Anda di halaman 1dari 9

The Origin of the Child Healthcare in the

East Coast of Sumatra, 1900s-1940s*


DEVI ITAWAN
Magister Sejarah, Universitas Gadjah Mada
Email: itawandevi@gmail.com

Abstract
This article aims to explore the issue of children’s healthcare in the context of colonial
expansion on the East Coast of Sumatra. At the early of the 20th century, the birth
rate, children, and maternal healthcare have become important issues in discussing health
conditions in plantations in East Sumatra. It was a significant shift concerning the realm of
East Sumatra plantation health and medical research due to since in the pioneering time,
plantation’s medical institutions merely focused on the health of adult male coolies. The
phenomenon of high rate of infant mortality in the early 20th century has become a new
health problem in the East Coast of Sumatra Plantation.
The plantation companies convincing to take further care of the children’s health as it will
give a direct effect on plantation hygiene and population growth of the region. In the East
Coast of Sumatra, children’s healthcare discourse was a proxy of the colonial capitalism
interest, hygiene problems, and needs of population growth.
Keywords:
children healthcare; East Coast of Sumatra; medical research; plantation; population
problem

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi isu kesehatan anak dalam konteks ekspansi
kolonial di Pantai Timur Sumatera. Pada awal abad ke-20, angka kelahiran, kesehatan anak
dan ibu menjadi isu penting dalam membahas kondisi kesehatan di perkebunan di Sumatera
Timur. Terjadi pergeseran yang cukup signifikan dalam ranah penelitian kesehatan dan
kedokteran perkebunan Sumatera Timur karena sejak awal dirintis lembaga kesehatan
perkebunan hanya berfokus pada kesehatan kuli laki-laki dewasa. Fenomena tingginya
angka kematian bayi di awal abad ke-20 adalah kesehatan baru yang memperoleh perhatian
besar dari para dokter di perkebunan di Sumatera Timur.
Perusahaan perkebunan diyakinkan untuk lebih menjaga kesehatan anak-anak karena
akan berdampak langsung pada kebersihan perkebunan dan pertumbuhan penduduk di
wilayah tersebut. Di Pantai Timur Sumatera, wacana kesehatan anak-anak merupakan
proksi dari kepentingan kapitalisme kolonial, masalah kebersihan, dan kebutuhan
pertumbuhan penduduk.
Kata kunci:
kesehatan anak; masalah kependudukan; perkebunan; Pesisir Timur Sumatera; riset
kedokteran

pengantar

Ekspansi ekonomi kolonial di luar pulau mencapai sukses besar di wilayah Pantai Timur
Sumatera. Ratusan perkebunan beroperasi dengan luas wilayah kerja lebih dari 1 juta
hektar pada awal abad ke-20 (Encyclopedia Bereau, 1918: 128). Menurut Pelzer,
keberhasilan tersebut didorong oleh iklim dan tanah yang mendukung, populasi yang jarang,
tersedianya lahan yang melimpah, serta dukungan dari penguasa lokal dan pemerintah
kolonial yang memungkinkan pengusaha memperoleh konsesi lahan dengan mudah (Pelzer,
1985: 90). Satu-satunya tantangan besar bagi perkembangan industri perkebunan adalah
ketersediaan tenaga kerja (Lindblad, dalam: Clemen dan Lindblad (ed.), 1989: 2-3).
Penduduk asli, Batak dan Melayu, enggan untuk bekerja tetap di perkebunan karena
mereka lebih memilih bercocok tanam kecil-kecilan di tanah mereka (Broesma, 1919: 32).
Kelangkaan pasokan tenaga kerja mendorong para perintis perkebunan untuk mengimpor
sejumlah besar kuli dari luar negeri; Kuli Cina dari Cina dan Semenanjung Melayu, dan
kemudian kuli Jawa dari Jawa (Pelzer, 1985: 51-64).

Populasi yang sedikit di Pesisir Timur Sumatera menghasilkan lahan yang melimpah untuk
kepemilikan konsesi, tetapi di sisi lain, hal itu merupakan tantangan besar bagi industri
perkebunan yang sedang berkembang. Memindahkan buruh dari luar negeri merupakan
beban keuangan yang sangat besar bagi perusahaan perkebunan, terutama karena banyak
buruh yang sering melarikan diri karena beban kerja yang berat di perkebunan. Oleh karena
itu, perusahaan menerapkan aturan dan disiplin yang ketat untuk mengikat para pekerjanya.
Untuk menegakkan disiplin, mengikat pekerja dan mencegah kuli melarikan diri, perusahaan
perkebunan di Pesisir Timur Sumatera menerapkan Sanctie Peonale. Undang-undang
ketenagakerjaan ini memungkinkan perkebunan untuk mengontrol penuh para kuli mereka,
termasuk menghukum mereka (Breman, 1997: 35-48).

Namun risiko finansial lebih besar terjadi ketika para buruh yang didatangkan dengan biaya
mahal dari luar daerah itu banyak yang meninggal karena berbagai penyakit. Hutan purba
adalah lingkungan yang keras bagi para penanam dan kuli. Di sinilah hutan ditebang, jalan
dan saluran air digali, rawa-rawa direklamasi, matahari tropis terik, kondisinya merugikan
pendatang baru. Pekerjaan di ladang meliputi penebangan kayu dan rotan yang seringkali
mengoyak kaki sehingga menimbulkan luka yang semakin lama semakin mematikan jika
tidak dilakukan perawatan yang intensif. Imigrasi tahunan dari Cina, Jawa, Kalimantan,
Bawean, dan British India sering membawa serta penyakit dari luar daerah. Kolera dan
beri-beri adalah penyakit menular utama yang ditemukan pada periode perintis awal.
Penyalahgunaan candu di kalangan kuli semakin memperburuk kesehatan mereka (Cremer,
22/1889: 21-261).

Untuk mencegah kerugian finansial akibat kuli sakit dan meninggal dunia, pihak perkebunan
memprakarsai pengembangan layanan kesehatan. Pada awalnya pelayanan kesehatan di
perkebunan hanya sebatas tindakan kuratif. Selama periode awal, rumah sakit sederhana
didirikan dan ditempatkan di bawah pengawasan seorang asisten rumah sakit atau apoteker
yang dipekerjakan di Straits Settlement, yang sering menerima pelatihannya di Madras
College. Pada tahun 1871, dokter Eropa pertama didatangkan, dan pada tahun yang sama,
rumah sakit perkebunan pertama didirikan oleh Deli Maatschappij (Cremer, 22/1889:
21-261). Sejak saat itu, setiap perkebunan wajib memiliki rumah sakit. Persyaratan untuk
merawat kuli yang sakit diatur secara hukum dalam Peonale Sanctie (Volker, 1928: 24).

Tindakan kuratif dinilai belum cukup ampuh untuk memerangi penyakit menular. Dr.
Schaffner didukung oleh Deli Planters Vereeniging (DPV), membuka jalan bagi
perkembangan penelitian kedokteran tropis dengan mendirikan laboratorium patologi di
Medan (Gedenkboek DPV, 1929: 213-215). Dengan adanya laboratorium patologi, maka
pelayanan kesehatan perkebunan tidak terbatas pada tindakan kuratif saja tetapi juga upaya
pengendalian penyakit di perkebunan Pantai Timur.
Awalnya, penduduk perkebunan kebanyakan laki-laki dan layanan kesehatan hanya
ditujukan kepada mereka. Namun demikian, komposisi demografis bergeser ketika
perusahaan perkebunan memulai program kolonisasi sejak awal abad ke-20. Program itu
membolehkan kuli Jawa membawa serta istri dan anak-anaknya dan mendirikan pemukiman
tetap (Broesma, 1922: 160-182). Kehadiran perempuan dan anak kemudian mendorong
pergeseran penelitian kesehatan dan kebersihan ke penelitian kesehatan ibu dan anak,
terutama kesehatan reproduksi, kesuburan perempuan dan angka kelahiran. Penelitian
kesehatan anak dilakukan setelah meningkatnya kesadaran akan tingginya angka kematian
bayi di banyak perkebunan, terutama setelah tahun 1920-an (De Sumatera Post, 28
Desember 1939).

Pergeseran penelitian higiene dan medis terhadap anak-anak dan perempuan di


perkebunan merupakan hal yang aneh dan paradoks, karena penelitian kesehatan
perkebunan dilakukan untuk menjaga kesehatan para kuli yang umumnya laki-laki dewasa.
Selain itu, pengaturan perkawinan yang ketat yang sebelumnya diberlakukan di perkebunan
Sumatera Timur menyiratkan bahwa komunitas perkebunan tidak mendukung keberadaan
anak. Lalu mengapa muncul minat untuk melakukan penelitian dan melakukan program
perawatan kesehatan anak di perkebunan? Apakah penelitian dan program kesehatan anak
di perkebunan semata-mata didorong oleh karya ilmiah murni untuk memerangi wabah
kematian bayi yang tinggi di perkebunan atau di balik karya ilmiah melahirkan kepentingan
kolonial yang lebih besar di kawasan perkebunan Pantai Timur Sumatera?

Wacana tentang perawatan kesehatan anak dalam diskusi ini ditempatkan pada bagian dari
masalah penduduk kolonial. Obyek penelitian difokuskan pada populasi di kawasan
perkebunan, yang terutama difokuskan pada suku Jawa, karena mereka menjadi dominan
jumlahnya sejak awal abad ke-20 dan terkena dampak langsung dari program kolonisasi.
Saya menggunakan pendekatan sejarah sosial untuk kesehatan. Boomgard mengkritisi
pendekatan kajian kesehatan kolonial Indonesia yang cenderung menggunakan pendekatan
kustodian, daripada mempelajari sejarah sosial kesehatan (Boomgard, 1993: 77-93).
Penekanan pembahasan adalah minat peneliti, pekebun, dan pemerintah kolonial terhadap
kesehatan anak, serta meningkatnya minat kesehatan anak di perkebunan Sumatera Timur.
Saya menduga bahwa peningkatan populasi di Sumatera bagian timur sebanyak lima kali
lipat pada sensus tahun 1930 dibandingkan dengan periode pra-perkebunan sebagian
sebagai hasil dari pembentukan perawatan kesehatan anak.

Perempuan dan Anak di Perkebunan

Penebangan hutan dan penyiapan lahan bukanlah sesuatu yang diharapkan dilakukan oleh
perempuan dan terutama anak-anak. Oleh karena itu, pada masa awal kehadiran
perempuan dan anak-anak sangat jarang (Stoler, 1983: 51). Kuli perempuan mulai
didatangkan pada tahun 1879 oleh Deli Maatschappij bersama kuli Jawa pertama ke Pantai
Timur Sumatera. Hingga awal abad ke-20, jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan
laki-laki. Menurut Breman, pada tahun 1905 jumlah kuli perempuan Jawa hanya 6.209 jiwa,
sedangkan jumlah kuli laki-laki Jawa 33.961 jiwa. Jumlah wanita hanya 6% dari pria pada
tahun 1905 (Breman, 1997: 67). Sementara itu, Stoler (1983: 50) dan Baay (2017: 154)
memperkirakan bahwa pada awal abad ke-20 perempuan hanya mencapai 10-12% dari total
angkatan kerja di pantai timur.
Pada awal abad ke-20, rasio antara perempuan dan laki-laki kulit putih di Deli adalah 1
banding 3, kebanyakan terdiri dari istri dan anak perempuan para pengurus. Selain
kelangkaan perempuan kulit putih, perusahaan perkebunan di Pantai Timur juga
memberlakukan aturan pernikahan yang ketat di antara asisten kulit putih. Hingga tahun
1919, perusahaan perkebunan menetapkan "larangan menikah" untuk asisten kulit putih
mereka. Aturan pernikahan ketat yang diatur oleh perusahaan hanya mengizinkan asisten
untuk menikahi wanita Eropa setelah minimal enam tahun bekerja di perkebunan. Untuk
mendapatkan izin menikah, mereka juga diharuskan memiliki tabungan yang cukup dalam
jumlah tertentu (Baay, 2017: 157). Wanita, terutama wanita kulit putih, dianggap tidak cocok
dan tidak mampu bertahan hidup di lingkungan yang keras. Selain itu, membawa
perempuan lebih mahal, apalagi jika ingin membangun keluarga (Baay, 2017: 148-149).
Oleh karena itu, alih-alih menikah perusahaan mendorong asisten untuk mengambil selir
Jawa.

Rasio gender yang tidak seimbang di perkebunan menyebabkan banyak masalah


kebutuhan biologis di antara para asisten dan kuli. Kurangnya perempuan merangsang
sodomi dan pederasty. Banyak pemuda yang dieksploitasi secara seksual. Fenomena ini
menjadi persoalan serius bagi perusahaan perkebunan karena penyimpangan seksual
terkadang menimbulkan skandal yang luar biasa (Baay, 2017: 151). Ann Stoler
mengemukakan bahwa tujuan awal perekrutan perempuan Jawa adalah untuk memenuhi
kebutuhan biologis para pengurus dan kuli sebagai pelacur dan selir (Stoler, 1983: 50).
Mereka secara sistematis dipaksa menjadi gundik atau pelacuran karena upah mereka yang
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok sehari-hari. Bagi kuli
perempuan Jawa, menjadi pelacur dan selir adalah satu-satunya kesempatan yang tersedia
untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Sedangkan bagi laki-laki, pelacuran dan selir
adalah satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (Stoler, 1983: 50-53;
Baay, 2017: 152). Meski dianggap sebagai kemerosotan moral dalam masyarakat kolonial,
prostitusi dan pergundikan menjadi praktik umum untuk menggantikan hubungan suami istri
hingga tahun 1920-an (Stoler, 1983: 55).

Kehadiran perempuan dan anak-anak di perkebunan menjadi fokus utama program dan
penelitian medis dan higienis. Masalah kesehatan utama bagi perempuan terkait dengan
kesehatan reproduksi. Sifilis biasa terjadi akibat pergundikan dan pelacuran. Tidak ada
data yang dapat dipercaya tentang kematian akibat sifilis, tetapi pernyataan Van Kol, seperti
yang dikutip oleh Ann Stoler, menyatakan bahwa sebagian besar kuli laki-laki dan
perempuan Jawa meninggal di rumah sakit perkebunan karena sifilis (Stoler, 1983: 52-53).

Pergundikan dan pelacuran juga memengaruhi tingkat kesuburan wanita. Straub


mengungkapkan bahwa kuli kontrak perempuan kurang subur dibandingkan pekerja bebas.
Ini kemungkinan besar karena praktik aborsi dan sterilisasi (Straub, 1928:7). Anak itu bukan
sesuatu yang diharapkan dari aktivitas seksual di perkebunan di Pantai Timur Sumatera itu.
Mandelon Lulofs dalam novelnya Rubber mengimplikasikan praktik umum aborsi di
kalangan selir Jawa. Wanita dibebani dengan masalah kontrasepsi. Sedangkan kehamilan
dan persalinan semata-mata menjadi tanggung jawab perempuan. Kehamilan sering
memaksa seorang gundik untuk dikembalikan ke bangsal perkebunan, dan membesarkan
anak menjadi masalah dalam lingkungan seperti itu. Keadaan ini menyebabkan
penelantaran dan eksploitasi anak-anak di perkebunan. Stoler mengungkapkan hal itu
pelacuran dan pergundikan mengakibatkan moral yang buruk bagi ibu-ibu Jawa, yang
mengakibatkan praktek umum penelantaran anak dan perdagangan oleh kuli kontrak.
Banyak yang meninggalkan anak-anak mereka dari hubungan tidak sah di Sumatera ketika
mereka kembali ke Jawa (Stoler, 1983:53).

Dengan demikian, perempuan dan anak-anak dieksploitasi baik secara fisik maupun
seksual. Dalam konteks ketenagakerjaan, perempuan dan anak-anak merupakan tenaga
kerja tambahan di perkebunan. Mereka juga dipekerjakan di ladang. Mereka membantu
mengeringkan, memfermentasi, mengikat, menyortir, dan mengumpulkan tembakau di
gudang. Namun demikian, jumlah kuli perempuan dan anak-anak jauh lebih banyak di
perkebunan kelapa sawit, teh, dan serat dibandingkan di perkebunan tembakau
(Westerman, 1901:21-22). Perempuan dan anak-anak terkadang melakukan kerja malam di
perkebunan karet. Keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam kegiatan produksi
menegaskan kondisi buruh yang memprihatinkan di pesisir Timur. Hal ini menarik perhatian
banyak kalangan, termasuk Liga Bangsa-Bangsa yang telah melarang mempekerjakan
perempuan dan anak-anak di perkebunan. Persatuan Pekebun Deli (Deli Planters
Vereening atau DPV) keberatan dengan keputusan Liga atas pelarangan yang menurut
mereka mengakibatkan penurunan produksi dan perolehan keuntungan, terutama di
perkebunan karet, teh, sisal, dan kelapa sawit. Buruh perempuan dan anak-anak dibahas
dalam surat kabar di Belanda dan Hindia Belanda (De Telegraaf, 03 Juni 1924; Bataviaasch
Nieuwsblad, 27 Juni 1925).

Perawatan Kesehatan Anak

Pada tahun 1920-an, tingginya angka kematian bayi menyoroti masalah perawatan
kesehatan di perkebunan di Pantai Timur. Demikian hasil temuan pengawasan
ketenagakerjaan (Batavia Nieuwsblad, 10-11-1920). Banyak praktisi kesehatan dari Pantai
Timur tertarik untuk mempelajari fenomena ini. Dr. Baerman dari Serdang Doctor Fonds,
dalam pertemuan di Medan 1924 antara para praktisi kesehatan, pemerintah kolonial, dan
perusahaan perkebunan, yang menanggapi masalah tingginya angka kematian bayi di
perkebunan. Ia menemukan bahwa tingginya kematian bayi yang terjadi pada empat bulan
pertama kehidupan seorang anak disebabkan oleh beras yang tidak mencukupi, perawatan
yang tidak tepat dan perawatan yang tidak memadai dari ibu karena pekerjaan perkebunan
mereka. Banyak yang meninggal akibat malaria dan radang paru-paru (Nieuwe
Rotterdamsche Courant, 17 Oktober 1924; Nieuwe Rotterdamsche Courant, 10 Agustus
1926.).

Kematian bayi merupakan bencana masalah kesehatan yang harus diatasi. Itu menarik
perhatian publik 'dan mendorong tindakan dari para ilmuwan, pemerintah, dan perusahaan.
Studi tersebut dipelopori oleh ilmuwan dari Serdang Doctor Fonds; dr. Baerman, Dr. Smits
dan dr. Straub, Straub punya menulis disertasi tentang tingginya angka kematian bayi di
Pantai Timur. Untuk memerangi kematian bayi, diadakan pertemuan kedua pada tanggal 15
Mei 1926. Dalam pertemuan tersebut Dr. Smits menunjukkan bahwa pada tahun 1925
angka kelahiran adalah 29,1 per seribu di 24 perkebunan yang ditelitinya. Angka kematian
bayi pada tahun 1926 adalah 23,2 per 100 kelahiran. Smits menyarankan langkah-langkah
melawan kematian bayi: memperkuat status sipil wanita, pemeriksaan rutin, penelitian
malaria, dorongan untuk rawat inap, pengendalian epidemi. Dia juga merekomendasikan
agar semua wanita yang telah melahirkan untuk mengunjungi rumah sakit secara berkala,
untuk mengenali anak-anak yang lemah dan sakit sejak dini, dan untuk meyakinkan para ibu
tentang manfaat kunjungan ke rumah sakit (Batavia Nieuwsblad, 13 September 1927;
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 10 Agustus 1926).

Pertemuan tersebut menghasilkan resolusi untuk memerangi kematian bayi. Ini termasuk
tindakan kuratif, preventif, dan administratif:

1. Menetapkan sistem pencatatan perkawinan, kelahiran, dan kematian bayi,


2. Pengendalian bayi dan anak secara teratur, khususnya terkait malaria penanganan
serta pneumonia inflamasi yang menginfeksi bayi dan anak,
3. Memberikan perlakuan khusus kepada ibu dan bayi yang meliputi pembebasan kerja
bagi ibu yang sedang dalam masa persalinan dan setelah melahirkan, pemeriksaan
rutin ibu dan bayi,
4. Bila penyakit tersebut ditandai dengan penurunan berat badan, maka harus segera
mendapatkan perawatan di rumah sakit bersama ibunya,
5. Penyediaan tempat penitipan bayi yang higienis dan diawasi,
6. Dalam jangka panjang, perusahaan perkebunan akan melatih perawat lokal
dipekerjakan di kamar anak rumah sakit, selain memproduksi bersertifikat bidan
(Straub, 1928: 12-13).

Dr Straub menjadi peneliti terkemuka pada kematian bayi terutama setelah penelitian
doktornya diterbitkan oleh Institut Kolonial di Amsterdam (Kehigienisan Tropisch).

Tabel 1. Angka kematian bayi di beberapa perkebunan di Pantai Timur Sumatera

Sumber: Dr. M. Straub, 1922, hal. 33

Dalam disertasinya, dr. Straub mencakup pendekatan kebersihan medis dan kolonial.
Dalam konteks kesehatan-medis, dia berkontribusi substansial untuk pengumpulan data
statistik kematian bayi. Selain pemeriksaan darah, analisis kondisi kesehatan bayi baru lahir
ditentukan penyebab kematian bayi pada persalinan dini. Ia mengungkapkan, sebagian
besar kematian terjadi akibat gangguan aliran darah yang disebabkan oleh pola asupan gizi
pada bayi. Selain karya ilmiah, dr. Straub juga mendukung tujuan perusahaan perkebunan.
Dalam pengantarnya, dr. Straub bersikeras bahwa perawatan kesehatan anak berdampak
langsung pada perkebunan. Dia menganggap kesehatan perempuan dan anak-anak
sebagai bagian dari sistem epidemiologi perkebunan. Memang, anak merupakan reservoir
penting dari epidemi malaria. Straub mengatakan bahwa memerangi malaria tidak akan
berhasil jika mengecualikan anak-anak. Sedangkan pencegahan infeksi cacing tambang
tidak akan berhasil jika tidak memperhitungkan perempuan di perkebunan. Pendapatnya
mengenai masalah kesehatan anak dan kematian bayi adalah bagian dari masalah ekonomi
dan tenaga kerja di perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur (Straub: 1928,4-7).

Perawatan Kesehatan Anak, Program Kolonisasi, dan Masalah Kependudukan


Dalam kata pengantar dr. Disertasi Straub, ia secara gamblang mengilustrasikan mengapa
pemerintah kolonial, perusahaan perkebunan, dan praktisi kesehatan tertarik untuk
mempromosikan perawatan kesehatan anak. Hal itu menunjuk pada keterkaitan antara
keberlanjutan usaha perkebunan, program kolonisasi, dan kebersihan (Straub, 1928: 3-20).

Pemerintah kolonial memiliki kepentingan yang besar dalam mengatur penduduk di daerah
jajahannya, termasuk di Pantai Timur Sumatera. Di Pantai Timur, penataan populasi sangat
erat kaitannya dengan kepentingan industri perkebunan. Sejak awal perusahaan
perkebunan telah mengimpor sejumlah besar kuli dari luar negeri yang menyebabkan
pertumbuhan penduduk yang signifikan (Pelzer, 1985: 83-87). Sejak awal abad ke-20,
perusahaan perkebunan dan pemerintah kolonial ingin menjalankan program kolonisasi
multiguna. Program ini juga dikenal sebagai program bebas imigrasi yang menggenjot
jumlah kuli Jawa dan keluarganya. Mereka akan menjadi tenaga kerja cadangan dan
menjadi petani untuk membantu produksi pangan. Hal ini mendorong munculnya
pemukiman permanen baru di sekitar perkebunan dan mengubah komposisi demografi
penduduk pantai Timur, dengan jumlah perempuan dan anak-anak yang jauh lebih banyak
(Broesma, 1922: 160-182; Breman, 1997: 67-68). .

Pergeseran minat perusahaan perkebunan kepada perempuan dan anak-anak merupakan


bagian dari program kolonisasi yang dilakukan sebagai reaksi atas kritik terhadap buruh
kontrak Poenale Sanctie. Kebijakan ini sangat berbeda dengan kebijakan sebelumnya yang
secara sistematis membatasi keberadaan perempuan dan anak melalui pelarangan
perkawinan. Kritik terhadap Peonale Sanctie dari masyarakat dalam dan luar negeri
memaksa pemerintah dan perusahaan perkebunan untuk mengamandemen peraturan kuli
tersebut. Amandemen 1911 menghasilkan istilah “pekerja bebas” atau kuli bebas. Ini
mengacu pada kelompok mantan pekerja kontrak yang masih bekerja di perkebunan.
Mereka tinggal di luar akomodasi perkebunan dan tidak sepenuhnya terikat dengan
perkebunan. Buruh bebas membawa perubahan besar dalam tatanan tenaga kerja di
Sumatera Timur (Breman, 1997: 42-48; De Sumatra Post, 22 Juli 1922).

Pergeseran bertahap dalam tatanan tenaga kerja juga berdampak pada regulasi layanan
kesehatan di dalam perkebunan. Sebelumnya, Peonale Sanctie memaksa kuli itu menjalani
perawatan medis. Sebaliknya, pekerja bebas tidak dapat dipaksa untuk menjalani
perawatan medis sebagai. Amandemen Peonale Sanctie diperdebatkan di antara para
dokter di perkebunan. Ponale Sanctie memang menganut prinsip universal health care bagi
para kuli dan pemeliharaan kebersihan di perkebunan. Dr. Baerman berpendapat bahwa
peningkatan higiene medis dan keberhasilan pengurangan kematian kuli akibat penyakit
menular merupakan hasil dari Peonale Sanctie. Amandemen tersebut dianggap merugikan
kondisi kebersihan dan kesehatan (Nieuw Rotterdamsche Courant, 18-06-1929; B.M Driel,
1939/LXXI: 803-811).

Skema pekerja bebas menghasilkan hubungan baru antara perkebunan dan kuli. Ponale
Sanctie memaksakan hubungan yang kuat dan mengikat antara kuli dan perkebunan (De
Sumatra Post, 22-07-1922). Untuk mempertahankan ikatan itu, pemerintah dan perusahaan
perkebunan mengintegrasikan imigrasi gratis, persyaratan kuli, dan program kolonisasi.
Pemerintah membawa keluarga dan mendirikan desa untuk kuli di sekitar perkebunan yang
mengikat pekerjanya dengan perkebunan. Program keimigrasian gratis mendorong para
kuli untuk datang ke perkebunan secara sukarela bersama keluarganya. Perusahaan
perkebunan tidak lagi menampung para kuli di pondok-pondok sempit. Sebaliknya, program
kolonisasi menyediakan sebidang tanah di sekitar perkebunan untuk membangun
pemukiman dan menanam padi. Keluarga Jawa yang terdiri dari pria dewasa, wanita, dan
anak-anak bekerja di perkebunan, tetapi daerah juga diperbolehkan untuk mengolah lahan
mereka. Sedangkan anak-anak menjadi aset perkebunan. Anak-anak itu diharapkan
menjadi penerus keluarganya untuk bekerja di perkebunan. Mereka mewarisi ilmu bercocok
tanam sementara perusahaan memberikan pendidikan bagi anak-anak kuli. Dengan
demikian terjalin ikatan yang lebih kuat antara kuli dan perkebunan (De Sumatra Post, 28
Desember 1939; De Tijd, 20 Oktober 1940).

Perkebunan awalnya menganggap keluarga Jawa yang tinggal di sekitar perkebunan


sebagai milik atau tenaga kerja balik untuk perkebunan. Banyaknya kuli dan keluarga kuli di
Sumatera Timur menguntungkan pihak perkebunan karena mempermudah dan lebih
menghemat biaya perekrutan tenaga kerja. Selain itu, itu juga merupakan instrumen baru
untuk menciptakan tatanan tenaga kerja baru yang secara bertahap menggantikan Ponale
Sanctie. Oleh karena itu, konteks promosi kesehatan anak di Sumatera Timur, angka
kelahiran, kematian bayi, dan fertilitas perempuan merupakan elemen penting. Program
kesehatan anak diharapkan menghasilkan surplus kelahiran dengan menyediakan arus
tenaga kerja melalui proses reproduksi. (Straub, 1928: 8).

Untuk mencapai tujuan tersebut, fungsi perempuan sebagai agen reproduksi juga
mendapat perhatian khusus. Kuli betina yang subur dapat membantu keberlanjutan
ekonomi perkebunan. Dr Straub mengungkapkan buruh perempuan bebas lebih subur
dibandingkan buruh kontrak perkebunan. Meski angka kematian tinggi, angka kelahiran
tetap tinggi berkat buruh perempuan gratis. Untuk lebih meningkatkan kesehatan ibu dan
anak, pemerintah kolonial dan perusahaan perkebunan menyelenggarakan pelatihan bagi
bidan pribumi. Bidan penduduk asli diharapkan menjadi agen dalam memerangi kematian
bayi di populasi perkebunan. Selain itu, perusahaan perkebunan juga memberikan
pengetahuan kesehatan reproduksi seksual kepada para gadis melalui kurikulum pendidikan
di perkebunan. Program memanusiakan kuli di perkebunan ini diterapkan di perkebunan
seperti di Senembah Maatschappij (Straub, 1928: 8; Senembah Maatschappij, 1939: 75-78).

Dalam pertemuan di Amsterdam tahun 1939 yang membahas masa depan perkebunan di
Hindia Belanda, keberhasilan pemerintah kolonial, praktisi kesehatan, dan perusahaan
perkebunan dalam memerangi kematian bayi dan membangun koloni di perkebunan
Sumatera Timur mendapat apresiasi. Hal itu juga mencerminkan harapan elit kolonial akan
masa depan perkebunan yang lebih beradab di Hindia Belanda. Dalam pertemuan itu, dr.
Heinemann dari Senembah Maatschappij menampilkan film berjudul Pemuda dan
Penjajahan Ekonomi di Deli. Salah satu yang menarik dari pertemuan tersebut adalah
meningkatnya surplus kelahiran bayi yang meningkat menjadi 18,5 per mil, pada saat itu
terdapat lebih dari 10.000 anak di perkebunan. Pencapaian ini menjadi harapan masa
depan perkebunan di Hindia Belanda lebih lestari dan beradab (De Sumatra

Pos, 28 Desember 1939). Pada sensus tahun 1930, jumlah penduduk Sumatera Timur
mencapai lima orang kali lipat dari periode sebelum pemekaran. Sensus tahun 1930
mencerminkan keberhasilan pemerintah kolonial dan perusahaan perkebunan dalam
mendongkrak komposisi penduduk Pantai Timur Sumatera. Dalam kunjungannya pada
tahun 1924, John Anderson memperkirakan jumlah penduduk Pesisir Timur Sumatera hanya
sekitar 35.000 jiwa. Sensus tahun 1930 menunjukkan jumlah penduduk mencapai
1.693.200, dengan suku Jawa berjumlah 589.836 atau sekitar 40% dari jumlah penduduk.
Meskipun cukup sulit untuk mengukur peningkatan populasi di Pantai Timur akibat program
kesehatan anak, program kolonisasi membawa perubahan besar pada komposisi populasi.
Itu menjadi warisan kolonial yang masih bisa dilihat dari Pantai Timur Sumatra saat ini
(Anderson, 1926; Thee Kian Wie, 1987:41).

Kesimpulan

Sebelum abad ke-20, sebagian besar penduduk perkebunan adalah laki-laki akibat sistem
kerja yang efisien dan ketat melalui kerja kontrak. Pada awal abad ke-20 kebijakan ini
berangsur-angsur beralih ke sistem pekerja bebas. Pergeseran sistem kerja ini menjadi
landasan tatanan tenaga kerja yang berpengaruh besar terhadap struktur sosial dan
demografis perkebunan di Sumatera Timur. Dalam hal ini, institusi kesehatan dan penelitian
menjadi salah satu instrumen utama dalam mewujudkan tatanan ketenagakerjaan baru ini.

Angka kelahiran bukanlah bagian dari kepentingan pengembangan penelitian medis di


perkebunan Sumatera Timur sebelum pergeseran peraturan kuli kontrak pada awal abad
ke-20. Sejalan dengan kritik yang berkembang terhadap Peonale Sanctie, perubahan
skema tenaga kerja di perkebunan Sumatera Timur dengan sistem pekerja lepas digagas.
Untuk mencapai tujuan itu, pelaksanaan program kolonisasi sangat penting. Keluarga
dalam skema peraturan ketenagakerjaan baru merupakan institusi yang terikat dengan
perusahaan perkebunan melalui pemberian lahan di lingkungan perkebunan.

Wacana kesehatan anak di perkebunan di Sumatera Timur tidak semata-mata didorong


oleh kepentingan ilmiah murni, tetapi juga didorong oleh kepentingan keberlanjutan ekonomi
kolonial. Selain itu, di balik program kesehatan anak dan kolonisasi perkebunan, terdapat
kontrol kolonial yang mendalam atas perkawinan, reproduksi, kesuburan, kesehatan ibu,
dan anak, yang baru pertama kali terasa di Sumatera Timur. Dalam konteks masalah
kependudukan, kesehatan perempuan dan anak merupakan agen dasar. Dapat diistilahkan
pemupukan perempuan adalah pemupukan perusahaan perkebunan dan kolonialisme di
Pantai Timur Sumatera. Perempuan dan anak menjadi subjek ilmu kebersihan dan materi
ekonomi yang memproyeksikan wajah humanisasi dan kemakmuran era baru kolonialisme
di Pantai Timur Sumatera.

Anda mungkin juga menyukai