Anda di halaman 1dari 37

BAB II

LANDASAN TEORI

Landasan teori merupakan dasar atau acuan bagi peneliti dalam menyelesaikan
rumusan masalah dengan metode-metode yang akan dipaparkan dalam
pembahasan untuk ditarik kesimpulan.
2.1 Pengertian Logistic
kata logistik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti yaitu
pengadaan, perawatan, distribusi dan perbekalan. Logistik berasal dari bahasa
Yunani logos yang berarti “rasio, kata, kalkulasi, alasan, pembicaraan, orasi”.
Kata logistik memiliki asal kata dari Bahasa Perancis loger yaitu untuk
menginapkan atau menyediakan. Menurut council of logistic management,
pengertian Logistik adalah proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
arus yang efektif dan penyimpanan bahan baku yang efisien, dalam proses
inventarisasi, barang jadi dan informasi terkait dari titik asal sampai titik
konsumsi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
2.2 Supply Chain Management
Istilah supply chain pertama kali digunakan oleh beberapa konsultan logistik
sekitar tahun 1980an, yang kemudian oleh para akademisi dianalisa lebih lanjut
pada tahun 1990an. Stock & Lambert (2001) mendefinisikan supply chain sebagai
integrasi bisnis utama dari pengguna akhir melalui pemasok asli yang
menyediakan produk, layanan, dan informasi yang menambah nilai bagi
pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya. Sementara menurut Fortuna, dkk
(2010) Supply Chain adalah jaringan seluruh organisasi mulai dari pemasok
sampai ke pengguna akhir, yang didalamnya terdapat aliran dan transformasi
material, informasi dan uang. Harahap, dkk (2015) menjelaskan bahwa supply
chain adalah jaringan organisasi yang menyangkut hubungan ke hulu dan ke hilir
(upstream-downstream), dalam proses dan kegiatan yang berbeda yang
menghasilkan nilai yang berwujud dalam barang dan jasa ditangan pengguna atau
konsumen akhir. Proses dan kegiatan yang berbeda tersebut melibatkan hubungan

5
6

antara para pelaku, dari penghasil atau pemasok, pembuat atau pengolah,
pendistribusi atau penyalur sampai kepada pengguna atau konsumen.
Menurut Council of Logistic Management, Supply Chain Management yaitu
koordinasi strategi bisnis tradisional yang sistematis dan sistematis di dalam
perusahaan tertentu dan di seluruh bisnis dalam rantai pasokan untuk tujuan
meningkatkan kinerja jangka panjang setiap perusahaan sebagai rantai pasokan
secara keseluruhan. Jadi Supply Chain Management tidak hanya berorientasi pada
urusan internal sebuah perusahaan melainkan juga urusan eksternal yang
menyangkut hubungan dengan perusahaan-perusahaan partner. Menurut Pujawan
dan Mahendrawati (2010) Kegiatan-kegiatan utama yang masuk dalam klasifikasi
SCM yaitu kegiatan merancang produk baru (Product development), kegiatan
mendapatkan bahan baku (Procurement, Purchasing atau Supply), kegiatan
merencanakan produksi dan persediaan (Planning dan Control), kegiatan
melakukan produksi (Production), kegiatan melakukan pengiriman/distribusi
(Distribution) dan kegiatan pengelolaan pengembalian produk/ barang (Return).
2.3 Reverse Logistic
Salah satu bagian dari supply chain yang berhubungan dengan segala jenis
kegiatan distribusi dalam aktivitas logistik adalah reverse logistic. Suatu studi
oleh Tibben-lembke dan Rogers (1999) menjelaskan bahwa reverse logistic
sebagai aktivitas untuk merencanakan, mengaplikasikan dan mengendalikan
proses agar tercapai efisiensi terkait dengan arus material, persediaan, produk jadi
dan informasi terkait, dari konsumen kembali ke manufacture dengan tujuan
untuk mendapatkan kembali nilai ekonomis produk atau untuk melakukan proses
pembuangan yang tepat.
Sementara itu Farizqi, dkk (2011) menjelaskan bahwa reverse logistic adalah
proses pemindahan barang dari tujuan akhir mereka untuk tujuan menangkap nilai
atau pembuangan yang tepat bagi barang yang sudah habis masa pakainya baik
disebabkan karena kadaluwarsa, rusak atau produk gagal. Kegiatan remanufaktur
dan pembaharuan kembali mungkin juga termasuk dalam definisi reverse
logistics. Blumberg (2004) mendefinisikan reverse logistic sebagai koordinasi
penuh dan kontrol, pickup fisik dan pengiriman material, bagian, dan produk dari
7

lapangan unuk pengolahan dan daur ulang atau disposisi, dan kembali ke lapangan
yang sesuai.
Steven (2004) memprioritaskan aktivitas reverse logistic yang terjadi kedalam
2 kriteria utama, nilai ekonomi dan dampak lingkungan, yang meliputi reuse,
remanufacture, recycling, disposal with energy recovery, dan disposal in land fill.
Seperti pada gambar 2.1 menurut Steven (2004) reuse merupakan langkah yang
prioritas dikarenakan memberikan nilai ekonomis yang relative lebih tinggi bagi
produk jika dibandingkan langkah lainnya.

Reuse

Remanufacturing

Recycling

Disposal with energy recovery

Disposal in land fill

(Sumber: Steven, 2004)


Gambar 2.1 Aktivitas Reverse Logistic
Sementara itu Yaqub dan Indriani (2014) menjelaskan beberapa elemen yang
membedakan forward logistic dengan reverse logistic antara lain:

1. Forward logistic menggunakan pull system, sedangkan reverse logistic


merupakan kombinasi antara push system dan pull system.
2. Model yang digunakan forward logistic biasanya berhadapan dengan jaringan-
jaringan yang berbeda, sedangkan aliran reverse logistic bisa sangat berbeda
atau sama di waktu yang bersamaan.
Menurut Masudin (2017) aliran forward logistic dan reverse logistic dapat
dilihat pada gambar 2.2. forward logistic dimulai dari material dan berakhir pada
end consumers kemudian reverse logistic dimulai dari end consumers tersebut
sampai disposal atau tempat pembuangan, sebelum produk tersebut sampai
disposal terdapat usaha untuk memperbaiki (repair), mempergunakan kembali
(reuse), memproses kembali (remanufacturing), daur ulang (recycling) yang
8

nantinya berupa bahan baku atau material yag akan dipergunakan untuk membuat
produk baru kembali.

Material Manufacturing Distributors Retailers Consumers

Acquistion
Recycling Remanufacturing Reuse Repair

Collection

Disposal Disposition Sorting

Forward Flow

Reverse Flow

(Sumber: Masudin I, 2017)


Gambar 2.2 Aliran Forward dan Reverse Logistic

Berbeda dengan forward logistic, reverse logistic memiliki aliran informasi


yang cenderung lebih reaktif, perusahaan umumnya tidak melaksanakan aktivitas
reverse logistic sebagai hasil dari peramalan dan perencanaan, tetapi lebih kepada
respons yang dihasilkan untuk menanggapi apa yang terjadi di level bawah.
Ketika konsumen mengembailkan produk ke toko, toko mengumpulkan produk
untuk kemudian dikirim menuju fasilitas sorting. Pada saat pengembalian produk
informasi mengenai produk yang dikembalikan cenderung kurang tepat.
Secara umum Tibben-Lembke dan Rogers (2002) melalui penelitiannya
menjabarkan hal-hal mendasar yang membedakan reverse logistic dengan forward
logistic, hal-hal mendasar yang membedakan dan dikemukakan antara lain.

Tabel 2.1
Perbedaan Reverse Logistic, dengan Forward Logistic
Forward Logistic Reverse Logistic
Memiliki kualitas produk yang seragam Kualitas produk tidak seragam
Disposisi terhadap produk jelas Disposisi produk tidak jelas
Routing terhadap produk jelas Routing dari sebuah produk tidak jelas
Biaya distribusi mudah diramalkan Biaya distribusi sulit diramalkan
Harga produk seragam Harga produk berbeda
Managemen persediaan produk konsisten Managemen persediaan tidak konsisten
Biaya yang dibutuhkan jelas Biaya yang dibutuhkan tidak jelas
Proses negosiasi mudah dilakukan Proses negosiasi sulit dilakukan
terhadap semua pihak
Jenis pelanggan dan pasar telah Sulit mengidentifikasi jenis pelanggan
teridentifikasi dan pasar
(Sumber : Tibben-Lembke dan Rogers, 2002)
9

Farizqi, dkk (2011), menjelaskan mengenai alasan yang melatarbelakangi


dilakukannya penanganan reverse logistic oleh pihak yang berkepentingan antara
lain.
1. Aspek ekonomis, dimana seseorang atau perusahaan bermaksud untuk
mendapatkan kembali keuntungan dari barang bekas.
2. Aspek lingkungan, dimana seseorang atau perusahaan melakukan reverse
logistic untuk mengurangi dampak negatif produk buangan terhadap
lingkungan. Selain itu penggunaan kembali material bekas dapat mengurangi
eksploitasi bahan asli.
3. Aspek legal, biasanya terjadi di negara maju, dimana pemerintah memaksa
perusahaan penghasil produk untuk melakukan aktifitas ini (karena alasan
ekonomis dan lingkungan).
4. Extended responsibility, dilakukan oleh perusahaan yang memiliki kesadaran
sendiri untuk melakukan reverse logistic sebagai bentuk tanggung jawab
terhadap masyarakat dan lingkungan akibat produk yang dihasilkannya.

Aspek ekonomis diatas sesuai dengan pernyataan Bowersox, Closs, and


Cooper, (2002) yang menjelaskan bahwa banyak perusahaan yang mendapatkan
keuntungan dari pengelolaan perbaikan, daur ulang, dan penanganan produk rusak
dan cacat. Giuntini dan Andel (1995) mengemukakan hal yang serupa,
bawasannya recovery produk untuk remanufakture, perbaikan, reconfiguration,
serta daur ulang produk dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Bukan
bermaksud mengesampingkan tiga aspek lainnya, tetapi aspek ekonomi memang
berperan besar dalam pertimbangan dilakukannya reverse logistic. Hal ini dapat
terlihat dari manufacture yang lebih memilih produk yang memiliki cost-benefit
tinggi untuk diberlakukannya reverse logistic.

Sutapa (2009) menjelaskan mengenai nilai ekonomis yang didapat dari


diberlakukannya reverse logistic yakni melalui pemanfaatan barang reture
diantaranya dengan memakai ulang produk jika masih dapat digunakan, mendaur-
ulang, melakukan kanibalisasi untuk bahan baku, dan perbaikan ulang untuk
dijual kembali. Selain itu Stock, dkk (2002) menjelaskan mengenai aspek
10

ekonomi lainnya, yang didapat dari penghematan biaya operasional logistik,


seperti pengurangan biaya distribusi aliran balik dan pemrosesan/transaksi.

Keuntungan dilakukannya reverse logistic akan didapat jika penanganan


dilakukan dengan tepat, apabila reverse logistic ditangani tidak tepat maka yang
terjadi adalah pemborosan, hal ini dikarenakan biaya reverse logistic tergolong
tinggi. Menurut Stock & Lambert (2001) biaya reverse logistic relatif lebih tinggi
jika dibandingkan dengan forward logistic. Biaya pergerakan produk kembali dari
konsumen menuju produsen mencapai 5 hingga 9 kali lebih mahal jika
dibandingkan biaya distribusi dari produsen menuju konsumen. Hal ini
dikarenakan produk yang kembali tidak dapat diangkut, disimpan, atau ditangani
dengan mudah seperti barang asli.

2.4 Goal Programming


Metode Goal Programming (GP) merupakan perluasan dari model
pemrograman linier yang dikembangkan oleh A. Charnes dan W. M. Cooper pada
tahun 1961. Goal Programming merupakan salah satu model matematis yang
dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan untuk menganalisis
dan membuat solusi persoalan yang melibatkan banyak sasaran sehingga
menghasilkan solusi yang optimal. Pendekatan dasar Goal Programming adalah
untuk menetapkan suatu tujuan yang dinyatakan dengan angka tertentu untuk
setiap tujuan, merumuskan suatu fungsi tujuan untuk setiap tujuan, dan kemudian
mencari penyelesaian yang meminimumkan jumlah (tertimbang) penyimpangan-
penyimpangan pada fungsi tujuan.
Dalam pengambilan keputusan yang dihadapkan pada suatu persoalan
yang mempunyai beberapa tujuan di dalamnya, liner programing tidak dapat
membantu dalam memberikan keputusan yang optimal. Dikarenakan program
linier hanya terbatas pada analisis tujuan tunggal (single object function). Oleh
karena itu diperlukan Goal Programming yang merupakan alat analisis untuk
meninimalkan devisiasi berbagai tujuan, sasaran atau target yang telah ditetapkan,
dimana nilai ruas kiri suatu persamaan kendala sebisa mungkin mendekati nilai
ruas kanannya. Dalam Goal Programming terdapat dua tipe kendala yaitu kendala
teknologi (technological constraint) yang merupakan permasalahan kapasitas
11

sumber dan kendala lainnya yang bukan terhadap tujuan, kendala tujuan (goal
constraint) yang mewakili atau menggambarkan target dari objek-objek dalam
urutan prioritas.
2.4.1 Asumsi Dasar Goal Programming
Nasendi & Anwar (1985), mengemukakan empat asumsi dasar yang harus
dipenuhi agar program linier dapat digunakan sebagai sasaran penunjang dalam
pemecahan suatu masalah. Keempat asumsi tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Proporsional (Proportionality)
Asumsi ini menyatakan jika peubah pengambil keputusan, Xj berubah maka
dampak perubahannya akan menyebar dalam proporsi yang sama terhadap fungsi
tujuan, CjXj, dan juga pada kendalanya, aijXj. Mialnya, jika kita naikkan nilai Xj
dua kali, maka secara proporsional (seimbang dan serasi) nilai-nilai aijXj nya juga
akan menjadi dua kali lipat. Jadi tidak berlaku hukum kenaikan hasil yang
semakin berkurang.
2. Penambahan (Additivity)
Asumsi ini dipakai untuk mencegah terjadinya “ceoss-product terms” karena
adanya interaksi diantara beberapa aktivitas, yang akan mengubah pengukuran
total efektifitas dan penggunaan total beberapa sumber daya. Berdasarkan asumsi
ini bahwa nilai parameter suatu kriteria optimisasi (koefisien peubah pengambil
keputusan dalam fungsi tujuan) merupakan jumlah nilai individu-individu Cj
dalam model program linier tersebut. Dampak total terhadap kendala ke-i
merupakan jumlah dampak individu terhadap peubah pengambil keputusan Xj.
3. Pembagian (Divisibility)
Asumsi ini menyatakan bahwa peubah-peubah pengambil keputusan Xj, jika
diperlukan dapat dibagi ke dalam pecahan-pecahan, yaitu bahwa nilai-nilai Xj
tidak perlu integer (hanya 0 dan 1 atau bilangan bulat), tapi boleh noninteger
(misalnya 5; 0.58; 38.987, dan sebagainya).
4. Deterministik (Deterministic)
Asumsi ini menghendaki agar semua parameter dalam model program linier,
yaitu Cj, aij, dan bi tetap dan diketahui atau ditentukan secara pasti (konstanta).
12

2.4.2 Unsur Dalam Goal Programming

Menurut Mulyono (2004), dalam penyelesaian model goal programming


terdapat tiga unsur utama yaitu sebagai berikut :
1. Fungsi Tujuan
Dalam goal programming terdapat 3 fungsi tujuan yang ingin dicapai yaitu:
 Minimumkan Z =
Fungsi tujuan yang pertama digunakan jika variabel simpangan dalam
suatu masalah tidak dibedakan menurut prioritas atau bobot.
 Minimumkan Z = untuk
Fungsi tujuan yang kedua digunakan dalam suatu masalah dimana urutan
tujuan diperlukan tetapi variabel simpangan di dalam setiap prioritas
memiliki kepentingan yang sama.
 Minimumkan Z = untuk
Dalam fungsi tujuan yang ketiga, tujuan diurutkan dan variabel simpangan
pada setiap tingkat prioritas dibedakan dengan menggunakan yang
berlainan Wkt. Jadi fungsi tujuan yang digunakan akan tergantung pada
situasi masalahnya.
2. Kendala Non Negatif
Kendala non negatif dalam goal programming adalah semua variabel-
variabel bernilai positif atau sama dengan nol. Jadi variabel keputusan dan
variabel deviasi dalam masalah goal programming bernilai positif atau sama
dengan nol. Pernyataan non negatif dilambangkan dengan
3. Kendala Tujuan
Dalam goal programming ada enam jenis kendala tujuan yang berlainan.
Tujuan dari setiap jenis kendala itu ditentukan oleh hubungannya dengan
fungsi tujuan. Berikut adalah enam jenis kendala tersebut:
13

Tabel 2.2 Jenis Kendala dalam Goal Programming

Variabel
Devisiasi Penggunaan Nilai
Kemungkinan
No Kendala Tujuan dalam RHS yang
Simpangan
Fungsi Diinginkan
Tujuan,
1 Negatif
2 Positif
Negatif dan
3 atau lebih
Positif
Negatif dan
4 atau kurang
Positif
Negatif dan
5 dan
Positif
6 (artf) Tidak ada Pas
Sumber: (Mulyono, 2004)

2.4.3 Model Umum Goal Programming


Menurut Nasendi & Anwar (1985), Model umum dari goal programming
tanpa faktor prioritas di dalam strukturnya adalah sebagai berikut:

Minimumkan: Z = ) .................................................... (1)

Syarat-ikatan:

Kendala tujuan:

........................................ (2)

Untuk i = 1, 2, ..., m

Pembatas fungsional:

gij ..................................................... (3)

gij ..................................................... (4)

Untuk k = 1, 2, ..., p
14

J = 1, 2, ..., n,

Dan

.................................................................. (5)

Keterangan :

: Peubah pengambil keputusan atau kegiatan yang kini dinamakan sebagai

sub tujuan.

: Jumlah sumber daya k yang tersedia

: Koefisien teknologi fungsi kendala tujuan, yaitu yang berhubungan

dengan tujuan peubah pengambil keputusan (Xi).

: Tujuan atau target yang ingin dicapai

gij : Koefisien teknologi fungsi kendala biasa

: Deviasi plus dan minus dari tujuan atau target ke-i

Berdasarkan perumusan model goal programming di atas, pencapaian


tingkat sasaran dilakukan dengan cara meminimumkan peubah deviasi. Ada dua
tipe program sasaran, yaitu program sasaran yang setiap sasarannya memiliki
tingkat kepentingan yang sama dan program sasaran yang mengurutkan
sasarannya menurut tingkat kepentingan dari sasaran. Untuk sasaran yang
diurutkan tingkat kepentingannya diberi faktor pembobot. Faktor pembobot
adalah suatu nilai numerik yang tidak berdimensi dan digunakan untuk
menunjukkan tingkat kepentingan relatif dari suatu sasaran. Besar kecilnya nilai
faktor pembobot dari setiap sasaran diperoleh dari hasil manipulasi pendapat para
ahli atau pengambil keputusan.

Jika faktor pembobot fungsi sasaran ke-i dilambangkan dengan Wi, maka

secara matematik dapat bersifat :


15

0 < Wi < 1 , dan

= 1 ..................................................................... (6)

2.4.4 Perumusan Masalah Goal Programming


Perumusan permasalahan goal programming hampir sama dengan
perumusan linear programming. Perbedaannya adalah dalam penentuan fungsi
tujuan, yang digunakan pada linear programming ada variabel simpangannya,
sementara pada goal programming adalah variabel keputusannya. Berikut ini
beberapa langkah dalam perumusan masalah goal programming.
1. Penentuan variabel keputusan, merupakan dasar dalam pembuatan model
keputusan untuk mendapatkan solusi yang dicari. Makin tepat penentuan
variabel keputusan akan mempermudah pengambilan keputusan yang dicari.
2. Penentuan fungsi tujuan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
memformulasikan fungsi tujuan adalah sebagai berikut :
a. Setiap fungsi tujuan harus dinyatakan sebagai fungsi dari variabel
keputusan yang disimbolkan dengan fi (xi), yaitu fungsi dari variabel
keputusan yang berhubungan dengan tujuan ke i, sedangkan x adalah
vektor variabel keputusan yang disimbolkan dengan , dimana
merupakan konstanta koefisien teknologi.
b. Setiap fungsi tujuan memiliki nilai yang berhubungan dengan nilai sisi
kanan ( ) yang merupakan target atau tujuan dari fungsi tujuan tersebut.
Kemungkinan hubungan tersebut, yaitu dan atau

3. Perumusan fungsi sasaran. Pada langkah ini tiap tujuan pada sisi kirinya
ditambahkan dengan variabel simpangan, baik simpangan positif maupun
simpangan negatif. Dengan ditambahkannya variabel simpangan, maka
bentuk dari fungsi sasaran menjadi
4. Penentuan prioritas utama. Pada langkah ini dibuat urutan dari tujuan–tujuan.
Penentuan tujuan ini tergantung pada hal-hal berikut.
 Keinginan dari pengambil keputusan.
 Keterbatasan sumber-sumber yang ada.
16

 Batasan-batasan yang lain yang secara eksplisit atau pun implisit


menentukan dalam pemilihan variabel keputusan.
5. Penentuan pembobotan. Pada tahap ini merupakan kunci dalam menentukan
urutan dalam suatu tujuan dibandingkan dengan tujuan yang lain.
6. Penentuan fungsi pencapaian (achievement function). Di sini kuncinya adalah
memilih variabel simpangan yang benar untuk dimasukkan dalam fungsi
pencapaian dan kemudian ditambahkan prioritas dan bobot yang diperlukan.
Langkah pertama yang dilakukan adalah fungsi linear variabel simpangan.
Selanjutnya dalam memformulasikan fungsi pencapaian adalah
menggabungkan Setiap tujuan yang berbentuk minimasi variabel simpangan
sesuai dengan prioritasnya.
7. Minimasi a = { P1 (gi, ), P2 ( ), ..., Pk (gk )} Minimasi yang
dilakukan tergantung pada pertimbangan nilai sisi kanannya terhadap nilai
variabel keputusan yang diinginkan, terlihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Prosedur Fungsi Pencapaian

Tujuan Kemungkinan Simpangan Prosedur


Minimasi
Minimasi
Minimasi

8. Tentukan nilai nonnegatif. Langkah ini merupakan bagian resmi untuk


perumusan masalah goal programming karena semua variabel yang
digunakan pada model goal programming tidak boleh bemilai negatif.
9. Penyelesaian model goal programming.
2.4.5 Metode Penyelesaian Masalah
Terdapat dua macam metode yang digunakan untuk menyelesaikan model
Goal programming, yaitu metode grafis dan metode algoritma simpleks.
1. Metode Grafis
Metode grafis digunakan untuk menyelesaikan masalah Goal programming
dengan dua variabel. Langkah-langkah penyelesaian dengan metode grafis adalah:
17

a. Menggambar fungsi kendala pada bidang kerja sehingga diperoleh daerah


yang memenuhi kendala.
b. Meminimumkan variabel deviasional agar sasaran-sasaran yang diinginkan
tercapai dengan cara menggeser fungsi atau garis yang dibentuk oleh variabel
deviasional terhadap daerah yang memenuhi kendala.
2. Metode algoritma simpleks
Algoritma simpleks digunakan untuk menyelesaikan masalah Goal
programming dengan menggunakan variabel keputusan lebih dari dua. Langkah-
langkah penyelesaian Goal programming dengan metode algoritma simpleks
adalah :
a. Membentuk tabel simpleks awal. Berikut merupakan table simpleks awal:
Tabel 2.4 Tabel Awal Simpleks Goal Programming

0 0 ... 0 ...

̅ ̅ X1 X2 ... Xm ...

... 1 -1 ... 0 0

... 0 0 ... 0 0

... ... ... ... ... ... ... ... ... ...

... 0 0 1 -1

Zj ... ... ... ... ... ... ... ... ... Z

Zj-Cj ... ... ... ... ... ... ... ... ... Z

Sumber : (Siswanto, 2007)

Keterangan :

̅ : Variabel basis

̅ : Koefisien dari ̅
18

Zj = ̅

Z= ̅ , nilai fungsi tujuan

: Rasio antara dan jika terpilih menjadi variabel basis.

b. Pilih kolom kunci dimana Cj-Zj memiliki nilai negative terbesar. Kolom kunci
ini disebut kolom pivot.
c. Pilih baris kunci yang berpedoman pada bi/aij dengan rasio terkecil dimana bi
adalah nilai sisi kanan dari setiap persamaan. Baris kunci ini disebut baris
pivot.
d. Mencari sistem kanonikal yaitu system dimana nilai elemen pivot bernilai 1
dan elemen lain bernilai nol dengan cara mengalikan baris pivot dengan -1
lalu menambahkannya dengan semua elemen dibaris pertama. Dengan
demikian, diperoleh tabel simpleks iterasi i.
e. Pemeriksaaan optimalitas, yaitu melihat apakah solusi sudah layak atau tidak.
Solusi dikatakan layak bila variabel adalah positif atau nol.
2.5 Environmental Priority Strategy (EPS)
Kegiatan reverse logistic yang dilakukan tentunya akan menghasilkan dampak
negative, salah satu dampak negative yang muncul dari kegiatan reverse logistic
adalah dampak lingkungan. Indrianti dan Rustikasari (2010) menjelaskan dampak
lingkungan merupakan suatu harga yang harus dibayar untuk melindungi dampak
negative terhadap lingkungan akibat pembongkaran dan pengangkutan aki bekas.
Farizqi, dkk (2011) serta Indrianti dan Rustikasari (2010) memfokuskan dampak
lingkungan yang muncul kepada akibat dari penggunaan bahan bakar, serta
pembongkaran. Untuk menentukan dampak lingkungan digunakan Environmental
Priority Strategy (EPS) dengan skala Environmental Load Unit (ELU), harga
yang harus dibayarkan setiap satu ELU adalah satu euro.
Farizqi, dkk (2011) menjelaskan Environmental Priority Strategy (EPS)
dikembangkan untuk memenuhi persyaratan dari proses pengembangan produk
sehari-hari, dimana kepedulian lingkungan hanyalah salah satu diantara lainnya,
dalam metode standart EPS prinsip utamanya adalah untuk menetapkan emisi atau
19

sumber daya ke kategori dampak ketika efek yang sebenarnya telah terjadi atau
mungkin terjadi di lingkungan.
Pada model ini terdapat 2 subyek dampak lingkungan yang dihasilkan dari
proses reverse logistic, yang pertama adalah dampak dari penggunaan bahan
bakar kendaraan yang difokuskan pada kegiatan transportasi dimana nilai yang
harus dibayarkan adalah emisi gas buang yang dihasilkan dari kendaraan yang
digunakan untuk proses pengangkutan. Subyek kedua nilai sumber daya abiotik
yang didapat dari penggunaan bahan bakar diesel dan limbah timbal yang
dihasilkan oleh proses pembongkaran.

Tabel 2.5
Komposisi 1 Kg Bahan Bakar Diesel
Zat Isi Berat
C 86,5% 0.865 Kg
H 0 0
O 0 0
N 0 0
S 1,3% 0,013
Cl 0 0
Hg 2 x 10-6% 2 x 10-8 Kg
Pb 1,1 x 10-5% 1,1 x 10-7 Kg
(Sumber: Farizqi, dkk, 2011)

Pada tabel 2.3 diatas menunjukkan komposisi 1 Kg bahan bakar diesel, dalam
penelitian ini diasumsikan 1 Kg bahan bakar diesel sama dengan 1 liter bahan
bakar tersebut. Emisi per 1 Kg bahan bakar diesel dapat dilihat pada tabel 2.4
berikut.
20

Tabel 2.6
Jumlah Emisi yang Dihasilkan
Zat Emisi (Kg)
CO2 3,17167
SO2 0,026
Hg 2 x 10-8 Kg
Pb 1,1 x 10-7 Kg
(Sumber:farizqi, 2010)
Tabel 2.4 menunjukkan indeks emisi udara yang dihasilkan setiap 1 Kg bahan
bakar diesel, tabel 2.5 merupakan indikator kategori metode default EPS 2000,
yang nantinya digunakan untuk mendapatkan nilai emisi dalam ELU.

Tabel 2.7
Indeks Emisi Udara
Seyawa Indeks EPS (ELU/Kg)
CO2 0,108
SO2 3,27
Hg 61,4
Pb 2910
(Sumber: Farizqi, dkk, 2011)
Berdasarkan tabel 2.6 dan 2.7 maka nilai emisi gas buang bahan bakar diesel
ke udara dalam EPS defaults metods dapat dihitung seperti pada tabel berikut.

Tabel 2.8
Nilai Senyawa dalam ELU
EPS defaults metods
Seyawa
(ELU)
CO2 0,34254036
SO2 0,08502
Hg 1,228 X 10-6
Pb 3,201 X 10-4
(sumber : diolah)
21

Jika dalam EPS defaults metods 1 ELU ekuivalen dengan 1 euro dengan nilai
tukar rupiah terhadap euro sebesar Rp 15.300 maka nilai emisi per Kg solar dalam
Rp dapat dilihat pada tabel 2.9 berikut.

Tabel 2.9
Nilai Emisi per 1 Kg Solar dalam Rupiah
EPS defaults metods Rupiah
Seyawa
(ELU)
CO2 0,34254036 Rp 5.240,86
SO2 0,08502 Rp 1.300,8
Hg 1,228 X 10-6 Rp 0,0187
Pb 3,201 X 10-4 Rp 4,8975
Total Rp 6.546,57
(sumber : diolah)
Sehingga tiap 1 Kg bahan bakar solar yang digunakan recycling center
dibebankan biaya sebesar Rp 6546,57 terhadap emisi gas buang yang dihasilkan.
2.6 Polyethylene Terephthalate (PET)
Polyethylene Terephthalate (disingkat PET, PETE atau dulu PETP, PET-P)
adalah suatu resin polimer plastic termoplast dari kelompok polyester. PET
banyak diproduksi dalam industry kimia dan digunakan dalam serat sintetis, botol
minuman dan wadah makanan, aplikasi thermoforming dan dikombinasikan
dengan serat kaca dalam resin teknik. PET dapat berwujud padatan amorf
(transparan) atau sebagai bahan semi kristal yang putih dan tidak transparan,
tergantung kepada proses dan riwayat termalnya . Monomernya dapat diproduksi
melalui esterifikasi asam tereftalat dengan etilen glikol, dengan air sebagai produk
sampingnya. Monomer PET juga dapat dihasilkan melalui reaksi transesterifikasi
etilen glikol dengan dimetil tereftalat dengan methanol sebagai hasil samping.
Polimer PET dihasilkan melalui reaksi polimerasi kondensasi dari monomernya.
Reaksi ini terjadi sesaat setelah esterifikasi/transesterifikasinya dengan etilen
glikol.
22

Kebanyakan (sekitar 60%) dari produksi PET dunia digunakan dalam serat
sintetis, dan produksi botol mencapai 30% dari permintaan dunia. Berdasarkan
Pergub Jatim No. 72 Tahun 2013 standar baku mutu air limbah PET terdiri dari
beberapa parameter yaitu BOD5 dengan kadar maksimum 75 mg/L, COD dengan
kadar maksimum 150 mg/L, TSS dengan kadar maksimum 100 mg/L, dengan
volume air limbah maksimum sebesar 2 m3 per ton produk.
2.7 Penelitian yang Relevan

Seiring dengan maraknya isu lingkungan, banyak sekali penelitian yang muncul
mengenai reverse logistic. Farizqi, dkk (2011) melakukan penelitian reverse logistic
baterai aki menggunakan pendekatan goal programming. Model yang dibangun
menggunakan pendekatan goal programming dengan pertimbangan multi eselon dalam
reverse logistic accu bekas, model yang dibangun mempertimbangkan 8 eselon antara
lain supplier, factory, recycling center, collection center, secondary market, disposal
center, distribution center dan end customer. Model yang dibangun memiliki tiga
tujuan, yakni tujuan utama meminimalkan biaya reverse logistic, tujuan kedua
meminimalkan dampak lingkungan serta memaksimalkan jumlah baterai aki bekas
yang dikumpulkan merupakan tujuan yang terakhir. Penelitian ini menggunakan pre-
empitive goal programming sehingga dapat dimungkinkan terdapat fungsi tujuan yang
tidak tercapai. Pengembalian baterai aki bekas dimulai dari konsumen baterai aki
hingga kembali ke manufacturer (factory). Alur pengembalian dan daur ulang aki
bekas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Supplier

Plastic Box
Recycled Lead
Recycling Center Alloy Factories

Scrap plastic
Secondary Lead
Alloy
Waste Spent
Acid (Sulphur)
Collection Center Spent Batteries Spent Batteries
Distribution Center
Disposal Center - Dissasembly End Customer
- Collecting
- Sorting

Valuable but not


recycled
component

Secondary Market

(Sumber: Frizqi,dkk (2011))


Gambar 2.3 Alur Pengembalian dan Daur Ulang Baterai Aki Bekas
23

Formulasi model matematika goal programming yang digambarkan oleh Farizqi,


dkk (2011) yaitu sebagai berikut

1. Minimasi Biaya Reverse Logistic

Total biaya reverse logistic (RLC) adalah keseluruhan biaya yang muncul
pada sistem reverse logistics baterai aki. Keseluruhan biaya tersebut antara lain :

a. Komponen biaya di factory


 Biaya produksi baterai aki baru
TPC = .................................................................... (7)

TPC Total biaya yang untuk memproduksi baterai aki di factory (f)
Qfp Jumlah produk (p) yang diproses di factory (f) sekama periode
waktu (t)
Cfpt Biaya untuk memproduksi produk (p) di factory (f) selama periode
waktu (t)
 Biaya pembelian bahan baku
TRWC = ........................................................... (8)
TRWC Total biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku dari
supplier (s)
Qisft Jumlah bahan baku (i) yang dibeli dari supplier (s) oleh factory (f)
selama periode waktu (t)
Cist Biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku (i) dari suplier
(s) oleh factory (f) selama periode waktu (t)
 Biaya transportasi untuk mengangkut bahan baku yang dibeli supplier
TFSTC = ........................................................ (9)
TFSTC Total biaya transportasi dari factory (f) ke supplier (s)
Cisft Biaya transportasi per ton bahan baku (i) dari supplier (s) ke
factory (f) selama periode waktu (t)
 Biaya simpan baterai aki baru
TBIC = ................................................................. (10)
24

Dimana
Sfpt = Sfp(t-1) + Qfpt -
TBIC Total biaya simpan produk jadi di factory (f)
Sfpt Jumlah persediaan produk jadi (p) di factory (f) selama periode
waktu (t)
Cfpt Biaya simpan produk (p) di factory (f) selama periode waktu (t)
Qfdpt Jumlah produk (p) yang dikirim factory (f) ke distribution center
(d) selama periode waktu (t)
 Biaya simpan untuk memproduksi bahan baku untuk memproduksi aki baru
TRWIC = ................................................................ (11)
Dimana
Sift = Sift(t-1) +
TRWIC total biaya simpan bahan baku di factory (f)
Sift jumlah persediaan bahan baku (i) di factory (f) selama periode
waktu (t)
Cift Biaya simpan bahan baku (i) di factory (f) selama periode waktu (t)
Qirft Jumlah bahan baku (i) hasil daur ulang di recycling center (r) yang
dikirim ke factory (f) selama periode waktu (t)
Xip Jumlah bahan baku (i) yang diperlukan untuk meproduksi satu unit
produk (p)
 Biaya operasional tetap (fixed cost)
FFC = ............................................................................................. (12)
FFC Total biaya operasional tetap (fixed cost) di factory
FCf Biaya operasional tetap (fixed cost) di factory (f)

b. Komponen biaya di collection center

 Biaya Pembongkaran

TDC = ............................................................... (13)


25

TDC Total biaya disassembly atau pembongkaran di collection center

(c)

Qcpt Jumlah Produk (p) bekas yang di disassembly di collection center

(c) selama periode waktu (t)

Ccpt Biaya disassembly produk (p) bekas di collection center (c) selama

periode waktu (t)

 Biaya Sorting

TSC = .............................................................. (14)

TSC Total biaya sorting di collection center (c)

SQcpt Jumlah Produk (p) bekas yang di sorting di collection center (c)

selama periode waktu (t)

SCcpt Biaya Sorting Produk (p) bekas yang di sorting di collection center

(c) selama periode waktu (t)

 Biaya transportasi untuk mengirim komponen yang tidak terpakai dan tidak

memiliki nilai jual ke disposal center

TCXTC = ................................................ (15)

Dimana = (Qcpt * DRpt)

TXCTC Total biaya transportasi dari collection center (c) ke disposal center

(x) selama periode waktu (t)

Qcxpt Jumlah Produk (p) yang dikirim collection center (c) ke disposal

center (x) selama periode waktu (t)

Ccxpt Biaya transportasi dari collection center (c) ke disposal center (x)

selama periode waktu (t)


26

DRpt Disposal rate produk (p) selama periode waktu (t)

 Biaya transportasi pengiriman bahan baku untuk di daur ulang di recycling

center

TCRTC = .................................................... (16)

Dimana = (Qcpt *Yip )

TCRTC Total biaya transportasi dari collection center (c) ke recycling

center (r)

Qcrpt Jumlah bahan baku (i) siap daur ulang yang dikirim collection

center (c) ke recycling center (r) selama periode waktu (t)

Ccrpt Biaya transportasi produk (p) dari collection center (c) ke recycling

center (r) selama periode waktu (t)

Yip Presentase bahan baku (i) pada produk (p) bekas yang di daur ulang

 Biaya transportasi untuk mengirim komponen yang tidak terpakai namun

masih memilikli nilai jual ke secondary market

TCMTC = ................................................ (17)

Dimana = (Qcpt *VRpt ) ; VRpt = 1- DRpt - yip

TCMTC Total biaya transportasi dari collection center (c) ke secondary


market (m)
Qcmpt Jumlah produk (P) yang dikirim collection center (c) ke secondary
market (m) selama periode waktu (t)
Ccmpt Biaya transportasi dari collection center (c) ke secondary market
(m) selama periode waktu (t)
VRpt Valuable but not recycled component rate dari (p) selama periode
waktu (t)
DRpt Disposal rate produk (p) selama periode waktu (t)
27

Yip .. Presentase bahan baku (i) pda produk (p) bekas yang didaur ulang
 Biaya simpan
TCIC = ................................................................. (18)
Dimana Scpt = Scp(t-1) + Q dcpt-
TCIC Total biaya simpan di collection center (c)
Scpt Jumlah persediaan produk (p) bekas di collection center (c) selama
periode waktu (t)
Ccpt Biaya simpan produk (p) bekas di collection center (c) selama
periode wakti (t)
 Biaya operasional tetap (fixed cost)
CFC = ......................................................................................... .(19)
CFC Total biaya operasional tetap (fixed cost) di collection center
FCc Biaya operasional tetap (fixed cost) di collection center

c. Komponen biaya di recycling center

 Biaya proses daur ulang


TRC = ..................................................................... .(20)
TRC Total biaya daur ulang di recycling center (r)
Qirt Jumlah bahan baku (i) hasil pembongkaran yang di daur ulang di
recycling center (r) selama periode waktu (t)
Cirt Biaya proses daur ulang bahan baku (i) di recycling center (r)
selama periode waktu (t)
 Biaya transportasi bahan baku yan telah didaur ulang di factory
TRFTC = ...................................................... (21)
Dimana
TRFTC Total biaya transportasi dari recycling center (r) ke factory (f)
Cirft Biaya transportasi per ton bahan baku (i) produk (p) hasil daur
ulang di recycling center (r) yang dibutuhkan factory (f) selama
periode waktu (t)
Wp Berat produk (p) bekas yang di daur ulang
28

RRirt recycling rate produk (p) untuk menghasilkan bahan baku hasil
daur ulang di recycling center (r) selama periode waktu (t)
 Biaya simpan bahan baku
TRIC = .................................................................. (22)
Dimana Srpt = Srp (t-1) +
TRIC Total biaya simpan di recycling center (r)
Srpt Jumlah persediaan bahan baku (i) di recycling center (r) selama
periode waktu (t)
Cirt Biaya simpan produk (p) di recycling center (r) selama periode
waktu (t)
 Biaya operasional tetap (fixed cost)
RFC = .......................................................................................... 23)
RFC Total biaya operasional tetap (fixed cost) di recycling center (r)
FCr Biaya operasional tetap (fixed cost) di recycling center (r)
d. Komponen biaya di Distribution Center
 Biaya pengumpulan baterai aki bekas (biaya pembelian baterai aki bekas)
TCC = ................................................................ (24)
TCC Total biaya pengumpulan di distribution center (d)
Qdpt Jumlah produk (p) bekas yang dibeli distribution center (d)
Cdpt Biaya pengumpulan produk (p) yang dikembalikan di distribution
center (d) selama periode waktu (t) atau biaya yang dikeluarkan
distribution center (d) untuk membeli produk (p) bekas
 Biaya transportasi pengambilan baterai aki bekas di konsumen
TEDTC = . ................................................ (25)
TEDTC Total biaya transportasi dari end customer (e) ke distribution center
(d)
Qdept Jumlah produk (p) yang diambil distribution center (d) dari end
customer (e) selama periode waktu (t)
Cdept Biaya transportasi produk (p) dari end customer (e) ke distribution
center (d) selama periode tertentu (t)
29

 Biaya transportasi baterai aki bekas ke collection center


TDCTC = .................................................. (26)
TDCTC Total biaya transportasi dari distribution center (d) ke collection
center (c)
Qdcpt Jumlah produk (p) bekas yang dikirim distribution center (d) ke
collection center (c) selama periode tertentu (t)
Cdcpt Biaya transportasi produk (p) dari distribution center (d) ke
collection center (c) selama periode tertentu (t)
 Biaya simpan baterai aki
TCC = ................................................................ (27)
Dimana
Sdpt = Sdp(t-1) +
TDIC Total biaya simpan di distribution center
Sdpt Jumlah persediaan produk (p) di distribution center (d) selama
periode waktu (t)
Cdpt Biaya simpan produk (p) di distribution center (d) selama periode
waktu (t)
 Biaya operasional tetap (fixed cost)
DFC = ................................................................................ (28)
DFC Total biaya operasional tetap (fixed cost) di distribution center
FCd Biaya operasional tetap (fixed cost) di distribution center

2. Minimasi Dampak Lingkungan

Sehingga didapatkan formulasi unutk dampak lingkungan, antara lain:

a. Nilai emisi dari penggunaan bahan bakar yang dihitug berdasarkan jarak yang
ditempuh selama perjalanan dalam aktivitas transportasi.
FEC=
30

,* + * + * +

* + * +- 20* +

* +13 .............................................................................. (29)

FEC Dampak lingkungan akibat penggunaan bahan bakar


α Jarak yang dicapai dengan 1 liter bahan bakar ketika mengangkut
komponen setelah dibongkar atau bahan baku
ϐ Jarak yang ditempuh dengan 1 liter bahan bakar ketika mengangkut
baterai aki
β Nilai emisi bahan baku per liter
Ler Jarak antara collection center (c) dan recycling center (r)
Lcm Jarak antara collection center (c) dan secondary market (m)
Lex Jarak antara collection center (c) dan disposal center (x)
Lrf Jarak antara recycling center (r) dan factory (f)
Lsf Jarak antara supplier (s) dan factory (f)
Led Jarak antara end customer (e) dan distribution center (d)
Ldc Jarak antara distribution center (d) dan collection center (c)
VCi Kapasitas maximum kendaraan yang digunakan mengangkut produk
atau komponen setelah dibongkar
VCp Kapasitas maksimum kendaraan yang digunakan mengangkut
produk atau komponen setelah dibongkar
b. Nilai abiotic stock resources dari limbah timah hitam (timbal) akibat proses
pembongkaran

DEC= ,* + * + * +

* + * +- δ ........................... (30)
DEC Dampak lingkungan akibat kegiatan pembongkaran
γ Index bahan bakar per liter
δ Nilai persediaan sumber daya abiotik per kg timah
31

3. Maksimasi jumlah baterai aki bekas yang dikumpulkan


Hal ini bertujuan untuk mendukung kedua tujuan sebelumnya , semakin
banyak baterai bekas yang di daur ulang dapat mengurangi penggunaan virgin
material atau cadangan sumber daya alam.
TRQ = ............................................................................... (31)
TRQ Jumlah baterai aki bekas yang dikumpulkan
Qdpt Jumlah produk (p) bekas yang dikirim ke distribution center (d)
selama periode waktu (t)

4 Kendala –kendala

Kendala –kendala yang harus dipenuhi dalam model reverse logistics yang
dirancang, antara lain :

a. Jumlah bahan baku yang dibeli cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku di factory
=( )
................................................................................ (32)
Xip Jumlah bahan baku (i) yang diperlukan untuk memproduksi satu
unit produk (p)
Dpt Jumlah permintaan produk (p) selama periopde waktu (t)
b. Jumlah batera aki bekas yang dibeli tidak melebihi jumlah baterai aki bekas
yang tersedia di konsumen
.............................................................. (33)
c. Jumlah bahan baku yang disimpan di factory selama periode waktu tidak
melebihi kapsitas simpan factory

.......................................................................................... (34)
ISCf Kapasitas penyimpanan bahan baku di factory (f)
d. Jumlah baterai aki baru yang disimpan di factory selama periode waktu yang
tidak melebihi kapasitas simpan factory
32

.......................................................................................... (35)

PSCf Kapasitas penyimpanan produk jadi di factory (f)

e. jumlah baterai aki yang disimpan di distribution center selama periode waktu
tidak melebihi kapsitas simpan distribution center

.................................................................. (36)
DSCd Kapasitas penyimpanan produk (p) di distribution center (d)
f. jumlah bahan baku yang disimpan di recycling center selama periode waktu
tidak melebihi kapasitas simpan recycling center

........................................................................................... 37)

RSCr Kapasitas penyimpanan bahan baku (i) di recycling center (r)

g. jumlah baterai aki berkas dan bahan baku yang disimpan di collection center
selama periode waktu tidak melebihi kapasitas simpan collection center

............................ (38)
CSCc Kapasitas Penyimpanan produk (p) di collection center (c)
h. jumlah bahan baku yang dibeli di supplier tidak melebihi kapasitas supply
dari supplier tersebut
Qisft ............................................................................................... (39)

SSCs Kapasitas supply dari supplier

i. waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi baterai aki selama periode waktu
tidak boleh melebihi waktu yang tersedia
..................................................................................... 40)

Dimana RTfpt = PTpt*Qfpt

RTfpt Waktu total yang diperlukan untuk memproduksi seluruh produk di


factory (f)
33

ATf Waktu yang tersedia untuk memproduksi seluruh produk di factory


(f) selama periode waktu (t)
PTpt Waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 unit produk (p)
selama periode waktu (t)
j. jumlah baterai aki baru yang diproduksi tidak boleh kurang dari jumlah
permintaannya dan tidak boleh melebihi kapasitas produksinya
PCfpt ≥ ≥ ......................................................... (41)

PCfpt Kapasitas produksi produk (p) oleh factory (f) selama periode
waktu (t)

Dpt Jumlah permintaan produk (p) selama periode waktu (t)

k. jumlah bahan baku yang di daur ulang tidak boleh melebihi kapasitas daur
ulang di recycling center

Qirt ≤ RCrpt ................................................................................ (42)

RCrpt Kapasitas daur ulang produk (p) di recycling center (r) selama
periode waktu (t)

l. jumlah baterai aki bekas yang dibongkar tidak boleh melebihi kapasitas
bongkar di collection center

Qcpt ≤ DCcpt ................................................................................ .(43)

DCcpt Kapasitas disassembly produk (p) di collection center (c) selama


periode waktu (t)

m. jumlah baterai aki bekas di sorting tidak boleh melebihi kapasitas sorting di
collection center

SQcpt ≤ SCcpt............................................................................................. (44)

SQcpt Jumlah produk (p) bekas yang di sorting di collection center (c)
selama periode waktu (t)
34

SCcpt Kapasitas sorting produk (p) di collection center (c) selama periode
waktu (t)

n. jumlah komponen yang dikirim ke disposal center tidak boleh melebihi


kapasitas penerimaan di disposal center

Qcxpt ≤ XCxpt ............................................................................................ (45)

XCxpt Kapasitas disposal center (x) untuk menerima produk (p) selama
periode waktu (t)

0. Jumlah komponen yang dikirim ke secondary market tidak boleh melebihi


kapasitas secondary market
Qcmpt ≤ MCmpt .......................................................................................... (46)

MCmpt Kapasitas secondary market (m) untuk menerima produk (p)


selama periode waktu (t)

p. Non-negativity constraint, memastikan bahwa variabel bernilai positif

Qcmpt ≥ 0; Qcxpt ≥ 0; Qisft ≥ 0 ;

Qfpt ≥ 0; Qfdpt ≥ 0;

dc+, dc-,def-,ded+,ded-,dq+,dq- ≥ 0 . ......................................................... (47)

5. Formulasi Model Goal Programming


Formulasi model goal programming yang dirancang untuk model
reverse logistic, sebagai berikut:

Lexicographically minimize: dc+,def+,ded+,dq-

Subject to :

1) RLC + dc- - dc+ = TRLC


TPC + TRWC + TDC + TSC + TRC + TCC + TEDTC + TCXTC +
TCRTC + TCMTC + TDCTC + TRFTC + TFSTC+ TRIC + TDIC + TCIC
+ TBIC + TRWIC + DFC + CFC + RFC + FFC + dc- - dc+ = TRLC
35

+ +
+
+ + +
+ +
+ +
+ +
+ + +
+ +
+ + + dc- -
dc+ = TRLC .........................................................................................(48)

2) FEC + def- - def+ = TFEC

,* + * + * +

* + * +- 20* +

* +13 + def- + def+ = TFEC ...................................................... (49)

3) DEC + def- + def+ = TDEC

,* + * + * +

* + * +- δ + dcd- - dcd + =

TDEC ................................................................................................... (50)


4) + dq- - dq+ = TRQ .............................................................. .(51)
5) ≥ .......................... .(52)
6) ............................................................. (53)
7) + ≤ ISCf ... ..... (54)
8) + - ≤ PSCf .... ..... (55)
9) + + -
≤ DSCd ................................................................. ..... (56)
36

10) + - ≤ RSCr (57)


11) + - -
- ≤ CSCc ........................... ..... (58)
12) ≤ SSCs .............................................................................. ..... (59)
13) ................................................................ ..... (60)
14) ≥ .......................................... ..... (61)
15) .............................................................................. ..... (62)
16) .............................................................................. ..... (63)
17) SQcpt ≤ SCcpt .............................................................................. ..... (64)
18) Qcxpt ≤ XCxpt .............................................................................. ..... (65)
19) Qcmpt ≤ MCmpt .............................................................................. ..... (66)
20) Qcmpt ≥ 0
Qcxpt ≥ 0
Qisft ≥ 0
Qfpt ≥0
Qfdpt ≥ 0
dc+, dc- , def+ , def- , ded+, ded-, dq+, dq- ≥ 0
dc+, dc- = 0 ; def+ * def- = 0 ; ded+ * ded- = 0 ; dq+ * dq- = 0 ........................... (67)
Indrianti dan Rustikasari (2010) membangun sebuah model dengan
menggunakan pendekatan linear programming untuk daur ulang accu bekas,
dan menentukan aliran material yang optimal dari sudut pandang kolektor
(single eselon) berdasarkan aspek ekonomis dan lingkungan. Model single
periode yang dibangun memiliki kesimpulkan bahwa reverse logistic dapat
menjadi cara yang efektive untuk mencapai penggunaan sumber daya yang
efisien dan mengurangi dampak lingkungan, sementara disisi lain dapat
mendorong keuntungan secara ekonomis. Indrianti dan Rustikasari (2010)
menggunakan pendekatan linear programming dengan memperhatikan aspek
biaya pada collector baterai accu. Pada model linear programming yang
dibangun juga mempertimbangkan aspek lingkungan dan ekonomi, dengan
tujuan memaksimalkan keuntungan yang berkelanjutan.
37

Fungsi tujuan = Profit – environmental value


=
Dimana
= Total pendapatan timbal
= Total pendapatan plastik
= Total biaya pembelian baterai aki bekas
= Total biaya pembongkaran
= Total biaya pengangkutan timbal
= Total biaya pengangkutan plastik
= Dampak lingkungan akibat penggunaan bahan bakar
= Dampak lingkungan akibat limbah timbal

Indrianti dan Rustikasari (2010) merumuskan komponen biaya seperti


berikut.
..................................................................... (68)
........................................................................ (69)
................................................................................ (70)
...................................................................................... (71)

.( ) / ............................................... .. ..(72)

.( ) / ……………………………….…(73)

( ( ) ... .......(74)

( ( )

.......................................................................................................................... (75)

Dimana
= Jarak yang dicapai dengan 1 Kg bahan bakar ketika mengangkut
komponen setelah dibongkar
38

= Jarak yang dicapai dengan 1 Kg bahan bakar ketika mengangkut


accu bekas
= nilai emisi bahan baku per Kg
= indeks emisi bahan baku per Kg
= persediaan sumber daya abiotik per Kg timbal

Kendala dari permasalahan termasuk ketersediaan accu bekas dan proses


pembongkaran, dapat dirumuskan sebagai berikut.
..................................................................... (76)
...................................................................... (77)
............................................................... (78)
................................................................ (79)
..................................................................... (80)
Dimana :
= kuantitas timbal yang dihasilkan dari satu unit pembongkaran
accu bekas.
= kuantitas plastik yang dihasilkan dari pembongkaran satu unit
accu bekas.
= permintaan produsen untuk timbal.
= permintaan produsen untuk plastik.
= jumlah baterai accu bekas yang tersedia di pengecer unit.

Berikut ditampilkan penelitian yang relevan mengenai reverse logistic


yang dilakukan oleh penulis dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.10
Penelitian yang Relevan
Tema Judul Penulis Hasil
Model reverse logistic
goal programming multi
Pengembangan model Farizqi,
Green eselon dengan lebih dari
reverse logistic baterai aki Ciptomulyono,
manufacturing 1 fungsi tujuan yang
bekas menggunakan dan
(Reverse mengintegrassikan
pendekatan goal Rusdiansyah
logistic) jaringan RL pada 8
programming (2011)
eselon penelitian dengan
mempertimbangkan
39

komponen biaya dan


meminimalkan dampak
lingkungan.
Jumlah pembelian
baterai dan penjualan
timbal dan plastik yang
A reverse logistic model Indrianti dan
optimal dengan
for battery recycling Rustikasari
memperhatikan biaya
industry (2010)
lingkungan serta
memaksimalkan profit
yang berkelanjutan
Strategic network design Model reverse logistic
for reverse logistic and yang
Mutha and
remanufacturing using mengkonsolidasikan
Pokharel (2008)
new and old product produk di gudang
modules sebelum dikirim.
Integrasi model simulasi Model simulasi reverse
jaringan reverse logistics logistic dengan metode
sampah elektronik dengan drop off point, dengan
metode drop off dalam Laurence, mempertimbangkang
analisis biaya fasilitas Hanafi, dan kapasitas alat angkut dan
daur ulang sampah Anggrek (2011) biaya.
elektronikhasil
pengumpulan pada
wilayah DKI Jakarta
Penelitian ini
mengkonfirmasi teori
Orientasi konsumen, Eric et al. (2010). Dalam
oportunisme konsumen, penelitian ini juga
perjanjian kontraktuan, Yaqoub, dan ditemukan adanya
komitmen sumber daya, Indriani (2014) hubungan negatif dan
dan kemampuan reverse signifikan pada
logistic kemampuan reverse
logistic terhadap
penghematan biaya.
Kapabilitas inovasi
didukung dengan
komitmen perusahaan
Komitmen dan kapabilitas berperan secara
untuk meningkatkan Sutapa (2009) signifikan terhadap
kinerja reverse logistic kinerja RL, kapabilitas
komunikasi belum
memiliki peran dalam
kinerja RL.
Penerapan model goal
Pengembangan model
programming yang
reverse logistic dengan
meliputi empat priorias
pendekatan goal Asmuni,
pada produk OEMs
programming pada Pujawan dan
dalam sistem reverse
produk original Ciptomulyo
logistic dimana retailler
equipment manufacturers
sebagai penyedia jasa
(OEMs)
pengumpulan
A goal programming Hubungan yang objektif
Pati, Vrat and
model for paper recycling dalam model, yang
Kumar (2006)
system berkaitan dengan
40

pengurangan biaya,
peningkatan kualitas
produk, dan membantu
dalam menentukan
lokasi, rute dan varietas
yang berbeda dalam
aliran limbah
Penentuan joint lot size Menentukan total cost
menggunakan pendekatan yang optimum serta
Harahap,
supply chain dengan mengidentifikasi faktor
Nazaruddin, dan
metode vendor managed penyebab tidak adanya
Tarigan (2015)
inventory pada PT Gold integrasi
Coin Indonesia
Optimasi program linear
pecahan dengan fungsi
tujuan berkoefisien
interval menghasilkan
nilai optimal yang baik
Optimasi Program Linier Zuhanda dan
dibandingkan
Pecahan Dengan Fungsi Sawaluddin
penyelesaian dengan
Tujuan Berkoefisien (2014)
Linear optimasi program linear
Interval
Programming biasa serta interval dapat
digunakan sebagai
pengganti koefisien yang
sulit ditentukan
Metode modifikasi
subgradient mampu
menyelesaikan persoalan
Study Tentang Fuzzy Nazmi, dengan memilih solusi
Linear Programing Sibayang, dan yang tebaik, dengan
Dengan Metode Ariswoyo, S., bebrapa keuntungan
Modifikasi Subgradient 2010 antara lain dualitas
bilangan nol dapa
diguanakan untuk
masalah yang rumit
Jumlah pembelian
baterai dan penjualan
timbal dan plastik yang
Pengembangan Model Arassy, optimal dengan
Linear Reverse Logistic Accu Masudin, I dan memperhatikan biaya
Programming Bekas dengan Pendekatan Saputro, T.E lingkungan serta
Linear Programming 2016 memaksimalkan profit
yang berkelanjutan yang
juga mempertimbangkan
biaya simpan.
(Sumber: Diolah)

2.8 Posisi Penelitian


Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Farizqi,dkk (2011) yang
mengembangkan model reverse logistic dengan pendekatan goal programming. Pada
penelitian ini mempertimbangkan beberapa entitas yang ada pada supply chain bateray
41

aki bekas tersebut antara lain supplier, factory, secondary market, recycling center,
disposal, collection center dan distribution center. Data-data yang diperoleh pada
penelitian farizqi, dkk (2010) berasal dari observasi sistem daur ulang baterai aki bekas
dan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari internet. Penelitian ini juga
mempertimbangkan aspek lingkungan yang terdapat pada persamaan 49 dan 50.
Penelitian yang sejenis dilakukan oleh Indriati dan Rustikasari (2010) yang membuat
model reverse logistic untuk baterai di Indonesia menggunakan linear programming
untuk menentukan jumlah pembelian baterai dan penjualan timbal dan plastik yang
optimal dengan memperhatikan biaya lingkungan serta memaksimalkan profit yang
berkelanjutan. Dampak lingkungan yang ditimbulkan pada proses daur ulang baterai
pada penelitian Indrianti dan Rustikasari (2010) terdapat pada persamaan 74 dan 75,
yaitu limbah akibat emisi bahan bakar dan persediaan sumber daya abiotik. Penelitian
Indrianti dan Rustikasari (2010) memiliki tiga entitas antara lain pengecer, kolektor dan
produsen. Pati et al, (2006) membuat model Mixed Integer Goal Programming (MIGP)
untuk menganalisis jaringan daur ulang kertas. Model ini bertujuan untuk mencari
hubungan yang objektif dalam model, yang berkaitan dengan pengurangan biaya,
peningkatan kualitas produk, dan membantu dalam menentukan lokasi, rute dan
varietas yang berbeda dalam aliran limbah. Terdapat lima entitas yaitu vendor
pelanggan (sumber awal sampah), dealer, pemilik gudang, pemasok dan produsen.
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka penulis akan mengembangkan
penelitian dari Farizqi, dkk (2011) yang memanfaatkan penelitian dari Indrianti
dan Rustikasari (2010) yaitu mengembangkan model reverse logistic botol plastik
bekas dengan pendekatan goal programming. Aspek lingkungan yang akan
dibahas oleh penulis yaitu limbah plastik pada tahap daur ulang dan kegiatan
transportasi yang menggunakan bahan bakar solar dengan supply chain yang ada
pada Bank Sampah Malang antara lain pengrajin, tempat pembuangan akhir, area
A, area B, depo, perusahaan. Penelitian ini menggunakan preemptive goal
programming. Penelitian pendukung lainnya seperti yang ada pada tabel 2.10
yang menjadi referensi pada penelitian ini pada bidang reverse logistic.

Anda mungkin juga menyukai