Pancasila
Rabu 17 Jun 2020 08:58 WIB
Kalau tidak perlu, Pancasila tidak harus dibicarakan ke masa lalu karena sudah
menjadi komitmen bersama bangsa ini. Pancasila harus dibicarakan ke depan karena
masalah bangsa yang semakin kompleks saat ini dan di masa yang akan
datang. Rasanya terlalu berlebihan membenturkan Pancasila dengan agama karena
tidak ada unsur yang berbenturan antara keduanya.
Judul tulisan ini memuat kata harmonisasi. Kata ini tidak dimaknai bahwa secara
intrinsik terjadi konflik substansi antara agama dan Pancasila, sehingga perlu ada
usaha merukunkan kembali antara keduanya. Bukan itu yang dimaksud. Tulisan ini
mengajak kepada semua anak bangsa untuk memahami bahwa agama dan Pancasila
telah diharmonikan oleh para penggagas dan perumusnya waktu itu.
Agama dan Pancasila memiliki kesamaan fungsi, yaitu sebagai nilai dan alat untuk
mencapai kesejahteraan lahir batin masyarakat. Tidak berlebihan kalau diibaratkan
roda kanan dan kiri sebuah kendaraan. Fungsi roda tersebut sama sebagai penggerak
badan kendaraan untuk menempuh satu tujuan tertentu, namun perannya yang
berbeda. Agama berperan sebagai perekat sosial dan pembina ruhani, sedangkan
Pancasila berperan sebagai pedoman (ideologi) bernegara. Agama adalah rumah besar
yang menyajikan tata kelola mental, spiritual dan seluruh sendi kehidupan manusia,
sedangkan Pancasila adalah rumah besar ragam agama anak bangsa, menyajikan tata
kelola negara supaya terarah pada sasaran.
Antara agama dan Pancasila telah terjadi saling dukung dan saling menguatkan.
Pancasila mengakui agama dan juga agama mengapresiasi nilai-nilai Pancasila.
Pancasila memberi ruang yang luas bagi agama. Nilai ketuhanan yang terkandung
dalam Pancasila adalah inti ajaran agama. Sementara itu agama menilai positif pada
isi Pancasila karena tidak bertentangan dengan doktrin agama.
Paling tidak ada beberapa hal perlu diperhatikan dalam beragama dan
berpancasila. Pertama, Pancasila jangan ditarik menjadi agama, tetaplah pada
perannya. Juga agama jangan ditarik menjadi ideologi terbatas, sebab akan
menimbulkan bias konsep. Aslinya, sebuah ideologi dirumuskan dalam suatu negara
untuk tujuan tertentu, sedangkan agama dibentuk untuk tujuan tanpa batas. Ideologi
yang dirumuskan oleh manusia tidak bisa diminta pertanggungjawaban untuk
mengurus komitmen ruhani, karena di luar nalarnya. Juga sebaliknya, ketika agama
diminta pertanggungjawabannya untuk tujuan atau kepentingan terbatas, ia akan
mengalami bias konsep.
Kepentingan jangka pendek atau yang bersifat sementara akan dipersepsi sebagai
kepentingan abadi dan sejati, ketika agama ditarik secara paksa menjadi ideologi
tujuan tertentu. Oleh sebab itu, agama dapat ditarik untuk perbandingan cara pandang
bukan untuk sebuah taktis-ideologis. Sebagai perbandingan cara pandang, agama bisa
dibawa masuk ke ranah ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya yang menghasilkan
warna dan kekhasan.
Kedua, Pancasila sebagai ideologi, pada tingkat makro dapat disandingkan dengan
ideologi lainnya, seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme dan ideologi lainnya.
Oleh sebab itu, tidak perlu ada tawaran ideologi alternatif lagi untuk menggantikan
Pancasila, lebih-lebih tawaran ideologi yang rentan. Kita sudah sepakat bahwa
Pancasila sudah final sebagai ideologi negara. Konsep haluan bernegara kita sudah
benar dengan adanya Pancasila.
Ketiga, Pancasila sebagai ideologi negara tidak perlu diutak-atik lagi. Sudah sangat
ideal dan sarat makna untuk berbangsa dan bernegara. Boleh saja kita diskusi ideologi
alternatif, karena kita berada di negara demokrasi dan menjamin kebebasan
berpendapat. Namun, Pancasila sudah sangat mewadahi gagasan-gagasan ideologi
alternatif tersebut. Apa yang tidak ada dalam Pancasila? Unsur agama terbawa,
budaya sudah terwadahi, persatuan, keadilan,
kemanusiaan dan kerakyatan serta unsur-unsur modernitas terkandung di dalamnya.
Oleh sebab itu, Pancasila merupakan platform ideologi yang ideal.
Janganlah membenturkan Pancasila dengan penyimpangan perilaku. Lalu ditarik
secara paksa bahwa seolah-olah Pancasila tidak bermakna dalam proses berbangsa
dan bernegara. Sampai kiamat pun penyimpangan perilaku akan terus terjadi, karena
penghuni dunia ini, khususnya negeri kita, adalah manusia asli, bukan malaikat atau
manusia setengah dewa, yang memiliki potensi alami untuk menjadi baik dan tidak
baik. Tapi, ini bukan artinya toleransi dan rasionalisasi untuk melegalkan
penyimpangan perilaku. Tetap saja Setiap penyimpangan perilaku harus kita usahakan
untuk dieliminasi dan dibatasi ruang geraknya. Namun, yang dimaksud adalah bahwa
tidak bisa mengambinghitamkan Pancasila hanya gara-gara masih terdapat
penyimpangan perilaku dalam berbangsa dan bernegara, terutama oleh para pemegang
kekuasaan di negeri ini pada berbagai level dan berbagai sektor.
Agama dan Pancasila sudah harmoni makna, apabila alat ukur yang digunakan bukan
kepentingan tertentu dan terbatas. Dengan kepentingan tertentu hal yang sudah jelas
duduk perkaranya menjadi abu-abu. Pancasila dan agama yang jelas-jelas sudah
sangat harmoni menjadi tidak jelas dan konflik. Seolah-olah Pancasila di satu lembah
dan agama di lembah lain yang tidak pernah terjadi komunikasi substansi. Jadi,
kepentingan tertentu yang menjadikan bias persepsi kita. Substansi bernegara yang
ideal sudah terkandung di dalam Pancasila, dan secara objektif merupakan turunan
ajaran agama.
Sebagai citra idealitas, Pancasila tidak memiliki kekurangan. Haluan bernegara dan
berbangsa sudah sangat jelas terumuskan di dalamnya. Harus diakui bersama, bahwa
yang belum jelas sampai saat ini adalah pengamalan isi Pancasila dalam setiap langah
strategis, baik langkah individu masyarakat maupun langkah organisasi negara. Untuk
hal ini kita perlu mengakuinya masih mengalami defisit. Wajar tentunya, Pancasila
sebagai ideologi selalu menyajikan gagasan ideal, yang lumrahnya selalu terjadi
benturan dengan kondisi real. Tapi, jangan gara-gara realitas berbeda jauh dengan
idealitas, lalu kita berhenti berbicara target-target yang ideal. Jangan putus asa dan
merasa lelah untuk membicarakan hal-hal ideal dalam berbangsa dan bernegara.
Penerapan Pancasila Perspektif Islam