Silsilah Batak
Silsilah Batak
SIRAJA BATAK
HORAS.......
Berikut adalah silsilah marga-marga batak yang berasal dari Si Raja Batak yang disadur dari buku
"Kamus Budaya Batak Toba" karangan M.A. Marbun dan I.M.T. Hutapea, terbitan Balai Pustaka,
Jakarta, 1987. Silsilah Raja Batak ini dicoba diterjemahkan dalam bentuk postingan biasa, semoga
tidak membingungkan bagi pembaca yang kebetulan ingin mencari asal mula marganya SI RAJA
BATAK dan keturunannya.
Dari istrinya yang bernama SI BORU BASO BURNING, GURU TATEA BULAN memperoleh 5 orang
putra dan 4 orang putri, yaitu :
- Putra :
a. SI RAJA BIAK-BIAK, pergi ke daerah Aceh.
b. TUAN SARIBURAJA.
c. LIMBONG MULANA.
d. SAGALA RAJA.
e. MALAU RAJA.
- Putri :
1. SI BORU PAREME, kawin dengan TUAN SARIBURAJA.
2. SI BORU ANTING SABUNGAN, kawin dengan TUAN SORIMANGARAJA, putra RAJA
ISOMBAON.
3. SI BORU BIDING LAUT, juga kawin dengan TUAN SORIMANGARAJA.
4. SI BORU NAN TINJO, tidak kawin (banci).
SARIBURAJA dan Marga-marga Keturunannya SARIBURAJA adalah nama putra kedua dari GURU
TATEA BULAN. Dia dan adik kandungnya perempuan yang bernama SI BORU PAREME dilahirkan
marporhas (anak kembar berlainan jenis).
Mula-mula SARIBURAJA kawin dengan NAI MARGIRING LAUT, yang melahirkan putra bernama
RAJA IBORBORON (BORBOR). Tetapi kemudian SI BORU PAREME menggoda abangnya
SARIBURAJA, sehingga antara mereka terjadi perkawinan incest.
Setelah perbuatan melanggar adat itu diketahui oleh saudara-saudaranya, yaitu LIMBONG MULANA,
SAGALA RAJA, dan MALAU RAJA, maka ketiga bersaudara tersebut sepakat untuk membunuh
SARIBURAJA. Akibatnya SARIBURAJA menyelamatkan diri dan pergi mengembara ke hutan
Sabulan meninggalkan SI BORU PAREME yang sedang dalam keadaan hamil.
Ketika SI BORU PAREME hendak bersalin, dia dibuang oleh saudara-saudaranya ke hutan belantara,
Tetapi di hutan tersebut SARIBURAJA kebetulan bertemu kembali dengan SI BORU PAREME.
SARIBURAJA datang bersama seekor harimau betina yang sebelumnya telah dipeliharanya menjadi
"istrinya" di hutan itu. Harimau betina itulah yang kemudian merawat serta memberi makan SI BORU
PAREME di dalam hutan. SI BORU PAREME kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama
SI RAJA LONTUNG.
Dari istrinya sang harimau, SARIBURAJA memperoleh seorang putra yang diberi nama SI RAJA
BABIAT. Di kemudian hari SI RAJA BABIAT mempunyai banyak keturunan di daerah Mandailing.
Mereka bermarga BAYOANGIN, karena selalu dikejar-kejar dan diintip oleh saudara-saudaranya.
- Putra :
a. TUAN SITUMORANG, keturunannya bermarga SITUMORANG.
b. SINAGA RAJA, keturunannya bermarga SINAGA.
c. PANDIANGAN, keturunannya bermarga PANDIANGAN.
d. TOGA NAINGGOLAN, keturunannya bermarga NAINGGOLAN.
e. SIMATUPANG, keturunannya bermarga SIMATUPANG.
f. ARITONANG, keturunannya bermarga ARITONANG.
g. SIREGAR, keturunannya bermarga SIREGAR.
- Putri :
a. SI BORU ANAKPANDAN, kawin dengan TOGA SIHOMBING.
b. SI BORU PANGGABEAN, kawin dengan TOGA SIMAMORA.
Karena semua putra dan putri dari SI RAJA LONTUNG berjumlah 9 orang, maka mereka sering
dijuluki dengan nama LONTUNG SI SIA MARINA, PASIA BORUNA SIHOMBING SIMAMORA. SI SIA
MARINA = SEMBILAN SATU IBU.
Dari keturunan SITUMORANG, lahir marga-marga cabang LUMBAN PANDE, LUMBAN NAHOR,
SUHUTNIHUTA, SIRINGORINGO,
SITOHANG, RUMAPEA, PADANG, SOLIN.
Dari keturunan SINAGA, lahir marga-marga cabang SIMANJORANG, SIMANDALAHI, BARUTU. Dari
keturunan PANDIANGAN, lahir
marga-marga cabang SAMOSIR, GULTOM, PAKPAHAN, SIDARI, SITINJAK, HARIANJA.
Dari keturunan SIREGAR, lahir marga-marga cabang SILO, DONGARAN, SILALI, SIAGIAN,
RITONGA, SORMIN.
SAGALA RAJA Putra keempat dari GURU TATEA BULAN. Sampai sekarang keturunannya tetap
memakai marga SAGALA.
LAU RAJA dan Marga-marga Keturunannya LAU RAJA adalah putra kelima dari GURU TATEA
BULAN. Keturunannya bermarga MALAU. Dia mempunyai 4 orang putra, yaitu :
a. PASE RAJA, keturunannya bermarga PASE.
b. AMBARITA, keturunannya bermarga AMBARITA.
c. GURNING, keturunannya bermarga GURNING.
d. LAMBE RAJA, keturunannya bermarga LAMBE. Salah seorang keturunan LAU RAJA diberi nama
MANIK RAJA, yang kemudian menjadi asal-usul lahirnya marga MANIK.
SI BORU ANTING MALELA melahirkan putra yang bernama TUAN SORBA DJULU (OMPU RAJA
NABOLON), gelar NAI AMBATON.
SI BORU BIDING LAUT melahirkan putra yang bernama TUAN SORBA DIJAE (RAJA
MANGARERAK), gelar NAI RASAON.
SI BORU SANGGUL HAOMASAN melahirkan putra yang bernama TUAN SORBADIBANUA, gelar
NAI SUANON.
NAI AMBATON (TUAN SORBA DJULU / OMPU RAJA NABOLON) Nama (gelar) putra sulung TUAN
SORIMANGARAJA lahir dari istri pertamanya yang bernama NAI AMBATON. Nama sebenarnya
adalah OMPU RAJA NABOLON, tetapi sampai sekarang keturunannya bermarga NAI AMBATON
menurut nama ibu leluhurnya.NAI AMBATON mempunyai 4 orang putra, yaitu :
a. SIMBOLON TUA, keturunannya bermarga SIMBOLON.
b. TAMBA TUA, keturunannya bermarga TAMBA.
c. SARAGI TUA, keturunannya bermarga SARAGI.
d. MUNTE TUA, keturunannya bermarga MUNTE (MUNTE, NAI MUNTE, atau DALIMUNTE). Dari
keempat marga pokok tersebut, lahir marga-marga cabang sebagai berikut (menurut buku "Tarombo
Marga Ni Suku Batak" karangan W. Hutagalung) :
Keterangan lain mengatakan bahwa NAI AMBATON mempunyai 2 orang putra, yaitu SIMBOLON
TUA dan SIGALINGGING.
SIMBOLON TUA mempunyai 5 orang putra, yaitu SIMBOLON, TAMBA, SARAGI, MUNTE, dan
NAHAMPUN. Walaupun keturunan NAI AMBATON sudah terdiri dari berpuluih-puluh marga dan
sampai sekarang sudah lebih dari 20 sundut (generasi), mereka masih mempertahankan Ruhut
Bongbong, yaitu peraturan yang melarang perkawinan antar sesama marga keturunan NAI
AMBATON.
Catatan mengenai OMPU BADA, menurut buku "Tarombo Marga Ni Suku Batak" karangan W.
Hutagalung, OMPU BADA tersebut adalah keturunan NAI AMBATON pada sundut kesepuluh.Menurut
keterangan dari salah seorang keturunan OMPU BADA (MPU BADA) bermarga GAJAH, asal-usul
dan silsilah mereka adalah sebagai berikut :
a. MPU BADA ialah asal-usul dari marga-marga TENDANG, BUNUREA, MANIK, BERINGIN, GAJAH,
dan BARASA.
b. Keenam marga tersebut dinamai SIENEMKODIN (Enem = enam, Kodin = periuk) dan nama tanah
asal keturunan MPU BADA pun dinamai SIENEMKODIN.
c. MPU BADA bukan keturunan NAI AMBATON, juga bukan keturunan SI RAJA BATAK dari Pusuk
Buhit.
d. Lama sebelum SI RAJA BATAK bermukim di Pusuk Buhit, OMPU BADA telah ada di tanah Dairi.
Keturunan MPU BADA merupakan ahli-ahli yang trampil (pawang) untuk mengambil serta
mengumpulkan kapur barus yang diekspor ke luar negeri selama berabad-abad.
e. Keturunan MPU BADA menganut sistem kekerabatan Dalihan Natolu seperti yang dianut oleh
saudara-saudaranya dari Pusuk Buhit yang datang ke tanah Dairi dan Tapanuli bagian barat.
NAI RASAON (RAJA MANGARERAK) : nama (gelar) putra kedua dari TUAN SORIMANGARAJA,
lahir dari istri kedua TUAN SORIMANGARAJA yang bernama NAI RASAON. Nama sebenarnya ialah
RAJA MANGARERAK, tetapi hingga sekarang semua keturunan RAJA MANGARERAK lebih sering
dinamai orang NAI RASAON. RAJA MANGARERAK mempunyai 2 orang putra, yaitu RAJA
MARDOPANG dan RAJA MANGATUR.
Keturunan SI RAJA HUTA LIMA melahirkan marga dan marga cabang berikut:
a. MAHA.
b. SAMBO.
c. PARDOSI, SEMBIRING MELIALA.
Dalam masyarakat Batak, sering terjadi ikrar antara suatu marga dengan marga lainnya. Ikrar
tersebut pada mulanya terjadi antara satu keluarga
dengan keluarga lainnya atau antara sekelompok keluarga dengan sekelompok keluarga lainnya
yang marganya berbeda. Mereka berikrar akan memegang teguh janji tersebut serta memesankan
kepada keturunan masing-masing untuk tetap diingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan setia.
Walaupun berlainan marga, tetapi dalam setiap marga pada umumnya ditetapkan ikatan, agar kedua
belah pihak yang berikrar itu saling menganggap sebagai dongan sabutuha (teman semarga).
Konsekuensinya adalah bahwa setiap pihak yang berikrar wajib menganggap putra dan putri dari
teman ikrarnya sebagai putra dan putrinya sendiri. Kadang-kadang ikatan kekeluargaan karena ikrar
atau padan lebih erat daripada ikatan kekeluargaan karena marga. Karena ada perumpamaan Batak
mengatakan sebagai berikut: "Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang; Togu nidok ni uhum, toguan
nidok ni padan", artinya: "Teguh akar bambu, lebih teguh akar rumput; Teguh ikatan hukum, lebih
teguh ikatan janji". Masing-masing ikrar tersebut mempunyai riwayat tersendiri. Marga-marga yang
mengikat ikrar antara lain adalah:
a. MARBUN dengan SIHOTANG.
b. PANJAITAN dengan MANULLANG.
c. TAMPUBOLON dengan SITOMPUL.
d. SITORUS dengan HUTAJULU - HUTAHAEAN - ARUAN.
e. NAHAMPUN dengan SITUMORANG.
CATATAN TAMBAHAN:
1. Selain PANE, marga-marga cabang lainnya dari SITORUS adalah BOLTOK dan DORI.
3. Marga SIMORANGKIR adalah salah satu marga cabang dari PANGGABEAN. Marga-marga
cabang lainnya adalah LUMBAN RATUS dan LUMBAN SIAGIAN.
4. Marga PANJAITAN selain mempunyai ikatan janji (padan) dengan marga SIMANULLANG, juga
dengan marga-marga SINAMBELA dan SIBUEA.
5. Marga SIMANJUNTAK terbagi 2, yaitu HORBOJOLO dan HORBOPUDI. Hubungan antara kedua
marga cabang ini tidaklah harmonis alias bermusuhan selama bertahun-tahun, bahkan sampai
sekarang. (mereka yang masih bermusuhan sering dikecam oleh batak lainnya dan dianggap batak
bodoh)
7. Pada umumnya, jika seorang mengatakan bahwa dia bermarga SIAGIAN, maka itu adalah
SIAGIAN yang termasuk TUAN DIBANGARNA, jadi bukan SIAGIAN yang merupakan marga cabang
dari SIREGAR ataupun LUMBAN SIAGIAN yang merupakan marga cabang dari PANGGABEAN.
Selanjutnya biasanya marga SIAGIAN dari TUAN DIBANGARNA akan bertarombo kembali
menanyakan asalnya dan nomor keturunan. Kebetulan saya marga SIAGIAN dari PARPAGALOTE.
8. Marga SIREGAR, selain terdapat di suku Batak Toba, juga terdapat di suku Batak Angkola
(Mandailing). Yang di Batak Toba biasa disebut "Siregar Utara", sedangkan yang di Batak Angkola
(Mandailing) biasa disebut "Siregar Selatan".
10. Di suku Batak Pakpak (Dairi) terdapat beberapa padanan marga yaitu:
a. BUNUREA disebut juga BANUREA.
b. TUMANGGOR disebut juga TUMANGGER.
c. BARUTU disebut juga BERUTU.
d. HUTADIRI disebut juga KUDADIRI.
e. MATANIARI disebut juga MATAHARI.
f. SIHOTANG disebut juga SIKETANG.
11. Marga SEMBIRING MELIALA juga terdapat di suku Batak Karo. SEMBIRING adalah marga
induknya, sedangkan MELIALA adalah salah satu marga cabangnya.
12. Marga DEPARI juga terdapat di suku Batak Karo. Marga tersebut juga merupakan salah satu
marga cabang dari SEMBIRING.
14. Entah kebetulan atau barangkali memang ada kaitannya, marga LIMBONG juga terdapat di suku
Toraja di pulau Sulawesi.
Mauliate, Horas........
Suku Batak
KEKERABATANYang mencakup hubungan premordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan
darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan Na Tolu( Hula-hula, Dongan Tubu, Boru), Pisang Raut (Anak
Boru dari Anak Boru), Hatobangon (Cendikiawan) dan segala yang berkaitan hubungan kekerabatan
karena pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain.
RELIGI
Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian
yang
mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan
hidupnya.
HAGABEON
Banyak keturunan dan panjang umur. satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang
disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak
pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat
penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat
hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang
sangat tinggi. Konsep Hagabeon berakar, dari budaya bersaing pada jaman purba, bahkan tercatat
dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan
tertumpu pada jumlah
personil yang besar. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut SAUR MATUA
BULUNG ( seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat dibayangkan betapa besar pertambahan
jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan
melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.
HASANGAPONKemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai
utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-
lebih pada orang Toba, pada jaman modern ini untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan
kemuliaan,kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.
HAMORAON
Kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya orang
Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.
HAMAJUON
Kemajuan, yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat kuat
mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh pelosok tanah air. Pada abad yang lalu, Sumatra Timur
dipandang sebagai daerah rantau. Tetapi sejalan dengan dinamika orang Batak, tujuan migrasinya
telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau meningkatkan daya
saingnya.
HUKUM
Patik dohot uhum, aturan dan hukum. Nilai patik dohot dan uhum merupakan nilai yang kuat di
sosialisasikan oleh orang Batak. Budaya menegakkan kebenaran, berkecimpung dalam dunia hukum
merupakan dunia orang Batak.
Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang
Batak sejak jaman purba. Sehingga mereka mahir dalam berbicara dan berjuang memperjuangkan
hak-hak asasi. Ini tampil dalam permukaan kehidupan hukum di Indonesia yang mencatat nama
orang Batak dalam daftar pendekar-pendekar hukum, baik sebagai Jaksa, Pembela maupun Hakim.
PENGAYOMAN
Dalam kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang
disebutkan terdahulu. ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran
pengayom, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat
mendesak.
KONFLIK
Dalam kehidupan orang Batak Toba kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada pada
Angkola-Mandailing. Ini dapat dipahami dari perbedaan mentalitas kedua sub suku Batak ini. Sumber
konflik terutama ialah kehidupan kekerabatan dalam kehidupan Angkola-Mandailing. Sedang pada
orang Toba lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya. Antara
lain Hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Toba.(*)
Ia Adat Batak dohot Partuturan di Halak Batak natatean do i sian angka Ompunta sijolo-jolo tubu, asa
gabe adong sulu-sulu (petunjuk manang pedoman) di hangoluon ni halak Batak, namangatur ragam
ni parsaoran dohot parange asa sude ngolui mardalan dohot denggan jala manuju tu
hasonangan. (Adat dan kekerabatan orang Batak diwarisi dari nenek moyang, sebagai
pedoman/petunjuk dalam menjalani kehidupan orang Batak, untuk mengatur hubungan dan perilaku
antar manusia orang Batak agar kehidupannya berjalan dengan baik dan menyenangkan serta
menuju ke kehidupan yang kekal):
Sinur napinahan gabe ma naniula tumpahon ni Tuhanta.
Porsea do halak Batak, molo burju mangulahon nanidok di Adat i dapotma hangoluan alai
namangalanggar Adat ro ma hangaluton.
Songoni do haporseaon ni halak Batak sian nahinan di Adat Batak jala sai diajarhon doi tu angka
anakhonna asa burju-burju jala sioloi ajar (Adat).
Na jolo di masyarakat ni Halak Batak molo adong namangalanggar Adat, ro ma hangaluton manang
jea: adong ma na ro babiat panoro tu bogasan huta, logo ni ari, masa antingano, masa ma sahit
ngenge, bencana alam dohot ngolu hangaluton naasing.
Dapot do i tarida diangka umpama ni Ompunta sijolo-jolo tubu namandok:
Jongjong Adat sitongka do i tabaon,
peak pe Adat sitongka do i langkaan.
Adat na so jadi mose, Uhum na so jadi muba.
Songoni ma togu dohot penting ni Adat di hangoluon ni halak Batak na parjoloi
Ala parugamo natulus do Ompunta najolo, nang pe na so ditanda nasida dope Jesus Sipaluai alai di
Adat ni Halak Batak na marsumber sian Ugamo nasida ditingki i, godang do namarhadomuan tu Patik
ni Debata Na-Sampulu i.
Boi do jahaonta di Padan na Imbaru na sinurat ni Apostel Paulus di Surat Rom 2: ayat 14:
Ai diulahon angka Sipelebegu sian dirina do na pinangido ni Patik i, atik pe soadong Patik di nasida,
asa gabe nasida sandiri ma songon patik di nasida na so marpatik hian.: Godang do ulaon na roa
nasoboi ulaon di Adat i, laos na roa do di Patik i:
Nang di Patik Raya ni Tuhan Jesus namandok: si haholonganmu do donganmi dos songon dirim,
dapot do idaonta di umpamanta namandok:
Halak Batak na so umboto Partuturon ni Halak Batak ndang dapot botoon dohot panghilalahonon ni i
“Adat Batak”..
ADAT BATAK
Nilai Budaya Utama pada Orang Batak Toba
"Saya mencoba untuk mendeskripsikan (secara Antropologis) mengenai 9 Nilai Budaya Yang Utama
pada Masyarakat Batak Toba. Memang masih banyak Nilai Budaya Batak Toba yang lain, yang mana
mungkin menjadi bahasan teman-teman yang lain ?
1. KEKERABATAN
Yang mencakup hubungan premordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan
unsur-unsur Dalihan Na Tolu( Hula-hula, Dongan Tubu, Boru), Pisang Raut (Anak Boru dari Anak
Boru), Hatobangon (Cendikiawan) dan segala yang berkaitan hubungan kekerabatan karena
pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain.
2.RELIGI
Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian
yang
mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan
hidupnya.
3.HAGABEON
Banyak keturunan dan panjang umur. satu ungkapan tradisional Batak yang terkenal yang
disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak
pengantin baru dikaruniakan putra 17 dan putri 16. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat
penting. Kekuatan yang tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat
hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing yang
sangat tinggi. Konsep Hagabeon berakar, dari budaya bersaing pada jaman purba, bahkan tercatat
dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan
tertumpu pada jumlah
personil yang besar. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut SAUR MATUA
BULUNG ( seperti daun, yang gugur setelah tua). Dapat dibayangkan betapa besar pertambahan
jumlah tenaga manusia yang diharapkan oleh orang Batak, karena selain setiap keluarga diharapkan
melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, juga semuanya diharapkan berusia lanjut.
4.HASANGAPON
Kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih
kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-lebih pada orang Toba, pada jaman modern ini untuk
meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan,kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.
5. HAMORAON
Kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya orang
Toba, untuk mencari harta benda yang banyak.
6.HAMAJUON
Kemajuan, yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Nilai budaya hamajuon ini sangat kuat
mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh pelosok tanah air. Pada abad yang lalu, Sumatra Timur
dipandang sebagai daerah rantau. Tetapi sejalan dengan dinamika orang Batak, tujuan migrasinya
telah semakin meluas ke seluruh pelosok tanah air untuk memelihara atau meningkatkan daya
saingnya.
7. HUKUM
Patik dohot uhum, aturan dan hukum. Nilai patik dohot dan uhum merupakan nilai yang kuat di
sosialisasikan oleh orang Batak. Budaya menegakkan kebenaran, berkecimpung dalam dunia hukum
merupakan dunia orang Batak.
Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang
Batak sejak jaman purba. Sehingga mereka mahir dalam berbicara dan berjuang memperjuangkan
hak-hak asasi. Ini tampil dalam permukaan kehidupan hukum di Indonesia yang mencatat nama
orang Batak dalam daftar pendekar-pendekar hukum, baik sebagai Jaksa, Pembela maupun Hakim.
8. PENGAYOMAN
Dalam kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang
disebutkan terdahulu. ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran
pengayom, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat
mendesak.
9. KONFLIK
Dalam kehidupan orang Batak Toba kadarnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada pada
Angkola-Mandailing. Ini dapat dipahami dari perbedaan mentalitas kedua sub suku Batak ini. Sumber
konflik terutama ialah kehidupan kekerabatan dalam kehidupan Angkola-Mandailing. Sedang pada
orang Toba lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya. Antara
lain Hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Toba.
FILSAFAT BATAK
Filsafat Batak
" BORU NIRAJA"DALAM SETIAP KELUARGA BATAK
Istilah sebutan “Boru Raja” dipakai oleh orang batak toba untuk meletakkan posisi seorang
perempuan dalam setiap keluarga batak lebih hormat. Sebutan ini pernah dan kadang kala
terdengar oleh saya diucapkan ayah kepada ibu pada waktu menyuruhnya mengambilkan
sesuatu pas moment kongkow (bincang-bincang santai) pada hari istirahat minggu pagi.
bersama keluarga di ruang tamu.
“Raja” dalam filosofi batak, berarti “yang dihormati”. Keluarga batak dari pihak perempuan
yang disebut hula-hula sering disimbolkan sebagai “Raja”. Simbol Raja bermakna
“penghormatan”. Istri seorang lelaki batak sering dikatakan sebagai “boru ni raja” atau “putri
si raja”. Posisi “Tulang” (saudara lelaki ibu saya), adalah Raja bagi semua kemenakannya.
Praktisnya, sebutan “boru raja” adalah sebuah konsep “kehormatan” dan “penghormatan”
untuk perempuan batak yang dimulai sejak ia lahir. “Kehormatan” dan “penghormatan” ini
meliputi banyak aspek seperti; kepatutan, moral, etika, sensitivitas, dignity, pride, wisdom,
tradisi dan adat istiadat, dsb. Siapapun dia, apakah dia seorang perempuan istri Jendral atau
pedagang ikan teri di pasar Senen, ia lahir didalam konsep “boru raja”.
Konsep “Raja” memiliki makna yang sangat luas; memasuki teritori adat, darah dan
keseharian keluarga batak. Pertengkaran-pertengkaran di kalangan keluarga batak sering
disudahi dengan kalimat “Raja do hita” atau terjemahannya adalah “kita adalah raja”.
Artinya, kita tidak akan merendahkan diri kita untuk mempertengkarkan hal itu, karena
seorang Raja tidak akan merendahkan martabatnya dengan pertengkaran-pertengaran,
perkelahian dsb. Hebat kan konsep “ke-Raja-an” dalam filosofi batak itu? Walaupun dalam
prakteknya hal itu lah yang paling susah dilakukan oleh orang batak. Mungkin konsep itu
dibuat oleh opung-opung jaman dulu untuk mengatasi karakter “keras” orang batak. Apapun
itu, betapapun sulitnya mengimplementasikannya, makna konsep itu luar biasa.
Inti dari konsep “boru raja” dalam filosofi batak mengajarkan setiap perempuan batak untuk
memahami nilai-nilai “kehormatan”. Boru Raja adalah nilai yang melekat pada diri seorang
perempuan Batak, yang bila mau dijelaskan cukup satu kata saja, yakni Terhormat.
Perempuan terhormat, tentunya tidak badung, tidak nakal, tidak selingkuh, tidak memecah
belah keluarga, tidak menindas suami, dan banyak lagi tidak-tidak lainnya.
horas.......
Adapun yang dinamai "partuturan" ialah hubungan kekeluargaan di antara ketiga unsur DNT
(Dalihan Na Tolu). Sesuai dengan adanya 3 unsur itu maka macam hubungan kekeluargaan
pun ada tiga, yaitu:
Sudah barang tentu kita harus menjaga dan memelihara agar ketiga macam hubungan itu
selalu berjalan dengan baik dan sempurna.
Artinya: Kebodohan, kelalaian dan keserakahan dalam menghadapi ketiga unsur DNT akan
membuat orang tergeser-geser. Maksud "tergeser-geser" (bahasa Batak "hona osar') ialah
terpaksa berpindah-pindah tempat, karena tak disukai orang, akibatnya melarat.
Berhubung dengan kedua filsafat itu, maka nenek moyang orang Batak meninggalkan 3 buah
petuah atau pesan untuk keturunannya, sebagai berikut:
Pada waktu ini acap kali diperlengkapi dan berbunyi: "Molo naeng ho sanggap, manat ma ho
mardongan tubu." Artinya : Jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat
dalam bergaul dengan "dongan sabutuha" (teman semarga).
Adapun "dongan sabutuha" itu dipandang oleh orang Batak sebagai dirinya sendiri dan dalam
pergaulan antar mereka sehari hari tidak dihiraukan segi basa basi, sehingga adik acap kali
tidak hormat terhadap abangnya dan demikian juga anak terhadap paktua dan pakciknya, hal
mana acap kali menimbulkan perasaan kurang senang di pihak yang merasa dirugikan. Maka
untuk menghindarkan itu diberilah oleh leluhur kita pesan yang tersebut di atas, agar kita
hati-hati menghadapi "dongan sabutuha" kita. Untuk itu harus kita periksa dahulu kedudukan
"dongan sabutuha" itu dalam "tarombo" (tambo, silsilah keturunan terhadap kita). Pada waktu
ini tidak sulit lagi memeriksa hal itu. Tiap orang Batak yang tahu "tarombo"nya mengetahui
tingkat generasinya pada "tarombo"-nya itu. Misalnya "dongan sabutuha" kita itu bertingkat
generasi 16 dan kita sendiri tingkat 17, maka ia masuk golongan ayah kita. sehingga ia harus
kita hormati sebagai ayah kita sendiri. Kalau ada jamuan makan janganlah kita
mempertahankan tempat duduk kita di "juluan" (tempat terhormat) kalau nampak seorang
"dongan sabutuha" dari golongan lebih tinggi (abang, ayah atau nenek) belum mendapat
tempat yang layak, tetapi kita harus mempersilakan dia. duduk di tempat duduk kita sendiri,
sekalipun menurut umur, kita lebih tua dari dia.
Dalam hal kita lebih tua dari dia, maka "dongan sabutuha" itu yang tentu juga mengetahui
pesan leluhur kita itu, tidaklah akan gegabah terus menerima ajakan kita itu, tetapi dengan
spontan ia akan menolak serta berkata, "Ah, tidak, yang tua-tua harus di hormati, tinggallah
di situ, terimakasih." Dalam pada itu ia sudah senang dan puas karena penghormatan kita itu.
Dalam hal musyawarah pun atau pada rapat menyelesaikan perselisihan hendaklah kita selalu
mengindahkan betul-betul basa-basi terhadap "dongan sabutuha". Dengan jalan demikian
maka semua "dongan sabutuha" akan selalu solider atas tindakan tindakan kita dan akan
menghormati dan menghargai kita dengan sewajarnya; hal ini berpengaruh juga kepada orang
disekeliling kita.
2) "Somba marhulahula".
Adapun "hulahula" itu dipandang oleh orang Batak sebagai media (penengah) yang sangat
berkuasa untuk mendoakan "hagabeon" dari Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini telah
menjadi darah daging bagi orang Batak berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Itulah yang
membuat penghormatan tinggi dan menonjol terhadap "hulahula". Juga dalam hal
penyelesaian perselisihan dengan "hulahula", penghormatan itu tetap dipertahankan
sebagaimana nampak dengan jelas pada suatu sebutan khas Batak, yang berbunyi "Sada sala
niba, pitu sala ni hulahula, sai hulahula i do na tutu". Artinya : Walau ada 7 buah kesalahan
"hulahula" dan salah kita hanya satu, maka "hulahula" itulah selalu dipihak yang benar.
Maksudnya : Kita harus selalu mengalah terhadap "hulahula", karena walaupun nampaknya
kita menderita rugi, namun akibatnya selalu menguntungkan kita, karena walaupun
"hulahula" itu kita buat menang dalam perselisihan itu sehingga ia mendapat keuntungan
materi, namun ada lagi sebuah sebutan khas Batak yang bunyinya, "Anggo tondi ni hulahula i
sai tong do mamasumasu iba". Artinya : Namun, roh "hulahula" itu tetap mendoakan
kebahagiaan untuk kita. Dan menurut filsafat Batak: Roh atau jiwa itu lebih berkuasa dari
badan.
Buat orang Batak yang taat beragama tidaklah berat untuk menuruti sebutan yang tertulis di
atas, karena dalam ajaran Alkitab tertulis, "Memaafkan kesalahan orang lain tidak cukup
hanya satu kali atau 7 kali, tetapi 70 kali 7, artinya tentu terus menerus".
3) "Elek marboru".
Biasanya diperpanjang: "Molo naeng ho mamora, elek ma ho marboru." Artinya : Kalau ingin
kaya, berlaku membujuklah terhadap "boru".
Keterangan: Sebenarnya menurut 'adat Batak, "boru" itu dalam hubungan kekeluargaan
berada di bawah kita, sehingga boleh kita suruh mengerjakan sesuatu. Namun anjuran leluhur
Batak ialah agar permintaan-permintaan kita kepada "boru" sekali-kali tak boleh menyerupai
perintah tetapi harus berupa dan bersifat bujukan. Leluhur Batak tahu benar bahwa bujukan
lebih kuat daripada paksaan dan selain itu bujukan itu dapat tetap memelihara kasih sayang di
antara "boru" dan "hulahula", yang tidak dapat dicapai dengan paksaan. Maka dengan
bujukan besarlah harapan kita akan memperoleh semua yang kita minta dari boru kita, yang
membuat kita kaya. Perkataan "kaya" di sini harus diartikan "perasaan kaya", yang
maksudnya "perasaan senang". Dan memang orang yang merasa senanglah yang paling kaya
di dunia ini dan bukanlah dengan sendirinya yang memiliki uang atau harta yang terbanyak.
Dalam hal adanya perselisihanpun dengan "boru", maka hal membujuk inipun harus
dipertahankan karena pengaruh dan akibatnya ialah: boru itupun dari pihaknya akan menuruti
pesan nenek moyang "somba marhulahula" tersebut diatas, sehingga. penyelesaian
persengketaan dapat tercapai dengan mudah dan dalam suasana yang harmonis.
Adapun petuah ini boleh dikatakan hanyalah tambahan dari ketiga pesan pertama yang
tersebut di atas dan baru menonjol setelah banyak orang Batak memeluk agama Kristen atau
Islam. Kita maklum, bahwa agama memerintahkan kepada manusia menghormati orang
tuanya seperti yang telah dituliskan oleh Nabi Musa dalam Kitabnya yang kelima pasal 5 ayat
16, yang berbunyi: "Hormatilah orang tuamu, supaya umurmu lanjut dan selamatlah kamu
dalam negeri yang dikaruniakan Tuhan Allah kepadamu."
Nasehat nenek moyang orang Batak hampir sama bunyinya, dengan perintah Allah itu, yaitu :
Artinya : Yang menghormati orang tuanya akan menerima kebahagiaan, tetapi yang durhaka
terhadap orang tuanya mungkin akan diterkam harimau.
Dalam hal nasihat.yang ke-4 ini agama dan adat kedua-duanya bersifat saling mendukung
satu sama lain. Tentang arti luas dari perkataan: "natoras" (orang tua), maka pendapat ahli-
ahli agama dan nenek moyang orang Batak sesuai benar, yaitu: di samping ibu dan ayah-
kandung harus juga kita hormati guru-guru, pemimpin-pemimpin, pemerintah dan semua
orang tua-tua pria dan wanita. Tentang penghormatan terhadap orang tua yang telah
meninggal telah dibahas dalam. "Dapatkah DNT bertahan sampai akhir zaman ?"
Nasehat No. 4 inilah yang paling utama harus diperhatikan oleh para pemuda dan pemudi
pada zaman sekarang ini. Dengan tidak mengindahkan nasehat ini, tidak mungkin tercapai
kebahagiaan yang lama di dunia ini.
Di samping yang telah dipaparkan di atas, maka "partuturan" itu mempunyai lagi peraturan-
peraturan lain yang juga harus diperhatikan dan dituruti untuk menjaga dan memelihara
hubungan baik antara ketiga unsur DNT, yaitu yang dinamai peraturan "parsubangonjo".
B. Pengertian Parsubangon
Maksudnya : Di samping menerima penghormatan biasa yang diterima oleh kaum bapak,
maka ibu harus lagi menerima penghormatan istimewa, karena ibu itu diciptakan oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa, untuk melahirkan anak-anak yang membawa kebahagiaan tertinggi dalam
rumah tangga orang Batak.
Terhadap istri adik laki-laki kita pun kita harus berlaku sama seperti terhadap "bao" tersebut,
sesuai dengan filsafat Batak:
Artinya : Penghormatan terhadap istri adik kita sama dengan penghormatan terhadap istri
saudara lelaki istri kita.
Tentang penghormatan terhadap istri adik kita itu, orang luar mungkin heran dan bertanya,
"Kenapa begitu, bukankah istri adik kita itu tidak termasuk "hulahula", malahan adik kita itu
dalam adat berada di bawah kita dan tentu istrinya pun demikian juga?". Pertanyaan itu
memang beralasan benar, karena penghormatan terhadap "anggiboru" (sebutan dalam bahasa
Batak untuk istri adik) itu nampak berlawanan dengan yang diperkirakan. Ini memang benar
karena itu perlu diberikan penjelasan ringkas.
Adapun kita (diri kita) bukanlah hanya abang dari adik saja, tetapi juga berfungsi sebagai
ayah baginya, terlebih-lebih kalau ayah kita telah meninggal. Oleh karena itu istri adik kita
itu tidak boleh kita pandang hanya sebagai adik saja, tetapi harus lebih dari itu menurut
fungsi kita sebagai "ayah" suaminya (mertuanya), jadi memandangnya sebagai menantu
penuh; perhubungan ini termasuk golongan "parsubangon"
Sudah barang tentu ketertiban pergaulan tersebut diatas bertujuan juga untuk menjauhkan
kemesuman yang sering mengancam keluarga-kelarga Batak dahulu kala, oleh karena rumah-
rumah biasanya didiami oleh empat atau lima rumah tangga (dalam bahasa Batak "ripe") dan
rumah-rumah itu tidak mempunyai kamar-kamar, sehingga ketertiban didalamnya antara
keluarga-keluarga itu bulat-bulat terserah kepada kesadaran ber-DNT.
Sudah barang tentu sudah ada sangsi-sangsi, terhadap orang, yang melanggar ketertiban itu
berupa hukuman-hukuman berat. Tetapi disamping itu, untuk mencegah pelanggaran atas
ketertiban hidup itu, ada juga kutukan yang berbunyi :
Artinya : Segala tuah akan menyisih (lari) dari orang yang tidak memperdulikan sopan santun
dan yang tidak menghormati orang tua dan tidak tahu adat terhadap "bao"
Pada zaman dahulu "parsubangon" luar biasa hebatnya. Seorang ibu yang hendak memberi
tahukan kepada "bao" nya, bahwa makanan telah menunggu "bao" nya itu, tidak akan
menujukan panggilannya langsung kepada "bao" nya itu, tetapi kepada tiang rumah dan akan
berkata "E tiang, makanlah."
Pada zaman sekarang ini hal serupa itu tidak kedapatan lagi. Orang telah mengubahnya
dengan cara biasa, tetapi deagan penuh sopan santun.
C. Perkembangan Partuturan
Adapun yang menjadikan adanya "partuturan" itu sebenarya hanya dua dasar, yaitu: 1)
Semarga, dan 2) Tidak semarga.
Yang pertama (semarga) menjadikan "pardongan sabutuhaon" (hal berteman semarga) dan
yang kedua (tidak semarga) menjadikan "parhula ianakkonon" (hal ber "hulahula" dan ber
"boru"). Diantara kedua golongan "partuturan" itu maka "pardongan sabutuhaon" lah yang
tetap (abadi) dan tak dapat hapus atau hilang, sedang "parhula ianakkonon" dapat luntur dan
pudar jika tidak diulang-ulang oleh generasi-generasi yang berikut dan dapat lenyap kalau
terjadi perceraian antara suami istri. Namun "parhula ianakkonon" itu sama saja
kedudukannya dalam DNT dengan "pardongan sabutuhaon".
Perbedaan yang unik antara kedua macam hubungan kekeluargaan itu ialah: "pardongan
sabutuhaon" boleh dikatakan statis (tak berubah) yaitu kalau saya bermarga Nababan maka
hanya orang-orang yang bermarga Nababanlah "dongan sabutuha" saya. Lain halnya dengan
"hulahula" dan "boru" yang keduanya berkembang-dengan cepat dan pesat. Ingatlah, bahwa
tiap kali ada pesta perkawinan dalam lingkungan keluarga kita berarti perluasan kekeluargaan
kita, yaitu bertambahnya "hulahula" dan "boru".
Keunikan lain lagi dalam hal ini ialah, perkembangan itu kadang-kadang dapat juga kita atur
menurut kehendak kita. Misalnya, pada saat ini dengan perkawinan anak-anak saya dengan
famili yang lain, saya telah berhubungan keluarga (ber"hulahula" dan ber"boru") dengan
marga-marga Simanjuntak, Siregar, Siahaan, Hutabarat, Silitonga dan lain-lain marga lagi,
tetapi belum dengan marga Tobing dan saya kepingin benar berhubungan keluarga dengan
marga Tobing itu, karena ada perlunya. Apa daya? Mudah saja. Saya ajak seorang di antara
anak-anak saya atau anak-anak saudara-saudara saya (yang dekat atau yang jauh) kawin
dengan seorang putra atau putri marga Tobing dan tercapailah keinginan saya itu.
Pertanyaan itu pernah diajukan oleh seorang bangsa asing yang sangat kagum melihat
luasnya "partuturan" Batak itu, kepada penulis, lalu penulis menjawab," Ada filsafat Batak
tentang itu bunyinya sebagai berikut :
Selain itu ada lagi cara yang sangat unik khas Batak, untuk memperluas bidang
kekelurgaannya. Di bawah ini diberikan beberapa buah contoh :
A dan B, sama-sama orang Batak, duduk berdampingan dikereta api. Kedua-duanya adalah
orang Batak totok (artinya dapat mencium atau mempunyai firasat bahwa kawan yang duduk
di sampingnya itu pasti orang Batak juga). Si A bertanya : "Apa marga saudara?"
"Siregar," sahut si B. Kebetulan si A pun bermarga Siregar juga, lalu bertanya lagi, "Tingkat
berapa keluarga saudara?" Jawab si B, "Tingkat delapanbelas (18)". Mendengar itu berkatalah
si A. "Kalau begitu saya nenekmu karena keluarga saya tingkat enambelas."
Hubungan kekeluargaan yang baru saja ditetapkan itu tidak tinggal teori saja, tetapi terus
dipraktekkan dengan serius. Mereka itu bersama-sama pergi minum kopi. Waktu tiba saatnya
membayar, maka tidaklah terjadi seperti pemeo Batak, "Tan taran tante, Masi garar kopina
be"
Tetapi dengan segera si B membuka dompetnya dan membayar kopi mereka berdua. Kenapa
si B membayar? Karena dia merasa bahwa dia adalah "cucu" si A dan harus menghormati
"neneknya" si A itu sesuai dengan peraturan DNT.
Contoh kedua :
Dalam hal ini si A dan si B berlainan marga. A bermarga Nababan dan B bermarga Siregar.
Maka terjadilah pembicaraan berikut. Karena si A lebih tua maka menurut peraturan DNT
dialah yang berhak membuka pembicaraan. Katanya, "Santabi, lae. Halak hita do hamu?"
(Maaf saudara. Orang kitakah saudara?) Jawab si B, "Ba i do." (Ya begitulah) Si A
melanjutkan, "Antong, Jolo hutiptip ma sanggar bahen huruhuruan, Jolo husungkun ma
marga, asa binoto partuturan."
Artinya : Kalau begitu, saya tanyalah dahulu marga saudara, agar saya dapat menentukan
"partuturan" kita.
Juga dalam hal ini A dan B memandang hubungan kekeluargaan yang baru itu serius dan
terus dipraktekkan. Ketika mereka pergi ke warung kopi untuk minum, si A mempersilakan si
B duduk di tempat yang paling baik. Mula-mula karena merasa dirinya lebih muda, si B
menolak walaupun dia tahu bahwa dia boleh menerima tawaran itu sebagai "hulahula". Tetapi
si A mempertahankan ajakannya, katanya, "Tidak mamak, kita baru kali ini berkenalan,
karena itu kita harus menurut benar-benar peraturan adat DNT. Pada waktu membayar
kopipun si A menmperlihatkan ketaatannya terhadap peraturan DNT dan membayar kopi
mereka berdua. Selanjutnya mereka itu terus menerus berpegang pada hubungan
kekeluargaan itu, bukan hanya selama perjalanan kali itu, tetapi juga di tempat-tampat lain
dimana saja mereka bertemu.