BAGIAN I
PENDAHULUAN
Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah, terutama
menjelang diterapkannya pasar bebas dan berlakunya ISO 14000. Peraturan-peraturan
tentang masalah ini telah banyak dikeluarkan Pemerintah maupun DPR, tetapi
agaknya di lapangan banyak mengalami hambatan-hambatan. Bahwa penanganan
limbah merupakan suatu keharusan guna terjaganya kesehatan manus dan lingkungan
pada umumnya, sudah tidak diragukan lagi. Namun pengadaan sarana pengolahan
limbah ternyata masih dianggap memberatkan bagi sebagian industri maupun instansi.
Keanekaragaman jenis limbah akan tergantung pada aktivitas industri dan penghasil
limbah lainnya. Mulai dari penggunaan bahan baku, pemilihan proses produksi dan
sebagainya akan mempengaruhi karakter limbah yang tidak terlepas dari proses
industri itu sendiri, seperti yang terlihat dalam Gambar 1.1 sebagai berikut:
Bahan baku
sekunder:
energi, fluida,
dll
Bahan Bahan
terbuang terbuang
Meskipun demikian, tidak semua limbah industri merupakan limbah B-3, tetapi hanya
sebagian saja (sekitar 10%). Di samping itu, limbah B-3 juga berasal dari kegiatan
lain, seperti dari aktivitas pertanian (misalnya penggunaan pestisida), kegiatan energi
(seperti limbah radioaktif PLTN), kegiatan kesehatan (seperti limbah infectious dan
Pendahuluan I- 1
Pengelolaan Limbah B-3
toksik), bahkan juga berasal dari kegiatan rumah tangga (misalnya penggunaan baterai
merkuri dan campuran antara pembersih toilet dengan pemutih cucian yang
menghasilkan gas chlor). Dan pada kenyataannya, sebagian besar limbah B-3 memang
berasal dari kegiatan industri dan harus ditangani secara khusus.
Revolusi industri dan penggunaan bahan kimia organik yang terus meningkat setelah
Perang Dunia II, bukan saja mengakibatkan kenaikan timbulan limbah secara
dramatis, namun juga menyangkut masalah toksisitas dari limbah tersebut. Akibat dari
limbah tersebut adalah kontaminasi sumber-sumber air dan terganggunya kesehatan
masyarakat serta penurunan kualitas ekologis manusia apalagi jika penanganan
limbahnya kurang tepat. Disamping itu masalah penangan limbah B-3 ini juga sering
dijadikan obyek bisnis yang tidak terpuji, seperti pembuangan limbah B-3 negara
maju ke negara berkembang untuk menekan biaya pengolahan.
Berikut ini akan diberikan ilustrasi berbagai kasus yang menyangkut limbah B-3 dari
negara industri, yang jelas lebih maju dari Indonesia baik dari segi teknologi maupun
peraturan perundang-undangannya dan kesiapan masyarakatnya.
Pada tahun 1932, Chisso Chemical Corporation membuka pabrik pupuk kimia di
Minamata (di Pulau Kyushu, Jepang Selatan). Penduduk sekitarnya adalah petani dan
Pendahuluan I -2
Pengelolaan Limbah B-3
Kasus Minamata terungkap setelah secara bertahap sekitar 600 ton merkuri bekas
katalis proses dibuang secara bertahap selama 45 tahun. Padahal diketahui bahwa
merkuri merupakan logam berat yang pada suhu biasa berfasa cair dan di dalam badan
air dapat dikonversi mikroorganisme air menjadi methylmercure (merupakan mercuri
organik) yang bersifat biokumulasi, yang dapat menyerang syaraf dan otak. Sinyal
pertama kasus ini datang pada tahun 1950, yaitu matinya sejumlah ikat tanpa
diketahui sebabnya. Kemudian tahun 1952 timbul penyakit aneh pada kucing yang
kadangkala berakhir dengan kematian (sehingga disebut penyakit kucing menari). Dan
antara tahun 1953-1956 kasus ini juga ditemukan pada manusia. Pada awalnya, Chisso
belum dicurigai sebagai penyebabnya, tetapi hanya diketahui bahwa korban
mengalami keracunan akibat memakan ikan yang berasal dari laut di sekitar pabrik.
Kemudian Chisso mengeluarkan daftar bahan yang digunakan dalam pabrik, tetapi
tidak mencantumkan merkuri.
Penelitian secara intensif tentang penyebab penyakit oleh pemerintah dan Universitas
Kuamoto serta asosiasi industri kimia Jepang tidak mendapatkan hasil yang
memuaskan sehingga pencemaran merkuri ini tetap berlanjut. Dan kasus ini juga terus
berlanjut terutama menyerang anak-anak, sehingga tahun 1956 masyarakat sekitarnya
berdemontrasi menentang keberadaan Chisso. Akhirnya Chisso memberikan santunan
pada korban tanpa mengetahui penyebab penyakitnya. Kasus ini akhir terungkap
setelah diketahui bahwa korban umumnya mengandung merkuri yang berlebihan.
Tahun 1976 sekitar 160 penduduk Minamata meninggal karena keracunan merkuri
dan 800 orang menderita sakit. Dan tahun 1978, dari 8100 penduduk yang mengklaim,
1500 diantaranya yang diperiksa diketahui keracunan merkuri. Akhirnya pembuangan
merkuri dihentikan dengan penutupan pabrik dan pemerintah Jepang menyatakan
bahwa Chisso sebagai penanggung jawab timbulnya penyakit ini.
Pendahuluan I -3
Pengelolaan Limbah B-3
yang bervariasi dan bersifat karsinogenik (penyebab agen kanker). Dan Seveso
terletak di Italia Utara.
Pada akhir tahun 1960-an, industri farmasi Swiss, Hoffman La Roche memilih Seveso
sebagai lokasi pabriknya. Pabrik ini dibangun dan dioperasikan oleh Industrie
Chemiche Meda Societe Aromia (ICMESA), guna memproduksi 2,4,5-tricholophenol
untuk desinfektan, kosmetik dan herbisida. Pabrik ini menghasilkan asap yang berbau,
tetapi penduduknya agaknya sudah terbiasa. Kecelakaan terjadi pada tanggal 10 Juli
1976, ketika reaktor yang dipanaskan retak pada katup pengamannya dan reaksi kimia
yang menghasilkan 2,3,7,8-TCDD terbuang ke udara membentuk kabut melewati
ribuan hektar sekitar pabrik. Kemudian daerah sekitar ini dibagi menjadi 2 area
bahaya. Area A penduduknya dievakuasi dan dilarang menggunakan barang-
barangnya. Ibu-ibu yang hamil dianjurkan menggugurkan kandungan dan prianya
dikhawatirkan mengalami kerusakan pada fungsi genetiknya. Daun-daun pohon di
sekitarnya rontok dan binatang-binatang seperti terpanggang. Akhirnya pembersihan
daerah terkontaminan dilakukan.
Dari 2 teknik yang ditawarkan pemerintah Italia yaitu teknik insinerasi dan landfilling,
penduduk Saveso memilih teknik landfilling. Landfilling dilakukan dalam 2 lubang
yang diproteksi dengan bentonite dan polyethylene. Pohon-pohon terkontaminasi
ditebang dan tanah terkontaminasi dikupas sedalam 5 cm. Kemudian daerah tersebut
dijadikan taman. Pekerjaan ini membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun.
Kasus ini ternyata tidak selesai di sini, karena sekitar 41 drum limbah dari Saveso
dikirim keluar Italia dengan spesifikasi yang tidak jelas. Drum tersebut berlabel
bahan hidrikarbon aromatis dan tidak ditulis dioxin, sedang asalnya ditulis dari
Meda, bukan dari Saveso. Informasi yang didapat menyatakan bahwa drum akan
diangkut ke Inggris untuk diinsinerasi, ke Jerman Timur untuk ditimbun di lahan urug
industri dan ke Jerman Barat untuk ditimbun di bekas tambang. Dan kenyataan tidak
satupun yang sampai. Akhirnya setelah dilakukan pencarian, sembilan bulan
kemudian baru diketemukan yaitu disembunyikan di suatu area pejagalan hewan di
Prancis. Untuk itu piha Hoffman La Roche harus bertanggung jawab
Pendahuluan I -4
Pengelolaan Limbah B-3
mengeluarkannya dari Prancis dan mengolahnya. Berangkat dari kasus ini, masyarakat
Eropa sadar akan pentingnya peraturan yang ketat tentang pengelolaan limbah B-3.
Interpretasi hasil analisis air tanah pada tahun 1972 ternyata juga salah, dengan
menganggap bahwa pencemaran air tanah yang terjadi berasal dari limpasan air
permukaan bukan dari lahan tersebut. Hasil interpretasi yang salah juga dilakukan
oleh sebuah konsultan pada tahun 1977.
Prakiraan biaya untuk menyingkirkan dan mengolah seluruh cairan dan tanah yang
terkontaminasi sekitar 3,4 juta US$, setelah dihitung ulang ternyata meningkat 4 kali
lipat. Akhirnya pemerintah USA memilih cara yang lebih murah, yaitu:
menyingkirkan cairan yang terkontaminasi ke lahan lain,
menetralisir tanah terkontaminasi dengan abu semen klin,
menempatkan lapisan clay untuk mengisolasi,
membangun sumur-sumur pemantau.
Akhirnya sekitar 800.000 galon air tercemar dialirkan ke area di hilirnya, dan 4 juta
galon dialirkan ke landfilling West Covina, namun ternyata site inipun juga bocor dan
akhirnya ditutup. Landfill lain, Casmalia Resources juga menerima sekitar 70.000
gal/hari dari Stringfellow, tetapi oleh EPA dianggap belum dimonitor secara benar.
Pendahuluan I -5
Pengelolaan Limbah B-3
Pendahuluan I -6
Pengelolaan Limbah B-3
BAB II
KEBIJAKAN DAN PERATURAN PENGELOLAAN
Amerika Serikat telah kita kenal sebagai salah satu negara industri yang paling maju
dan banyak menghasilkan peraturan pengelolaan limbah yang juga sering diadopsi
oleh negara kita, maka tidaklah berlebihan jika pada pembahasan ini didahului dengan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan limbah yang ada di Amerika Serikat,
kemudian baru kita bahas peraturan-peraturan yang ada di negara kita.
Sebagai negara industri, Amerika serikat relatif banyak mengalami masalah dengan
limbah, khususnya limbah industri. Dan sampai tahun 1960-an pengelolaan limbah
industrinya masih belum memadai, misalnya hanya dibuang ke lahan yang belum
dilapis kedap. Tetapi adanya gerakan lingkungan dan kontrol aktif masyarakat akhir
memaksa Kongres Amerika untuk memperhatikan masalah limbah lebih serius dan
menelorkan peraturan-peraturan guna mengatur masalah ini. Beberapa peraturan
Federal yang berkaitan dengan masalah lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan
masalah pencemaran antara lain adalah:
Rivers and Harbour Act (1899) berisi pelarangan pembuangan benda-benda padat
yang membahayakan pada navigasi. Peraturan ini merupakan satu-satunya sumber
peraturan perundang-undangan lingkungan di USA sampai tahun 1954.
Atomic Energy Act (1954) merupakan revisi Atomic Energy Act tahun 1946 yang
mengatur masalah penggunaan energi nuklir.
National Environmental Policy Act (NEPA-1970): peraturan tentang analisis
dampak lingkungan.
Occupational Safety and Health Act (OSHA-1970): peraturan tentang keselamatan
kerja.
Marine Protection Research and Santuary Act (1972): peraturan guna mencegah
atau mengurangi pembuang limbah ke laut.
Federal Insecticide, Fungicide and Rodenticide Act (FIFRA-1972) mengatur
penyimpanan dan disposal pestisida.
Toxic Substances Control Act (TSCA) memberi kewenangan pada EPA untuk
mengidentifikasi dan memantau bahan-bahan kimia berbahaya di lingkungan;
disamping itu EPA mempunyai kewenangan untuk mendapatkan informasi tentang
bahan berbahaya ini di sumbernya (pabrik). Efek toksik dari bahan baru harus diuji
dulu sebelum bahan tersebut diproduksi untuk dipasarkan. Bahan-bahan kimia yang
diproduksi sebelum TSCA juga dikenai peraturan ini. Kategori produk yang tidak
termasuk dalam kontrol TSCA adalah tembakau, pestisida, bahan nuklir, senjata
api/amunisi, makanan, aditif untuk makanan, obat-obatan dan kosmestik. Produk ini
telah diatur oleh peraturan-peraturan sebelumnya. Dengan adanya peraturan ini maka
tidak satupun bahan kimia yang boleh diimport atau dieksport tanpa kontrol dan
persetujuan EPA.
Solid Waste Disposal Act pada dasarnya mengatur tata cara disposal (penyingkiran)
limbah kota dan industri, agar tidak mengganggu terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan, serta bagaimana mengurangi timbulan limbah tersebut. Perkembangan
lebih lanjut ternyata dibutuhkan aturan-aturan lebih jauh, agar limbah tersebut,
khususnya limbah B-3, dikelola dengan baik. Berdasarkan hal tersebut, maka
keluarlah RCRA, yang terdiri dari berbagai Substitle. RCRA dianggap merupakan
produk legislatif yang paling penting dalam pengaturan limbah B-3, dan telah
mengalami beberapa amandemen sejak dikeluarkan pada tahun 1976. Dan salah satu
versi RCRA yang paling penting adalah aturan mengenai pengelolaan limbah B-3
yang disebut program Cradle to Grave (dari timbul sampai dikubur).
Adapun peraturan yang ada di Indonesia secara hierarki terdiri dari UUD45, Undang-
undang dan peraturan pemerintah. Beberapa peraturan yang berkaitan dengan
pengelolaan limbah B-3 adalah sebagai berikut:
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982, kemudian diganti dengan Undang-undang
Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang kualitas badan air A sampai D
(stream standard untuk sungani, bukan limbah).
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1994 berisi tentang pengelolaan limbah B3.
Kemudian tahun 1995, PP No. 19/1994 diperbaiki (bukan dicabut) dengan
keluarnya PP No. 12/1995. Peraturan tentang limbah B-3 ini kemudian dikenal
sebagai PP No. 19/1994 jo PP No. 12/1995 mengatur pengelolaan limbah
khususnya untuk yang berkategori berbahaya berisi:
(a) Tentang definisi B-3, dan siapa yang disebut sebagai penghasil limbah B-3
(generator).
(b) Aturan umum tentang penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pendaur-
ulangan (PP No. 12/1995), pengolahan dan penimbunan.
(c) Bagaimana perijinan bagi mereka yang akan memberikan jasa kegiatan
pengelolaan limbah B-3.
BAGIAN III
TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH B-3
3.1. Umum
Pengelolaan limbah B-3 adalah suatu rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbun-
an limbah B-3 menurut Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999. Pengelolaan ini
dapat mencakup aspek:
organisasi
legalitas
tata cara yang bersifat operasional
pembiayaan
Khusus untuk limbah B-3 membutuhkan analisis yang hati-hati. Oleh karenanya
dikenal konsep Risk Assessment pada:
sumber limbah
pathway
reseptor
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengelolaan limbah B-3 ini bertujuan
untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan / atau kerusakan lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh limbah B-3 serta melakukan pemulihan kualitas
lingkungan yang sudah tercema sehingga sesuai fungsinya kembali. Untuk lebih
jelasnya, tahapan pengelolaan ini dapat dilihat pada gambar 3.1. sebagai berikut:
Proses
Generator Bersih
Limbah
Storage
Kumpul
Pendekatan
End of pipe
Angkut/ Daur
Olah
Alirkan Ulang
Singkirkan
Dalam pengelolaan limbah B-3 terdapat suatu konsep penting yang diadopsi dari
RCRA (USA) yaitu konsep Cradle to Grave yang berisi identifikasi limbah B-3,
persyaratan-persyaratan mulai dari sumber (timbulan), penyimpanan, transportasi,
pengolahan, dan penyingkiran/pemusnahan (disposal) limbah B-3. Konsep ini
merupakan upaya sistematis agar seluruh rangkaian (subsistem) dalam setiap teknik
operasional pengelolaan limbah B-3 berjalan sesuai rencana. Dan kunci keberhasilan
ini adalah monitoring, pendataan, dan evaluasi yang terus menerus. Hal ini tentu
berbeda dengan limbah biasa yang hilang begitu saja setelah diolah.
Konsep cradle to grave secara jelas dapat dilihat pada Gambar 3.2. Dari gambar ini
terlihat kaitan antara Generator (penghasil), transporter, sarana treatment, storage dan
sarana disposal. Generator adalah penghasil (creator) limbah B-3 yang harus dianalisis
sesuai aturan RCRA subtitle C (USA) atau PP No. 18/1999 jo PP No. 85/1999
(Indonesia). Di Indonesia, generator yang menghasilkan limbah B-3 lebih dari 50
kg/hari, tidak boleh menyimpan limbah lebih dari 90 hari (harus diserahkan kepada
pengumpul atau pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B-3).
(5) Cradle
Badan Pengelola: Generator
- BAPEDAL (6) + (1)
- US EPA
(5) + (2) (1,2,3,4)
Transporter
(4) (1)
(1,2,3)
(2)
Treatment
Storage
Bupati/ Disposal Grave
Walikota (3)
Dengan demikian, EPA dan generator dapat melacak perjalanan limbah B-3 dari
penimbul atau generator (cradle) ke titik penyingkiran/pemusnahan final (grave).
Generator harus sudah menerima copy-1 dalam kurun waktu 35 hari sejak limbah
Konsep penanggulangan limbah secara umum dapat dijelaskan dengan Gambar 3.3.
sebagai berikut:
Manfaatkan
Sebelum sebagai bahan
Minimasi
terbentuk baku
Setelah
mencemari Remediasi
lingkungan
Dari Gambar 3.3. tampak bahwa penanggulangan limbah sudah dimulai sejak belum
terbentuk yaitu dengan minimasi limbah. Minimasi limbah merupakan suatu strategi
pencegahan pencemaran yang intinya adalah:
a. Merubah input bahan baku ke sistem industri, terutama dalam usaha mereduksi
penggunaan:
bahan-bahan kimia toksik (beracun)
sumber daya alam yang semakin langka
sumber daya alam yang tak terbarukan
b. Mereduksi limbah dengan mengusahakan agar sistem industri lebih efisien dalam
mengkonversi bahan baku menjadi produk dan produk samping (by product) yang
bermanfaat.
c. Mereduksi rancangan, komposisi serta pengemasan suatu produk untuk
menciptakan produk hijau atau produk yang ramah pada lingkungan sehingga
meminimalkan bahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Opsi (a) dan (b) merupakan aktivitas minimasi limbah, sedangkan opsi (d) dan (e)
dikenal sebagai kontrol pencemaran pada ujung pipa (end of pipe) yang merupakan
cakupan konsep pengolahan limbah yang selama ini dianut. Di samping ke-4 opsi itu,
masih ada satu penanganan lagi yang dibutuhkan, yaitu apabila telah terjadi
pencemaran lingkungan. Untuk menanganinya perlu dilakukan remediasi.
Transportasi limbah B-3 merupakan mata rantai yang sangat penting dalam
pengelolaan limbah B-3 terutama bila menggunakan konsep cradle to grave. Oleh
karenanya Amerika secara khusus mengatur transportasi limbah B-3 dalam Hazardous
Materials Transportation Act yang ditangani oleh US Departement of Transportation
(USDOT). Sedangkan di Indonesia belum ada suatu sistem transport khusus limbah B-
3, tetapi hanya menyebutkan adanya alat khusus untuk mengangkut limbah B-3 yang
dilengkapi dengan dokumen dan kemasan yang menunjukkan karakteristik, jenis,
jumlah dan waktu serah terima limbah B-3.
Format isian dokumen ini diatur sedemikian rupa sehingga dengan cepat dapat
memberikan informasi bila terjadi kecelakaan sehingga diharapkan tim yang
bertanggung jawab dalam menangani kecelakaan secara cepat dapat mengidentifikasi
sifat bahan B-3 tersebut dan cara penanggulangannya.
Pemberian tanda (label atau plakat) juga diatur dalam aturan tersebut, baik bentuk
maupun penempatannya sesuai dengan klasifikasi bahan B-3 tersebut. Selain itu,
DOT juga menggariskan bahwa kontainer yang digunakan untuk mengangkut B-3
dirancang dan dibuat sedemikian rupa sehingga bila terjadi kecelakaan pada kondisi
transportasi yang normal, maka:
tidak menimbulkan penyebaran bahan tersebut ke lingkungan sekitarnya,
keefektifan pengemasan tidak berkurang selama perjalanan
tidak terjadi pencampuran gas atau uap dalam kemasan, yang dapat menimbulkan
reaksi spontan sehingga mengurangi keefektifan pengemasan.
pengertian Penghasil limbah B3 adalah setiap orang atau badan usaha yang
menghasilkan limbah B3 dan menyimpan sementara limbah tersebut di dalam lokasi
kegiatannya sebelum limbah B3 tersebut diserahkan kepada pengumpul atau pengolah
limbah B3. Pengumpul limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pengumpulan limbah B3 dari penghasil dan pemanfaat limbah B3 dengan maksud
menyimpan sementara untuk diserahkan kepada pengolah limbah B3. Pengangkut
Limbah B3 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengangkutan limbah B3
dari penghasil ke pengumpul limbah B3 atau ke Pengolah limbah B3. Proses
pengangkutan limbah B3 pada dasarnya merupakan proses pemindahan dari penghasil
ke pengumpul dan/atau ke pengolah termasuk ke lokasi penimbunan akhir dengan
menggunakan alat angkut yang memenuhi syarat Selanjutnya Pengolah Limbah B3
adalah badan usaha yang mengoperasikan sarana pengolahan limbah B3 termasuk
penimbunan akhir hasil pengolahannya. Contoh di Indonesia, pengolah limbah B3
adalah Prasadha Pamunah Limbah Indonesia (PPLI) di Cileungsi Bogor yang
merupakan badan usaha swasta yang bekerja sama dengan Bapedal Pusat Jakarta.
a. Lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir dan secara geologis dinyatakan
stabil,
b. Perancangan bangunan disesuaikan dengan karakteristik limbah dan upaya
pengendalian pencemaran.
Pengumpul limbah B3 dapat dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan
pengumpulan limbah B3. Dengan demikian penghasil limbah B3 juga dapat bertindak
sebagai pengumpul limbah B3 dengan syarat harus memenuhi segala ketentuan yang
berlaku bagi pengumpul limbah B3 sebagai berikut:
a. memperhatikan karakteristik limbah B3,
b. mempunyai laboratorium yang dapat mendeteksi karakteristik limbah B3,
c. mempunyai lokasi minimum satu hektar,
d. memiliki fasilitas untuk penanggulangan terjadinya kecelakaan,
e. konstruksi dan bahan bangunan disesuaikan dengan karakteristik limbah B3,
f. Lokasi tempat pengumpulan yang bebas banjir, secara geologi dinyatakan stabil,
jauh dari sumber air, tidak merupakan daerah tangkapan air dan jauh dari
pemukiman atau fasilitas umum lainnya.
Selain itu, pengumpul limbah B3 wajib membuat catatan sebagaimana yang dilakukan
oleh penghasil limbah B3 dan wajib menyampaikan catatan ini sekurang-kurangnya
sekali dalam enam bulan kepada Bapedal. Pengumpul limbah B3 dapat menyimpan
limbah B3 yang dikumpulkannya selama sembilan puluh hari dan bertanggung jawab
terhadap limbah B3 sebelum diserahkan kepada pengolah limbah B3.
Pengangkutan limbah B3 dapat dilakukan oleh badan usaha yang melakukan kegiatan
pengangkutan limbah B3 menggunakan alat angkut khusus yang memenuhi
persyaratan dan tata cara pengangkutan yang telah ditetapkan, dimana penghasil
limbah B3 juga bisa bertindak sebagai pengangkut. Penyerahan limbah B3 dari
penghasil atau pengumpul kepada pengangkut wajib disertai dokumen limbah B3.
Dengan demikian pengangkut wajib memiliki dokumen limbah B3 untuk setiap kale
mengangkut limbah B3. Adapun bentuk dokumen ini ditetapkan oleh Bapedal dengan
memperhatikan pertimbangan menteri perhubungan. Pengangkut wajib menyerahkan
limbah dan dokumen limbah B3 kepada pengumpul atau pengolah limbah B3 yang
ditunjuk oleh penghasil limbah B3.
3.5.2.1 Umum
Konsep minimasi limbah yang telah diterapkan, akan tetap menghasilkan limbah yang
membutuhkan pengolahan lebih lanjut agar tingkat bahaya limbah tersebut bisa
dihilangkan atau dikurangi. Beberapa cara pengolahan limbah berbahaya dapat
dikelompokkan sebagai beriut :
- secara kimiawi
- secara fisis
- secara biologi
- secara termal
dalam penerapannya, untuk menghasilkan hasil yang optimal dan efektif baik secara
ekonomi ataupun teknis, keempat cara itu dapat dikombinasikan.
Pengolahan secara kimiawi pada dasarnya memanfaatkan reaksi - reaksi kimia untuk
mentransformasi limbah berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Berbagai bentuk
pengolahan tersebut adalah :
- Solubilitas
- Netralisasi
- Presipitasi
- Koagulasi dan flokulasi
- Oksidasi dan reduksi
- Pengurangan warna
- Desinfeksi
- Penukaran ion
- Sistem stabilisasi
1. Solubilitas (Melarutkan)
Limbah b-3 dapat berupa materi organik atau anorganik, mengandung elemen
elemen kimiawi serta konfigurasi struktural yang beragam. Air sebagai solven
(pelarut) universal akan melarutkan substansi substansi tersebut, tetapi bisa saja
kelarutannya terbatas. Umumnya garam natrium, kalium dan amonium larut dalam air
sebagai asam asam mineral. Banyak materi halogen anorganik (kecuali fluorida)
larut dalam air. Tetapi karbonat, hidroksida dan fosfat sedikit terlarut. Alkohol sangat
larut, tetapi materi organik aromatik dan petroleum based rantai panjang sedikit larut
dalam air. Kelarutan sebuah subsatnsi akan menjadi faktor kritis dalam proses
pengolahan secara kimiawi.
3. Presipitasi
Dalam beberapa hal, limbah cair mengandung logam berat. Bila konsentrasi logam
berat ini cukup tinggi sehingga limbahnya dapat dikatagorikan berbahaya, maka
logam tersebut harus disingkirkan dari cairannya, yang biasanya dilakukan dengan
pengendapan. Logam logam tersebut akan mengendap dengan tingkat pH tertentu,
yang tergantung dari ion ionnya untuk menghasilkan garam yang tak larut.
Netralisasi limbah asam akan menyebabkan pengendapan dari logam berat sehingga
logam ini disingkirkan sebagai lumpur melalui klarifikasi atau filtrasi.
Hidroksida logam berat biasanya tidak larut, dan biasanya digunakan kapur untuk
mengendapkannya. Pembentukan karbonat dan sulfida juga banyak diterapkan. Cara
lain adalah kombinasi keduanya, misalnya pengendapan hidroksida terlebih dahulu,
dilanjukan dengan pengendapan sulfida seperti penambahan Na2S atau NaHS.
Penambahan senyawa senyawa sulfida ini perlu pengontrolan untuk mengurangi
timbulnya bau serta gas H2S. selama pengendapan sulfida, akan terjadi kemungkinan
timbulnya H2S yang berbahaya. Karenya, kondisi sedikit alkalin perlu dipertahankan
Tingkat valensi dari logam juga berperanan. Besi valensi 2 akan lebih larut dibanding
besi bervalensi 3. Khromat valensi +6 (berbahay) yang lebih larut, perlu direduksi
menjadi khromat bervalensi + 3 yang lebih tidak berbahay dan lebih tidak larut dalam
air. Disamping itu perlu dicegah terbentuknya ion ion kompleks bila limbahnya
mengandung amonia, flourida atau sianida.
Contoh lain adalah pengolahan limbah sianida dengan khlorinasi dalam suasana
alkalin. Sianida dioksidasi menjadi sianat yang lebih tidak toksik, kemudian dirubah
menadi CO2 dan nitrogen, dengan reaksi :
Na CN + Cl2 + 2NaOH NaCNO + 2 NaCl + H2O
2NaCNO + 3Cl2 + 4NaOH 2CO2 + N2 + 6NaCl + H2O
reaksi pertama terjadi pada pH > 10 untuk membentuk natrium sianat. Reaksi kedua
lebih cepat berlangsung pada pH sekitar 8. Proses khlorinasi ini dapat pula
dilaksanakan dengan menggunakan hipokhlorit atau peroksida atau ozon untuk
mendestruksi secara sempurna limbah sianida.
6. Pengurangan warna
Limbah cair mungkin mengandung warna yang sulit di urai. (Berwarna bukan
parameter B-3) komposisi kimiawi materi yang berkonstribusi dalam pemberian
warna pada limbah seringkali sulit ditentukan terutama bila limbahnya organik
(pemunculan limbah tersebut berpengaruh terhadap warna, limbah B3 tetapi
berwarna paling optimal karbon aktif). Bila komposisi kimiawi di hilir (bahan baku)
yang menimbulkan warna dapat diidentifikasi, maka modifikasi proses di hilir sangat
dianjurkan. Bila hal ini tidak memungkinkan, maka proses penyisihan warna yang
sering digunakan adalah dengan adsorpsi melalui karbon aktif (Karbon aktif
didetailkan)atau koagulasi/flokulasi atau oksidasi kimiawi dengan khlor atau
oksidator lainnya.
7. Desinfeksi
Sasaran disinfeksi adalah membunuh mikroorganisme patogen yang dapat
menyebabkan penyakit. (efektifitas pembasmian dan pengurangan volume) Proses
yang sering digunakan adalah khlorinasi. Sebetulnya dalam proses pengolahan limbah
konvensional ( koagulasi sedimentasi filtrasi) sebagian besar mikroorganisme
patogen dapat disingkirkan. Namun khlorinasi akan lebih menjamin hal ini, apalagi
bila dikaitkan dengan air minum.
Khlor adalah disinfeksi yang paling banyak digunakan karena relatif efektif pada
konsentrasi rendah, biaya relatif tidak mahal dan membentuk sisa yang cukup bila
dosis di awal cukup. Pembubuhan khlor ini membutuhkan kontrol yang tinggi.
Kadangkala digunakan gas khlor. Gas ini bersifat racun, berwarna kuning hijau pada
temperatur kamar dan tekanan atmosfer. Uap khlor sangat korosif sehingga wadah
atau pipa yang digunakan harus non logam atau campuran logam khusus. Uap khlor
menyebabkan iritasi pada pernafasan dan mata, dan pada konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan kerusakan fisis.
Khlor adalah oksidator kuat dan mampu bereaksi dengan banyak pencemar dalam
limbah. Khlor bereaksi dengan amonia membentuk 3 senyawa khloramin yang
bersifat biosidal :
HOCl + NH3 NH2Cl (monokhloramin) + H2O
NH2Cl + HOCl NHCl2 (dikhloramin) + H2O
NHCl2 + HOCl NCl3 (trikhloramin) + H2O
Sebelum amonia dioksidasi, khlor akan bereaksi lebih dulu dengan substansi organik
yang lain. Oleh karenanya dibutuhkan khlor yang berlebih untuk mengoksidasi
amonia.
Hidrogen sulfat dapat juga dihancurkan oleh khlor :
H2S + Cl2 S + 2 HCl
H2S + 4Cl2 + 4H2P H2So4 + 8 HCl.
Ozon juga biasa digunakan sebagai disinfektan. Ozon relatif lebih kuat dibandingkan
asam hipokhlorit. Dalam kondisi larutan, ozon relatif tidak stabil dan terurai dengan
waktu paruh 20 30 menit. Oleh karenanya ozone tidak dapat disimpan tetapi
langsung diproduksi untuk digunakan.
8. Penukaran ion
Konsepnya adalah ion ion yang ditahan oleh gaya elektrostatis pada permukaan
padatan digantikan oleh ion ion bermuatan sama yang berada dalam larutan. Oleh
karenanya, bahan penukar ion harus mempunyai ion aktif di seluruh strukturnya,
berkapasitas besar, selektif untuk jenis ion tertentu, mampu diregenerasi, stabil secara
kimiawi/fisis serta mempunyai kelarutan rendah, seperti pada proses penyisihan
amonia, atau penyisihan logam berat.
Penukaran ion yang paling banyak digunakan adalah natirum alumino silikat,
dikenal sebagai zeolit. Beberapa alumino silikat juga berfungsi sebagai penukar
anion. Dalam beberap kasus, penukar ion sintesis kadangkala mempunyai
karakteristik lebih baik dibanding zeolit. Resin penukar ion organik adalah yang
terpenting diantara resin sintesis.
Penukar ion mempunyai kapasitas tertentu untuk menukar ion sebelum menjadi jenuh.
Bila jenuh, dilakukan pencucian dengan larutan regenerasi untuk mengusir ion ion
tersebut. operasi yang digunakan akan bersifat siklis :
- penukaran ion
- pencucian
- regenerasi
- pembilasan
larutan limbah dimasukkan ke dalam kolom sampai seluruh media menjadi jenuh.
Kolom penukar ion dicuci dari bawah untuk menyisihkan padatan serta mengatur
media resin. Dalam periode regenerasi, larutan regenerasi mengalir melalui media
untuk menggantikan ion ion dan mengembalikannya pada kondisi asal. Limbah
cucian media penukar ion ini membutuhkan penanganan khusus atau di daur ulang.
Untuk menentukan kinerja resin, dibutuhkan uji sorpsi. Dengan kurva Breakthrough
dapat ditentukan penggantian ion secara eksperimental. Kurva break throug dari
kolom penukar ion adalah identik dengan kolom adsorpsi dengan ion pengganti yang
diinginkan: langkah selanjutnya adalah pengujian sampai exhausted.
Penukar ion yang mempunyai muatan negatif adalah penukar kation, karena
menangkap ion ion positif, demikian sebaliknya. Resin penukar kation yang
mempunyai reaktif asam kuat , seperti grup sulfonik (-SO3H) dapat menyingkirkan
kation kation. Resin penukar kation asam lemah grup karboksilik (-CaOH) dapat
menyingkirkan Na+ dan K+. Resin penukar anion basa kuat seperti grup amonium
dapat menyingkirkan anion anion, sedang yang basa lemah mempunyai grup
amine yang dapat menyingkirkan anion anion dari asam asam mineral kuat seperti
SO42-, Cl-, NO3-.
Hierarki yang akan ditukarkan biasanya sudah tertentu. Untuk resin kuat misalnya,
maka urutan urutannya adalah : Ba2+, Pb2+, Sr2+, Ca2+, Ni2+, Cd2+, Cu2+, Co2+,
Zn2+, Mg2+, Ag+, Cs+, K+, NH4+, Na+, H+. Dalam hal ini Pb2+, mempunyai
kesempatan ditukar lebih dahulu dibanding Mg2+. Untuk resin basa kuat urutannya
adalah SO42-, I-, NO3-, CrO422-, Br-, Cl-, OH-. Dalam hal ini SO42- mempunyai
kesempatan ditukar lebih dulu dibanding Cl-.
Pengolahan secara fisis sudah dikenal sejak lama. Bila limbah mengandung bagian
cair dan padatan, maka pengolahan secara fisis perlu dipertimbangkan
dahulu.beberapa cara fisis ini adalah : screening, sedimentasi/klarifikasi, sentrifugasi,
flotasi, filtrasi, sorpsi, evaporasi/distilasi, stripping dan reverse osmosis. Setiap tahap
dari proses ini melibatkan tahapan pemisahan materi tersuspensi dari fase cairnya.
(ingat limbah cair)
1. Screening
Merupakan tahapan awal dalam pengolahan limbah. Untuk menyingkirkan padatan
yang besar (dengan cara melewatkan cairan limbah pada screen) . Bagian padatan
yang halus masih membutuhkan pengolahan selanjutnya.
sering digunakanuntuk mengambah kenerja dari sistem. Disamping itu, filter vakum,
belt press dan filterpres sering digunakan untuk menyisihkan air dari lumpur untuk
memproduksi filter cake dengan kandungan padatan sampai 50%.
6. Sorpsi
Adsorpsi merupakan proses fisis dengan adanya mekanisme adhesi dari molekul
molekul atau partikel partikel pada permukaan dari absorben padat tanpa ada reaksi
kimia. Sedang absorpsi melibatkan penetrasi molekul / partikel ke dalam media
absorben padat.
Penyisihan substansi organik (termasuk suber bau dan warna) banyak dilakukan
dengan karbon aktif (powder granular) yang biasanya terdapat dalambentuk butiran
ataupun serbuk. Keefektifan karbon aktif dalammenyisihkan substansi berbahaya dari
larutannya adalah berbanding lurus dengan luas permukaannya.
Setelah digunakan, kolom karbon aktif lama kelamaan menjadi jenuh dan perlu
diregenerasi. Bila substansi organik adalah bersifat volatil, media karbon dapat
diregenerasi dengan pemanasan.
7. Evaporasi/distilasi
Evaporasi dan distilasi limbah cair sering digunakan dalam pengolahan limbah
berbahaya. Cairan dengan tekanan uap lebih tinggi akan menguap lebih dahulu.
Temperatur didih dari sebuah cairan akan tercapai bila tekanan uapnya sama dengan
tekanan atmosfer. Adanya garam serta komponen komponen lain dalam cairan akan
menurunkantekanan uap dan menaikkan titik didihnya. Dengan terevaporasinya
cairannya, maka lauratan tersisa akanlebih pekat. Evaporasi cairan dari limbah
berbahaya dapat dilangsungkandenganevaporator tunggal atau jamak, distilasi, steam
stripping atau air stripping.
8. Stripping
Stripping udara dapat digunakan untuk menyingkirkan substansi buangan berbahaya
berkonsentrasi rendah yang larut dalam air. Menara stripping difungsikan dengan
aliran udara ke atas dan aliran limbah ke bawah.
9. Reverse osmosis
Dengan proses osmosis, solven dialirkan melalui membran semi permeabel dari
larutan encer menuju larutan yang lebih terkonsentrasi. Perbedaan tekanan yang
diterapkan pada membran mengakibatkan solven mengalir dari larutan yang lebih kuat
ke larutan yang lebih lemah.
Pengolahan limbah secara biologis telah banyak digunakan untuk mengolah limbah
yang biodegradable, misalnya untuk limbah berbahaya yang berasal dari industri, lindi
lahan urug dan pencemaran tanah. Mikroba mikroba yang bekerja dapat
digolongkan menjadi heterotrophic atau autotrophic tergantung dari sumber nutrisinya
2. Sistem anaerobik
Mikroba mikroba anaerobik membutuhkan oksigen yang terikat misalnya NO3 dan
bukan molekul molekul oksigen seperti yang terdapat di udara agar tumbuh secara
baik. Senyawa organik diuraikan menjadi :
Materi organik + combined oxygen CO2 + CH4 + produk lain + energi.
Energi panas yang terbentuk relatif kecil bila dibandingkan denganproses aerobik,
karena konversi energi ini terdapat dalam bentuk lain yaitu gas metan (CH4) pH 6 8
Jelas landfilling merupakan upaya terakhir. Cara ini bukanlah pemecahan masalah
yang ideal, bahkan tidak bisa dikatakan suatu pemecahan yang baik. Guna
mengurangi sebanyak mungkin dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, maka
upaya manusia adalah bagaimana merancang, membangun dan mengoperasikannya
secara baik. Upaya lain yang tak kalah pentingnya adalah mencari sebuah lahan yang
baik sehingga dampak negatif yang mungkin timbul dapat diperkecil. Khusus untuk
limbah B3 diperlukan penanganan pendahuluan misalnya dengan solidifikasi,
pengkapsulan. Pertimbangan utama dari landfill adalah pencegahan terhadap
pencemaran air tanah. Oleh karean itu faktor permeabilitas tanah merupakan kendala
utama dalam menentukan jenis landfill.
- Land Treatment
Persyaratan dasar sebagai pengolah limbah B3 yang harus memiliki teknologi yang
memadai , lokasi pengolahan, lokasi penimbunan dan lokasi insinerasi serta
kelengkapannya maka pengolah limbah B3 berkewajiban pula memenuhi persyaratan
administratip seperti menyusun analisis dampak lingkungan (ANDAL), rencana
pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) sesuai
UULH No.23 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.27 Tahun
2000 Tenatang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan peraturan
pendukungnya. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya kegiatan baik secara
sendiri maupun secara terintegrasi dengan kegiatan utamanya yang justru mencemari
lingkungan. Mengingat pada dasarnya tujuan pengelolaan limbah B3 adalah mencegah
pencemaran akibat limbah B3. Untuk itu , sesuai Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL ) No.Kep-03/Bapedal/09/1995 telah
ditentukan persyaratan teknis pengolahan limbah B3 di Indonesia.
Pengolahan limbah B3 adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik
limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun dan/atau immobilisasi
limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau memungkinkan agar limbah limbah B3
dimanfaatkan kembali (daur ulang) . Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan
secara pengolahan fisika, kimia , stabilisasi /solidifikasi dan insinerasi.
Proses pengolahan secara fisika dan kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun
limbah B3d dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya
menjadi tidak berbahaya . Proses pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan
untuk mengubah watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan
senyawa pengikat B3 agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat dan terbatasi dan
membentuk massa monolit dengan struktur yang kekar.Sedangkan proses pengolahan
secara insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung
didalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3.
b. Jarak antara lokasi pengolahan dan lokasi fasilitas umum minimum 50 meter.
Sedangkan persyaratan lokasi pengolahan limbah B3 diluar lokasi penghasil limbah
adalah :
c. Pada jarak paling dekat 300 meter dari daerah permukiman, perdagangan, rumah
sakit, pelayanan kesehatan atau kegiatan sosial , hotel, restoran, fasilitas
keagamaan dan pendidikan,
d. Pada jarak paling dekat 300 meter dari garis pasang naik laut, sungai, daerah
pasang surut, kolam, danau, rawa, mata air dan sumur penduduk.
e. Pada jarak paling dekat 300 meter dari daearah yang dilindungi (cagar alam ,
hutan lindung dan lainnya).
1). Memiliki sistem penjagaan 24 jam yang memantau, mengawasi dan mencegah
orang yang tidak berkepentingan masuk ke lokasi;
2). Mempunyai pagar pengaman dan penghalang lain yang memadai dan suatu sistem
untuk mengawasi keluar masuk orang dan kendaraan melalui pintu gerbang
maupun jalan masuk lainnya;
3). Mempunyai tanda yang mudah terlihat dari jarak 10 meter dengan tulisan "
Berbahaya " yang dipasang pada unit/bangunan pengolahan dan penyimpanan ,
serta tanda " Yang tidak Berkepentingan Dilarang Masuk" yang ditempatkan di
setiap pintu masuk kedalam fasilitas dan pada setiap jarak 100 meter di
sekeliling lokasi;
Untuk mencegah terjadinya kebakaran atau hal lain yang tak terduga di fasilitas
pengolahan , maka sekurang-kurangnya harus :
2). Memasang tanda peringatan , yang jelas terlihat dari jarak 10 meter dengan tulisan
" AWAS BERBAHAYA ", LIMBAH B3
(MUDAH TERBAKAR ..DLL) DILARANG
KERAS MENYALAKAN API ATAU
MEROKOK !"
3). Memasang peralatan pendeteksi bahaya kebakaran yang bekerja secara otomatis
selama 24 jam terus menerus , berupa alat deteksi peka asap ( smoke sensing
alarm ) dan alat deteksi pekan panas (heat sensing alarm) ;
4). Tersedianya sistem pemadam kebakaran yang berupa : sistem permanen dan
otomatis dengan menggunakan pemadam air, busa gas atau bahan kimia kering,
dengan jumlah dan mutu sesuai kebutuhan; Pemadam kebakaran portable dengan
kapasitas minimum 10 kg untuk setiap 100 m2 dalam ruangan;
5). Menata jarak atau lorong antara kontainer -kontainer yang berisi limbah limbah
B3 minimum 60 cm sehingga tidak mengganggu gerakan orang, peralatan
pemadam kebakaran , peralatan pengendali/pencegah tumpahan limbah, dan
peralatan untuk menghilangkan kontaminasi ke semua arah di dalam lokasi;
6). Menata jarak antara bangunan-bangunan yang memadai sehingga mobil kebakaran
mempunyai akses menuju lokasi kebakaran.
1). Fasilitas pengolahan limbah B3 harus mempunyai rencana, dokumen dan petunjuk
teknis operasi pencegahan tumpahan limbah B3 yang meliputi :
Teknologi Pengelolaan Limbah B-3 III -25
Pengelolaan Limbah B-3
b). Sistem tanda bahaya peringatan dini yang bekerja selama 24 jam dan yang
akan memberi tanda bahaya sebelum terjadi tumpahan/luapan limbah (level
control).
2). Pengawas harus dapat mengidentifikasi setiap kelainan yang terjadi, seperti
malfungsi, kerusakan, kelalaian operator, kebocoran, atau tumpahan yang dapat
menyebabkan terlepasnya limbah dari fasilitas pengolahan ke lingkungan.
Program ini harus menyangkut mekanisme tanggap darurat;
3). Penggunaan bahan penyerap (absorbent) yang sesuai dengan jenis dan
karakteristik tumpahan limbah B3.
3). Memiliki prosedur evakuasi bagi seluruh pekerja fasilitas pengolahan limbah B3;
5). Tersedianya peralatan dan baju pelindung bagi seluruh staf penanggulangan
keadaan darurat di lokasi, dan sesuai dengan jenis limbah B3 yang ditangani di
lokasi tersebut;
8). Melakukan pelatihan bagi karyawan dalam penaggulangan keadaan darurat yang
dilakukan minimum dua kale dalam setahun.
2. Hasil pengujian harus dituangkan dalam berita acara yang memuat hasil uji coba
penanganan sistem keadaan darurat. Informasi tersebut harus selalu tersedia di
lokasi fasilitas pengolahan limbah B3.
- Pelatihan Karyawan
d. Prosedur inspeksi;
c. Laboratorium;
Setelah kandungan/ parameter fisik dan/ atau kimia dan/ atau biologi yang terkandung
dalam limbah B3 tersebut diketahui, maka tahapan selanjutnya adalah menentukan
pilihan proses pengolahan limbah B3 yang dapat memenuhi kualitas dan baku mutu
pembuangan dan/ atau lingkungan yang ditetapkan.
Emisi udara
Mudah meledak memenuhi baku
mutu emisi udara
Fisika-kimia
sesuai izin
Mudah terbakar
Bersifat reaktif
Gas
Solidifikasi/
stabilisasi
Bersifat korosif
Limbah padat
memenuhi baku
Limbah organik mutu TCLP/LD
beracun 50
Pemanfaatan
kembali
Limbah anorganik (Recovery) Penimbunan
beracun sesuai izin
Keterangan:
1. Baku mutu limbah cair wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Kep-men 03/1991 atau yang telah ditetapkan oleh Bapedal.
2. Baku mutu emisi udara wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Kep-men 13/1992 atau yang ditetapkan oleh Bapedal.
Akhir dari proses pembakaran, residu pada abu insinerator harus ditimbun dengan
mengikuti ketentuan prosedur stabilisasi dan solidifikasi atau penimbunan (landfill).
- Kapasitas Blower ,
- Tempat dan diskripsi dari alat pencatat suhu , tekanan, aliran dan alat-alat
pengontrol yang lain,
2). Sebelum insinerator dioperasikan secara terus menerus atau kontinyu , pengelola
insinerator (pemilik) harus melakukan uji coba pembakaran (trial burn test)
minimal selama 14 hari secara terus menerus dan tidak boleh putus serta nantinya
menyusun laporan . Uji coba ini harus mencakup semua peralatan utama dan
peralatan penunnjang termasuk peralatan pengendalian pencemaran udara yang
dipasang. Uji coba dilakukan setelah mendapat persetujuan dari intansi yang
berwenang (Bapedal) mengenai kelengkapan pada butir 1) diatas yang tentunya
diawasi oleh intansi yang berwenang (Bapedal). Metode uji coba pembakaran ini
bertujuan untuk memperoleh :
- Waktu tinggal (residence time) gas di zona /ruang bakar minimum selama
2 detik,
Win Wout
DRE x100%
Win
Keterangan :
Setelah diketahui nilai prosentase DRE , maka perlu untuk ditentukan effisiensi
pembakaran (EP) dengan menggunakan peruumusan sebagai berikut :
CO2
EP x100%
CO2 CO
Keterangan :
3). Dalam kondisi darurat terutama apabila terjadi kondisi pengoperasian tidak
memenuhi spesifikasi yang ditetapkan maka perlu digunakan sistem pemutus
otomatis pengumpan limbah B3 ,
Menjaga agar tidak terjadi kebocoran , tumpahan atau emisi sesaat pada saat
proses insinerasi berlangsung agar diperoleh kualitas pembakaran yang sempurna;
Memastikan DRE yang harus dicapai oleh insinerasi sama dengan atau lebih besar
dari standar baku yang berlaku;
Secara terus menerus mengukur dan mencatat beberapa faktor pembakaran seperti
suhu di zona / ruang bakar, laju umpan limbah, laju bahan bakar pembantu (bila
ada) , kecepatan gas saat keluar dari daerah pembakaran, serta konsentrasi karbon
monoksida, oksigen, HCl, THC dan partikel debu di cerobong serta opasitasnya ;
Secara berkala mengukur dan mencatat konsentrasi POHCs, PCDDs, PCDFs, PICs
dan logam berat yang keluar dan berada dicerobong;
Melaporkan hasil pengukuran emisi cerobong yang telah dilakukan selama 3 bulan
terakhir sejak digunakan dan dilakukan pengujian kembali setiap 3 bulan untuk
menjaga nilai minimum DRE;
Konsentrasi maksimum untuk emisi dan nilai minimum DRE harus sesuai dengan
peraturan yang ada dan dilaporkan secara periodik 3 (tiga) bulan ke instansi yang
berwenang untuk mengendalikan B3.
Adapun peraturan tentang baku mutu yang berlaku di Indonesia sesuai Keputusan
Kepala Bapedal Nomor Kep-03/BAPEDAL/09/1995 adalah :
1 POHCs 99,99%
1 Partikel 50
8 Arsen (As) 1
10 Kromium (Cr) 1
11 Timbal (Pb) 5
14 Opasitas 10%
Catatan : Kadar maksimum pada tabel diatas dikoreksi terhadap 10% Oksigen (O2)
pada kondisi normal (250C, 76 cm Hg) dan berat kering (dry basis).
Tabel : Baku Mutu Emisi Limbah Cair Kegiatan Pengolahan Limbah Industri B3
(BMLCK-PPLIB3)
Nilai Satuan
O
A Fisika 38 C C
- Suhu 250
B Kimia
-pH 6-9
-Barium, (Ba) 2 mg / l
-Tembaga, (Cu) 2 mg / l
-Seng, (Zn) 5 mg / l
-Stanum, (Sn) 2 mg / l
Tabel : Baku Mutu Emisi Limbah Cair Kegiatan Pengolahan Limbah Industri B3
(BMLCK-PPLIB3) (Lanjutan )
-Flourida, (F) 2 mg / l
-Nitrat, (NO3-N) 20 mg / l
-Nitrit, (NO2-N) 1 mg / l
-BOD5 50 mg / l
-COD 100 mg / l
-Fenol 0,5 mg / l
-AOX 0,5 mg / l
-AOX 0,5 mg / l
-PCBS 0,005 mg / l
-PCDFS 10 ng / l
-PCDDS 10 ng / l
Catatan :
Prinsip kerja pengolahan limbah B3 dengan metode stabilisasi dan solidifikasi adalah
pengubahan watak fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa
pengikat (aditif) sehingga pergerakan senyawa-senyawa B3 dapat dihambat atau
terbatasi dan membentuk ikatan massa monolit dengan struktur yang kekar (massive).
Dengan demikian diharapkan bahan pencampur harus dapat mengikat bahan
berbahaya dan beracun sehingga mampu menurunkan sifat racun dan / atau sifat
bahayanya sampai nilai ambang batas yang telah ditetapkan .
Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk proses stabilisasi / soldifikasi (bahan aditif)
antara lain :
Tata cara proses stabilisasi dengan metode solidifikasi limbah B3 adalah sebagai
berikut :
c. Terhadap hasil olahan selanjutnya dilakukan test uji tekan (compresive Strengt)
dengan alat " Soil Penetrometer Test) " dengan harus memiliki nilai tekan
minimum sebesar 10 ton/m2 dan lolos uji " Paint Filter Test".
d. Limbah B3 olahan yang memenuhi syarat TCLP , nilai uji kuat tekan dan lolos
paint filter test ; selanjutnya harus ditimbun ditempat penimbunan (lanfill) yang
ditetapkan oleh pemerintah atau yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
2 Arsen 5,0
3 Barium 100,0
4 Benzine 0,5
5 Boron 500,0
6 Cadmium 1,0
.8 Chlordane 0,03
9 Chloroform 100,0
10 Chromium 6,0
11 Copper 5,0
12 o-Cresol 10,0
13 m-Cresol 200,0
14 p-Cresol 200,0
17 2,4-D 20,0
18 1,4-Dichloroethane 10,0
19 1,2-Dichloroethane 7,5
20 1,1-Dichloroethylene 0,5
21 2,4-Dinitrotoluene 0,7
22 Endrin 0,13
23 Fluorides 0,02
25 Hexachlorobenzene 0,008
26 Hexachlorobutadiene 0,13
27 Hexachloroethane 0,5
28 Lead 0,5
29 Lindane 0,4
30 Mercury 0,2
31 Methoxychlor 10,0
35 Nitrite 100,0
36 Nitrqbenzene 2,0
38 Pentachilorophenol 100,0
39 Pyridine 5,0
40 Parathion 3,5
41 PCBs 0,3
42 Selenium 1,0
43 Silver 5,0
45 Toxaphene 0,5
47 Trihalimethanes 35,0
48 2,4,5-Trichlorophenol 400,0
49 2,4,6-Trichlorophenol 2,0
52 Zinc 50,0
Penimbunan limbah B3 harus dilakukan secara tepat, baik tempat, tata cara maupun
persyaratannya . Walaupun limbah B3 yang akan ditimbun tersebut sudah diolah
(secara fisika, kimia dan biologi) sebelumnya, tetapi limbah B3 tersebut masih dapat
berpotensi mencemari lingkungan dari timbulan lindinya. Untuk mencegah
pencemaran dari proses perlindian limbah B3, maka limbah B3 harus ditimbun pada
lokasi yang memenuhi persyaratan.
Penimbunan hasil dari pengolahan limbah B3 merupakan tahap akhir dari pengelolaan
limbah B3 ditempat yang diperuntukkan khusus sebagai tempat penimbunan limbah
B3 dengan desain tertentu yang mempunyai sistem pengumpulan dan pemindahan
timbulan lindi dan mengolahnya memenuhi kriteria limbah cair yang ditetapkan
sebelum dibuang ke lingkungan.
Selain itu lokasi bekas (pasca) pengolahan dan penimbunan limbah B3 pun harus
ditangangani dengan baik untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Untuk itu, bila metode ini akan di terapkan , perlu lebih dahulu diketahui persyaratan
pemilihan lokasi landfill secara benar dan tepat dan diteruskan dengan proses rancang
bangun lokasi landfill.
Penimbunan limbah B3 harus dilakukan pada lokasi yang tepat dan benar yang
memenuhi persyaratan lingkungan . Persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemilihan
lokasi adalah :
Lokasi yang akan dipilih harus merupakan daerah bebas banjir pada skala ratusan
tahunan;
Lokasi yang akan dipilih harus memiliki faktor geologi lingkungan seperti :
- daerah dengan litologi batuan dasar sedimen berbutir sangat halus (serpih,
batu lempung), batuan beku, batuan malihan yang bersifat kedap air (k
<10-9 m/det), tidak berongga, tidak bercelah, dan tidak berkekar intensif.
Lokasi yang akan dipilih harus memiliki faktor hidrogeologi lingkungan seperti :
- Bukan merupakan daerah resapan (recharge) bagi air tanah tidak tertekan
yang penting dan air tanah tertekan;
- Bukan lokasi yang dibawahnya terdapat lapisan air tanah (aquifer) , jika
terdapat lapisan tersebut maka jarak terdekat lapisan tersebut terhadap
bagian dasar lokasi penimbunan (landfill) minimal 4,00 meter.
Lokasi yang akan dipilih harus memiliki faktor hidrologi permukaan yang bukan
merupakan daerah genangan air, berjarak minimum 500 meter dari aliran sungai
yang mengalir sepanjang tahun, danau, waduk untuk irigasi pertanian maupun
untuk air bersih.
Lokasi yang dipilih memiliki sifat iklim dan curah hujan kecil, kering, kecepatan
angin tahunan rendah, berarah dominan kearah daerah yang tidak berpenduduk
atau berpenduduk jarang.
Lokasi penimbunan harus sesuai dengan rencana tata ruang yang merupakan tanah
kosong yang tidak subur , tanah pertanian yang kurang subur, atau lokasi bekas
pertambangan yang telah tidak berpotensi dan sesuai dengan rencana tata ruang
baik untuk peruntukkan industri atau tempat penimbunan limbah. Selain itu harus
memperhatikan :
Rancang bangun atau desain teknis landfill untuk tempat penimbunan limbah B3
(landfill) dikelola sesuai dengan jenis dan karakteristik limbah yang akan ditimbun.
Untuk itu pemilahan jenis dan karakteristik limbah B3 mempunyai fungsi dalam
penentuan tempat penimbunan limbah B3 tersebut , rangcang bangun dan katagori
landfill yang akan dibangun.
Rancang bangun minimum untuk katagori I (secure landfill double liner) adalah
merupakan komponen sistem pelapisan dasar landfill dari bawah keatas yang
terdiri atas komponen-komponen berikut :
Lapisan dasar /subbase berupa tanah lempung yang dipadatkan ualang yang
memiliki konduktifitas hidrolik/ koefisien permeabilitas jenuh maksimum
1x10-9 m/detik diatas lapisan tanah setempat. Ketebalan minimum lapisan
dasar adalah satu meter. Lapisan setebal 1 meter tersebut terdiri dari lapisan -
lapisan tipis (15-20 cm) dimana setiap lapisan dipadatkan untuk mendapatkan
permeabilitas dan daya dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan
diatasnya, limbah B3 yang ditimbun dan lapisan penutup.
Ini harus dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama instalasi ,
operasi serta pada tahapan penutupan landfill.
Lapisan dasar dilapisi dengan lapisan geomembran berupa lapisan sintetik yang
terbuat dari HDPE (High Density Polyethylene) dengan ketebalan minimum
1,5-2,0 mm (60-80 mil). Semua lapisan sintetik ini mengacu pada American
Society of Testing Material (ASTM) D308-786 atau yang setara . Lapisan
sintetik dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama proses
pemasangan instalasi, konstruksi, pengoperasian dan penutupan landfill.
4. Lapisan Tanah Penghalang (Barrier Soil Liner)
Lapisan tanah penghalang berupa tanah liat yang dipadatkan hingga memiliki
permeabilitas 1 x 10-9 m/detik dengan ketebalan minimum 30 cm atau "
geosyntetic clay liner (GCL)" dengan tebal minimum 6 mm . GCL tersebut
berupa bentonit yang diselubungi oleh geotekstil . Jenis-jenis GCL yang bisa
digunakan adalah Claymax, Bentomat, Bentofix atau yang sejenis.
5. Sistem Pengumpulan dan Pemindahan Lindi (SPPL)
SPPL pada saat dasar landfill terdiri dari sekurang-kurangnya 30 cm
bahan/tanah butiran yang memiliki konduktivitas hidrolik minimum 1 x 10-4
m/detik. Pada dinding landfill digunakan geonet sebagai SPPLnya .
Transmisivitas geonet tersebut sama dengan atau lebih besar dari
transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah butiran dengan konduktivitas hidrolik
jenuh minimum 1 x 10-4 m/detik.
Untuk meminimumkan terjadi penyumbatan pada SPPL , harus dipasang
geotekstil pada bagian atas SPPL. SPPL harus mempunyai kemiringan
sedemikian rupa sehingga timbulan lindi akan terkumpul dan dapat
dipindahkan ke tangki penampung/pengumpul lindi.
6. Lapisan Pelindung (Operation Cover)
Sistem pengumpulan lindi dilapisi Lapisan Pelindung Selama Operasi (LPSO)
dengan ketebalan minimum 30 cm , dirancang untuk mencegah kerusakan
komponen lapisan dasar landfill selama penempatan limbah di landfill . LPSO
berupa tanah setempat atau tanah fdari tempat lain yang tidak mengandung
material tajam. LPSO dipasang pada dasar landfill selama konstruksi awal.
Lapisan pelindung tambahan akan dipasang pada dinding sel selama masa aktif
sel landfill.
2). Pelapisan Penutup Akhir (Final Cover ) bagi landfill Katagori I,II,dan III.
Setelah landfill diisi penuh dengan limbah , landfill harus ditutup dengan pelapis
penutup akhir (PPA) . PPA tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga
mampu :
a. meminimumkan perawatan dimasa yang akan datang setelah landfil ditutup ;
b. meminimumkan infiltrasi air permukaan kedalam landfill dan
c. mencegah lepasnya unsur-unsur limbah dari landfill .
Pelapis penutup akhir landfill limbah B3 mulai dari bawah ke atas terdiri dari :
Tanah penutup perantara (TPP ) ditempatkan diatas limbah ketika tahap akhir
dari penimbunan limbah di landfill limbah B3 telah dicapai . TPP berupa tanah
dengan ketebalan sekurang-kurangnya 15 cm. Lapisan penutup ini harus
berfungsi memberikan dasar yang stabil untuk penempatan dan pemadatan
lapisan diatasnya .
Tudung geomembrane berupa HDPE dengan ketebalan 1mm (40 mil) dan
permeabilitas maksimum 1 x 10-9 m/detik. Tudung geomembran, ini harus
dirancang tahan terhadap semua tekanan selama instalasi, konstruksi lapisan
atas serta saat penutupan landfill.
6. Tumbuh-tumbuhan
Pelapisan tanah untuk tumbuhan (PTT) harus segera ditanami, setelah
konstruksi selesai untuk meminimumkan erosi pada PTT atau sistem penutup.
Tanaman yang digunakan/ditanam adalah tanaman yang membutuhkan
perawatan sederhana, cocok dengan daerah setempat dan tidak mempunyai
potensi merusak lapisan di bawahnya (tanaman rerumputan).
Rancangan bangun landfill limbah B3 secara visual dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2 Penampang Rancang Bangun Landfill Limbah B3.
BAGIAN IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah, terutama
menjelang diterapkannya pasar bebas dan berlakunya ISO 14000. Peraturan-peraturan
tentang masalah ini telah banyak dikeluarkan Pemerintah maupun DPR, tetapi
agaknya di lapangan banyak mengalami hambatan-hambatan. Bahwa penanganan
limbah merupakan suatu keharusan guna terjaganya kesehatan manus dan lingkungan
pada umumnya, sudah tidak diragukan lagi. Namun pengadaan sarana pengolahan
limbah ternyata masih dianggap memberatkan bagi sebagian industri maupun instansi.
Termasuk didalamnya limbah industri yang dirasa mendesak untuk segera ditangani
secara profesional.
Meskipun demikian, tidak semua limbah industri merupakan limbah B-3, tetapi hanya
sebagian saja (sekitar 10%). Di samping itu, limbah B-3 juga berasal dari kegiatan
lain, seperti dari aktivitas pertanian (misalnya penggunaan pestisida), kegiatan energi
(seperti limbah radioaktif PLTN), kegiatan kesehatan (seperti limbah infectious dan
toksik), bahkan juga berasal dari kegiatan rumah tangga (misalnya penggunaan baterai
merkuri dan campuran antara pembersih toilet dengan pemutih cucian yang
menghasilkan gas chlor). Dan pada kenyataannya, sebagian besar limbah B-3 memang
berasal dari kegiatan industri dan harus ditangani secara khusus.
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA