdullah I bin Saud Al Saud yang merupakan pimpinan mereka dijadikan
sebagai tawanan, sedangkan bendahara dan sekretarisnya dikirim ke Istanbul (dalam
beberapa referensi dikirim ke Kairo). Terlepas dari janji keselamatan Ibrahim, mereka
akhirnya dijatuhi hukuman mati. Pada akhir tahun 1819 Ibrahim kembali setelah
menaklukkan semua oposisi yang ada di Arab.
➢ Ekonomi
Ketika Mesir berada di bawah pimpinan Muhammad Ali pada awal abad ke-19, mereka
memiliki industri kapas yang paling produktif kelima di dunia (dalam hal jumlah spindel
per kapita).[11] Industri kapas tersebut awalnya beroperasi dengan memanfaatkan mesin
yang menggunakan sumber energi tradisional. Sumber energi tradisional tersebut berasal
dari tenaga hewan, kincir air, maupun kincir angin. Energi-energi tersebut juga merupakan
sumber energi utama yang digunakan di Eropa Barat hingga sekitar tahun 1870.[11]
Pada 1551 seorang insinyur Ottoman Mesir yang bernama Taqi ad-Din Muhammad
ibn Ma'ruf pernah melakukan uji coba terhadap sumber tenaga uap, ketika dia menemukan
sebuah mesin roasting jack yang digerakkan oleh turbin uap.[12][13] Kemudian pada abad
ke-19, Mesir memperkenalkan sebuah mesin uap ke industri manufaktur dibawah
pemerintahan Muhammad Ali. Meskipun mengalami kekurangan dalam pasokan batu bara
di Mesir, para penambang tetap melakukan penambangan cadangan batu bara di sana.
Kemudian mereka membuat ketel uap yang digunakan dalam industri Mesir, seperti pabrik
besi, pabrik tekstil, pabrik kertas, dan juga pabrik penggilingan. Batu
bara juga diimpor dari luar negeri dengan harga yang sama dengan batu bara yang import
di Prancis hingga tahun 1830-an, ketika Mesir memperoleh akses ke sumber batu bara yang
ada di Lebanon. Yang ketika itu Lebanon memiliki produksi batu bara tahunan sebesar
4.000 ton. Apabila dibandingkan dengan Eropa Barat, Mesir juga memiliki keunggulan
dalam sektor pertanian dan jaringan transportasi melalui sungai Nil yang
efisien. Sejarawan ekonomi Jean Batou berpendapat bahwa kondisi yang diperlukan untuk
industrialisasi yang cepat ada di Mesir selama periode tahun 1820-an hingga 1830-
an.[11] Serta penggunaan minyak sebagai sumber energi potensial yang digunakan
pada mesin uap pada abad ke-19.
4. Gerakan perlawanan
Selama 1870-an, ada dua macam gerakan perlawanan terhadap intervensi asing di
Mesir, yaitu pan-islamisme dan nasionalisme
➢ Gerakan pan-islamisme
Pan-Islamisme adalah sebuah gerakan dan juga gagasan untuk menyatukan
kaum muslimin, kemudian membangun dunia islam di bawah satu pemerintahan
dan mengusir penjajahan dunia Barat atas dunia Islam. Gagasan Pan-Islamisme
lahir atas pemikiran Jamaluddin Al-Afghani pada akhir abad ke 19 masehi yang
pada Saat itu Jamaluddin sedang berada di Mesir.
Adapun faktor-faktor yang melatar belakang kemunculan pan-Islamisme, yaitu:
Adanya ekspansi militer, ekonomi dan kebudayaan bangsa-bangsa Barat di negara
Islam Timur Tengah. Adanya perpecahan dari umat Islam yang disebabkan oleh
konflik antar golongan.
Pan-Islamisme bertujuan untuk menegaskan kembali landasan-landasan
umat Islam dalam membangun nasionalisme demi kemajuan peradaban Islam.
Tujuan yang ingin dicapai Pan-Islamisme, yakni: Menghapuskan penjajahan
bangsa Barat terhadap umat Islam Menghilangkan sifat kesukuan dan golongan
untuk mempersatukan umat Islam Membangkitkan solidaritas antar umat Islam
yang bernasib sengsara karena dominasi bangsa Barat Membangun sebuah sistem
pemerintahan Khilafah untuk memajukan peradaban Islam
➢ Gerakan nasionalisme
Gerakan Nasionalisme di Mesir mulai muncul pada sekitar awal
abad ke- 19 Masehi.Gerakan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran
kebangsaan dan mendirikan negara Mesir yang berdaulat.
Terdapat beberapa peristiwa yang melatarbelakangi gerakan nasionalisme
Mesir, yaitu:
➢ Runtuhnya kekuatan Kekhilafahan Turki Utsmani
➢ Munculnya golongan cendekiawan di pemerintahan Mesir
➢ Munculnya golongan terpelajar yang membawa gagasan
1. Melalui Ekspansi
2. Melalui Pendidikan
3. Melalui Bahasa dan Sastra
4. Melalui Media Cetak
Saat itu Mesir merupakan bagian dari kekuasaan Ottoman yang bersekutu dengan Jerman
dan Austria yang merupakan musuh Inggris. Namun, pada 1922, seiring dengan meningkatnya
gerakan nasionalisme rakyat Mesir, Inggris secara sepihak mengumumkan kemerdekaan
Mesir. Meskipun demikian, pengaruh Inggris masih terus mendominasi kehidupan politik
Mesir dan Inggris membantu reformasi keuangan, administrasi, dan pemerintahan di Mesir.
Pada Perang Dunia II, pasukan Inggris menjadikan Mesir sebagai basis tentara Sekutu.
Meskipun selepas perang pasukan Inggris telah angkat kaki dari Terusan Suez, perasaan anti-
Inggris berkecamuk di tengah masyarakat nasionalis Mesir. Nasionalisme Mesir dan sikap
anti-Inggris semakin memuncak setelah didirikannya negara Israel yang didukung penuh oleh
Inggris. Pada 1952, Jenderal Muhammad Najib menggulingkan Raja Faruk dan pada 1953 dan
mengubah sistem kerajaan menjadi republik. Pada 1954, Jenderal Najib digulingkan Kolonel
Gamal Abdul Nasser yang kemudian menasionalisasi Terusan Suez. Akibatnya, meletuslah
perang Mesir melawan Inggris yang bersekutu dengan Prancis dan Israel.
2.2.1 Perang Dunia II dan Revolusi Mesir 1952 (1939–1952)
Mesir merupakan salah satu negara yang pernah dijajah Inggris. Semasa zaman
penjajahan itu telah menumbuhkan semangat nasionalisme dalam diri masyarakat Mesir
untuk berjuang menggapai kemerdekaan negaranya. Inisiatif untuk melakukan gerakan
pemberontakan sudah menggebu-gebu dalam diri para perwira muda militer yang selama
ini berada dibawah kontrol kerajaan. Pada tahun 1939, para perwira muda tersebut
mendirikan Organisasi Perwira Bebas yang merupakan sebuah organisasi rahasia pertama
yang beranggotakan perwira-perwira angkatan bersenjata. Organisasi Perwira Bebas ini
kemudian kian berkembang pesat. Para perwira yang tergabung dalam organisasi ini
berencana melakukan perlawanan bersenjata untuk menolak kehadiran Inggris di Mesir.
Kudeta dilakukan atas dasar ketidakpuasan para perwira terhadap kekuasaan Farouk yang
bergaya kemewahan. Raja Farouk yang masih remaja ini hidup dalam kemewahan. Kendati
memiliki banyak tanah yang luas, istana megah, dan dan ratusan mobil, raja Farouk tidak
pernah merasa puas dengan kekayaannya itu. Bahkan raja Farouk sering melancong ke
Eropa untuk berbelanja. Selain itu pada masa-masa sulit semasa Perang Dunia II, Raja
Farouk sering dikritik karena cara hidupnya yang mewah. Keputusan Raja Farouk untuk
tetap menyalakan semua lampu istananya di Alexandria saat seluruh lampu di kota
dimatikan ketika terjadi pengeboman yang dilakukan tentara Italia, menyebabkan Raja
Farouk kian dibenci.
Raja Farouk
1. Peran gamal abdul nasser
Gamal Abdul Nasser lahir pada tanggal 15 Januari 1918 di Alexandria. Ayahnya adalah
seorang tukang pos. Nama Gamal adalah pemberian ibunya, kemudian ayahnya menerima
dengan gembira. Abdul Nasser karena keadaan negerinya yang tidak stabil membuat ia
sering berpindah-pindah, dari Alexandria pindah ke Khathathibah dan disanalah ia mulai
mengecap pendidikan di bangku sekolah, kemudian pindah ke kairo dan tinggal bersama
pamannya.
Gamal Abdul Nasser pada waktu mudanya aktif melakukan demonstrasi atau
penentangan terhadap pengaruh Inggris di Mesir. Dia memasuki sekolah menengah al
Nadlah di Kairo dan lulus pada tahun 1936, sebelumnya Ia pernah sekolah di Ra’is al Tin di
Alexandria. Pendidikan Militernya dimulai setelah dua kali melamar di Kulliyah Harbiyah
(semacam Akademi Militer) yaitu pada tahun 1937. Selanjutnya berhasil menamatkan
pendidikannya pada umur 20 tahun, yakni pada tahun 1938 dengan pangkat letnan dua.
Sumber: wikimedia.org
Pada bulan Desember 1939, ia bersama-sama dengan satu batalion infanteri pindah ke
Sudan, di sana ia berjumpa dengan Abdul Hakim Amir yang kelak menjadi rekannya dalam
Revolusi Mesir. Pada tahun 1942, ia kembali ke Kairo dan mengajar di Akademi Militer
kemudian masuk Dinas Pendidikan Tinggi Militer di Kullyyah Arkan al Harb dan lulus
pada tahun 1948. Selanjutnya bergabung dengan pasukan infanteri menuju Palestina dalam
peperangan melawan Israel. Karir militer Gamal Abdul Nasser yang begitu dini tidaklah
terlalu istimewa, namun pada usia yang cukup muda sudah mampu menggalang
persahabatan dengan opsir-opsir yang kelak menjadi pendukungnya dalam usaha kudeta
terhadap Raja Farouk.
2. REVOLUSI dan HASILNYA Tanggal 23 Juli, memiliki makna tersendiri bagi bangsa
Mesir, serupa dengan “hari keramat” bagi bangsa Indonesia pada 17 Agustus, yang setiap
tahun diperingati sebagai tonggak sejarah negara modern dan berdaulat. Berbeda dengan
Indonesia, yang Hari Nasionalnya diadopsi dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945,
Mesir justru menetapkan Hari Nasionalnya pada Revolusi 23 Juli 1952, yakni peralihan
bentuk negara Kerajaan menjadi Republik. Mesir sendiri memperoleh kemerdekaan dari
penjahah Inggris pada 28 Januari 1922, namun tanggal tersebut tampaknya tidak pernah
diperingatinya.
Revolusi 23 Juli 1952 itu diawali dengan kudeta militer yang diprakarsai oleh beberapa
perwira muda Angatan Darat pimpinan Letnan Kolonel Gamal Abdul Nasser. Para perwira
muda yang menamakan dirinya “Gerakan Perwira Bebas” itu berupaya menumbangkan
Raja Farouk dan menghapus konstitusi monarki untuk mengubah bentuk negara kerajaan
menjadi republik. Keberhasilan revolusi Mesir tersebut menyumbangkan inspirasi bagi
sejumlah negara Asia dan Afrika untuk melakukan gerakan serupa untuk menumbangkan
apa yang disebut sebagai rezim korup.
Revolusi yang dinilai berhasil dan mendapat dukungan rakyat itu bertumpu pada tiga
alasan ketidakpuasan. Pertama adalah ketidakpuasan atas berdirinya negara Israel di tanah
Palestina pada 1948. Raja Farouk dinilai terlalu lemah dalam mempertahankan negara
Palestina. Kedua, ialah penguasa Monarki dinilai melakukan korupsi dan terlalu pro-
Inggris, bekas penjajah Mesir dan Palestina, yang dikenal sebagai salah satu negara yang
menyokong berdirinya negara Israel. Ketiga, ketidakpuasan publik atas menjalarnya
korupsi dan penyelewengan kekuasaan yang merata di hampir semua lembaga
pemerintahan. Kemarahan rakyat kian memuncak ketika pasukan Inggris menyerang
barak-barak polisi di kota Ismailiah pada 25 Januari 1952, sehingga menewaskan 50
perwira polisi dan melukai ratusan personil lagi. Pada hari berikutnya, 26 Januari yang juga
disebut sebagai As-Sabt Al-Aswad (Sabtu Hitam), rakyat turun ke jalan-jalan di Kairo dan
sejumlah kota lain. Kata-kata “revolusi kedua” dikumandangkan oleh para demontran yang
mengingatkan revolusi pertama Mesir pada musim semi 1919, yang diprakarsai Saad
Zaghlul, pemimpin Gerakan Nasionalis yang dikucilkan Inggris di Malta.
Revolusi Mesir
Kudeta itu sendiri awalnya dijadwalkan pada 5 Agustus 1952, namun kalangan anggota
Gerakan Perwira Bebas yang dimotori Letkol Gamal Abdel Nasser mendesak agar mereka
segera beraksi. Jenderal Mohamed Naguib, salah seorang tokoh Gerakan Perwira Bebas
yang dituakan, pun mengamini desakan untuk mempercepat aksi kudeta. Akhirnya, hari
Rabu, 23 Juli 1952, pukul 07:30 waktu Kairo (12:30 WIB), dari stasiun Radio Nasional
Mesir terdengar maklumat revolusi yang dibacakan Letkol Anwar Saddat, anggota
Gerakan Perwira Bebas. “Mesir telah melewati masa kritis yang diakibatkan oleh korupsi,
kolusi, kekacauan keamanan dan ketidakstabilan pemerintahan. Lebih parah lagi, angkatan
bersenjata yang sangat lemah mengakibatkan kekalahan besar dalam perang
mempertahankan Palestina melawan Zionis Yahudi,” begitu antara lain Maklumat
Revolusi yang dibacakan Letkol Saddat, presiden 1970-1981.
Aksi revolusi itu berlanjut hingga Dewan Komando Revolusi memproklamasikan
Republik Mesir pada 18 Juni 1953 dengan Jenderal Muhamed Naguib sebagai presiden
pertama. Presiden Naguib sebetulnya hanya dijadikan boneka oleh kelompok Gerakan
Perwira Bebas. Pemimpin sebenarnya adalah Letkol Gamal Abdel Nasser, yang dikenal
sebagai arsitek revolusi 1952. Presiden Naguib pun dipaksa mengundurkan diripada 1954,
dan seperti telah diduga, Gamal Abdel Nasser mengambil-alih jabatan presiden hingga ia
wafat pada tahun 1970.
Kesimpulan