Anda di halaman 1dari 5

Kelima prasyarat ini penting dan niscaya, agar tercapai konsensus bersama di kalangan

komunitas akademik terkait dengan makna baru (a new meaning) jurnal ilmiah bereputasi
yang diajukan.

Mohammad Imam Farisi Selasa, 21 Desember 2021 | 06:40 WIB

Jumlah Jurnal Terindeks Scopus Negara Kawasan ASEAN Tahun 2014-2020

Normal science does not aim at novelties of fact or theory and,


when successful, finds none (Kuhn, 1970: 52).

Filosof Heracletos (540 – 480 SM) pernah mengatakan, “Nothing endures but change”—tidak
ada satupun di dunia ini yang abadi (tidak berubah), kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan itu
mutlak, niscaya. Pernyataan berbeda dinyatakan di dalam Al-Qur’an, “kullu man ‘alaiha fan wa
yabqa wajhu rabbika zul jalali wal ikram”—semua yang ada di bumi senantiasa berubah (fana)
dan yang kekal adalah Tuhanmu yang Maha tinggi dan Maha mulia” (QS. Ar-Rahman:26-27).
Pernyataan Heracletos tentu tak bisa dibandingkan dengan Kalam Ilahi. Keduanya memiliki
konteks dan derajat kebenaran (Truth) yang berbeda. Pernyataan Heracletos memiliki konteks
dan derajat kebenaran ilmiah relatif/nisbi yang diproduksi dan dikonsumsi oleh akal/logika (T4),
sedangkan Kalam Ilahi memiliki konteks dan derajat kebenaran mutlak/pasti yang diproduksi
dan dikonsumsi oleh hati/keyakinan (T1). Namun demikian, keduanya sepakat, bahwa
perubahan (change atau fana) merupakan suatu keniscayaan/mutlak.
Tulisan ini tidak mendialogkan tentang hal tersebut. Paragraf di atas hanya sebagai pengantar
untuk mendiskusikan tentang perubahan konstruksi kebijakan yang kerap terjadi di lingkungan
Kementerian Pendidikan (apapun namanya). Saking kerapnya terjadi perubahan kebijakan,
termasuk perubahan nama kementeriannya, di masyarakat muncul ungkapan “ganti Menteri
ganti kebijakan.”
Pun hal ini terjadi di era Mas Nadiem. Setidaknya, ada dua program pendidikan ubahan yang
menjadi kebijakan pada era kepemimpinannya, yaitu program Merdeka Belajar: Guru Penggerak,
dan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka. Awal tahun 2020 lalu, Mas Nadiem di depan raker
bersama antara Nadiem dengan Komisi X DPR RI (20/2/2020) sepakat atas gagasan “Merdeka
dalam Jurnal Ilmiah (MJI)” dari anggota DPR.

Sebuah Gagasan Antitesis


Inti dari gagasan tentang MJI adalah “dosen/peneliti merdeka atau lepas dari keharusan untuk
mempublikasikan hasil pemikiran atau penelitiannya dalam jurnal ilmiah internasional
bereputasi (Scopus). Keharusan yang oleh beberapa kalangan akademisi diklaim sebagai
“penjajahan dan kapitalisme intelektual” atas kehidupan akademik Indonesia. Nadiem
memandang gagasan MJI tersebut searah dengan kebijakannya tentang Merdeka Belajar yang
dicanangkan tahun 2019 lalu.
Bila dirunut dari waktunya, gagasan MJI ini sudah hampir dua tahun. Tetapi, gaungnya tidak
senyaring Merdeka Belajar: Guru Penggerak, atau Merdeka Belajar: Kampus Merdeka. Apalagi,
Nadiem sendiri tidak menjanjikan policy apapun untuk mendukung gagasan MIJ tersebut. Alih-
alih, Nadiem menyerahkan sepenuhnya hal itu kepada otonomi masing-masing perguruan
tinggi. Tampaknya, perguruan tinggi bergeming. Sehingga, gagasan MJI tidak memiliki dampak
sistemik ke seluruh struktur jaringan institusi pendidikan tinggi. Sivitas akademika yang sejatinya
“diuntungkan” oleh gagasan ini pun tak bereaksi.
Ini berbeda dengan "Merdeka Belajar: Guru Penggerak" yang ditindaklanjuti dengan kebijakan
nyata dalam lima kebijakan terkait Ujian Nasional (UN), Ujian Sekolah Berstandar Nasional
(USBN), Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Penerimaan Peserta Didik
Baru (PPDB) sistem zonasi, dan fleksibilitas pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
(Kemendikbud, 2020a); atau gagasan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka yang ditindaklanjuti
dengan kebijakan nyata dalam beragam bentuk inovasi kegiatan pembelajaran (Kemendikbud,
2020b).
Walaupun tak senyaring dua gagasan sebelumnya, MJI bisa dikatakan sebagai antitesis dari
gagasan dan kebijakan sebelumnya. Kebijakan yang mewajibkan dosen untuk mempublikasikan
hasil pemikiran atau penelitiannya di dalam jurnal ilmiah bereputasi. Di dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan (UU, PP, dan Permen) terkait hal ini, tidak satupun ada
penjelasan atas kata “bereputasi.” Penjelasan ditemukan di dalam Pedoman Operasional
Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen (PO), yaitu PO-2014 dan
PO-2019. Dinyatakan bahwa jurnal ilmiah bereputasi adalah jurnal ilmiah internasional yang
terindeks pada database internasional bereputasi yang diakui oleh Kemristekdikti (sekarang
Kemdikbudristek), serta mempunyai faktor dampak (impact factor) minimal 0,05 WoS (ISI Web
of Science -Clarivate Analytics) atau di atas 0,10 SJR (Scimago Journal Rank – Scopus).
Pemaknaan “bereputasi” di dalam PO tersebut menimbulkan debat hukum, karena dianggap
melangkahi sistem norma hukum hierarkis yang dianut di Indonesia. PO dianggap “telah
memperluas atau menambah norma (norma baru)” yang tidak terdapat dalam norma hukum
yang lebih tinggi dan menjadi dasar hukum pembentukannya (UU, PP, dan/atau Permen).
Terlepas dari kontroversi yang ada, bagaimanapun norma baru tersebut tetap berlaku dan
menjadi syarat penting di dalam praktik pengajuan kenaikan jabatan akademik/pangkat dosen
ke Lektor Kepala atau Guru Besar/Profesor hingga saat ini.

Akhir Rezim SCOPUS?


Pertanyaannya, jika gagasan MJI didukung oleh kebijakan lanjutan seperti dua gagasan lainnya
“apakah akan mengakhiri eksistensi dan kekuasaan rezim Scopus yang telah menjadi acuan
selama kurun waktu tujuh tahun.” Jawabannya, bisa “ya”, bisa “tidak”. Dalam kaitan ini, kita bisa
menggunakan dalil Kuhn terkait dengan paradigma.
Perspektif sosiologi revolusi keilmuan Kuhn mendalilkan, sejauh "paradigma
pengganti/tandingan" belum ada, dan belum disepakati bersama, maka itu bukanlah paradigma.
Selama belum ada paradigma pengganti/tandingan yang menjadi komitmen bersama, maka
selama itu pula tak ada yang namanya ikhtiar dan fakta keilmuan yang sah, diakui dan diyakini
kebenarannya (Kuhn, 1970).

Dari perspektif Kuhnian, tafsir PO-2014 dan PO-2019 bahwa jurnal ilmiah bereputasi adalah
jurnal terindeks Scopus sebagai “the existing paradigm”, dan MJI sebagai “a new candidate for
paradigm.” Untuk menjadi “successor paradigm,” MJI terlebih dahulu harus bertempur dan
memenangkannya. Dalam pertempuran tersebut, MJI harus mampu meyakinkan para
pendukung PO-2014 dan PO-2019 bahwa gagasan tersebut lebih unggul daripada “the
existing paradigm”. Unggul dalam hal penyediaan eksemplar dan model konseptual dan aktual
untuk memecahkan teka-teki atau masalah terkait dengan pelik-pelik, anomali, bahkan krisis
dalam publikasi jurnal ilmiah bereputasi.

Pada titik ini, gagasan MJI masih sangat prematur untuk menjadi “a new candidate for paradigm,”
apalagi “successor paradigm.” Selain belum ada rumusan kebijakan yang substantif terkait MJI,
kendala dan masalah publikasi jurnal ilmiah bereputasi belum sampai tahapan anomali, apalagi
krisis. Publikasi jurnal ilmiah bereputasi memang ada kendala dan memberikan tantangan
tersendiri bagi dosen/peneliti. Namun, tidak ada akumulasi masalah yang mengindikasikan ke
arah terjadinya anomali, apalagi krisis publikasi. Bahkan, semenjak diberlakukan berbagai
regulasi publikasi ke jurnal ilmiah bereputasi, telah terjadi banyak perubahan peningkatan
kinerja dan produktivitas publikasi dosen maupun peneliti Indonesia.

Data dari https://www.scimagojr.com/ menunjukkan adanya peningkatan eksponensial jumlah


publikasi jurnal internasional bereputasi yang terindeks di Scopus dalam rentang waktu tahun
2014—2020. Peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2016 atau dua tahun setelah
pemberlakuan PO-2014, yang mencapai 83.8%. Data SJR juga menunjukkan pada tahun 2020
Indonesia berada pada ranking ke-5 di Kawasan Asia, di bawah China, India, Jepang, dan Korea
Utara, dengan 50.145 publikasi. Ranking ini naik dibandingkan pada tahun 2014 yang berada
pada ranking ke-11, di bawah Malaysia (R-6), Singapura (R-7), dan Thailand (R-9) dengan
hanya 6.910 publikasi.

Berdasarkan data ini, bisa dipastikan bahwa era rezim Scopus belum akan berakhir dalam waktu
yang juga belum bisa diprediksi. Tapi pasti, tidak dalam waktu dekat. Alih-alih, persyaratan
tampaknya akan semakin selektif dan dinaikkan. Gagasan MJI secara substantif memang
menawarkan kemerdekaan dan otonomi yang lebih terbuka kepada dosen/peneliti dalam
berpublikasi. Sebuah fitrah paling asasi dari eksistensi manusia, yang memungkinkan lahir
kreativitas dan perubahan. Tetapi, karena secara substantif dan sintaktik gagasan MJI belum
berwujud, ia belum bisa menjadi kandidat paradigma lama yang dikonstruksi di dalam PO-2014
& PO-2019.

SINTA: Menyiapkan Paradigma Tandingan

Science and Technology Index (SINTA), sebuah institusi pengindeksan kinerja peneliti, penulis,
author, kinerja jurnal, dan kinerja institusi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah
dikembangkan oleh Kemdikbudristek (sebelumnya Kemenristekdikti//BRIN) sejak 2017
diproyeksi akan menjadi “a new candidate for paradigm,” dan bahkan “successor paradigm”
Scopus, WoS, dan sejenisnya. Dalam sistem pengindeksan SINTA, kualitas jurnal terbitan
nasional dikategorisasikan menjadi SINTA-1 (S1) sampai SINTA-6 (S6). Kemenristekdikti//BRIN
mengklaim bahwa SINTA dikembangkan sebagai portal pengindeks global (Internasional)
seperti Scopus. Karenanya, SINTA kerap disebut sebagai Scopus ala Kemenristekdikti//BRIN.
Jurnal yang akan masuk ke SINTA juga harus sudah lolos akreditasi jurnal nasional melalui
portal ARJUNA (Akreditasi Jurnal Nasional) dengan alamat url: http://arjuna.ristekdikti.go.id/

Komunitas akademik tentu sangat berharap, SINTA bisa menjadi perwujudan dari gagasan MJI.
Namun demikian, SINTA masih harus running untuk bisa menjadi “successor paradigm” yang
bersetara dengan Scopus atau ISI Web of Science. Apalagi, hingga saat ini SINTA masih berusia
kurang dari lima tahun (balita). Artinya, perjuangan SINTA di arena tarung akademik masih
cukup panjang. Peluang masih terbuka luas, dan tentu saja dukungan seluruh dosen dan tenaga
peneliti Indonesia sangat diperlukan untuk pada akhirnya mencapai konsensus bersama atas
paradigma baru “apa itu jurnal ilmiah bereputasi”.

Dari persepektif teori difusi inovasi (Rogers, 1983) atau teori perubahan pendidikan (Fullan,
2007) pun, MJI melalui SINTA sebagai gagasan inovatif yang akan didifusikan kepada
lingkungan komunitas dosen dan peneliti Indonesia, harus memiliki atribut-atribut sebuah
inovasi, yaitu keunggulan relatif, kesesuaian, kompleksitas, keterujian, dan keteramatan. Kelima
prasyarat ini penting dan niscaya, agar tercapai konsensus bersama di kalangan komunitas
akademik terkait dengan makna baru (a new meaning) jurnal ilmiah bereputasi yang diajukan.
Jika tidak prasyarat ini tidak terpenuhi, mustahil MJI menjadi “successor paradigm.”

Apalagi, lazimnya dalam komunitas apapun, niscaya ada kelompok-kelompok penganut kekal
(enduring group) paradigma lama. Rogers menamakan mereka sebagai kelompok skeptis dan
tradisional. Kelompok mereka sangat sulit dan lambat untuk menerima gagasan baru,
betapapun inovatifnya, bahkan tak jarang mereka menolak sama sekali. Membangun
kepercayaan mereka atas atribut-atribut inovasi yang terdapat di dalam gagasan MJI dan SINTA
juga merupakan keniscayaan yang harus dipertarungkan.

Wallahu ‘alam.

Tangsel, 16 Desember 2021


_________________________
Penulis adalah Dosen prodi Pendidikan IPS FKIP, dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Universitas Terbuka (LPPM-UT).

Anda mungkin juga menyukai