Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar belakang
Manusia sudah terpajan bahaya dalam pekerjaannya sehari hari
jauh sebelum revolusi industry dan sebelum adanya tempat kerja
industry. Kekejaman cuaca dan kelangkaan makan, termasuk juga
ancaman singa pada masa prasejarah, membuat manusia cukup
terancam kesehatannya. Bahaya kesehatan kerja nampaknya mulai pada
zajan batu ketika seseorang menggosokan batu api yang akan
mengeluaran debu silica. Sementara leluhur kita tidak hidup lama
karena meninggal dunia akibat silikosis, penggunaaan dari alat besi dan
perkembangan pertambangan serta pengecoran juga meningkatkan
bahaya bagi mereka yang terlibat. (J.M Harrington & F.S Gill 2005)
Meskipun

demikian,

tulisan

umum

pertama

yang

sangat

berpengaruh mengenai penyakit yang terkait dengan pekerjaan yang


ditulis oleh seorang dokter keluarga Deste di Modena, Bernardino
ramazzini (1633-1714). Bukunya de morbis artificium masih belum
sejalan sebagai sumber uraian klasik mengenai banyaknya penyakit
akibat kerja yang berasal dari pekerjaan kasar sampai pembuat cermin
di murano. Karyanya sebagian besar tidak dibaca umum sampai masa
revolusi industry di inggris yang membawa penyakit akibat kerja
menjadi perhatian semua pihak. Pekerja anak dan kondisi yang buruk di
kilang kapas Lancashire membuat kaget banyak Georgian dan
Victorian. Undang undang pabrik pertama dianjurkan oleh pemilik
pabrik yang mempunyai sifat social, seperti Robert owen, Michel
sadler, Anthony Ashley cooper (earl of Shaftesbury), Robert peel, dan
beberapa kaum oposisi.
Undang undang pertama tahun 1802 sangat diperlemah oleh
amandemen amandemen di parlemen, tetapi undang undang itu
merupakan langkah awal proses perundang undangan kesehatan

keselamatan kerja, dll. Pada tahun 1974 diantara kedua masa itu ada
undang undang yang berturut turut mengurangi jam kerja, terutama
pada anak anak dan wanita, dan undang undang 1833 membentuk
inspektur pabrik. Empat inspektur ditunjuk untuk mengawasi seluruh
negeri. Sebelas tahun kemudian para inspektur itu diberi tugas
tambahan untuk menetapkan dokter di tiap distrik yang akan
menentukan usia anak anak. Adanya surat kelahiran pada tahun 1836
membuat peran itu menjadi berlebihan, tapi merupakan kelahiran
kesehatan kerja industry. Undang undang berikutnya member tugas
tambahan untuk para dokter ini termasuk penyelidikan kecelakaan
indusri dan pemberian sertifikat kebugaran untuk bekerja.
Pada awal abad kedu puluh, efek toksik bahan tertentu yang wajb
dipakai pada industry sudah dikenal dengan baik di inggris sehingga
wajib dilaporkan. Ini memberikan kekuasaan untuk meneliti indensi
penyakit dengan tujuan untuk pencegahan. Bahan pertama yang
dilaporkan dalam tahun 1895 ialah timbale, fosfor, arsenic, dan antraks.
Daftar itu kemudian diperluas dengan 16 penyakit yang wajib
dilaporkan. (J.M Harrington & F.S Gill 2005).
Penyakit akibat kerja disebabkan oleh paparan terhadap bahan
kimia dan biologis, serta bahaya fisik di tempat kerja. Meskipun angka
kejadiannya tampak lebih kecil dibandingkan dengan penyakit penyakit
utama penyebab cacat lain, terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai
cukup banyak orang, khususnya di negara negara yang sedang giat
mengembangkan industri.
Pada banyak kasus, penyakit akibat kerja ini bersifat berat dan
mengakibatkan kecacatan. Akan tetapi ada dua faktor yang membuat
penyakit penyakit ini mudah dicegah. Pertama, bahan penyebab
penyakit dapat diidentifikasi, diukur dan dikontrol. Kedua, populasi
yang berisiko biasanya mudah didatangi dan dapat diawasi secara
teratur serta diobati. Selain itu, perubahan perubahan awal seringkali
dapat pulih dengan penanganan yang tepat.

Oleh karena itu, deteksi dini penyakit akibat kerja sangatlah


penting. Dengan demikian, tenaga kerja yang sakit dapat segera diobati
sehingga penyakitnya tidak berkembang dan dapat sembuh dangan
segera. Selain itu juga dapat dilakukan pencegahan agar tenaga kerja
lainnya dapat terlindung dari penyakit.
Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23
tentang

Kesehatan

Kerja

menyatakan

bahwa

kesehatan

kerja

diselenggarakan agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa


membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, agar
diperoleh produktivitas yang optimal, sejalan dengan program
perlindungan tenaga kerja. Perlindungan utamanya ditujukan pada
Penyakit Akibat Kerja/Akibat Hubungan Kerja dan Kecelakaan Akibat
Kerja.
Perkembangan industri mengubah pola penyakit yang ada di
masyarakat khususnya bagi pekerja. Pekerja menghabiskan sepertiga
waktunya tiap hari di tempat kerja dimana lingkungan kerja berbeda
dengan lingkungan sehari-hari. Pajanan dan proses kerja menyebabkan
gangguan kesehatan.
Data International Labour Organization (ILO) tahun 2003
didapatkan setiap hari 6000 orang meninggal karena pekerjaan, 1 orang
tiap 15 detik dan 2,2 juta per tahun akibat penyakit atau kecelakaan
yang berhubungan dengan pekerjaan. Jumlah pria yang meninggal dua
kali lebih banyak daripada wanita. Indonesia menduduki peringkat ke26 dari 27 negara. Data di Indonesia jumlah pekerja berdasarkan Biro
Pusat Statistik tahun 2000 adalah 95 juta orang, 50% bekerja di sektor
pertanian, kehutanan dan perikanan, 70-80% angkatan kerja bergerak di
sektor informal. Pekerja di sektor itu umumnya bekerja dalam
lingkungan kerja yang kurang baik, manajemen kurang terorganisasi,
perlindungan kerja tidak optimal, dan tingkat kesejahteraan yang
kurang. Populasi pekerja terus meningkat. Berdasarkan Profil

Kesehatan Indonesia tahun 2004, jumlah tenaga kerja di Indonesia kini


lebih dari 142 juta jiwa.
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah perusahaan besar
yang belum menerapkan K3 sebesar 14.726 buah (98%), yang sudah
menerapkan sebesar 317 buah (2%). Jumlah kasus kecelakaan ringan
45.234 kasus (87%), cacat sebagian 5.400 kasus (10%), cacat total 317
kasus (1%) dan kematian 1.049 kasus (2%).
Citatah seakan menjadi gambaran nyata kondisi lingkungan di
daerah Cipatat-Kabupaten Bandung Barat, dimana banyak ditemukan
tempat penambangan dan pabrik pengolahan kapur dan marmer yang
bertebaran disepanjang jalan raya Padalarang-Rajamandala. Debu dan
kepulan asap hitam pekat yang keluar dari cerobong asap telah menjadi
santapan sehari-hari di daerah tersebut. Lokasi penambangan tersebut
merupakan kawasan gunung karst cekungan Bandung, beberapa peneliti
geologi menyimpulkan bahwa kawasan tersebut sebagai situs purbakala
Bandung tempo dulu. Selain itu, situs arkeologi juga ditemui di daerah
tersebut dengan ditemukannya manusia purba di Gua Pawon yang
terletak tidak jauh dari lokasi penambangan. Saat ini banyak pihak yang
tergabung didalam Kelompok Peneliti Cekungan Bandung mendesakan
adanya penyelematan terhadap situs purbakala tersebut dan segera
dilakukan penghentian proses penambangan didaerah itu. Keberadaan
daerah Cipatat yang kaya akan nilai sosial, budaya dan sejarah telah
berabaikan karena eksploitasi yang tak kenal ramah, telah mengubah
kawasan tersebut menjadi kawasan yang rentan terhadap bahaya
lingkungan dan penyakit akibat aktivitas pertambangan dan industri di
daerah

tersebut.

Kabupaten

Bandung

Barat

memiliki

areal

penambangan yang terhampar hampir seluas 100 hektar yang berlokasi


di kecamatan Padalarang, Cipatat, Batu jajar, Cililin sampai dengan
Cikalong wetan. Material utama yang dihasilkan dari proses
penambangan ini terdiri dari andesit, Marmer dan kapur.

Mater
ial
Tambang

Luas
Lahan

Andes
it

61.84
Ha

Marm
er

Padalarang,
Batu jajar, Cililin
Padalarang,

26

Cipatat,

Ha

Kapur

Wilayah

Cikalong

Wetan
15

Padalarang,

Ha

Cipatat

Menurut data dari Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung


Barat tahun 2008, jumlah SIPD/ KP 15 perusahaan (sebagian warisan
dari Kabupaten Bandung/induk), Izin Camat Cipatat 15 perusahaan, dan
peti 8 usaha. Namun, dari pengamatan di lapangan diperkirakan jumlah
pertambangan tanpa izin ini melebihi 8 usaha, cukup banyak, terutama
di Desa Gunungmasigit dan Desa Citatah[2]. Pertambangan batu kapur
dan marmer serta industri pendukungnya di kawasan tersebut
merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup besar. Disamping
masih

banyaknya

penduduk

yang

menergantungkan

mata

pencahariannya kepada kegiatan ini. Sampai saat ini belum ada data
pasti dari pemerintah tentang berapa jumlah tenaga kerja yang terlibat
didalam proses produksinya. Diperkirakan hampir 80 persen penduduk
menggantungkan matapencahariannya pada pertambangan kapur dan
mamer ini.
Nilai ekonomi yang tinggi kawasan itu, tidak dibarengi dengan
perbaikan kondisi lingkungan dan pekerja disana. Saat ini, akibat
penggalian yang seporadis yang dilakukan oleh penambang (baik
korporasi ataupun pertambangan Inkonvensional) mengakibatkan
kerusakan lingkungan yang cukup parah. Ancaman longsor dan
kekurangan air bersih mengancam warga yang tinggal didaerah itu.

Disisi lain, kekayaan alam yang ada tidak menjadikan warga yang ada
di daerah tersebut sejahtera. Kepemilikan lahan pertambangan dan
Industri pendukungnya dimiliki oleh segelintir orang saja. Penduduk
lokal yang bekerja di pertambangan dan industri pendukungnya,
mayoritas berprofesi sebagai buruh dengan upah yang dibawah upah
layak serta rentan terhadap kecelakaan dan penyakit di tempat kerja.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1.

Pengertian penyakit akibat kerja


Penyakit paru akibat kerja (PPAK) merupakan salah satu
kelompok penyakait akibat kerja yang sasaran organnya dari
penyakit paru tersebut adalah paru. Istilah lain bagi penyakit akibat
kerja adalah penyakit yang timbul terhubung dengan hubungan
kerja. Atas dasar hal tersebut, maka penyakit paru akibat kerja
dapat pula di pakai istilah penyakit paru yang timbul karena
hubungan kerja atau penyakit paru yang timbul berhubung dengan
hubungan kerja. Namun untuk selanjutnya dalam uraian ini akan
lebih banyak digunakan istilah penyakit paru akibat kerja (PPAK).
(sumamur 2009)
Sebagaimana penyakit akibat kerja atau penyakit yang
timbul karena hubungan kerja yang pengertiannya adalah penyakit
yang di sebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Maka
penyakit paru akibat kerja atau penyakit paru yang timbul karena
hubungan kerja diartikan sebagai penyakit paru yang disebabkan
oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Dalam hubungan ini,
pekerjaan atau lingkungan kerja adalah penyebab dari penyakit
akibat kerja termasuk penyakit paru akibat kerja. Antara pekerjaan
atau lingkungan kerja dengan penyakit akibat kerja termasuk
penyakit paru akibat kerja terdapat hubungan kualitas dan
hubungan sebab akibat. Pekerjaan atau lingkungan kerja bagi
penyakit akibat kerja atau penyakit yang timbul akibat hubungan
kerja merupakan penyebab penyakit (agent disease).
Oleh karena penyakit akibat kerja termasuk penyakit paru
akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja sebagaimana halnya suatu occupational disease,
maka penyakit akibat kerja berbedadan tidak meliputi penyakit

yang berkaitan (ada kaitannya) dengan pekerjaan (work related


disease) dan juga berlainan dan tidak mencakup penyakit penyakit
yang menimpa tenaga kerja tetapi penyebabnya bukan pekerjaan
atau lingkungan kerja. Penyakit akibat kerja timbul karena ada
hubungan kerja mempunyai hubungan sebab akibat yang spesifik
dan kuat terhadap pekerjaan, biasanya dengan satu penyebab
penyakit, dan penyakitnya telah sedemikian dikenal. Work-related
disease mempunyai penyebab yang lebih dari satu atau jamak,
yang factor factor dalam lingkungan kerja mungkin berperan
bersama sama factor resiko lainnya dalam menimbulkan
penyakit, serta etiologinya bersifat kompleks. Penyakit yang
menimpa tenaga kerja dan penyebabnya bukan pekerjaan atau
lingkungan kerja dapat

di pengaruhi oleh pekerjaan atau

lingkungan kerja dapat saja terpengaruhi oleh pekerjaan atau


lingkungan kerja. Sebagai salah satu contoh adalah silikosis oleh
paparan kerja terhadap silica bebas atau asma akibat kerja oleh
paparan kerja zat kimia isosianat atau pnemonitis akibat cadmium
udara tempat kerja adalah penyakit paru akibat kerja. Adapun
penyakit paru obstruktif yang penyebabnya tidak jelas di tempat
kerja, sedangkan polusi udara di domisili yang bersangkutan cukup
menjadi penyebab dan perokok dari penderita juga ternyata cukup
signifikan bukan penyakit akibat kerja melainkan mungkin sekedar
ada kaitannya dengan pekerjaan atau lingkungan kerja. Infeksi
saluran pernafasan atas yang jelas jelas penyebabnya bukan
pekerjaan atau lingkungan kerja yang tidak jarang diperberat /
diperburuk keadaannya oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul karena
hubungan kerja atau yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja. Penyakit ini bersifat kronis dan biasanya
disebabkan oleh karena pekerjaan yang sama dalam jangka waktu
yang lama. Tanda dan gejala penyakit akibat kerja ini sama dengan
penyakit biasa, tetapi terdapat keterkaitan dengan pekerjaan.

Keterkaitan itu mungkin langsung disebabkan oleh pekerjaan,


mungkin dipermudah, mungkin dicetuskan dan mungkin juga
diperberat oleh pekerjaan.
Ciri ciri penyakit akibat kerja adalah sebagai berikut:
1. Terjadi pada populasi tenaga kerja
2. Penyebab penyakit yang spesifik
3. Pemajanan di tempat kerja sangat menentukan
4. Terdapat kompensasi
Penyakit

akibat

kerja

adalah

setiap

penyakit

yang

disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (pasal 1,


peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
PER.01/MEN/1981) tentang kewajiban melapor penyakit akibat
kerja. Definisi yang digunakan dalam keputusan Menteri Tenaga
Kerja No.KEPTS.333/MEN/1989 tentang Pelaporan Penyakit
Akibat Kerja merujuk pada ketentuan Permen Nakertrans
No.PER.01/MEN/1981.
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah
penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja
(Pasal 1, Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang
Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja (Keppres No.22
Tahun 1993). Terdapat 3 istilah untuk suatu kelompok penyakit
yang sama yaitu penyakit yang timbul karena hubungan kerja,
penyakit yang disebabkan karena pekerjaan atau lingkungan kerja
dan penyakit akibat kerja. Ketiga istilah tersebut mempunyai
pengertian yang sama dan masing-masing memiliki dasar hukum
perundang-undangan yang menjadi landasannya.

2. 2.

Penyebab penyakit akibat kerja


Penyebab penyakit kerja dapat dibagi sebagai berikut:
1. Golongan fisik
a. Suara (bising)
b. Radiasi sinar Rontgen atau radio aktif
c. Suhu yang terlalu tinggi (panas/dingin)
d. Tekanan yang tinggi
e. Penerangan lampu yang kurang baik
2. Golongan kimiawi
Bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang
terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk :
a. Debu
b. Uap
c. Gas
d. Larutan
e. Awan/kabut
3. Golongan biologis/infeksi
Misalnya infeksi oleh bakteri, virus atau jamur
4. Golongan fisiologis
Biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja, beban kerja dan
cara kerja
5. Golongan psikososial
Lingkungan kerja yang mengakibatkan stress, pekerjaan yang
monoton, tuntutan pekerjaan.

10

2. 3.

Jenis penyakit akibat kerja


WHO membedakan empat kategori Penyakit Akibat Kerja
1. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya
Pneumoconiosis.
2. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan,
misalnya Karsinoma Bronkhogenik.
3. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab
di antara faktor-faktor penyebab lainnya, misalnya
Bronkhitis khronis.
4. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi
yang sudah ada sebelumnya, misalnya asma.
Menurut Kepres RI No. 22 tahun 1993 tentang penyakit yang
timbul karena hubungan kerja, penyakit ini dibagi atas 31 jenis.
Pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Pneumokoniosis (silikosis, antrakosilikosis, asbestosis) &
silikotbc
2. Penyakit paru karena debu logam keras
3. Penyakit paru karena debu kapas, vlas, henep & sisal
(bissinosis)
4. Asma akibat kerja
5. Alveolitis alergika karena debu organik
6. Penyakit karena berilium atau senyawanya
7. Penyakit karena kadmium atau senyawanya
8. Penyakit karena fosfor atau senyawanya
9. Penyakit karena krom atau senyawanya.
10. Penyakit karena Mn atau senyawannya
11. Penyakit karena As atau senyawanya
12. Penyakit karena Hg atau senyawanya
13. Penyakit karena Pb atau senyawanya
14. Penyakit karena Flour atau senyawanya
15. Penyakit karena karbondisulfida

11

16. Penyakit karena Halogen dari senyawa alifatik atau aromatik


17. Penyakit karena benzena atau homolognya
18. Penyakit karena nitro dan amina dari benzena atau
homolognya
19. Penyakit karena nitrogliserin atau ester asam nitrat
20. Penyakit karena alkohol, glikol atau keton
21. Penyakit karena gas/uap penyebab asfiksia atau keracunan CO,
HCN, HS2 atau derivatnya, NH3, Zn, braso dan Ni.
22. Kelainan pendengaran karena kebisingan
23. Kelainan karena getaran mekanik (kelainan otot, urat, tulang
persendian, pembuluh darah tepi atau saraf tepi)
24. Penyakit karena udara bertekanan lebih
25. Penyakit karena radiasi elektromagnetik dan radiasi pengion
26. Penyakit kulit karena penyebab fisik, kimia, atau biologi
27. Penyakit kulit epitelioma primer karena pit, bitumen, minyak
mineral, antrasena atau senyawanya, produk atau residu zat
tsb.
28. Kanker paru atau mesotelioma karena asbes
29. Penyakit infeksi oleh virus, bakteri atau parasit pada pekerja
berisiko kontaminasi khusus
30. Penyakit karena suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi atau
kelembaban udara tinggi
31. Penyakit karena bahan kimia lain termasuk bahan obat.

2. 4.

Silicosis
Silicosis adalah penyakit yang paling penting dari golongan

pnemokoniosis. Penyebabnya adalah silica bebas (SiO2) yang terdapat


pada debu yang dihirup waktu bernafas dan ditimbun dalam paru serta
jaringan paru bereaksi terhadapnya. Tidak boleh dilupakan bahwa
silica bebas berbeda dengan gram silikat yang tidak menyebabkan
silikosis melainkan menimbulkan kelainan atau penyakit yang disebut

12

silikatosis (silicatosis). Silika yang menjadi penyebab silikosis adalah


silica dalam bentuk Kristal, yaitu kristobalit, kwarsa, tridimit dan
Tripoli (tergantung kandungan kwarsanya). Adapun silica amorf yaitu
tanah diatomis atau uap silica dapat menimbulkan pnemokoniosis atau
fibrosis paru.
Silikosis biasanya diderita oleh para pekerja di perusahaan yang
menghasilkan batu untuk keperluan membangun bangunan, di
perusahaan granit, keramik, timah, tambang besi, tambang batu
batubara, dalam proses sandblasting, yaitu meratakan permukaan
logam dengan menyemprotkan debu pasir, dan juga kegiatan
perusahaan lainnya. Pendek kata penyakit silikosis merupakan resiko
yang dihadapi oleh pekerja yang oleh karena pekerja atau lingkungan
kerjanya yang menghirup dengan kandungan silica bebas didalamnya.
Masa laten (bukan inkubasi) silikosis adalah 2 (dua) 4 (empat)
tahun. Sebagaimana umunnya berlaku untuk suatu penyakit, masan
laten ini sangat tergantung pada kuwantitas penyebab penyakit yang
dalam hal ini adalah banyaknya debu yang mengandung silica bebas
yang masuk kedalam paru dan silica bebas dari debu tersebut. Makin
banyak debu dan kian tinggi kadar silica yang terdapat didalamnya,
semakin pendek masa laten penyakit silikosis.
Silikosis biasanya dibagi menurut stadium penyakit tersebut, yaitu
stadium pertama, kedua dan ketiga, atau masing masing dinyatakan
sebagai stadium sedang, ringan, dan berat.
1) Stadium pertama, atau disebut juga dengan silikosis
sederhana (simple silikosis), ditandai dengan sesak nafas
(dyspnoea) ketika pekerja sedang bekerja, mula mula sesak
nafas ringan, kemudian bertambah berat. Sepanjang
stadium sakit demikian, sesak nafas merupakan gejala sakit
yang terpenting. Batuk batuk mungkin sudah terdapat pada
stadium pertama tetapi biasanya batuk kering dan tidak
berdahak keadaan penderita pada stadium ini masih berada
dalam keadaan baik. Suara pernafasan terdengar dalam

13

batasan normal namun pada pekerja yang berlanjut usia


mungkin didapati hiper resonansi, oleh karena emfisema.
2) Stadium kedua, disebut juga dengan silikosis ringan
biasanya gangguan kemampuan bekerja sedikit sekali atau
boleh dikatakan tidak ada. Pada silikosis stadium sedang
ini sesak nafas dan batuk menjadi sangan kentera dan
tanda kelainan paru pada pemeriksaan klinis juga Nampak.
Dada

penderita

kurang

berkembang,

pada

perkusi

berkurangnya atau menurunnya suara ketukan hamper


didapati di seluruh bagian paru, suara nafas tidak jarang
bronchial, sedangkan ronkhi terutama terdapat pada daerah
basis paru.
3) Stadium ketiga, disebut sebagai silikosis berat. Sesak nafas
mengakibatkan keadaan penderita cacat total; secara klinis
penderita menunjukan hipertrofi jantung kanan, dan
kemudian orang sakit memperlihatkan tanda tanda gagal
jantung.
Pada stadium pertama penyakit silikosis, gaambaran rontgen
paru menunjukan bayangan nodul-nodul yang terpisah, bundar dan
paling besar diameternya 2 mm. nodul nodul mungkin terlihat pada
sebagian atau seluruh lapanga paru, yang pada stadium ini adalah
terpisahnya nodul satu dengan yang lainnya.
Tidak ada satupun obat khusus untuk penyakit silokosis.
Untuk terapi penyakit tersebut pernah dicoba pengobatan dengan
debu halumunium yang sengaja dihirupkan kepada penderita
silikosis, ternyata cara pengobatan tersebut tidak memberikan hasil
atau

sama

menyebabkan

sekali

tidak

bertambah

ada

manfaatnya.

beratnya

Bahkan,

penyakit.

dapat

Bagaimana

mekanisme silica bebas menimbulkan silikosis, terdapat 4(empat)


teori berikut :

14

1. Teori yang menganggap permukaan runcing dan tajam debu


silica bebas sebagai penyebab rangsangan bagi terjadinya
penyakit (namun debu lain yang permukaannya juga
demikian tidak menyebabkan silikosis)
2. Teori elektromagnetis yang menduga bahwa gelombang
elektromagnetis yang dipancarkan oleh debu silica sebagai
etiologi bagi berlangsungnya fibrosis dalam paru (teori ini
adalah dasar bagi terapi penghirupan debu halumunium
kepada penderita, tetapi tetapi tidak memberikan hasil,
gelombang elektromagnetis debu halumunium berlawanan
terhadap gelombang elektromognetis debu silica bebas
3. Teori silikat yang menjelaskan bahwa SiO2 bereaksi dengan
air dari jaringan paru, sehingga membentuk silikat yang
menyebabkan paru ( silikosis bukan silikatosis)
4. Teori immunologis, yaitu tubuh mengadakan zat anti yang
bereaksi dalam paru dengan antigen yang berasal dari debu
silica.
Terhadap penyakit silikosis, program pencegahan terutama sangat
penting dalam upaya mengurangi kemungkinan pekerja menderita
penyakit tersebut. Upaya pencegahan dilakukan antara lain :
1. subtitusi bahan yang mengandung silica dengan bahan
bebas dengan yang tidak ada kandungan silica bebas,
2. menurunkan debu silica bebas dalam udara tempat kerja,
dan
3.

15

penggunaan alat pelindung diri oleh pekerja

BAB III
TINJAUAN KASUS

Kondisi di sektor pertambangan dan Industri Kapur di Citatah


Asap hitam mengepul dari cerobong asap, membumbung tinggi
menyebar ke berbagai penjuru langit, mengikuti arah angin. Mengubah
warna langit menjadi hitam. Cerobong asap yang berasal dari pabrik
pembakaran batu kapur yang berada di sepanjang jalan tersebut, hampir
setiap hari berproduksi. Pabrik tersebut memproduksi tepung kapur yang
digunakan untuk pembuatan roofing, keramik, kosmetik, pakan ternak,
pupuk serta untuk peleburan besi baja. Tak hanya asap hitam, debu kapur
pun berterbangan disepanjang jalan raya Padalarang-Rajamandala. Hampir
dipastikan disetiap bangunan yang berada di sepanjang jalan tersebut, debu
kapur menebal. Tak terkecuali di di sebuah warung makan di pinggir jalan
di pinggir jalan tersebut. terlihat debu menebal di sela-sela kacanya.
sudah biasa, mau diapakan lagi ungkap Ibu Siti, salah satu pemiliki
warung

di

pinggir

Jalan

Raya

Padalarang-Rajamandala.

Dia

mengungkapkan bukannya tidak tahu bahwa debu-debu tersebut akan


menggangu kesehatannya, tapi karena tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya, dia memilih pasrah pada keadaan dan menutup warung nya
dengan tirai agar debu tidak masuk ke dalam warungnya.
Jalan Raya Padalarang-Rajamandala menjadi jalur utama untuk
mengangkut batu kapur hasil penambangan dari pegunungan disekitar
pabrik tersebut. Setiap kali truk yang mengangkut batu kapur melintasi
daerah tesebut, sudah bisa dipastikan bahwa debu kapur berterbangan
bersama kepulan asap hitam dari knalpotnya. Maklum, truk yang
mengangkut batu kapur tersebut rata-rata sudah tua.
Maret 2010, Local Intiative melakukan obeservasi ke lapangan,
sebuah Deko -alat berat untuk mengeruk tanah atau batu- tampak terlihat
tanpa henti mengeruk dan memecahkan bongkahan bebatuan besar.

16

Terlihat kerumunan buruh tambang menanti reruntuhan bongkahan batu


gunung tersebut. Setelah Deko kerja tersebut selesai, rombongan buruh
tersebut kemudian bergerombol, menghampiri gundukan batu yang diuruk
oleh Deko tadi. Mereka kemudian menggali, dan memecahkannya
menjadi bagian-bagian kecil batu tersebut.
Tanpa alat pelindung dan hanya menggunakan baju kaos yang
dibungkuskan ke kepala, mereka bekerja ditengah kepulan debu bebatuan.
Begitu pun dengan jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, para pekerja
ini tidak diikutkan dalam prgram perlindungan Kesehatan dan Kecelakaan
kerja (Jamsostek).
pas masuk hitam, tapi keluar bisa putih salah satu candaan warga
disekitar terhadap para pekerja yang bekerja di penggilingan kapur. Hal ini
merujuk pada kondisi kerja yang penuh dengan debu kapur yang
menempel pada badan para pekerja, sehingga ketika mereka pulang
bekerja di pabrik itu, badan mereka dipenuhi oleh debu putih yang
menempel di badan mereka. Mereka bekerja tanpa masker atau alat
lainnya, hanya menggunakan kaos baju atau potongan untuk dijadilan
pelindung kepala dan menutup bagian mulut dan hidung mereka.
Seperti yang terjadi di disalah satu pabrik penggilingan kapur, PT
Djaya Putera yang sudah beroperasi sejak tahun 1998. Proses produksi
yang menghasilkan tepung kapur tidak dilengkapi dengan ventilasi dan
sistem K3 yang memadai. Eden, salah satu superviser di pabrik tersebut
menjelaskan bahwa bangunan pabrik sangat tertutup karena ventilasi yang
seharusnya ada ditutup karena adanya protes dari warga sekitar atas polusi
debu yang sangat mengganggu warga sekitar. Akibatnya udara tidak
mengalir dengan baik dan kondisi kerja dipenuhi dengan debu. Anehnya,
dalam kondisi kerja seperti itu, para pekerja tidak dilengkapi dengan alat
pelindung kerja yang memadai. Alasannya tidak disediakan oleh
perusahaan. Dan mereka dianggap sudah terbiasa dengan kondisi kerja
seperti itu.

17

Dia menambahkan, bahwa di Pabrik tepung kapur, debu kapur bisa


memandikan si pekerja, dan dalam bekerja mereka tanpa menggunakan
alat pelindung diri, hanya baju yang ditutupkan ke kepala sampai ke muka
si pekerja. Selain itu, proses pembakaran batu kapur dilakukan dengan
menggunakan bahan bakar dari ban bekas, sampah yang mengandung
unsur kimia yang menambah resiko bahaya. Hal ini menambah resiko para
pekerja terkena penyakit. Asap dan debu yang berbahaya ini jelas tidak
hanya berdampak pada para pekerja didalam pabrik akan tetapi juga bagi
lingkungan disekitarnya

Analisis
Terjadinya penyakit akibat kerja itu karena ada kontak antara pekerja
dengan hazard, di perusahaan tambang batu kapur di citatah ini telah
terjadi kontak antara pekerja dengan hazard itu sendiri. Hazard di
pertambangan batu kapur tersebut adalah debu kapur yang berasal dari
proses penggilingan. Terjadinya kontak antara pekerja dan hazard karena
tidak adanya alat pelindung diri.
Management yang buruk dari pihak perusahaan merupakan factor utama
terjadinya penyakit paru akibat kerja, Dari informasi dan data di atas dapat
disimpulkan bahwa pera pekerja di tambang kapur ini sangat beresiko
mengalami penyakit silikosis, dikarenakan penyebab utama silikosis
adalah silica bebas. Silica yang menjadi penyebab silikosis adalah silica
dalam bentuk Kristal, yaitu kristobalit, kwarsa, tridimit, dan Tripoli.
Silikosis biasanya diderita oleh para pekerja di perusahaan yang
menghasilkan batu untuk keperluan membangun seperti perusahaan
keramik dan kapur.
Dan ditambah lingkungan kerja yang sangat tidak kondusif yakni tempat
kerja di tambang kapur tersebut tidak menggunakan ventilasi, alasan dari
pihak pabrik sendiri tidak memberikan ventilasi di parik tersebut karena
debu hasil pembuangannya mengganggu warga sekitar.

18

Yang terahir para pekerja tidak dilengkapi dengan alat pelindung diri
seperti masker dan safety shoes yang memadai karena tidak disediakan
oleh perusahaan.

Upaya pencegahan PAK silikosis


Yang pertama dilakukan yaitu untuk gerinda dugunakan bahan
karborundum, emery, atau alumina, bukan lagi dari bahan silica. Demikian
pula sandblasting, proses meratakan permukaan logam dengan debu pasir
yang disemprotkan dengan tekanan tinggi, pasir di subtitusi dengan bubuk
alumina.
Cara preventif lain adalah ventilasi udara baik local maupun umum.
Ventilasi umum antara lain dengan mengalirkan ruangan kerja melalui
pintu dan jendela tapi biasanya cara ini membutuhkan biaya yang tinggi.
Cara ventilasi local yang disebut ventilasi hisap keluar setempat (local
exhauster), biasanya biaya tidak seberapa sedangkan manfaatnya besar
dalam melindungi para pekerja. Ventilasi keluar setempat dimasukan
untuk menghisap debu dari tempat keluarnya debu kedalam ruangan atau
tempat kerja, dan mengurangi sedapat mungkin di tempat para pekerja
bekerja. Juga dianjurkan cara kerja yang kemungkinan berkurangnya atau
minimalnya timbul debu ke udara, misalnya pengeboran basah (wet
drilling)
Cara terahir agar tidak ada kontak antara worker dan hazard yaitu dengan
menggunakan pemakaian alat pelindung diri antara lain berupa tutup
hidung seperti masker.

19

DAFTAR PUSTAKA
Higine perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes), dari DR. sumamur
P.K., Msc, yang diterbitkan Sagung Seto, 2009

Kesehatan kerja, dari J. M. Harrington & F. S. Gill, yang diterbitkan EGC,


2005

Manajemen resiko, dari Ramli Soehatman, yang diterbitkan, Dian Rakya,


2010

System manajemen keselamatan & kesehatan kerja, dari Ramli


Soehatman, yang diterbitkan Dian Rakyat, 2010
Alat pelindung diri 2012, artikel wiki, 11 April 2012, diakses 27 oktober
2014 <http://id.wikipedia.org/wiki/Alat_pelindung_diri>

Alat Pelindung Diri, Balai K3 Bandung, weblog, 4 April 2008, di akses 27


oktober 2014,<http://hiperkes.wordpress.com/2008/04/04/alat-pelindungdiri/>

20

Anda mungkin juga menyukai