ETIKA KEDOKTERAN
Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos, yang berarti kebiasaan, adat, atau ahlak.
Etika merupakan studi tentang nilai nilai, tentang bagaimana kita sebaiknya berperilaku,
berdasarkan pertimbangan baik-buruk atau benar-salah. Etika merupakan salah satu cabang
filsafat, yang berarti sebagai produk akal budi manusia.
Etika, sebagai pedoman berperilaku, semestinya menjadi sifat dasar bagi setiap dokter ,
sebagaimana ditunjukkan di dalam Mukadimah KODEKI yaitu sebagai berikut sifat
ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas
ilmiah dan sosial, serta kesejawatan yang tak diragukan
Selanjutnya perlu ditinjau hubungan etika dan hukum. Ke dua norma ini mempunyai
kaitan yang erat dan saling melengkapi dalam arti saling menunjang tercapainya tujuan
masing masing. Norma hukum dibuat secara resmi oleh negara, sehingga dapat dipaksaakan
berlakunya pada masyarakat, sehingga dapat terwujud masyarakat yang tertib dan damai.
Jika etika dikatakan sebagai nilai nilai perilaku, sehingga memerlukan tuntunan jika terjadi
pelanggaran. Maka hukum merupakan nilai nilai masyarakat, sehingga dapat menimbulkan
tuntutan jika terjadi pelanggaran.
a. Otonomi
Kedokteran barat dengan tradisi Hipokratesnya pada awalnya ditandai oleh paternalisme
kuat. Gagasan paternalisme mulai berubah dengan hadirnya prinsip otonomi dalam
hubungan dokter-pasien
Otonomi berasal dari bahasa Yunani autos (self atau diri sendiri) dan nomos (rule /
governance atau aturan) yang berarti self rule. Dalam praktek kedokteran, otonomi
mengandung arti mengatur diri sendiri yaitu bebas dari kontrol oleh pihak lain dan dari
pembatasan pribadi. Menghormati otonomi pasien berarti mngakui hak individu. Otonomi
memberikan dasar moral yang kuat bagi informed consent.
Menghormati otonomi pasien, seperti semua prinsip etika, tak dapat dianggap absolut dan
pada suatu saat mungkin terjadi konflik dengan prinsip lain atau pertimbangan moral
lain.
Sebagai contoh prinsip ini adalah seorang ibu yang meminta dilakukan seksio cesarea
(SC). Permintaan SC adalah hak pasien, namun dokter harus mendiskusikannya
mengenai alasan khusus, risiko dan manfaatnya. Jika pasien takut melahirkan, dokter
perlu melakukan konseling 3,4.
c. Justice
Justice (keadilan) adalah prinsip yang paling belakangan diterima. Ini adalah prinsip
etik paling komplek karena tidak hanya kewajiban dokter untuk memberikan yang
terbaik, tapi juga peran dokter dalam mengalokasikan sumber daya medis yang terbatas.
Prinsip ini memperlakukan orang orang dalam situasi yang sama dengan penekanan
kebutuhan, bukannya kekayaan dan kedudukan sosial. Penentuan kriteria dimana
pertimbangan adalah berdasarkan suatu keputusan moral dan sangat kompleks
menyebabkan kontroversi etik.
Sebagai contoh seorang pasien dengan HPP ( Hemorragic post partum ) masif dan syok
kemudian membutuhkan perawatan di ICU, pada saat yang sama pasien lain datang
dengan Korio karsinoma. Prioritas harus diberikan pada pasien pertama 3 .
Rahasia Jabatan
Rahasia jabatan adalah komponen yang paling dulu dari kode etik kedokteran. Ini adalah
berdasarkan prinsip otonomi pasien, yang mencakup hak privasi pasien dari tanggung jawab
dokter untuk menghormatinya. Jaminan rahasia jabatan memberikan kesempatan bagi pasien
untuk memberikan informasi yang akurat.
Namun demikian, terdapat perkecualian hukum terhadap rahasia jabatan ini, seperti
keharusan melaporkan pengidap sexually transmetted disease tertentu atau suspected child
abuse. Kebutuhan untuk menyimpan informasi medis pasien adalah ancaman serius bagi
rahasia jabatan, dengan adanya penggunaan penyimpanan data elektronik. Peningkatan
penggunaan test genetik juga menekankan kebutuhan rahasia jabatan dan privasi pasien,
karena informasi genetik mempunyai implikasi jangka panjang bagi pasien dan keluarganya.
Dokter ahli obstetri dan ginekologi menghadapi konflik isu-isu rahasia jabatan
mengenai pasien masa remaja, khususnya mengenai diagnosis dan terapi sexually transmitted
disease, konseling kontrasepsi dan kehamilan.1 Keinginan dokter dan kemampuan menjaga
rahasia jabatan sebaiknya didiskusikan dengan semua pasien remaja pada awal pertemuan.
Banyak hukum negara yang melindungi rahasia bagi pasien remaja, dan dokter ahli obstetri
dan ginekologi harus waspada.
Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan terjadi hampir setiap hari pada praktek dokter ahli obstetri dan
ginekologi. Hal ini terjadi ketika kepentingan primer (biasanya keadaan pasien) mengadakan
konflik dengan kepentingan sekunder (seperti kepentingan keuangan dokter). Beberapa
konflik tersebut sangat nyata ketika dokter menganggap perlu banyak test diagnostik bagi
pasien atau ketika dokter merekomendasikan suatu produk ke pasien yang dijual demi
keuntungan. Beberapa konflik kepentingan terlihat halus dengan adanya sponsor dari
perusahaan obat dan alat bantu diagnostik.
KESIMPULAN
Dokter ahli obstetri dan ginekologi yang mengenal konsep etika kedokteran akan lebih
mampu dalam menghadapi situasi etika yang komplek. Mereka akan mengerti bahwa tujuan
dan nilai-nilai pribadi pasien mempengaruhi pilihan mereka dan oleh karena itu
mempengaruhi keputusan klinik. Dengan menggunakan prinsip-prinsip etika dan
alternatifnya, mereka akan meningkatkan kemampuan mereka dalam pengambilan keputusan
klinik yang menghormati nilai-nilai dan kepentingan pasien.
Daftar Pustaka
1. Ethical decision making in obstetrics and gynecology. American college of obstetrician
and gynecologist. 2004.p 3 – 8
2. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia.Yayasan BP Sarwono Prawiroharjo, Jakarta, 2001.
Hal 6 – 7.
3. Affandi B. Ethical decision making in obstetrics and gynecology. Indonesian of
obstetrics and gynecology. Munas PAOGI III. 2004.
4. Pedoman etik obstetri dan ginekologi. PB POGI. 2003
5. Asch A. Prenatal diagnosis and selective abortion. Am J Public Health 1999;89:1649 –
57
6. Parens E. Disabilities right critique of prenatal genetic testing. Hasting Cent Rep 1999;
29: S1 – S22
7. Wiradharma D. Etika Profesi Medis. Penerbit Universitas Trisakti. 2001
8. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran
Indonesia. MKEK. IDI. 2002
9. Pellegrino ED. The metamorphoses of medical ethics. A 30-year retrospective. JAMA
1993; 269: 1158 – 62
10. Merkatz RB, Temple R,. Women in clinical trials of new drugs. A change in FDA policy.
N Engl J Med 1993; 329: 292 – 6.
11. Gender disparities in clinical decision making. Counsel on Ethical and Judicia affairs,
JAMA 1991; 266:559 – 62
12. Setiawan TH, Maramis WF. Etik kedokteran. Pedoman dalam mengambil keputusan.
Airlangga University Press; 1990.
13. Principle of biomedical ethics. Erlanger medical ethics orientation manual, 2000.