Anda di halaman 1dari 4

Sejarah telah mencatat peran santri dalam mengabdikan diri bagi umat dan bangsa sejak

periode penjajahan hingga periode kemerdekaan hari ini. Santri telah mampu mewarnai
berbagai dinamika kemajuan bangsa dengan mahakarya dan berbagai kontribusi aktif di
dalamnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman, dinamika kehidupan berbangsa kian
mengalami perubahan, salah satunya disebabkan cepatnya arus informasi melalui berbagai
macam media yang berbasis kemutakhiran teknologi. Begitupun dengan fenomena santri hari
ini yang juga tidak terlepas dari pengaruh media dan informasi yang turut memengaruhi pola
pikir dan tingkah laku santri. Perilaku-perilaku seperti cara berpakaian, musik favorit, kisah
asmara, sampai kepada way of life santri mengalami berbagai macam perubahan. Perubahan ini
tentu dapat bernilai negatif maupun positif tergantung bagaimana santri dapat memfilter
dampak yang dapat terjadi serta keteguhannya untuk tidak meninggalkan identitasnya sebagai
santri. Santri hari ini, atau istilah kerennya adalah santri zaman now, adalah bagian dari generasi
millenial yang tentunya tidak terlepas dari karakteristik generasi millenial itu sendiri. Menurut
Hassanuddin Ali, dalam bukunya yang berjudul Milenial Nusantara, yang dimaksud generasi
millenial adalah generasi yang lahir pada tahun 1981-2000, di mana millenial adalah istilah
cohort. Dalam demografi, terdapat empat cohort besar yaitu Baby bommer, Gen-X, Gen-Y
(generasi millenial), dan Gen-Z. Lebih lanjut lagi, Hassanuddin menerangkan bahwa setidaknya
ada tiga karakteristik dasar generasi millenial, yaitu confidence (percaya diri), creative (kaya akan
ide dan gagasan), dan connected (pandai bersosialisasi dalam berbagai komunitas). Karakteristik
ini juga yang tentu dimiliki juga oleh santri zaman now sebagai bagian dari generasi millenial. Di
permulaan tahun ini, nampaknya ada beberapa hal yang menarik untuk diperbincangkan juga
kemudian perlu dipersiapkan. Pertama, pada tahun 2018 kita akan menyongsong 20 tahun
pasca reformasi Indonesia. Kedua, pada dua tahun berikutnya yaitu tepatnya tahun 2020, kita
akan memulai fase dimana Indonesia akan mengalami bonus demografi. Kemudian yang ketiga,
pada tahun 2030 diprediksi akan menjadi awal masa keemasan Indonesia. Lalu timbul
pertanyaan, di manakah posisi santri saat itu? Akankah santri menjadi pelopor kemajuan di
Indonesia ataukah hanya menjadi pengekor saja? Akankah santri menjadi pelaku sejarah atau
hanya menjadi penikmat sejarah? Harapan besarnya adalah santri dapat menjadi pelopor
peradaban kemajuan Indonesia. Selanjutnya, apa yang harus dilakukan santri dalam
mempersiapkan dirinya agar bisa menjadi pelaku sejarah serta pelopor kemajuan peradaban di
Indonesia? Menurut penulis, setidaknya ada tiga hal yang harus santri lakukan dalam
mempersiapkan dirinya agar bisa menjadi pelaku sejarah serta pelopor kemajuan peradaban di
Indonesia berdasarkan realitas yang ada. Pertama, persiapan yang harus dilakukan santri yaitu
santri harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi dan daya nalar kritis dalam menyikapi
setiap persoalan yang ada. Keilmuan santri harus mampu menyesuaikan dengan keadaan
zaman, sehingga tidak lagi dikotomi antara keilmuan dunia dan keilmuan akhirat. Santri harus
bisa menguasai keilmuan-keilmuan yang mampu mengantarkan kemenangan di dunia dan
akhirat. Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, mengutip sebuah hadits bahwa:
“Sesungguhnya kalian berada pada zaman di mana fuqaha’ (ahli ilmu) banyak sedangkan sedikit
qurra’ (ahli baca al-Qur’an) dan khutoba’ (ahli pidato), maka amal pada zaman ini lebih baik
daripada ilmu." Dan akan datang kepada manusia zaman di mana sedikit fuqaha’ sedangkan
banyak qurra’, dan khutoba’, maka ilmu pada zaman ini lebih baik daripada amal”. Boleh jadi di
era sekarang ini, memang menjadi suatu keniscayaan bahwa ilmu pengetahuan memiliki peran
yang sangat penting, dan tentunya harus diimbangi juga dengan amal perbuatan. Kedua,
persiapan yang harus santri santri lakukan yaitu memiliki skill entrepreneur yang mumpuni dan
terampil dalam melihat peluang bisnis. Potensi pasar Indonesia yang sangat besar diiringi laju
pertumbuhan ekonomi yang pesat serta menjamurnya start-up bisnis dari kalangan pemuda
harusnya direspon juga dengan sigap oleh kalangan santri. Santri zaman now tidak cukup hanya
berbekal ilmu pengetahuan, akan tetapi harus sukses juga dalam entrepreneur. Rasulullah SAW
telah memberikan contoh langsung untuk kita teladani di mana beliau merupakan sosok
pebisnis yang sukses. Kesungguhannya dalam berdagang mengantarkan Rasulullah mencapai
kondisi yang mandiri secara finansial di usia muda. Contoh keteladanan inilah yang harus
dicontoh oleh santri hari ini, bahwa mandiri secara finansial harus dirintis dan diperjuangkan
dari sejak muda. Maka sudah sepatutnya, santri tidak hanya belajar membaca kitab kemudian
menghukuminya saja, lebih dari itu santri harus bisa mengaktualisasikannya. Harapan besar
lainnya juga santri bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemudian yang
ketiga, persiapan yang harus dilakukan santri yaitu bahwa santri harus bisa berdiri di atas
keteguhan dan keistiqomahan memegang prinsip karakteristik santri. Maraknya kenakalan
remaja, kasus kriminal, dan merosotnya moral para pelajar di Indonesia yang diakibatkan
kurangnya pendidikan berbasis karakter seharusnya tidak dialami oleh santri.  Karena sejatinya,
pesantren sebagai tempat pembelajaran bagi santri telah menerapkan pendidikan berbasis
penguatan karakter, di mana tujuannya dapat melahirkan santri dengan etika luhur (strong
ethic), berakhlak mulia (possesing a positive attitude), dan berintegritas (intergrity). Selanjutnya
tinggal bagaimana santri setelah lulus dapat bisa mengistiqomahkan karakter kesantriannya di
tengan godaan dan perang budaya kebarat-baratan dan ketimur-timuran di kalangan pemuda
Indonesia. Menurut penulis, kebangkitan pemuda adalah suatu keniscayaan yang akan
membangun Indonesia di masa mendatang, yaitu dengan adanya fenomena bonus demografi
yang kemudian berimplikasi setidaknya ke dalam tiga sektor yaitu organisasi, politik, dan
ekonomi. Ketiga sektor ini menjadi wacana youth civil society, youth government, dan youth
entrepreneurship akan lahir dari kalangan pemuda generasi milenial yang termasuk di dalamnya
adalah kaum santri. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa santri akan menjadi pelopor
kemajuan pemuda di bidangnya masing-masing, mengingat potensi besar yang dimiliki oleh
santri. Sehingga santri millenial dengan kecerdasan intelektual yang tinggi, skill entrepreneur
yang mumpuni, berintegritas, serta berakhlak mulia, bukan tidak mungkin akan menjadi pelopor
kemajuan peradaban di Indonesia. 

Ekstrakurikuler adalah suatu kegiatan nonformal yang dilakukan peserta didik sekolah. Kegiatan
Ekstrakurikuler ditujukan agar siswa dapat mengembangkan keperibadian, bakat, dan kemampuanya
diberbagai bidang di luar bidang akademik.

Kegiatan dari Ekstrakurikuler ini sendiri dapat berbentuk kegiatan seni, olahraga, pengembangan keperibadian,
dan kegiatan lain yang bertujuan positif untuk kemajuan dari santriwan dan santriwati sendiri. Ada beberapa
macam ekstrakurikuler yang berada di Pondok Pesantren seperti Futsal, Bola Voli, Bola basket, Bela diri, Vocal
grup, dll.

Dari beberapa macam ekstrakurikuler yang ada di Pondok Pesantren, Ekstrakurikuler yang paling di gemari
oleh para santriwan dan santriwati ialah Bela diri. “ Belajar ilmu bela diri itu penting bagi kita, karena untuk
menjaga keselamatan diri kita. Tetapi jangan hanya menelan mentah-mentah apa yang telah di ajarkan oleh
gurumu, akan tetapi periksalah kembali ilmu bela dirimu yang telah diajarkan oleh gurumu dengan
menggunakan logikamu sendiri secara cermat” ujar Teguh santri kelas IV TMI Nurul Ilmi.

1. Mengenai musik dari Habib Luthfi bin Ali bin Yahya.

Habib Lutfi dalam ceramahnya pernah mengatakan tidak melarang. Selagi tujuan memainkan musik untuk
kegiatan positif. Meski demikian, Habib Lutfi juga tetap mengingatkan bahwa mendengarkan maupun
memainkan alat musik ada batas-batasan supaya tidak terjatuh ke lubang maksiat.
"Contohnya kita asyik main rebana di sebuah mejelis. Main alat musik (rebana) tidak jadi masalah. Tapi waktu
kita rebana mendengar azan atau sudah masuk waktu salat. Kita masih asyik, ini yang tidak baik," tutur
Pengasuh Kanzus Shalawat Pekalongan.

2. Pandangan Ulama, Haram atas Musik

Habib Lutfi mengakui memang ada pendapat para ulama yang mengharamkan soal mendengarkan maupun
memainkan alat musik. Namun dirinya mewanti-wanti kepada para pendakwah agar tidak sembarang untuk
menerjemahkan persoalan hukum musik tersebut.

"Bilamana kita kurang tepat menerangkan soal musik akan menimbulkan kesalahpahaman. Bahkan mundurnya
seniman-seniman kita yang berdakwah menggunakan jalur kesenian, musik, dan sebagainya," jelas Habib
Luthfi.

Ulama asal Pekalongan ini berharap pada generasi muda untuk terus maju berkreasi di bidang kesenian. Tanpa
melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim.

"Kami tidak mengharapkan generasi muda ke depan mundur dibidang seni. Intinya jangan sampai ketika kita
memilih terjun ke dunia seni. Kita sampai lupa pada kewajiban kita beribadah kepada Allah SWT dan
Rasulullah," tuturnya.

3. Keteladanan Walisongo dalam Berdakwah

Dalam dakwahnya diingatkan agar para ustadz dan ulama sekarang semestinya menghayati betul cara
berdakwah Walisongo. Sedangkan para politikus sebaiknya menyimak bagaimana sebuah simfoni dalam musik
klasik dimainkan.

Dalam melakukan syiar Islam, menurut Habib Muhammad Luthfi bin Ali Yahya, Walisongo tak serta-merta
cuma berpedoman kepada Al-Quran dan sunah Rasulullah. Mereka juga mempelajari betul kondisi sosiologis,
antropologis, serta kultur masyarakat setempat.

"Saya kagum kepada para Wali yang tidak frontal, tapi melakukan pendekatan sosiologi-antropologis sehingga
masyarakat, bahkan sampai raja, pun terpikat dan kemudian masuk Islam," tutur Habib Luthfi bin Yahya.

4. Orkestrasi dan Nilai Kepemimpinan

Dalam sebuah orkestra, tiap pemusik akan memainkan alat musik mereka sesuai dengan aba-aba sang dirigen
dengan notasi sebagai rambu-rambunya. Dengan begitu, setiap alat kapan akan dimainkan, durasi, dan tinggi-
rendahnya nada yang diinginkan tertata dengan penuh harmoni.

"Di dalam orkestra musik klasik itu ada kebersamaan dalam keberagaman, berlangsung sebuah demokrasi
yang harmonis. Para pemusik itu tahu kapan harus demo memainkan alatnya, kapan membiarkan yang lain
tampil. Kalaupun terjadi improvisasi, karena dilakukan dengan sopan, tetap menghasilkan irama musik yang
indah untuk didengarkan," kata Habib Luthfi, yang mahir memainkan piano.

Jadi, bila dalam kehidupan berdemokrasi sehari-hari para politikus bisa bersikap tidak saling mendorong,
menjatuhkan, dan menjelekkan, akan dihasilkan suasana yang indah.

5. Musik sebagai Jalan Cinta Tanah Air

Musik oleh Habib Luthfi menjadi hiburan sehari-hari. Tidak saja sebagai penikmat music. Ia juga ahli
memainkan alat-alat musik dan mengarang lagu, terutama alat musik piano.

Melalui musik dan lagu, Habib Luthfi menanamkan 'Hubbul Wathan Minal Iman' dengan slogannya 'NKRI Harga
Mati'. Kadar bobot keimanan seseorang tergantung pada kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW. Kadar
bobot kecintaan pada bangsa, tergantung kecintaannya pada Tanah Air.
"Bila telah melekat cinta pada bangsa, tidak akan mudah di telinga kita dikorok dan dibenturkan oleh sesama
kita. Karena itu kepada segenap umat beragama khususnya umat Muslim untuk merapatkan barisan, jangan
berikan celah sedikit pun kepada siapa saja yang ingin memecah-belah bangsa ini," pesan Habib Luthfi.

Anda mungkin juga menyukai