Anda di halaman 1dari 2

MEHAMAMI PERBEDAAN FILOSOFI SIN TAX DENGAN VALUE ADDED TAX

Anindya Krishnamurti

Jakarta Maret 2021 (saat ingar-bingar isu regulasi miras)

Seandainya di negara AS ada kebijakan pengenaan cukai atau sin tax terhadap
minuman bergula baik dalam bentuk minuman ringan maupun minuman keras. Kebijakan
tersebut diambil untuk mengurangi konsumsi gula yang mendorong meningkatnya penyakit
diabetes. Kemudian pada masa selanjutnya seorang presiden AS atau bendahara negara
dengan bangga menyebutkan bahwa pemasukkan dari cukai pada minuman bergula
mencapai 100 trilliun dollar AS. Dan dengan bangga mengatakan bahwa pemasukkan pada
kas negara tersebut merupakan suatu prestasi. Oleh karena itu, pemerintah antusias untuk
menggenjot konsumsi minuman bergula untuk meningkatkan pendapatan negara.

Kisah presiden atau bendahara negara AS yang bangga dengan pemasukkan negara
dari cukai atau sin tax tersebut memang fiksi yang saya karang sendiri. Tapi jikalau memang
benar, hal tersebut menunjukkan bagaimana presiden AS atau bendahara negara tidak
memahami hakikat dibalik cukai atau sin tax yang berbeda dengan value added tax yang
dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai pajak pertambahan nilai. FIlosofi dibalik sin tax
adalah dengan pengenaan biaya tambahan dan pajak diharapkan orang akan urung untuk
membeli produk yang bersangkutan.

Gambar : Sosialisasi kebijakan Sin Tax terhadap minuman keras di Filipina. Sumber : Laman Surat Kabar Negara
Filipina (Philippine Government Official Gazette)
Berangkat dari filosofi Sin tax tersebut maka acuan keberhasilan dari pengenaan
Sin Tax atau cukai adalah pada berkurangnya konsumsi masyarakat pada produk yang
dikenakan cukai. Bukan pada banyaknya cukai yang diterima oleh kas negara, walaupun ada
cukai yang diterima kas negara maka itu adalah bonus. Filosofi ini mirip dengan tilang dimana
landasan filosofisnya adalah agar masyarakat mematuhi peraturan lalu lintas dan bukan untuk
memperbesar penerimaan negara. Sedangkan VAT atau Value Added Tax alias PPN yang
bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, dan dalam banyak kasus negara juga
mendorong konsumsi warganya pada produk-produk yang dikenakan VAT karena memang
filosofi dibalik VAT adalah untuk meningkatkan pendapatan negara.

Oleh karena perbedaan pada filosofis antara produk yang dikenakan Sin Tax atau
cukai dan produk yang dikenakan VAT maka kebijakan seiring produksi dengan distribusinya
harusnya juga berbeda. Pemerintah pada umumnya akan mengarahkan produk yang
dikenakan Sin Tax kedalam pasar Oligopoli. Pasar oligopoli adalah pasar semi monopoli
dengan pemain yang sedikit (umumnya pemain besar), dan sulit masuknya pemain baru. Hal
ini karena pemain besar namun terbatas akan mudah diawasi termasuk mengenai distribusi
produk yang umumnya hanya dapat dibeli di retail dengan aturan yang ketat. Produk yang
dikenakan Sin Tax akan sulit ditemui di eceran atau toko kelontong. Contohnya di AS,
produsen minuman keras didominasi perusahaan besar seperti DIEGO, Jack Daniels, dan
Constellation, sedangkan produksi minuman keras di skala UMKM (yang dikenal dengan miras
Moonshine) bisa dikenakan pidana di sebagian besar negara bagian.

Sedangkan pada produk VAT, karena secara umum dikenakan oleh pemerintah
untuk meningkatkan pemasukkan kas negara. Oleh karena itu wajar apabila pemerintah juga
berusaha untuk menggenjot produksi maupun konsumsi produk yang dikenakan VAT.
Pemerintah juga mempermudah investasi atau masuknya pemain baru dalam pasar produk
yang dikenakan VAT selama kemudahan investasi dan pemain baru tidak tidak mendorong
disrupsi pasar. Hal ini berbeda dengan produk yang dikenakan Sin Tax, agar sinkron dengan
hakikat Sin Tax itu sendiri maka produk yang dikenakan Sin Tax diarahkan ke pasar Oligopoli
dengan persaingan terbatas dan sulitnya masuk pemain baru. Biasanya didominasi oleh
pemain lama dengan modal besar demi mempermudah pengawasan dan regulasi di lapangan
yang tentu akan semakin sulit dengan banyaknya pemain baru (meminimalisir moral hazard).

Anda mungkin juga menyukai