Anda di halaman 1dari 3

Gus Mus dan Kisah Proposal untuk Pejabat

oleh KH Yahya Cholil Staquf

“Abahmu pernah rasan-rasan, kepingin merenovasi langggar”, kata paman saya, Kyai Mustofa
Bisri, “tapi sampai meninggalnya belum kesampaian”.

Saya tercenung. Itu bukan kalimat sharih, tapi mafhumnya jelas: perintah. Dan perintah yang
musykil. Betapa tidak? Saya tidak punya uang. Dan saya bukan profesional dalam bidang
tertentu yang dapat menghasilkan uang –saya baru saja “memensiunkan diri” dari profesi politik
dan belum menemukan profesi penggantinya.

Hanyut dalam cara berpikir yang “normal” dari seorang “gus kontemporer” seperti saya, segera
muncul dalam benak saya gagasan untuk mencari bantuan dari sumber-sumber yang paling
populer di kalangan pondok pesantren dewasa ini, yaitu para aktor pemangku kepentingan
politik, khususnya pejabat-pejabat pemerintahan. Dan saya merasa punya keunggulan dalam hal
itu, mengingat saya pernah aktif dalam politik hingga ke puncak arena permainannya (menjadi
Juru Bicara Presiden).

Maka segera pulalah saya kerjakan persiapan yang lazim: menyusun proposal dan surat
permohonan bantuan dengan alamat kontak-kontak politik yang saya miliki di kalangan pejabat
pemerintahan. Di bagian bawah proposal dan surat-surat permohonan itu saya sediakan ruang
untuk tanda tangan paman saya: K.H. A. Mustofa Bisri. Pikir saya, ketokohan paman saya jelas
punya harga mahal untuk “dijual”. Saya suruh salah seorang sepupu yang telah saya tunjuk
sebagai Ketua Panitia untuk menindaklanjuti dokumen-dokumen itu, termasuk meminta tanda
tangan dari paman saya kemudian mengirim ke alamat-alamat yang telah saya tentukan
daftarnya.
Satu-dua hari tanpa laporan, saya pikir urusan sudah beres. Tinggal tunggu jawaban. Yang
datang kemudian adalah undangan untuk “berkumpul di rumah paman saya” selepas ‘isya. Tak
ada informasi untuk keperluan apa. Saya hanya menduga, paman saya hendak mengadakan
manakiban untuk suatu hajat tertentu, entah apa.

Agak terlambat saya datang, di ruang tamu telah hadir kyai-kyai dan ustadz-ustadz yang
mengajar di pesantren kami, beserta seluruh jajaran Pengurus Pondok, lengkap. Paman saya
sendiri belum keluar. Saya segera merasa aneh ketika saya dapati, tak seorang pun yang hadir
mengetahui keperluan pertemuan malam itu. Tak ada pula suguhan-suguhan khusus seperti
lazimnya orang punya hajat. Sepupu saya, Si Ketua Panitia, yang ditugasi menyampaikan
undangan pertemuan, hanya “embah-embuh”. Malah bolak-balik keluar-masuk ruangan, seperti
sibuk ini-itu, tapi tak jelas urusannya. Sejurus-dua-jurus kami menunggu, barulah paman saya
muncul. Perasaan aneh menghebat, diikuti ketegangan, melihat raut muka paman saya tidak
seperti biasanya. Setahu saya, paman saya senantiasa memperlihatkan wajah cerah setiap
menemui tamu. Kecuali malam itu. Wajahnya muram. Jelas-jelas menampakkan kegusaran.
Semua yang hadir menyadari ketidaklaziman itu sehingga ketegangan pun merata.

Setelah duduk, tanpa didahului basa-basi maupun bacaan fatihah untuk membuka pertemuan,
paman saya langsung meluncurkan kalimat-kalimat tajam, jelas-jelas ditujukan kepada saya.
Seandainya saya tidak mengenal beliau, pasti saya ketakutan setengah mati. Ketakutan yang jelas
tampak pada wajah-wajah mereka yang hadir. Seorang pengurus pondok bahkan kelihatan amat
menderita karena ngampet semaput.

Tapi saya kenal betul paman saya ini. Saya sudah hafal segala kasih-sayangnya. Maka yang
lantas mengembang di hati saya adalah gairah belajar yang khusyu’.
“Jangan sembarangan mencari uang!” kata paman saya. Iramanya datar, tapi nadanya tajam
menusuk. Semua orang menunduk.

“Kalau cuma pengen bangunan pondok yang bagus-bagus, ngapain nunggu awakmu?” kata
beliau lagi, “apa dikira yang punya kenalan pejabat-pejabat di sini baru awakmu? Abahmu dan
embahmu tidak? Kalau mau uangnya pejabat, dari dulu juga bisa!”

Terus terang, saya tercekat. Yang ini melubangi jantung saya betul. Embah saya, Kyai Bisri
Mustofa, adalah syuriyah NU dan anggota Konstituante, kemudian anggota MPR hingga
meninggalnya; ayah saya, Kyai Cholil Bisri, Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB dan Wakil
Ketua MPR RI hingga meninggalnya; saya cuma kecoak dihadapan mereka. Saya kian tunduk
melipat punggung. Ruangan membeku. Pikiran saya galau. Tak sempat lagi saya mengingat
untuk mengecek, apakah pengurus pondok yang tadi itu sudah semaput atau belum.
“Teman-teman itu sendiri (maksud saya, pejabat-pejabat itu) yang menawari kok, Paklik”, saya
nyeletuk. Suara saya mengambang. Tak jelas tujuannya. Mungkin sekedar usaha mencairkan
kebekuan. Tapi sia-sia.
“Mereka menawari karena punya kepentingan!” sergah paman saya. Saya kehilangan semua
kata-kata.
“Embahmu dan abahmu tidak pernah mementingkan bangunan”, beliau melanjutkan, “yang
penting barokah. Jadi, hati-hatilah mencari uang. Tak ada gunanya punya macam-macam kalau
tidak barokah”.
Paman saya merogoh saku.
“Nih”, katanya, lalu menyodorkan sebuah buku kecil: buku tabungan, “itu uangku sendiri,
kucari-cari sendiri, kukumpul-kumpulkan sendiri. Halal. Pakai itu!”
Paman saya berdiri, menyingkap gorden pembatas ruang tamu lebar-lebar. Dibalik gorden itu
meja makan penuh hidangan.
“Ayo makan! Makan!”
Saya pastikan, semua orang menghela napas lega. Saya intip buku tabungan itu, isinya 150 juta
rupiah. Saya menelan ludah. Perkiraan ongkos bangunan yang akan saya bikin mencapai lebih
dari 800 juta. Ya sudahlah, pikir saya, bagaimana nanti saja.
#ngalahcommunity #cecekelandawuhkiai

Anda mungkin juga menyukai