SEJARAH INDONESIA
Tindak lanjut dari pembicaraan tersebut adalah dengan diadakannya Konferensi Panca
Negara di Kota Bogor. Konferensi ini menghasilkan beberapa keputusan, yaitu:
Pada tanggal 3 Januari 1955 di Bandung, dibentuklah sebuah panitia yang diketuai oleh
Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat. Dari 25 negara yang diundang, Federasi Afrika
Tengah menolak untuk hadir karena masih diserang oleh penjajah.
Konferensi Asia-Afrika di Bandung berlangsung pada tanggal 18–24 April 1955 dan dihadiri
oleh 29 negara termasuk 5 negara sponsor KAA di dalamnya. Agenda dalam Konferensi ini
antara lain membicarakan kerja sama ekonomi, budaya, hak asasi manusia dan hak
menentukan nasib sendiri, masalah bangsa-bangsa yang belum merdeka, perdamaian dunia
dan kerjasama internasional, dan deklarasi tentang memajukan perdamaian dunia.
Konferensi ini menghasilkan Basic Paper on Racial Discrimination, Basic Paper on Radio
Activity dan Declaration on the Promotion of World Peace and Co-operation. Dokumen
Declaration on the Promotion of World Peace and Co-operation inilah yang kemudian
dikenal sebagai Dasasila Bandung.
2. MISI GARUDA
Pasukan ini terdiri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan POLRI yang ditugaskan sebagai
pasukan perdamaian di negara lain. Ide awal munculnya pasukan ini karena adanya konflik
di Timur Tengah pada 26 Juli 1956.
Saat itu, Inggris, Prancis, dan Israel melancarkan serangan gabungan terhadap Mesir
sehingga menimbulkan perdebatan di antara negara-negara lainnya. Dalam Sidang Umum
PBB, Menteri Luar Negeri Kanada, Lester B. Pearson, mengusulkan agar dibentuk pemelihara
perdamaian di Timur Tengah. Usul ini disetujui dan pada tanggal 5 November 1956,
Sekretaris Jenderal PBB membentuk United Nations Emergency Forces (UNEF).
3. Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda dicetuskan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja pada tanggal 13
Desember 1957. Deklarasi ini dilatarbelakangi oleh tuntutan pimpinan Departemen Pertahanan
Keamanan RI tahun 1956, yang merasa hukum laut Indonesia saat itu tidak menguntungkan
kepentingan wilayah Indonesia. Hukum laut Indonesia saat itu berdasarkan Zee En Maritieme
Kringen Ordonantie (Ordonansi Laut dan Daerah Maritim) tahun 1939 dari Belanda. Kebijakan
tersebut dapat membuat kapal-kapal asing masuk ke wilayah Indonesia dan mengambil sumber
dayanya.
Akhirnya, melalui Deklarasi Djuanda dinyatakan bahwa laut teritorial Indonesia berjarak 12 mil laut
diukur dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik terluar dari pulau terluar. Deklarasi Djuanda
kemudian dikukuhkan melalui UU No.4/PRP Tahun 1960 dan melahirkan konsep “Wawasan
Nusantara”. Agar diakui oleh negara lain, deklarasi ini juga diperjuangkan dalam forum
internasional melalui Konvensi Hukum Laut atau lebih dikenal dengan UNCLOS (United Nations
Convention On The Law of The Sea) yang diadakan oleh PBB.
Deklarasi Djuanda baru dapat diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam
Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada 1982. Berdasarkan
hasil konvensi tersebut, Indonesia diakui sebagai negara dengan asas Negara Kepulauan.
Setelah diperjuangkan sekitar 25 tahun, akhirnya pada 16 November 1994 dengan
persetujuan dari 60 negara, hukum laut Indonesia telah diakui oleh dunia internasional.
Indonesia harus berterimakasih kepada Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr.
Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai konferensi tentang hukum laut yang
dilaksanakan PBB dari tahun 1970-an hingga tahun 1990-an. Berkat mereka, kedaulatan
wilayah laut Indonesia bisa diakui internasional.
Dalam KTT di Beograd inilah, didirikan GNB, yang diprakarsai oleh lima negara, yaitu:
Indonesia, India, Yugoslavia, Ghana, dan Mesir. Beberapa tujuan dari pembentukan
Gerakan Non-Blok antara lain:
Tujuan dari GNB juga tercantum dalam Deklarasi Havana tahun 1979, yaitu untuk menjamin
kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara non-blok
dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, apartheid, zionisme,
rasisme dan segala bentuk intervensi.
Selain sebagai negara pelopor berdirinya GNB, Indonesia memiliki peran yang cukup besar
dalam organisasi tersebut, di antaranya:
1. Sebagai salah satu negara penggagas KAA yang merupakan cikal bakal digagasnya
Gerakan Non-Blok.
2. Sebagai salah satu negara pengundang pada KTT GNB yang pertama. Hal ini karena
Indonesia merupakan salah satu pendiri GNB dan berperan besar dalam mengundang atau
mengajak negara lain untuk bergabung dalam KTT.
3. Menjadi ketua dan penyelenggara KTT GNB X yang berlangsung pada 1-7 September
1992 di Jakarta dan Bogor. Indonesia turut pula menjadi perintis dibukanya kembali dialog
utara-selatan, yaitu dialog untuk memperkuat hubungan antara negara berkembang
(selatan) dan negara maju (utara).
Hingga 2016, KTT GNB telah diadakan sebanyak 17 kali dan pada 2012, telah memiliki 120
negara anggota.
5. ASEAN
Indonesia sebagai bagian dari Asia Tenggara khususnya dan dunia umumnya, menyadari
pentingnya hubungan kerja sama dengan negara-negara lain di berbagai belahan bumi. Hal
ini sesuai dengan yang tertuang dalam tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Indonesia banyak berperan aktif dalam berbagai
organisasi internasional, terutama di kawasan Asia Tenggara. Selain itu Indonesia juga
menjalin kerja sama bilateral dengan beberapa negara secara khusus. Dalam menjalin
hubungan internasional ini, Indonesia menggunakan politik luar negeri yang bebas aktif.
Bebas artinya bangsa Indonesia bebas menentukan sikap yang berkaitan dengan dunia
internasional. Aktif artinya Indonesia berperan serta secara aktif dalam memperjuangkan
terciptanya perdamaian dunia dan berpartisipasi dalam mengatasi ketegangan
internasional.
Indonesia adalah negara terbesar di AsiaTenggara, dan memegang peranan penting dalam
hal keamanan dan stabilitas di Asia Tenggara. Indonesia mempunyai peranan besar dalam
membentuk kesepakatan untuk stabilitas regional dan perdamaian. Misalnya, Indonesia
telah mengambil peran utama dalam membantu proses pemulihan kembali demokrasi di
Kamboja. Selain itu Indonesia menjadi perantara dalam proses pemisahan diri muslim di
Filipina Selatan. Indonesia sangat berperan aktif dalam organisasi ASEAN. Sebagai sesama
negara dalam satu kawasan, satu ras, satu rumpun, hubungan negara-negara di
AsiaTenggara seperti layaknya kakak beradik. Menyadari akan hal itu, maka Indonesia
menjadi salah satu negara pemrakarsa berdirinya ASEAN. Peran Indonesia dalam ASEAN
hingga saat ini tidak pernah surut. Bahkan, ASEAN menjadi prioritas utama dalam politik
luar negeri Indonesia. Indonesia selalu aktif berpartisipasi dalam setiap penyelenggaraan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) atau pertemuan-pertemuan ASEAN. Indonesia sering
menjadi tuan rumah dalam acara-acara penting ASEAN. Di antaranya adalah sebagai
berikut.
1. Memperkuat solidaritas, kerja sama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, dan teknologi antar negara anggota, serta perjuangan umat Islam untuk
melindungi kehormatan kemerdekaan dan hak-haknya.
2. Melakukan aksi bersama untuk melindungi tempat-tempat suci umat Islam, serta memberi
semangat dan dukungan kepada rakyat Palestina dalam memperjuangan hak dan kebebasan
mendiami daerahnya.
3. Bekerja sama untuk menentang diskriminasi rasial dan segala bentuk penjajahan serta
menciptakan suasana yang menguntungkan serta saling pengertian antar negara anggota
dan negara-negara lain.
1. Memfasilitasi upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina (GRP) dengan Moro
National Liberation Front (MNLF) dengan mengacu kepada Final Peace Agremeent/
Perjanjian Damai, 1996.
2. Indonesia memberi dukungan bagi berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat
dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Dukungan dilanjutkan dengan pembukaan
hubungan diplomatik antara pemerintah RI dan Palestina pada tanggal 19 Oktober 1989.
3. Indonesia juga aktif dalam memperkenalkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi
perdamaian dan toleransi.
JIM telah dilaksanakan sebanyak tiga kali di antara tahun 1988-1990. Pada JIM I,
Pemerintahan Koalisi Demokratik Kamboja mengusulkan tiga tahap rencana penyelesaian
Perang Indocina 3. Tiga usul tersebut adalah melakukan gencatan senjata antara kedua
belah pihak, diturunkannya pasukan penjaga perdamaian PBB untuk mengawasi penarikan
pasukan Vietnam dari Kamboja, dan penggabungan semua kelompok bersenjata Kamboja
ke dalam satu kesatuan. Usulan tersebut disetujui dan akan kembali dibahas dalam Jakarta
Informal Meeting kedua.
Pada JIM II, Australia juga turut serta. Melalui perdana menterinya, Gareth Evans, Australia
mengusulkan rancangan Cambodia Peace Plan yang berisi:
1. Mendorong upaya gencatan senjata;
2. Menurunkan pasukan penjaga perdamaian PBB di wilayah yang konflik;
3. Mendorong pembentukan pemerintah persatuan nasional untuk menjaga kedaulatan
Kamboja sampai pemilihan umum diadakan.
Pertemuan terakhir JIM (JIM III) membahas tentang pengaturan pembagian kekuasaan di
antara pihak Pemerintahan Koalisi Demokratik Kamboja dengan Republik Rakyat Kamboja
dengan membentuk pemerintah persatuan yang dikenal dengan nama Supreme National
Council (SNC).