Anda di halaman 1dari 6

Hubbul Wathan minal Iman

Anindya Krishnamurti

Pegawai Sekretariat

James R Rush penulis biografi Hamka menuliskan bagaimana Hamka muda ketika itu baru
menjalankan ibadah haji dan sedang berada di Mekah. Hamka ketika itu teringat ayah, kakek,
dan guru ayahnya Syekh Khatib Minangkabau menghabiskan sebagian hidupnya di tanah suci
pasca berhaji dan mendalami ajaran agama. Syekh Khatib Minangkabau bahkan menghabiskan
sisa kehidupannya di Mekah dan dikenal sebagai Mufti Mazhab Syafe’i di Mekah. Namun di
saat yang sama ia mendengar percakapan jama’ah haji yang lain. Haji Wongsonegoro dari Solo
sudah memikirkan mengenai bisnis batiknya, Haji Daeng dari Makassar pun sudah memikirkan
mengenai bisnis perkapalan. Di sisi lain, Haji Kartadimedja membicarakan mengenai sawah-
sawahnya yang luas di garut. Inti dari pembicaraan tersebut adalah mereka semua ingin segera
pulang, kembali ke kampungya masing-masing.

Pada titik ini seperti diceritakan Rush terjadi kebimbangan pada Hamka.
Bagaimanapun ia rindu akan Pulau Sumatra tanah kelahirannya, terutama tepi Danau
Maninjau. Di sisi lain, ia ingin seperti ayah dan kakeknya yang menghabiskan bertahun-tahun
di Mekah. Pada titik itu datanglah Haji Agus Salim. Dan seperti diceritakan Rush, Haji Agus
Salim datang menemui Hamka dan memintanya untuk segera pulang. “lebih baik engkau
kembangkan dirimu di tanah airmu” seru Haji Agus Salim pada Hamka. Hamka kemudian
pulang dengan kapal Buitenzorg dari Jeddah sampai ke Sabang, kemudian melanjutkan
perjalanannya sampai ke Medan hingga ke Maninjau tempat tinggal ayahnya. (Rush : 2018).

Cinta Kampung Halaman

Dalam prolog diatas, bagaimanapun rasa cinta tanah air dan rindu akan kampung halaman
adalah perasaan yang manusiawi pada diri manusia. Bahkan ia menjadi kemewahan bagi
penulis yang menghabiskan sebagian besar waktunya di Jakarta sehingga tidak bisa merasakan
seperti perantau daerah atau perantau di mancanegara yang teringat rasa rindu dengan kampung
halamannya ketika merantau. Dalam prolog diatas disebutkan bagaimana para Haji dari
berbagai wilayah di Hindia Belanda saat itu merasa ingin pulang ke kampungnya. Sebagian
dari para Haji mengingat bisnis mereka, sebagian teringat hamparan sawah miliknya dan
suasana kampungnya. Tapi baik dengan alasan ekonomi maupun romantik, pada haji itu
memiliki kesamaan yaitu keinginan yang besar untuk kembali ke kampung halamannya.

Bahkan dalam suatu hadhist yang mashyur seperti yang diceritakan Gus Hilmi, ulama
dari Yogyakarta dikisahkan bagaimana Baginda Nabi yang saat itu sedang hijrah di Madinah
teringat akan Mekah tempatnya dilahirkan, dibesarkan, dan menunaikan sebagian besar
aktivitas beliau. Rasa rindu terhadap kampung halaman nyatanya juga menjadi perasaaan yang
ada pada diri manusia paripurna yaitu Nabi Muhammad SAW. Dari rasa rindu ini pulalah
kemudian muncul istilah Hubbul Wathan minal Iman yang artinya cinta pada kampung
halaman atau tanah air adalah bagian dari Iman. Ungkapan Hubbul Wathan… ini sebagian
menganggap hadhist namun sebagian (termasuk Hamka) menganggap bukan hadhist namun
merupakan qaul/ungkapan ulama yang bermakna khair (kebaikan) terinspirasi dari hadhist rasa
rindu sang Nabi terhadap Mekah. Buya Hamka sendiri mengutip ungkapan tersebut ketika
beliau akan diangkat menjadi ketua MUI pertama pada tahun 1975.

Ketika Hamka mengutip ungkapan Hubbul Wathan minal Iman dalam pentasbihannya
sebagai ketua MUI pertama, hampir empat puluh tahun sebelumnya Ulama senior dari
Nahdlatul Ulama atau NU KH Wahab Hasbullah menjadikan ungkapan tersebut sebagai
inspirasi dalam lagu yang digubahnya yang berjudul Ya lal Wathan. Menurut Yahya Cholil
Staquf, salah satu pimpinan GP Ansor, lagi ini digubah oleh KH Wahab Hasbullah pasca berita
Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Lagi ini menceritakan antusiasme KH Wahab Hasbullah
terhadap wacana kemerdekaan dari Belanda, dan wacana lahirnya negara Indonesia sesuai
Sumpah Pemuda tahun 1928. Bahkan dalam lagu ini makna wathan sejak awal bermakna fixed
bangsa dan negara Indoneia. Hal ini berbeda dengan pemaknaan wathan dalam kisah prolog
Buya Hamka yang bisa dimaknai Pulau Sumatra, bisa juga Garut, Solo, Makassar, Maninjau,
dan bisa pula dimaknai negara Indonesia seperti dalam pidato Hamka tahun 1975 saat
ditasbihkan oleh Pemerintah Orde Baru sebagai Ketua MUI pertama.

Memaknai Wathan dan Bertoleransi dalam Perbedaan Makna

Adanya perbedaan makna kata wathan di masa lalu dan masa modern pada umumnya tidaklah
perlu terlalu diperdebatkan. Ketika berbicara dengan orang Pulau Lombok, pulau yang terkenal
dengan Ormas Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), penulis bertanya apa makna
wathan dimata para kader NW. Orang Lombok tersebut mengatakan bahwa wathan bagi orang
Lombok adalah lebih kepadaPulau Lombok itu sendiri. Bangsa Lombok terkenal dengan
sejarah perlawanan kepada pendudukan bangsa asing, mulai dari pendudukan bangsa Bali di
abad 19 dan bangsa Belanda di abad ke 20. Namun bagi orang Lombok tidak ada alasan untuk
“mengadu” antara makna wathan apakah bangsa dan negara Indonesia secara holistik ataukah
suku bangsa dan kampung halaman dari masing-masing rakyatnya. Karena bagi NW, karena
Pulau Lombok kini menjadi bagian dari Indonesia maka penting untuk menyeimbangkan
ikatan dengan identitas Lombok, identitas keislaman, dan kewajiban kewargaan dan nilai-nilai
nasional negara Indonesia secara proporsional.

Jawaban dari kader NW mengenai makna wathan ini tentu akan berbeda dengan
jawaban sebagian besar kader NU ketika menghadapi pertanyaan yang sama. Bagi NU yang
kental pengaruh KH Wahab Hasbullah, makna wathan secara fixed adalah negara dan bangsa
Indonesia. Walaupun tentu orang-orang NU juga memiliki ikatan dengan daerahnya, namun
jarang saya temui orang NU memaknai ikatan tersebut sebagai Hubbul Wathan, menariknya
baik NU dan NW dikenal sebagai “ormas saudari” karena memiliki amalan dan doktrin
keagamaan yang sama.

Sedangkan menurut Habib Ismail fajrie Al Attas dari Jakarta yang menjadi murid
kinasih Habib Naquib al Attas dari Malaysia, kata “wathan” adalah istilah dalam bahasa Arab
yang mengalami perubahan makna di abad ke 19, akibat keengganan orang Arab mengadopsi
kata serapan. Ketika gagasan mengenai nasionalisme dari Eropa masuk ke Arab pada abad ke
19, daripada mengadopsi kata “nasionalisme” orang Arab lebih memilih menggunakan kata
wathaniyyah. Namun Habib Ismail menambahkan bahwa perbedaan dalam memaknai kata
wathan bukanlah suatu hal yang prinsipil. Ada perubahan kata-kata Arab pada abad 19 yang
lebih prinsipil seperti pada kata “aql” yang berarti rasionalitas. Sebelumnya aql bermakna
setiap jenis rasionalitas atau cara berpikir yang runut, terlepas pikiran yang runut tersebut
dipantik oleh hal-hal materi maupun non materi seperti keyakinan spiritual, norma, dll. Namun
pada abad 19 dan 20 istilah “aql” dan makna terhadap rasionalitas sendiri berubah menjadi
hanya merujuk rasionalistas empirik atau pikiran runut yang dipantik oleh hal-hal materi.

Memang adakalanya ketegangan akibat perbedaan tafsir kata wathan ini lebih
diakibatkan oleh aspek politik daripada tafsir kata itu sendiri. Karena walaupun tafsirnya
berbeda antara ikatan negara-bangsa, dengan ikatan kampung halaman, namun seperti kata
kawan saya yang kader NW, dua ikatan tersebut harus tetap dicari titik temunya. Ikatan
keislaman dan ikatan suku bangsa Lombok tetap dijalankan dalam koridor nilai bernegara. Di
sisi lain hal yang cukup ekstrim barangkali terjadi pada Mari Alkatiri, seorang keturunan
imigran Arab di Timor Timur. Bagi Alkatiri, Hubbul Wathan berarti memerangi pemerintah
Indonesia yang dianggapnya ingin mencaplok Timor Timur, namun bagi orang Indonesia
termasuyang memaknai Hubbul Wathan sebagai ikatan dengan Indonesia, tindakan Alkatiri
adalah makar dan atas nama Hubbul Wathan pula tindakan Alkatiri haruslah diperangi. Pasca
kemerdekaan Timor Timur menjadi Timor Leste pada 2003, Alkatiri terpilih menjadi Perdana
Menteri pertama Timor Leste, dan menjadi salah satu politisi Muslim di negara yang dominan
etnik Tetum beragama Katolik.

Ketika apa yang dialami oleh Mari Alkatiri adalah contoh yang ekstrem, pada aspek
yang lebih moderat seperti perbedaan kepentingan antara Gubernur Sumatera Utara Edy
Rahmayadi dengan Pemerintah Pusat soal dana perimbangan. Menurut Pemda Sumatera Utara,
Provinsi Sumatera Utara telah menyumbang hampir 20% dari GDP nasional, namun dana
perimbangan yang diterima oleh Provinsi tidak sampai 1/10 dari GDP tersebut. Penulis
memiliki kawan seorang Tionghoa dan non Musim yang merupakan warga asli Medan.
Menurut kawan tersebut, Sumatera Utara harusnya diperintah dengan otonomi khusus seperti
Aceh dan Papua bahkan kalau perlu dalam sistem federasi yang menjamin perimbangan
keuangan yang lebih adil. Ketika penulis tanya balik, “setujukah kamu agar Sumatera Utara
merdeka ?” kawan saya dengan tegas menjawab “tidak !” Baginya jelas berbeda dengan
tuntutan terhadap otonomi fiskal dan kultural dengan tuntutan untuk memisahkan diri dengan
Negara Republik Indonesia. Selain ikatan yang kuat dengan identitas Tionghoa, identitas
sebagai orang Medan, rekan saya ini tetap memiliki identitas keindonesiaan yang kuat pula.

Bahaya Agent Provocateur

Dari hal ini jelaslah bahwa perbedaan politik yang mendorong perbedaan prioritas dari
dua makna yang sebenarnya tidak bertentangan tidaklah harus berwujud konflik seperti yang
dialami Mari Alkatiri dahulu. Adakalanya kenapa perbedaan prioritas atau pandangan dalam
satu aspek saja terlihat seperti pertentangan adalah karena adanya oknum agent provocateur.
Ibarat kita hidup di masyarakat yang sama-sama suka tahu dan tempe, namun pada suatu
kesempatan warga disuruh memilih tahu saja atau tempe saja. Ketika pilihan warga terbelah
maka agent provocateur tersebut masuk menciptakan kesan bahwa yang memilih tahu karena
tidak suka tempe, dan yang memilih tempe karena tidak suka tahu. Pada akhirnya perbedaan
prioritas yang manusiawi pada suatu momen kesempatan berubah menjadi keterbelahan dan
polarisasi masyarakat yang akut dan berkepanjangan.

Dalam biografi Hamka, Rush menjelaskan bagaimana para agent provocateur tersebut
juga pernah membuat sulit Buya Hamka. Sebagai kader Masyumi ketika itu dan ormas
keagamaan Islam selain NU (dalam hal ini Buya Hamka adalah kader Muhammadiyyah),
banyak yang menuduh Buya Hamka dan tokoh Islam yang lainnya ancaman bagi bangsa,
bahkan ada yang menyindir Hamka dan tokoh-tokoh Islam lainnya sebagai “penumpang gelap”
dari negara dan pengacau. Hal ini membuat marah Hamka yang sejak awal menunjukkan
ketidak-setujuan hingga kecaman terhadap gerakan seperti Darul Islam dan NII. Hamka juga
berulang kali menunjukkan bagaimana para tokoh-tokoh Islam modernis baik Muhammadiyah
dan Sarekat Islam seperti Sudirman, Mohammad Roem, dan Haji Agus Salim terlibat dalam
perjuangan melawan penjajah Belanda.

Selain sikap terhadap nasionalisme yang terbukti kuat, Hamka juga memiliki rekam
jejak yang amat erat dengan hubungannya pada kelompok Islam diluar Muhammadiyyah.
Ketika maulid Nabi SAW yang merupakan tradisi Islam model NU, NW, dan Perti yang kerap
dijauhi oleh orang Muhammadiyyah, Hamka justru menerima undangan Istana Negara pada
dekade 1960an untuk ikut merayakan Maulid Nabi di Istana. Buya Hamka juga membina
hubungan yang erat dengan Ketua PBNU KH Idham Chalid, dan tokoh Islam Betawi sekaligus
tokoh NU kultural, KH Abdullah Syafe’i. KH Abdullah Syafe’i sendiri adalah representasi
figur Islam Betawi yang walau memiliki kultur mirip NU, namun secara politik mendukung
Masyumi sampai dibubarkannya Masyumi oleh Presiden Sukarno.

Dari penjabaran ini, kita hendaknya bisa menghindari para agent provocateur yang
mencoba membelah masyarakat khususnya Umat Islam. Para agent provocateur ini telah ada
di masa Buya Hamka, dan semakin berkembang di masa sekarang dengan perkembangan
media sosial. Para agent provocateur ini menjadikan perbedaan pada suatu momen, ataupun
perbedaan prioritas pada aspek-aspek tertentu dari orang-orang yang relative memiliki
pandangan yang sama seakan menjadi suatu pertentangan besar.

Perbedaan Tafsir dalam Amalan

Aspek lain dalam pemaknaan Hubbul Wathan adalah perbedaan dalam amalan. Bisa jadi dua
orang memiliki kesamaan dalam memaknai apa itu wathan namun memiliki pemaknaan yang
berbeda dalam ekspresi Hubbul Wathan nya tersebut.

Ketika Haji Agus Salim menyuruh Hamka muda untuk kembali ke tanah airnya selepas
berhaji untuk mengembangkan diri. Apakah mengembangkan diri tersebut dimaknai sebagai
usaha untuk berdakwah Islam seperti yang dilakukan Ayahnya di Muhammadiyyah dan Haji
Agus Salim sendiri di Sarekat Islam. Ataukah maknanya agar Hamka terlibat dalam usaha
memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah Belanda, atau malah bermakna keduanya?
Pembahasan ini penting, karena keduanya adalah amalan yang berbeda jenis dan makna,
namun Hamka sendiri menunjukkan diri pada kedua sektor pengabdian tersebut, beliau aktif
dalam pergerakan kemerdekaan sekaligus berdakwah sampai akhir hayatnya.

Pembahasan yang memang penting adalah, apakah Hubbul Wathan dimaknai sebagai
ekspresi memajukkan bangsa ataupun kampung halamannya secara fisik dan politik seperti
menjadikan negaranya disegani negara lain, atau menjadikan kampungnya lebih berdaya atau
mendapat dana perimbangana yang lebih besar dari pemerintah pusat. Ataupun Hubbul Wathan
juga bisa dimaknai sebagai mencakup pula usaha yang berdimensi spiritual, seperti orang yang
Mondok di luar daerah ingin kembali ke daerahnya untuk mengajar agama, atau orang yang
belajar agama di luar negeri ingin pula kembali ke negara asalnya untuk mengajar agama. Saran
penulis janganlah kedua ekspresi ini duadu satu dengan lainnya, dan mereka yang menjalankan
Hubbul Wathan dengan amalan materi tetap berpatokan dengan nilai agama, dan mereka yang
menjalankan Hubbul Wathan dalam pemaknaan yang lebih spiritual tetap melihat aspek hukum
negara maupun adat yang berlaku di masyarakat. n

Epilog

Ada suatu kisah menarik di dalam surah Yasin, surah yang nyaris selalu dibaca oleh
kaum Muslimin minimal sepekan sekali. Dalam surah tersebut dikisahkan adanya sahabat
baginda Nabi Isa AS berkunjung ke suatu kaum untuk menyebarkan agama. Di tempat tersebut,
sahabat dari manusia terpilih Baginda Nabi Isa AS, malah diusir karena dianggap menganggu
ketertiban dan ekonomi. Orang jadi enggan ke pasar karena khawatir bertemu dengan para
“pendakwah” tersebut. Semua sepakat mengusir kecuali satu orang, satu orang itu malah
meminta kaumnya untuk mengikuti sahabat Nabi Isa AS, kaumnya yang tidak terima malah
merajam orang tersebut dan di akhir hayatnya, Allah SWT menunjukkan pada pria tersebut
gambaran surgha. Pada momen itu orang tersebut berkata “Ya Layta Qoumi Ya’malun” yang
berarti alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui (apa yang aku saksikan).

Anda mungkin juga menyukai