Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1 Konsep Teoretis


2.1.1 Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain
Manajemen)
Disadari atau tidak, rantai pasok selalu ada di
dunia bisnis manapun, terlepas dari apakah rantai
pasok tersebut dikelola atau tidak. Walaupun suatu
organisasi tidak secara aktif menjalankan konsep rantai
pasok, namun sebagai fenomena bisnis, rantai pasok
tersebut akan tetap ada.
Manajemen Rantai Pasok (Supply Chain
Management) dipopulerkan pertama kali pada tahun
1982 sebagai pendekatan manajemen persediaan yang
menekankan pada pasokan bahan baku. Pada tahun
1990-an, isu manajemen rantai pasok telah menjadi
agenda para manajemen senior sebagai kebijakan
strategis perusahaan. Para manajer senior menyadari
bahwa keunggulan daya saing perlu didukung oleh
aliran barang dari hulu dalam hal ini pemasok hingga
hilir dalam hal ini pengguna akhir secara efisien dan
efektif. Tentunya secara bersamaan akan mengalir pula
informasi (Setiawan, 2009).

15
16

Manajemen rantai pasok merupakan serangkaian


pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan
pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan
lainnya secara efisien sehingga produk yang dihasilkan
dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi
tepat dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan
memuaskan kebutuhan pelanggan. Merancang dan
mengimplementasikan rantai pasokan yang optimal
secara global cukup sulit karena kedinamisannya serta
terjadinya konflik tujuan antar fasilitas dan partner
(Shimchi-Levi and Kaminsky, 2008).
Manajemen rantai pasok adalah keterpaduan
antara perencanaan, koordinasi dan kendali seluruh
proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok untuk
menghantarkan nilai superior dari konsumen dengan
biaya termurah kepada pelanggan. Rantai pasok lebih
ditekankan pada seri aliran bahan dan informasi,
sedangkan manajemen rantai pasok menekankan pada
upaya memadukan kumpulan rantai pasok (Van der
Vorst, 2004). Pada tingkat agroindustri manajemen
rantai pasok memberikan perhatian pada pasokan,
persediaan dan transportasi pendistribusian.
17

Gambar 2.1
Skema Sistem Rantai Pasok (Van der Vorst, 2004)

Manajemen rantai pasok produk pertanian


mewakili manajemen keseluruhan proses produksi
secara keseluruhan dari kegiatan pengolahan, distribusi,
pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke
tangan konsumen. Jadi, sistem manajemen rantai pasok
dapat didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem
pemasaran terpadu, yang mencakup keterpaduan
produk dan pelaku, guna memberikan kepuasan pada
pelanggan (Marimin dan Maghfiroh, 2011).
Setiap konsep manajemen dibuat dalam rangka
membantu manajer dalam proses pengambilan
keputusan. Begitu juga dengan manajemen dalam
mengelola rantai pasok, penerapan manajemen rantai
pasok memiliki beberapa tujuan. Panggabean (2009)
mengemukakan tujuan penerapan manajemen rantai
pasok, yaitu mempermudah penentuan lokasi atas dasar
18

pertimbangan aktivitas dan biaya dalam rangka


memproduksi produk yang diinginkan pelanggan dari
supplier atau pabrik hingga disimpan di gudang dan
pendistribusiannya ke sentra penjualan serta mencapai
efisiensi aktivitas dan biaya seluruh sistem, total biaya
sistem dari transportasi hingga distribusi persediaan
bahan baku, dan barang jadi.
Menurut Chopra dan Meindl (2004), proses bisnis
di dalam rantai dapat dilihat dari dua pandangan. Kedua
pandangan tersebut adalah cycle view dan push or pull
view. Cycle view menjelaskan bahwa terdapat beberapa
siklus dimana setiap siklusnya terjadi di antara dua
anggota rantai pasok berhadapan. Push or pull view
menjelaskan bahwa terdapat dua kategori pandangan
tergantung pada tindakan anggota rantai pasok dalam
merespon pesanan (permintaan) konsumen atau sebagai
tindakan antisipasi dari permintaan konsumen. Proses
pull (tarik) merupakan proses merespon permintaan
konsumen, sedangkan proses push (dorong) merupakan
proses yang dilakukan anggota rantai pasok sebagai
antisipasi terhadap permintaan konsumen.
Terdapat empat siklus proses di dalam cycle view
dapat dilihat pada Gambar 2.2 Siklus procurement
merupakan siklus pemesanan bahan baku dari anggota
rantai pasok paling awal. Siklus manufacturing
merupakan siklus pengolahan bahan baku menjadi
produk jadi. Siklus replenishment merupakan siklus
19

pengisian produk kembali yang dibeli dari anggota rantai


pasok sebelumnya. Siklus ini dilakukan karena adanya
tambahan produk yang diminta lebih dari pesanan
seharusnya oleh konsumen atau dapat dikatakan
sebagai tindakan antisipasi produsen atas permintaan
yang tidak terduga. Siklus customer order merupakan
siklus pemesanan oleh konsumen.

Gambar 2.2
Siklus Proses dalam Cycle View Rantai Pasok
Sumber : Chopra dan Meindl 2004

Manajemen rantai pasok produk pertanian


berbeda dengan manajemen rantai pasok manufaktur
karena : (1) produk pertanian bersifat mudah rusak, (2)
proses penanaman, pertumbuhan, dan pemanenan
tergantung pada iklim dan musim, (3) hasil panen
memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4) produk
pertanian bersifat kamba sehingga sulit untuk ditangani
20

(Austin dalam Marimin, 2010). Seluruh faktor tersebut


harus dipertimbangkan dalam desain manajemen rantai
pasok produk pertanian karena kondisi rantai pasok
produk pertanian lebih kompleks daripada rantai pasok
pada umumnya. Selain lebih kompleks, manajemen
rantai pasok produk pertanian juga bersifat probabilistik
dan dinamis (Marimin dan Maghfiroh, 2011).
Sedangkan menurut Widodo, Pramudya dan
Abdullah (2011), produk segar pertanian yang
mempunyai sifat musiman, mudah rusak dan adanya
variasi dalam produksi akan berpengaruh dalam rantai
pasoknya. Manajemen rantai pasok untuk produk segar
pertanian ditunjukkan dengan beberapa ciri sebagai
berikut : 1) proses tanaman berbunga dan tanaman
tumbuh tergantung dari iklim di lahan pertanian, 2)
jumlah produk segar yang bisa dipanen dipengaruhi oleh
“plant growing” yang sulit dikendalikan, 3) proses “loss”
(kehilangan) sebuah produk segar dimulai begitu
dipanen dan tergantung pada proses penanganannya, 4)
semua produk segar harus dikonsumsi langsung oleh
konsumen atau digunakan sebagai bahan di industri
makanan atau minuman sebelum mengalami
penyusutan. Total penyusutan dari produk segar
pertanian berkisar antara 20 – 60 % dari total jumlah
produk yang dipanen di suatu negara. Jumlah
penyusutan yang besar ini terutama disebabkan karena
21

ketidaksesuaian waktu dan kuantitas antara proses


pemanenan dan pengiriman.
Kegiatan manajemen rantai pasok merupakan
bagian kegiatan dari rantai nilai (value chain) sehingga
perbaikan manajemen rantai pasok akan berimplikasi
positif pada rantai nilai tambah. Rantai nilai yang efektif
akan memicu keunggulan nilai (value advantage) dan
keunggulan produksi (productivity advantage) yang pada
akhirnya meningkatkan keunggulan kompetitif.
a. Struktur Rantai Pasok
Manajemen Rantai Pasok (MRP) merupakan
serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk
mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan
tempat penyimpanan lainnya secara efisien. Produk
dihasilkan dapat didistribusikan dengan kuantitas,
tempat, dan waktu yang tepat untuk memperkecil
biaya serta memuaskan pelanggan. Manajemen
rantai pasok bertujuan untuk membuat seluruh
sistem menjadi efisien dan efektif, minimalisasi biaya
dari transportasi, dan distribusi sampai inventori
bahan baku, bahan dalam proses, serta barang jadi.
Ada beberapa pemain utama yang memiliki
kepentingan dalam MRP, yaitu pemasok (supplier),
pengolah (manufacturer), pendistribusi (distributor),
pengecer (retailer) dan pelanggan (customer) (David et
al., 2000 dalam Indrajit dan Djokopranoto 2002).
22

Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002),


hubungan organisasi dalam rantai pasok adalah
sebagai berikut :
1) Rantai 1 adalah pemasok. Jaringan bermula dari
sini. Pemasok merupakan sumber penyedia
bahan pertama, mata rantai penyaluran barang
akan dimulai. Bahan pertama ini bisa berbentuk
bahan baku, bahan mentah, bahan penolong,
bahan dagangan, dan suku cadang. Jumlah
supplier bisa banyak ataupun sedikit. Supplier
rantai pasok pertanian terdiri dari produsen dan
tengkulak. Produsen bisa menjadi supplier untuk
tengkulak atau langsung supplier untuk
manufaktur.
2) Rantai 1-2 adalah pemasok→ manufaktur. Pada
rantai pasok pertanian, manufaktur adalah
pengolah komoditas produk pertanian yang
memberikan nilai tambah untuk komoditas
tersebut. Hubungan konsep supplier partnering
antara manufaktur dengan pemasok mempunyai
potensi yang menguntungkan bagi kedua belah
pihak.
3) Rantai 1-2-3 adalah pemasok → manufaktur →
distributor. Barang yang sudah jadi dari
manufaktur disalurkan kepada pelanggan. Cara
yang umum dilakukan adalah melalui distributor
dan biasanya ditempuh dengan rantai pasok.
23

Barang yang berasal dari gudang pabrik


disalurkan ke gudang distributor atau pedagang
besar dalam jumlah besar kemudian barang
tersebut disalurkan kepada pengecer dalam
jumlah yang lebih kecil.
4) Rantai 1-2-3-4 adalah pemasok → manufaktur →
distributor → ritel. Pedagang besar biasanya
mempunyai fasilitas gudang sendiri atau dapat
juga menyewa dari pihak lain. Gudang ini
digunakan untuk menimbun barang sebelum
disalurkan lagi ke pihak pengecer. Dalam rantai
pasok pertanian, pedagang besar sebagai
distributor memasok produk pertaniannya
kepada pengecer di pasar tradisional maupun di
pasar swalayan.
5) Rantai 1-2-3-4-5 adalah pemasok→ manufaktur
→ distributor → ritel → pelanggan. Pengecer
menawarkan barangnya kepada pelanggan atau
pembeli. Mata rantai pasok akan berhenti ketika
barang tersebut tiba pada pemakai langsung.
Struktur rantai pasok produk pertanian
menurut Marimin dan Maghfiroh (2011) memiliki
keunikan karena tidak selalu mengikuti urutan
rantai diatas. Petani dapat langsung menjual hasil
pertaniannya langsung ke pasar selaku retail,
sehingga telah memutus rantai pelaku tengkulak,
manufaktur dan distributor. Manufaktur juga tidak
24

harus memasok produk lewat distributornya ke


retail, tapi bisa langsung ke pelanggan. Pelanggan
disini biasanya adalah pelanggan besar seperti
restoran, rumah sakit, ataupun hotel. Manufaktur
juga banyak menggunakan jasa eksportir selaku
distributor untuk memasarkan produknya ke
pelanggan internasional. Struktur rantai pasok
pertanian ditunjukkan pada Gambar 2.3

Gambar 2.3
Struktur Rantai Pasok Pertanian

b. Mekanisme Rantai Pasok


Pada hakikatnya, mekanisme rantai pasok
produk pertanian secara alami dibentuk oleh para
pelaku rantai pasok itu sendiri. Pada negara
berkembang seperti Indonesia, mekanisme rantai
pasok produk pertanian dicirikan dengan lemahnya
25

produk pertanian dan komposisi pasar. Adanya


kelemahan-kelemahan produk pertanian, misalnya
mudah rusak, musiman, jumlah yang banyak
dengan nilai yang relatif kecil, tidak seragam, dan
lain-lain akan mempengaruhi mekanisme
pemasaran, seringkali menyebabkan fluktuasi harga
yang akan merugikan pihak petani selaku produsen
(Marimin dan Maghfiroh, 2011).
Mekanisme rantai pasok produk pertanian
dapat bersifat tradisional ataupun modern.
Mekanisme tradisional adalah petani menjual
produknya langsung ke pasar atau lewat tengkulak,
dan tengkulak yang akan menjualnya ke pasar
tradisional dan pasar swalayan. Pada rantai pasok
modern, petani sebagai produsen dan pemasok
pertama produk pertanian membentuk kemitraan
berdasarkan perjanjian atau kontrak dengan
manufaktur, eksportir, atau langsung dengan pasar
sebagai retail, sehingga petani memiliki posisi tawar
yang baik. Perjanjian atau kontrak antara petani dan
mitra berdampak baik untuk keduanya. Petani
mendapatkan kepastian pembelian hasil panennya
dengan harga yang telah disepakati, dan mitra
mendapatkan produk pertanian yang memiliki
spesifikasi mutu yang telah disepakati juga.
Mekanisme ini tidak hanya memacu petani untuk
terus meningkatkan mutu hasil pertaniannya, tapi
26

juga memacu para pelaku rantai pasok yang lain


seperti manufaktur, distributor, dan ritel untuk
menjamin kualitas produk yang diinginkan oleh
pasar, sehingga produk dapat diterima oleh
konsumen lokal maupun mancanegara (Marimin dan
Maghfiroh, 2011).
c. Proses Bisnis Rantai Pasok
Pengelolaan rantai pasok yang sukses
membutuhkan sistem yang terintegrasi, masing
masing unit dalam rantai pasok menjadi satu
kesatuan, tidak berdiri sendiri sendiri sebagaimana
halnya dengan rantai pasok tradisional. Kegiatan
operasi pada rantai pasok membutuhkan aliran
informasi yang berkesinambungan untuk
menghasilkan produk yang baik pada saat yang tepat
sesuai dengan kebutuhan konsumen,dalam hal ini
konsumen menjadi fokus dalam setiap operasi yang
dilakukan.
James R. Stock dan Douglas M. Lambert (2001)
menyatakan bahwa dalam rantai pasok yang
terintegrasi terdapat proses sebagai berikut :
1) Customer Relationship Management
Merupakan pengelolaan hubungan baik
dengan konsumen, dimulai dengan
mengidentifikasi siapa konsumen kita, apa
kebutuhannya, seperti apa spesifikasi yang
dikehendaki oleh konsumen. Dengan demikian
27

secara periodik dapat dilakukan evaluasi sejauh


mana tingkat kepuasan konsumen telah
terpenuhi.
2) Customer Service Management
Berfungsi sebagai pusat informasi bagi
konsumen, menyediakan informasi yang
dibutuhkan secara real time mengenai jadwal
pengiriman, ketersediaan produk, keberadaan
produk, harga dan lain sebagainya. Termasuk
pula didalam pelayanan purna jual yang dapat
melayani konsumen secara efisien untuk
penggunaan produk dan aplikasi lainnya.
3) Demand Management
Manajemen permintaan berfungsi untuk
menyeimbangkan kebutuhan konsumen
dengan kapasitas perusahaan yang
menyediakan produk atau jasa yang
dibutuhkan. Didalamnya termasuk
menentukan apa yang menjadi kebutuhan
konsumen dan kapan dibutuhkannya. Sistem
manajemen permintaan yang baik
menggunakan titik penjualan dan data
konsumen untuk mengurangi ketidakpastian
serta meningkatkan efisiensi aliran barang
dalam rantai pasok. Kebutuhan pemasaran dan
rencana produksi harus diselaraskan agar
28

persediaan secara global dapat dikelola dengan


baik.
4) Customer Order Fulfillment

Proses pemenuhan permintaan konsumen


tepat waktu, bahkan lebih cepat dari yang
disepakati dengan biaya pemenuhan yang
seminimal mungkin, memerlukan koordinasi
yang baik dari setiap anggota rantai pasok.
Tujuan utamanya adalah menciptakan satu
proses pemenuhan permintaan dengan lancar,
mulai dari pemasok bahan baku sampai
konsumen akhir.
5) Manufacturing Flow Management

Proses produksi diupayakan sedemikian


rupa agar secepat mungkin dapat menyediakan
produk yang diperlukan dengan tingkat
persediaan yang minimal. Untuk itu diperlukan
persiapan yang memadai dan kesesuaian
permintaan dengan kapasitas produksi,
termasuk persiapan proses produksi adalah
ketersediaan bahan baku yang terjamin
sehingga kelancaran proses produksi dapat
dipertahankan. Untuk itu perlu dijalin
hubungan yang baik dengan pemasok pemasok
terkait.
29

d. Kelembagaan Rantai Pasok


Kelembagaan rantai pasok adalah hubungan
manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan
saling mendukung di antara beberapa lembaga
kemitraan rantai pasok suatu komoditas.
Kelembagaan tersebut mencapai satu atau lebih
tujuan yang menguntungkan semua pihak yang ada
di dalam dan di luar kelembagaan tersebut.
Komponen kelembagaan kemitraan rantai pasok
mencakup pelaku dari seluruh rantai pasok,
mekanisme yang berlaku, pola interaksi antar
pelaku, serta dampaknya bagi pengembangan usaha
suatu komoditas maupun bagi peningkatan
kesejahteraan pelaku pada rantai pasok tersebut
(Marimin dan Maghfiroh, 2011).
Dalam perkembangannya, bentuk kelembagaan
rantai pasok pertanian terdiri dari dua pola, yaitu
pola perdagangan umum dan pola kemitraan. Pola
perdagangan umum melibatkan berbagai pelaku
tataniaga yang umum ditemukan di banyak lokasi,
antara lain petani baik secara individu atau
kelompok dan pedagang. Pola kemitraan rantai
pasok adalah hubungan kerja diantara beberapa
pelaku rantai pasok yang menggunakan mekanisme
perjanjian atau kontrak tertulis dalam jangka waktu
tertentu.
30

Menurut Marimin dan Magfiroh (2011), pola


kemitraan rantai pasok pertanian umum dilakukan
oleh petani, antara lain kemitraan petani dengan
KUD atau asosiasi tani dan petani dengan
manufaktur atau pengolah. Gambaran kesepakatan
kemitraan rantai pasok yang umumnya terjadi
adalah antara petani secara individu dengan KUD
atau asosiasi tani. Kemitraan juga terjadi antara
manufaktur dengan distributor atau asosiasi tani
dengan distributor. Distributor di sini selaku
pemasok untuk ritel modern seperti supermarket,
pemasok untuk konsumen institusional seperti
hotel, restoran, rumah sakit, pemasok untuk
konsumen luar negeri atau pemasok untuk industri
pengolahan.
Keberhasilan kelembagaan rantai pasok
komoditas pertanian tergantung sejauh mana pihak-
pihak yang terlibat mampu menerapkan kunci
sukses yang melandasi setiap aktivitas di dalam
kelembagaan tersebut. Menurut Marimin dan
Maghfiroh (2011) kunci sukses ini terindentifikasi
melalui penelusuran yang detail dari setiap aktivitas
di dalam rantai pasokan. Kunci sukses tersebut
adalah:
1) Membangun Kepercayaan
Kepercayaan yang terbangun di antara
anggota rantai pasokan mampu mendukung
31

kelancaran aktivitas rantai pasokan, seperti


kelancaran pada transaksi penjualan, distribusi
produk, dan distribusi informasi pasar.
2) Koordinasi dan Kerja Sama
Koordinasi di antara anggota rantai pasokan
sangat penting guna mewujudkan kelancaran
rantai pasokan, ketepatan pasokan mulai dari
produsen hingga retail dan tercapainya tujuan
rantai pasokan.
3) Kemudahan Akses Pembiayaan
Akses pembiayaan yang mudah, disertai
dengan bentuk administratif yang tidak rumit
akan memudahkan pihak-pihak di dalam rantai
pasokan dalam mengembangkan usahanya.
Dengan mudahnya akses pembiayaan tersebut,
maka diharapkan pengembangan usaha di
bidang agribisnis ini dapat berkembang dengan
baik.
4) Dukungan Pemerintah
Peran pemerintah sebagai fasilitator,
regulator dan motivator sangat penting dalam
mewujudkan iklim usaha yang kondusif dan
struktur rantai pasokan yang mapan. Distribusi
informasi pasar yang disediakan oleh
pemerintah, kebijakan-kebijakan yang
mengatur rantai pasok komoditas pertanian,
penyediaan infrastruktur yang memadai,
32

pendampingan dan pembinaan oleh PPL serta


pengadaan pameran atau ekshibisi produk
pertanian dapat meningkatkan daya saing
rantai pasokannya.

2.1.2 Sistem Pengukuran Kinerja Rantai Pasok


Salah satu aspek fundamental dalam manajemen
rantai pasokan adalah manajemen kinerja dan
perbaikan secara berkelanjutan. Untuk menciptakan
kinerja yang efektif diperlukan sistem pengukuran yang
mampu mengevaluasi kinerja rantai pasokan secara
holistik. Menurut Pujawan (2005), sistem pengukuran
kinerja diperlukan untuk: i) melakukan monitoring dan
pengendalian; ii) mengkomunikasikan tujuan organisasi
ke fungsi-fungsi pada rantai pasokan; iii) mengetahui
posisi suatu organisasi relatif terhadap pesaing maupun
terhadap tujuan yang ingin dicapai; dan iv) menentukan
arah perbaikan untuk menciptakan keunggulan dalam
bersaing.
Suatu sistem pengukuran kinerja biasanya
memiliki beberapa tingkatan dengan cakupan yang
berbeda-beda. Menurut Melynk et al. (2004), suatu
sistem pengukuran kinerja biasanya mengandung: i)
individual metric; ii) metric sets dan overall performance
measurement systems.
Individual metric berada pada tingkat paling bawah
dengan cakupan paling sempit. Metrik adalah ukuran
33

yang dapat diverifikasi, diwujudkan dalam bentuk


kuantitatif ataupun kualitatif, dan didefinisikan
terhadap suatu titik acuan tertentu. Menurut Pujawan
(2005), ada beberapa hal yang harus dipenuhi agar
suatu metrik bisa efektif yaitu: i) mudah dimengerti, ii)
berdasar nilai tertentu, iii) dapat menangkap
karakteristik atau hasil dalam bentuk numerik maupun
nominal, iv) tidak menciptakan konflik antar fungsi pada
suatu organisasi, dan v) dapat melakukan pengukuran
data.
Jumlah metrik pada suatu sistem pengukuran
kinerja bisa cukup banyak. Untuk menghindari
kerancuan, tiap metrik harus didefinisikan dengan jelas.
Menurut Melynk et al. (2004), metrik bisa
diklasifikasikan berdasarkan fokus dan waktu. Metrik
bisa berfokus pada kinerja finansial maupun
operasional. Metrik operasional mengukur kinerja dalam
satuan waktu, output dan sebagainya. Banyak proses-
proses dalam rantai pasokan dimonitor dalam satuan
nonfinansial.
Kumpulan dari beberapa metrik membentuk
metrik set. Kumpulan ini diperlukan untuk memberikan
informasi kinerja suatu sub-sistem. Sebagai contoh,
kinerja persediaan tidak cukup hanya diukur dengan
satu metrik. Sementara pada tingkat tertinggi kita
memiliki sistem pengukuran kinerja secara
keseluruhan. Pada dasarnya sistem keseluruhan
34

tersebut tidak hanya dari banyak metrik set yang


menyusunnya, tetapi juga menjadi alat untuk
menciptakan kesesuaian antara metrik set dan tujuan
strategis organisasi (Melynk et al, 2004).
Model dibangun berdasarkan pada pertimbangan
pengukuran kinerja rantai pasokan internal. Variabel
pengukuran yang digunakan adalah metrik pengukuran
rantai pasokan yang mengelilingi barisan yang luas dari
barisan pengukuran dari keuangan ke pengukuran
operasional spesifik rantai pasokan. Variabel input dan
output yang digunakan dikategorikan sesuai dengan
metrik pengukuran yang didaftar dalam Supply Chain
Operation Reference (SCOR). SCOR dipilih karena ini
adalah kerangka lintas industri yang pertama untuk
mengevaluasi dan meningkatkan kinerja dan
manajemen rantai pasokan seluruh perusahaan
(Steward, 1997). Inisialisasi SCOR didasarkan pada
keperluan untuk mengembangkan kriteria yang
terdefinisi baik dan independen untuk mengukur kinerja
rantai pasokan dan persyaratan dari keinginan bersama
yang berhubungan dengan kehadiran berbagai mitra
dalam proses. SCOR menggunakan referensi model
proses termasuk menganalisis proses perusahaan dan
tujuannya, dan penghitungan kinerja operasional dan
membandingkannya dengan data benchmark. Hal ini
penting agar fokus pada pengembangan kerangka kerja
dalam mengukur efisiensi rantai pasokan internal dan
35

untuk kepentingan dari kondisi yang terjadi. Ada empat


tingkat SCOR dalam manajemen rantai pasokan:
a. Tingkat 1 terdiri dari metrik tingkat atas yang
mengelilingi empat proses dasar; perencanaan,
sumberdaya, pembuatan, pengiriman dan perluasan
seluruh bagian manufaktur dan proses pengiriman.
b. Tingkat 2 terdiri dari kategori proses dan
menyediakan fondasi untuk perusahaan untuk
diimplementasikan pada strategi operasi.
c. Tingkat 3 terdiri dari tingkat elemen proses dan
mendefinisikan kemampuan perusahaan untuk
bersaing secara sukses di pasar yang terpilih.
d. Tingkat 4 adalah tingkat implementasi, dimana
manajemen rantai pasokan spesifik belajar untuk
beradaptasi pada perubahan kondisi bisnis..

2.1.3 Perkembangan Sistem Pengukuran Kinerja


Rantai Pasok
Ide dari pengukuran kinerja ini diawali dari
pengukuran operasi manufaktur yang dilakukan oleh
F.W. Taylor pada awal abad ke-20 F.W. Taylor
melakukan penelitian mengenai studi gerak dan waktu.
Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data-
data yang ada dan kemudian dianalisa untuk membuat
standar kerja dari pekerja yang ada serta membuat
kriteria yang objektif untuk mengukur dan menetapkan
kinerja dan efisiensi pekerja tersebut. Lama-kelamaan
36

pandangan pengukuran kinerja semakin berkembang.


Penelitian mengenai pengukuran kinerja tidak lagi
difokuskan pada penelitian kinerja individual melainkan
mengarah pada pengukuran kinerja bisnis perusahaan.
Pada awal tahun 1920 mulailah muncul dan
berkembang sistem pengukuran secara tradisional yang
masih berfokus pada satu indikator saja yaitu finansial.
Pengukuran kinerja sebaiknya memiliki orientasi jangka
panjang dibandingkan dengan jangka pendek. Ukuran
finansial menunjukkan dampak kebijakkan dan
prosedur perusahaan pada posisi keuangan perusahaan
jangka pendek, hal ini merupakan salah satu
kekurangan sistem pengukuran kinerja secara
tradisional.
Seiring dengan perubahaan yang terjadi di
lingkungan dunia usaha, mulai berkembang
pengukuran kinerja yang berfokus pada pengukuran
non finansial. Menurut Maskell (2009), untuk
pengukuran non finansial. Beberapa keuntungan sistem
pengukuran non finansial antara lain adalah
pengukuran tersebut lebih sesuai dengan kondisi saat
ini dibandingkan dengan pengukuran finansial, lebih
mudah diukur dan presisi, lebih bermanfaat bagi pekerja
untuk melakukan perbaikan berkesinambungan,
konsisten dengan tujuan dan strategi perusahaan dan
sangat fleksibel. Faktor-faktor yang bersifat non finansial
lebih berorientasi jangka panjang dan memberikan
37

kontribusi yang cukup besar bagi kinerja perusahaan,


misalnya indikator yang berkaitan dengan kualitas
produk yang dapat meningkatkan penjualan dan
kepuasan konsumen dalam jangka panjang. Seiring
dengan berkembangnya industri di abad ke 21,
manajemen rantai pasok telah menjadi fokus utama dari
setiap organisasi bahkan beberapa penelitian terkini
menyatakan bahwa manajemen rantai pasok merupakan
praktis untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Sesuai
dengan perkembangan sistem pengukuran kinerja rantai
pasok, Chibba dan Horte (2001) menyebutkan ada empat
tipe pengukuran kinerja manajemen rantai pasok.
a. Functional Measures
Pengukuran secara terpisah dari masing-
masing fungsi yang ada dalam rantai pasok, seperti
pengukuran pengiriman saja atau produksi saja.
b. Internal Integrated Measures
Pengukuran kinerja terhadap semua fungsi
yang ada dalam rantai pasok dalam satu
perusahaan.
c. One side Integrated Measures
Mendefinisikan kinerja dalam batasan antar
organisasi atau antar perusahaan dan mengukur
kinerja antar perusahaan dalam perspektif pemasok
atau konsumen.
38

d. Total Chain Measures


Pengukuran kinerja rantai pasok secara lengkap
yang mencakup antar perusahaan, termasuk
hubungan dari pemasok sampai ke konsumen.

2.1.4 Tujuan Pengukuran Kinerja Rantai Pasok


Menurut Heim dan Compton (1992),
sebagaimana dikutip oleh Medori dan Steeple (2000),
perusahaan perlu menggunakan sejumlah pengukuran
kinerja untuk menentukan tujuan dan kinerja
diharapkan. Perusahaan harus mengembangkan
indikator kinerja yang sesuai untuk
menginterprestasikan dan mendeskripsikan secara
kuantitatif kriteria yang digunakan mengukur efektivitas
dari sistem tersebut. (Vanany, 2009: 135).
Dengan melakukan pengukuran kinerja rantai
pasok, perusahaan dapat mengontrol kinerja
perusahaan secara langsung maupun tidak langsung
dan perusahaan dapat mengetahui tingkat kinerja
perusahaan saat ini, apakah tujuan yang ditetapkan
tercapai atau tidak. Hasil pengukuran kinerja dijadikan
sebagai landasan bagi perusahaan untuk meningkatkan
kinerja melalui perbaikan yang berkesinambungan.

2.1.5 Metode Pengukuran Performansi Rantai Pasok


Berbagai macam cara pengukuran performansi
yang pernah dilakukan perusahaan-perusahaan dunia.
39

Salah satunya adalah cara pengukuran yang dilakukan


oleh sebuah supermarket. Pertama mereka menentukan
obyektif performansi yang dibutuhkan didalam
pengukuran tersebut, seperti quality, speed, realibility,
flexibility, dan sebagainya. Obyektif tersebut diberi skor
dan bobot. Tingkat pemenuhan performansi
didefinisikan oleh normalisasi dari indikator performansi
tersebut. Untuk strategi supply chain yang pasti, berlaku
hubungan sebagai berikut:
𝑛

P = ∑ Sij Wij
𝑗=1

Dimana:
P = total performansi Supply Chain varian i
N = jumlah obyektif performansi
S𝑖𝑗 = skor Supply Chain ke I di dalam obyektif performansi ke j
𝑊𝑖𝑗 = bobot dari obyektif performansi

Proses normalisasi dilakukan dengan rumus


normalisasi Snorm dr De boer, yaitu: snorm =
Si − Smin
× 100
(S max − 𝑆 min)
Keterangan:
Si = Nilai indikator aktual yang berhasil dicapai
Smin = Nilai pencapaian performansi terburuk dari
indikator performansi
Smax = Nilai pencapaian performansi terbaik dari indikator
performansi
40

Pada pengukuran ini, setiap bobot indikator


dikonversikan ke dalam interval nilai tertentu yaitu 0
sampai 100. Nol (0) diartikan paling jelek dan seratus
(100) diartikan paling baik. Dengan demikian parameter
dari setiap indikator adalah sama, setelah itu didapatkan
suatu hasil yang dapat dianalisa.
Tabel 2.1
Sistem Monitoring Indikator Performansi

Sistem Monitoring Indikator Performansi

<40 Poor
40-50 Marginal
50-70 Average
0-90 Good
>90 Excellent
(Sumber: H.Volby, 2000 dalam Sumiati, 2006: 4)

2.1.6 Model Supply Chain Operations Reference (SCOR)

Model SCOR adalah suatu model acuan dari


operasi rantai pasokan. SCOR mampu memetakan
bagian-bagian rantai pasokan. Menurut Punjawan
(2005),pada dasarnya SCOR merupakan model yang
berdasarkan proses. Model ini mengintegrasikan tiga
elemen utama dalam manajemen bisnis yaitu business
process re-enginering, benchmarking, dan proses
pengukuran ke dalam kerangka lalu lintas fungsi dalam
rantai pasokan (Bolstorff and Rosenbaum, 2003). Ketiga
elemen tersebut memiliki fungsi berikut:
41

a. Business Process Re-engineering pada hakekatnya


menangkap proses kompleks yang terjadi saat ini
dan mendefinisikan proses yang diinginkan.
b. Benchmarking adalah kegiatan untuk
mendapatkan data kinerja operasional dari
perusahaan sejenis. Target internal kemudian
ditentukan berdasarkan kinerja terbaik yang
diperoleh.
c. Proses pengukuran berfungsi untuk mengukur,
mengendalikan, dan memperbaiki proses-proses
rantai pasokan.
Dalam model SCOR, Manajemen Rantai Pasokan
didefinisikan sebagai proses perencanaan (plan),
pengadaan (source), pembuatan (make), penyampaian
(deliver), dan pengembalian (return) yang saling
terintegrasi mulai dari pemasok paling awal sampai ke
konsumen paling akhir, dan semua diluruskan oleh
strategi operasional, aliran material, kerja dan informasi
(Bolstorff dan Rosenbaum, 2003). Kelima elemen proses
tersebut memiliki fungsi berikut:
a. Perencanaan, yaitu proses yang menyeimbangkan
permintaan dan pasokan untuk menentukan
tindakan terbaik dalam memenuhi kebutuhan
pengadaan, produksi, dan pengiriman. Plan
mencakup proses menaksir kebutuhan distribusi,
perencanaan dan pengendalian persediaan,
perencanaan produksi, perencanaan bahan baku,
42

perencanaan kapasitas dan menyelaraskan rencana


kesatuan rantai pasokan dengan rencana keuangan.
b. Pengadaan, proses pengadaan barang maupun jasa
untuk memenuhi permintaan. Prosesnya mencakup
penjadwalan pengiriman dari pemasok, menerima,
mengecek dan memberikan otorisasi pembayaran
untuk barang yang dikirim pemasok, memilih
pemasok, mengevaluasi kinerja pemasok dan
sebagainya. Jenis proses biasa berbeda tergantung
pada apakah barang yang dibeli termasuk stok,
pemesanan, atau pembuatan produk untuk
memenuhi pesanan.
c. Pengolahan, yaitu proses untuk mentransformasi
bahan baku/komponen menjadi produk yang
diinginkan pelanggan. Kegiatan memproduksi bisa
dilakukan atas dasar ramalan untuk memenuhi
target persediaan atas dasar pesanan (make-to-
order), atau engineer-to-order. Proses yang terlibat
antara lain penjadwalan produksi, melakukan
kegiatan produksi dan melakukan pengujian
kualitas, mengelola barang setengah jadi,
memelihara fasilitas produksi, dan sebagainya.
d. Pengiriman, merupakan proses untuk memenuhi
permintaan terhadap barang maupun jasa. Biasanya
meliputi manajemen pemesanan, transportasi, dan
distribusi. Proses yang terlibat diantaranya adalah
menangani pesanan dari pelanggan, memilih
43

perusahaan jasa pengiriman, menangani kegiatan


pergudangan produk jadi dan mengirim tagihan ke
pelanggan.
e. Pengembalian, yaitu proses pengembalian atau
menerima pengembalian produk karena berbagai
alasan. Kegiatan yang terlibat antara lain identifikasi
kondisi produk, meminta otorisasi pengembalian
cacat, penjadwalan pengembalian dan melakukan
pengembalian.
Kriteria yang digunakan dalam pengukuran
kinerja rantai pasokan disebut dengan atribut kinerja
yang meliputi reliabilitas rantai pasokan, responsivitas
rantai pasokan, fleksibilitas rantai pasokan, biaya rantai
pasokan, dan manajemen aset rantai pasokan. Masing-
masing dari atribut kinerja tersebut terdiri dari satu atau
lebih indikator level 1. Metrik adalah ukuran yang dapat
diverifikasi, diwujudkan dalam bentuk kuantitatif
ataupun kualitatif, dan didefinisikan terhadap suatu
titik acuan tertentu. Tabel 2.2 menunjukkan atribut
kinerja manajemen rantai pasokan beserta indikator
kinerja.
44

Tabel 2.2
Atribut Kinerja Manajemen Rantai Pasokan beserta
Indikator Kinerja

Atribut
Definisi Indikator Level 1
Kinerja

Kinerja rantai
pasokan perusahaan 1) Pemenuhan
Reliabilitas dalam pesanan
Rantai memenuhi pesanan sempurna
Pasokan pembeli dengan; 2) Kinerja
produk, jumlah, pengiriman
waktu, kemasan, 3) Kesesuaian
kondisi, dengan
dan dokumentasi standar mutu
yang tepat, sehingga
mampu memberikan
kepercayaan kepada
pembeli bahwa
pesanannya dapat
terpenuhi dengan
baik.

Responsivitas Waktu (kecepatan) 1) Waktu tunggu


Rantai rantai pasokan pemenuhan
Pasokan perusahaan dalam pesanan
memenuhi pesanan 2) Siklus
konsumen pemenuhan
pesanan

Fleksibilitas Keuletan rantai


Rantai pasokan perusahaan 1) Fleksibilitas
Pasokan dan kemampuan rantai
beradaptasi pasokan
terhadap perubahan 2) Fleksibilitas
pasar untuk produksi
memelihara
keuntungan
kompetitif rantai
pasokan
45

Biaya Rantai Biaya yang berkaitan 1) Biaya total


Pasokan dengan pelaksanaan manajemen
proses rantai rantai pasokan
pasokan 2) Biaya pokok
produksi

Manajemen Efektifitas suatu 1) Siklus cash to


Asset perusahaan dalam cash
Rantai manajemen asset 2) Persediaan
untuk mendukung harian
Pasokan
terpenuhinya
kepuasan konsumen

Sumber: Supply Chain Council, 2006 Disesuaikan


Penjelasan dari indikator level 1, adalah sebagai
berikut:
a. Indikator pemenuhan pesanan sempurna adalah
indikator yang menerangkan kemampuan
perusahaan dalam memenuhi permintaan
konsumen. Pemenuhan permintaan secara
sempurna meliputi ketepatan jenis produk yang
dipesan, ketepatan waktu pengiriman, ketepatan
jumlah pengiriman, ketepatan tempat pengiriman,
dan ketepatan dokumentasi data pengiriman.
b. Indikator kinerja pengiriman adalah persentase
pengiriman pesanan tepat waktu dan penuh yang
sesuai dengan tanggal pesanan konsumen dan atau
tanggal yang diinginkan konsumen.
c. Kesesuaian dengan standar mutu adalah
pengiriman produk yang sesuai dengan kualitas
yang diinginkan konsumen.
46

d. Indikator waktu tunggu pemenuhan pesanan


adalah waktu yang dibutuhkan pelanggan
memesan produk sampai pesanan tersebut
diterima.
e. Indikator siklus pemenuhan pesanan adalah waktu
siklus pemesanan.
f. Indikator fleksibilitas rantai pasokan adalah waktu
yang dibutuhkan untuk merespon rantai pasokan
(perencanaan, mencari, membuat, dan pengiriman)
yang tidak direncanakan baik penurunan atau
peningkatan permintaan tanpa biaya penalti.
g. Indikator fleksibilitas produksi adalah indikator
yang menerangkan kemampuan perusahaan dalam
melayani peningkatan pesanan yang tidak terduga.
h. Indikator biaya total manajemen rantai pasokan
adalah menerangkan total biaya yang dikeluarkan
oleh perusahaan dalam melakukan penanganan
bahan mulai dari pemasok sampai ke konsumen.
i. Indikator biaya pokok produksi adalah biaya yang
dikeluarkan untuk membuat suatu produk, dari
bahan mentah menjadi barang jadi.
j. Indikator siklus cash to cash adalah menerangkan
perputaran keuangan perusahaan mulai dari
pembayaran bahan baku ke pemasok, sampai
pembayaran atau pelunasan produk oleh
konsumen.
47

k. Indikator persediaan harian (inventory days of


supply) adalah lamanya persediaan cukup untuk
memenuhi kebutuhan apabila tidak ada pasokan
lebih lanjut.

2.1.7 Analytical Hierarki Process (AHP)


AHP adalah cara pengambilan keputusan yang
paling efektif atas berbagai persoalan yang kompleks
dengan jalan menyederhanakan dan mempercepat
pencarian solusi. (Saaty, 1993 dalam Sumiati, 2006).
AHP adalah suatu model yang luwes yang memberikan
kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk
membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan
persoalan dengan cara membuat asumsi mereka
masing-masing dan memperoleh pemecahan yang
diinginkan darinya. (Saaty, 1993 dalam Sumiati).
Proses AHP adalah suatu model yang luwes yang
memungkinkan kita mengambil keputusan dengan
mengkombinasikan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi
secara logis. (Saaty, 1993 dalam Sumiati, 2006).
Penerapan AHP dalam suatu masalah harus
dicoba dan dicoba lagi, diulang-ulang sepanjang waktu.
Kita sulit mengharapkan pemecahan yang segera atas
persoalan rumit yang selama ini telah dialami. Karena
proses ini dapat memungkinkan untuk dilakukan revisi.
Setiap pengulangan proses ini adalah seperti membuat
hipotesis dan mengujinya kembali sehingga pada
48

akhirnya akan menambah pemahaman terhadap suatu


system. Secara umum langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam menggunakan AHP untuk
memecahkan masalah.
a. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang
diinginkan.
b. Membuat struktur hierarki keputusan sehingga
permasalahan yang kompleks dapat ditinjau dari sisi
yang detail.
c. Menyusun prioritas untuk setiap elemen masalah
pada tingkat hierarki. Proses ini akan menghasilkan
bobot terhadap pencapaian tujuan, sehingga elemen
dengan bobot tertinggi memiliki prioritas
penanganan.

2.1.8 Skala Penilaian Perbandingan


Perbandingan berpasangan memiliki skala relatif
yang dapat dilihat dari Tabel 2.2 pada tabel tersebut
ditunjukkan beberapa skala tingkat kepentingan dengan
memperhatikan kemampuan manusia dalam
membedakan jumlah skala penilaian perbandingan.
Semakin banyak skala penilaian perbandingan, maka
akan semakin sukar pihak manajer menentukan
pilihannya. Jumlah skala penilaian perbandingan ada
lima buah. Jumlah ini dianggap yang proposional bagi
para manajer/responden untuk membedakan antara
kriteria yang ada. Adapun skala penilaian diantara skala
49

yang ada ditunjukkan sebagai nilai genap dari kedua


skala yang ada.

Tabel 2.3
Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan

Tingkat
Definisi Keterangan
Kepentingan

Kedua elemen
1 (sama) Kedua elemen menyumbang sama
sama penting besar pada sifat
tersebut
Satu elemen Pengalaman
3 (lemah) lebih penting dari menyatakan sedikit
pada elemen memihak pada satu
yang lain elemen
Satu elemen Pengalaman
5 (kuat) sesungguhnya menunjukkan secara
lebih penting dari kuat memihak pada
elemen yang lain satu elemen
Pengalaman
menunjukkan secara
Satu elemen jelas
7 (sangat kuat disukai &
kuat) lebih penting dari didominasi satu
elemen sangat jelas
lebih penting
Satu elemen Pengalaman
9 (mutlak
mutlak penting menjukkan satu
kuat)
dari pada elemen elemen sangat jelas
yang lain lebih penting
Nialai tengah
2,4,6,8 Nilai ini diberikan
diantara dua
jika diberikan
penilaian yang
kompromi
berdampingan
(Sumber: Saaty, 1993 dalam Vanany 2009: 172)

Di bawah ini adalah contoh matrik perbandingan


berpasangan yang menggunakan pemisalan 𝐴1, 𝐴2,
𝐴3,….𝐴𝑛
50

𝐴1 𝐴11 𝐴21 𝐴31…………….. 𝐴1𝑛


𝐴2 𝐴21 𝐴22 𝐴23……………...𝐴2𝑛
𝐴3 𝐴31 𝐴32 𝐴33……………...𝐴3𝑛
…. …... . …. …. …………….. ….
…. …. …. …. …………………. ….
𝐴𝑛 𝐴𝑛1 𝐴𝑛2 𝐴𝑛3 …………..… 𝐴𝑛𝑛

Gambar 2.4
Matrik Perbandingan Berpasangan

Dalam matrik ini bandingkan elemen 𝐴1 dalam


kolom di sebelah kiri dengan elemen 𝐴1, 𝐴2, 𝐴3, dan
seterusnya yang terdapat di baris atas berkenaan
dengan sifat C disudut kiri atas. Lalu ulangi dengan
kolom 𝐴2 dan seterusnya. Untuk mengisi matrik
perbandingan berpasangan, kita menggunakan bilangan
untuk menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen
di atas yang lainnya, berkenaan dengan sifat tersebut.
Dalam metode AHP, hal yang terpenting yang harus
diperhatikan adalah masalah inconsistency. Keputusan
perbandingan yang diambil dikatakan “Erfectly
Consistent” jika dan hanya jika aik . akj = aij, dimana i,
j, k = 1, 2,…..,n. Tetapi konsistensi ini tidak boleh
dipaksakan. Namun tingginya inkosistensi memang
sangat tidak diinginkan jika matriks reciprocal konsisten
maka λ max= n. Prof. Saaty mendefinisikan ukuran
konsistensi sebagai Consistency Index.
51

λ max − n
𝐶𝐼 =
n−1
Ket : λ maksimum= nilai eigen terbesar dari metrik
berordo n
n = jumlah kriteria

Untuk setiap ukuran matriks n, matriks random


dibuat dan nilai rata-rata CI dihitung dimana:
𝐶𝐼
𝐶𝑅 =
𝑅𝐼
Ket : CI = Indeks Konsistensi
CR = Rasio Konsistensi
RI = Random Index
Berikut ini indeks random untuk beberapa ukuran
matriks :
n 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1.32 1.41 1.45 1,49

Apabila nilai CR ≤ 0.1, maka masih dapat ditoleransi


tetapi bila CR > 0.1 maka perlu dilakukan revisi. Nilai
CR= 0 maka dapat dikatakan “Perfectly Consistent”
(Sumiati, 2006).
52

2.2 Kerangka Pikir

Analisis Deskriptif Kondisi objektif


Analisis
(panduan Asian rantai pasok
kondisi rantai
Productivity beras organik
pasok
Organization)

Perancangan
Metode Pengukuran
Kinerja

Supply Chain Perancangan


Operation Reference metrik Penentuan Fuzzy
(SCOR) Model pengukuran bobot metrik AHP
kinerja pengukuran

Perumusan Strategi
Peningkatan Kinerja

Implikasi
Manajerial

Gambar 2.5
Kerangka Pikir

Anda mungkin juga menyukai