Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kondisi Umum Kabupaten Blora


Wilayah Kabupaten Blora secara administratif terletak di wilayah paling
ujung (bersama Kabupaten Rembang) disisi timur Provinsi Jawa Tengah dengan
ketinggian 96 – 280 mdpl (meter di atas permukaan laut). Wilayah Kecamatan
terluas terdapat di Kecamatan Randublatung dengan luas 211,13 km 2. Penggunaan
arealnya adalah sebagai hutan, tanah sawah, perkebunan rakyat, waduk, tegalan,
dan pekarangan. Perbatasan utara Kabupaten Blora adalah Kabupaten Rembang
dan Kabupaten Pati, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tuban dan
Kabupaten Bojonegoro, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Ngawi, dan
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Grobogan. Bagian utara merupakan
kawasan perbukitan, bagian dari rangkaian Pegunungan Kapur Utara. Bagian
selatan berupa perbukitan kapur yang merupakan bagian dari Pegunungan
Kendeng, yang membentang dari timur Semarang hingga Lamongan (Jawa
Timur). Kabupaten Blora terdiri dari 16 kecamatan, pusat pemerintahan berada di
Kecamatan Blora.
(http://www.blorakab.go.id/index.php/ct-menu-item-4/ct-menu-item-8, diakses pada 28 Oktober
2016 jam 20.00 WIB)

2.2. Geologi Regional Kabupaten Blora


Kabupaten Blora sudah sejak lama dikenal sebagai daerah tambang minyak
bumi yang dieksploitasi sejak era Hindia Belanda. Secara fisiografis Kabupaten
Blora tersusun dari daerah morfologi dataran rendan dan perbukitan dengan
ketinggian 20 – 280 mdpl. Bagian utara merupakan kawasan perbukitan, dari
rangkaian Zona Rembang (Pegunungan Kapur Utara). Di bagian selatan juga
berupa perbukitan kapur yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng,
membentang dari timur Semarang hingga Lamongan. Rangkaian pegunungan ini
tersusun atas sedimen laut dalam yang terlipatkan dan tersesarkan secara intensif
membentuk suatu antiklinorium. Kedua pegunungan tersebut terpisahkan oleh
suatu depresi yang disebut sebagai Zona Depresi Randublatung. Zona
Randublatung merupakan suatu depresi yang terbentuk akibat adanya tektonik
diantara Zona Kendeng dan Zona Rembang pada Pleistosen dengan litologi
berupa lempung dan lanau. Sedangkan Zona Rembang sendiri merupakan suatu
antiklinorium dengan kecenderungan mengarah dari barat ke timur.
Zona Kendeng pada Miosen Awal merupakan zona tektonik aktif dan
dalam, Zona Kendeng masuk dalam Cekungan Jawa Timur. Cekungan ini
mengalami gaya ekstensi pada Paleosen dan menghasilkan banyak sesar turun
sehingga terbentuk morfologi perbukitan dan morfologi dataran rendah. Pada
Neosen, cekungan ini mengalami gaya kompresi sehingga terjadilah reaktivitasi
sesar turun menjadi sesar – sesar naik dan lipatan – lipatan yang pada akhirnya
menjadi antiklinorium.litologi atau lapisan batuan/tanah yang terdapat pada zona
ini terdiri dari jenis batuan sedimen yang bersifat silisiklastik, karbonat
(batugamping), batulempung, dan napal laut dalam, serta jenis sedimen asal
daratan yang berupa endapan aluvial.

Gambar 2.1.Zona Depresi Randublatung dan Zona Kendeng

2.2.1. Stratigrafi Regional


Menurut Salahuddin dkk Zona randublatung sebagai zona depresi umumnya
mengacu pada zona perbukitan atau pegunungan di dekatnya. Stratigrafi Zona
Randublatung didekati dari stratigrafi Zona Rembang. Adapun stratigrafi Zona
Rembang mengikuti skema yang disusun oleh Pringgoprawiro (1983).
Berdasarkan data bawah permukaan dari eksplorasi hidrokarbon di kawasan ini,
satuan stratigrafi tertua di atas batuan dasar adalah Formasi Ngimbang, namun
formasi ini tidak tersingkap di permukaan.
1. Formasi Kujung
Satuan stratigrafi tertua yang tersingkap, terutama tersusun oleh
batulempung dengan sisipan batugamping dan batupasir, terutama di
bagian bawah. Batugamping di bagian bawah ini sering disebut
sebagai batugamping Kranji. Formasi ini diendapkan di lingkungan
paparan tengah hingga paparan luar.
2. Formasi Prupuh
Lokasi tipe ini terletak di Desa Prupuh, dengan stratotipe berupa
batugamping bioklastik berlapis tebal, keras, kaya akan fosil Orbitoid,
yang berlapis dengan batugamping kapuran. Umur formasi Prupuh
adalah N3-N5 (oligosen atas hingga miosen bawah). Lingkungan
sedimentasinya adalah neritik luar pada laut terbuka, dengan indikasi
adanya gerakan massa gravitasi lereng dasar laut. Formasi ini selaras
terhadap Formasi Kujung di bawahnya, juga terdapat Formasi Tuban
yang ada di atasnya.
3. Formasi Tuban
Terdiri atas perlapisan batulempung yang bersifat monoton dengan
beberapa sisipan batugamping. Formasi ini secara umum tersusun oleh
klastika karbonat dalam bentuk packstone-wackstone, yang
mengandung fosil foraminifera besar disertai dengan fragmen koral
dan algae. Umur formasi Tuban ini pada Miosen Awal dengan
lingkungan pengendapannya pada laut dalam.
4. Formasi Tawun
Formasi ini tersusun oleh perselingan antara batulempung pasiran
dengan batupasir dan batugamping yang kaya akan foraminifera
golongan orbitoid. Batulempung pasiran berwarna abu-abu hingga
abu-abu kecoklatan, semakin ke atas cenderung berubah menjadi
batulanau dengan konkresi oksida besi. Batupasirnya biasanya cukup
keras berwarna kemerahan, sebagian bersifat gampingan dan sebagian
tidak. Batugamping pada formasi ini memiliki ketebalan mencapai 30
meter. Diendapkan pada Awal hingga Miosen Tengah, pada
lingkungan paparan yang cukup dalam (outershelf) dari suatu laut
terbuka.
5. Formasi Ngrayong
Satuan stratigrafi ini kadang berstatus sebagai anggota pada Formasi
Tawun. Bagian bawah yang tersusun oleh batugamping orbitoid dan
batulempung, sedangkan bagian atas tersusun oleh batupasir sisipan
batugamping orbitoid. Formasi Ngrayong ini pada awalnya
diendapkan pada dataran pasang-surut (intertidal area) yang
kemudian mengalami transgresi menjadi gosong lepas pantai (offshore
bar) yang tercirikan oleh batupasir merah, yang selanjutnya semakin
mendalam menjadi lingkungan paparan tengah hingga paparan luar
(middel to outer shelf) yang menghasilkan batugamping yang kaya
akan Cycloclypeus. Batupasir Ngrayong merupakan reservoir utama
pada lapangan-lapangan minyak di daerah sekitar Cepu, dengan
ketebalan rata-rata mencapai 300 meter tetapi menipis ke arah selatan
dan juga ke arah timur karena terjadi perubahan fasies menjadi
batulempung.
6. Formasi Bulu
Formasi yang terletak di atas batupasir Ngrayong, penyebarannya di
Antiklinorium Rembang Utara dengan tersusun oleh kalkarenit
berlempeng sisipan napal pasiran. Ketebalan Formasi Bulu di bagian
timur hanya 80 meter dan ke arah barat ketebalannya mencapai 300
meter. Formasi Bulu ini diendapkan pada kala Miosen Tengah pada
lingkungan laut dangkal yang berhubungan dengan laut terbuka.
7. Formasi Wonocolo
Formasi yang tersusun oleh napal dan batulempung tidak berlapis.
Bagian bawah tersusun oleh batugamping pasiran dan batupasir
gampingan yang secara umum menunjukkan gejala pengendapan
transgresif. Total ketebalan dari formasi ini sekitar 500 meter,
menunjukkan peningkatan ketebalan ke arah selatan. Pengendapan
terjadi pada Miosen Tengah – Miosen Atas pada lingkungan paparan
luar.
8. Formasi Ledok
Lokasi Formasi Ledok yang terletak 10 km di utara Kota Cepu.
Penyusun utamanya terdiri dari perselingan antara batupasir dan
glaukonitik dengan kalkarenit yang berlempeng-lempeng, dengan
beberapa sisipan napal. Ketebalan Formasi Ledok secara keseluruhan
mencapai 230 meter di lokasi tipenya. Formasi Ledok ini berangsur-
angsur berubah menjadi Formasi Paciran ke arah utara.
9. Formasi Mundu
Formasi ini tersusun oleh napal masif dengan kandungan foraminifera
planktonik dan kandungan glaukonit. Pada beberapa tempat bagian
atas formasi ini berangsur berubah menjadi batugamping pasiran.
Formasi Mundu ini cenderung bertambah ke arah selatan hingga
mencapai 700 meter. Terbentuk sebagai hasil pengendapan laut dalam
yang terjadi pada masa N17 – N20 (Miosen Akhir – Pleiosen).
10. Formasi Selorejo
Formasi ini tersusun oleh perselangan antara foraminifera grainstone /
pack stone yang sebagian bersifat glaukonit dengan batugamping
napalan hingga batugamping pasiran. Ketebalan yang mencapai 100
meter di daerah Selorejo, terkadang dianggap sebagai anggota dari
Formasi Mundu. Formasi Selorejo ini merupakan reservoir gas yang
terdapat tepat di bawah kota Cepu (Balun reservoir). Lingkungan
sedimentasi terjadi di laut dalam, dipengaruhi oleh mekanisme arus
turbid dengan penampian oleh arus dasar yang membuat pemilahan
test foraminifera teronggok dengan tanpa matriks dalam bentuk
grainstone dan packstone.
11. Formasi Lidah
Formasi yang tersusun oleh batulempung dan napal berlapis yang
diselingi oleh batupasir. Pada bagian bawah masih merupakan
endapan laut, tercirikan oleh kandungan Pseudorotalia sp. Dan
Asterorotalia sp. yang melimpah. Formasi ini terendapkan di dasar
laut pada paparan tengah hingga paparan luar. Di atas satuan ini
batuannya menunjukkan produk pengendapan dari lingkungan yang
semakin mendangkal, dan bagian teratas berupa lempung hasil
pengendapan air tawar.
12. Formasi Paciran
Formasi yang tersusun oleh batugamping masif, umumnya merupakan
batugamping terumbu. Gejala permukaan menunjukkan bahwa batuan
penyusunnya telah berubah menjadi kapur. Formasi Paciran ini
tersebar terutama di bagian utara dari Zona Rembang, dengan masa
pembentuka dari Pliosen hingga Awal Pliosen.
Gambar 2.2. Kolom Stratigrafi Komposit Jawa Timur (Salahuddin dkk, 2016)

2.3. Hidrogeologi
Hidrogeologi merupakan ilmu perpaduan antara ilmu geologi dengan ilmu
hidrolika. Gabungan dua kata antara hidro dan geologi menujukkan secara
implisit merupakan pengertian dari geologi dan air, atau merupakan suatu studi
tentang interaksi antara kerangka sistem batuan atau dengan air tanah. Dari sudut
pandang hidrolika maka istilah gerakan aliran dalam tanah dikenal dengan
hidrolika dalam media poros, karena air tanah mengalir di antara sela – sela
butiran tanah yang sekaligus sebagai media (Kodoatie, 1996).
Menurut Toth dalam Kodoatie (1996) peran tentang ilmu hidrogeologi
bermanfaat bagi manusia, karena memiliki 3 aspek kegunaannya yaitu aspek
sebagai salah satu sumber alam yang dimanfaatkan untuk berbagai macam
keperluan bagi umat manusia, sebagai aspek bagian dari hidrogeologi di dalam
tanah yang mempengaruhi keseimbangan siklus hidrologi global, dan aspek
sebagai anggota/agen dari geologi. Menurut Rajaratnam dalam Kodoatie bahwa
gerakan aliran dalam tanah hampir selalu mengikuti prinsip gerakan aliran
laminer.
2.3.1. Siklus Hidrologi
Air di lautan menguap sebagai akibat penyinaran surya dan awan uap air
bergerak melewati daratan. Pencurahan terjadi sebagai salju, butiran es, dan hujan
di atas daratan, dan air mulai mengalir kembali ke laut. Salju dan es di daratan
adalah air dalam simpanan sementara. Hujan yang tercurah di permukaan daratan
mungkin tercegat oleh tetumbuhan dan menguap kembali ke udara. Ada yang
meresap ke dalam tanah dan bergerak ke bawah atau menelus masuk ke dalam
jalur tanah di bawah yang jenuh, di bawah muka air tanah. Air dalam jalur
mengalir perlahan melalui akuifer atau lapisan pembawa air ke alur sungai atau
langsung ke laut. Air yang tertinggal di permukaan ada sebagian yang menguap
kembali menjadi uap, sebagian bergabung ke dalam anak air dan melimpas
sebagai larian atau limpasan ke permukaan alur sungai. Permukaan sungai dan
danau menguap, akhirnya air yang tersisa yang tidak menguap tiba kembali di laut
ewat alur sungai. Air tanah bergerak lebih perlahan, mungkin akan mncul kembali
ke dalam alur air atau sungai di dekat garis pantai dan merembas ke dalam laut
dan seluruh daur pun berulang lagi (Wilson, 1993).
Gambar 2.3. Siklus Hidrologi (Sumber: Wilson, 1993)

2.3.2. Air Tanah


Menurut Wilson (1993) curah hujan yang masuk ke dalam tanah dan
meresap ke lapisan yang dibawahnya disebut air tanah. Jumlah air yang dapat
tertampung di bawah permukaan bergantung pada kesarangan lapisan di bawah
tanah. Lapisan pembawa air disebut dengan akuifer, terdiri dari bahan lepas
seperti pasir dan kerikil atau bahan yang mengeras seperti batupasir dan
batugamping. Air di dalam pori akuifer terpengaruh oleh gaya gravitasi sehingga
cenderung untuk mengalir ke bawah melalui pori tersebut. Dengan menelusnya air
ke bawah, jenuhlah pehantar tersebut. Permukaan yang jenuh disebut muka air
tanah. Air dalam pehantar umumnya bergerak perlahan-lahan menuju ke
permukaan air bebas yang terdekat seperti danau, sungai, atau laut. Tetapi jika ada
suatu lapisan yang kedap yang mengalasi sebuah pehantar dan lapisan itu
tersingkap di permukaan, maka air tanah dapat muncul di permukaan pada jalur
rembesan atau sebagai mata air. Lapisan pembawa air untuk tertindih oleh bahan
kedap dan dengan demikian ada dalam keadaan tertekan.
Beberapa istilah yang merupakan bagian dari hidrogeologi dijelaskan
definisinya menurut Kodoatie (1996), yaitu:
a) Akuifer
Adalah suatu lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi
yang permeable baik yang terkonsolidasi (lempung misalnya) maupun
yang tidak terkonsolidasi (pasir) dengan kondisi jenuh air dan
mempunyai suatu besaran konduktivitas hidraulik (K) sehingga dapat
membawa air (atau air dapat diambil dalam jumlah yang ekonomis).
b) Aquiclude (impermeable layer)
Adalah suatu lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi
yang impermeable dengan nilai konduktivitas hidraulik yang sangat kecil
sehingga tidak memungkinkan air melewatinya. Dapat dikatakan
merupakan lapisan pembatas atas dan bawah suatu confined aquifer.
c) Aquitard (semi impervious layer)
Adalah suatu lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi
yang permeable dengan nilai konduktivitas hidraulik yang kecil namun
masih memungkinkan air melewati lapisan ini walaupun dengan gerakan
yang lambat. Dapat dikatakan merupakan lapisan pembatas atas dan
bawah suatu semi confined aquifer.
d) Confined Aquifer
Merupakan akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas dan
bawahnya merupakan aquiclude dan tekanan air lebih besar dari tekanan
atmosfir.
e) Semi Confined Aquifer
Merupakan akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas berupa
aquitard dan laipsan bawah merupakan aquiclude. Pada lapisan pembatas
bagian atas karena bersifat aquitard masih ada air yang mengalir ke
akuifer tersebut walaupun hidrauik konduktivitasnya jauh lebih kecil
dibandingkan hidraulik konduktivitas akuifer. Tekanan air pada akuifer
lebih besar dari tekanan atmosfir.
f) Unconfined Aquifer
Merupakan akuifer jenuh air (saturated). Lapisan pembatas yang
merupakan aquitard hanya pada bagian bawah dan tidak ada pembatas
aquitard di lapisan atas, batas di lapisan atas berupa muka air tanah.
Dengan kata lain merupakan akuifer yang mempunyai muka air tanah.
g) Semi Unconfined Aquifer
Merupakan akuifer jenuh air (saturated) yang dibatasi hanya lapisan
bawah merupakan aquitard. Pada bagian atas ada lapisan pembatas yang
mempunyai konduktivitas hidraulik lebih kecil daripada konduktivitas
hidraulik dari akuifer. Akuifer ini juga memiliki muka air tanah yang
terletak pada lapisan pembatas tersebut.
h) Artesian Aquifer
Merupakan confined aquifer dengan ketinggian hidrauliknya
(potentiometric surface) lebih tinggi daripada muka tanah. oleh karena
itu apabila pada akuifer ini dilakukan pengeboran maka akan timbul
pancaran air, karena air yang keluar dari pengeboran ini berusaha
mencapai ketinggian hidraulik tersebut.

Gambar 2.4. Pembagian zona confined aquifer, aquiclude, dan unconfined aquifer

2.3.3. Litologi, Stratigrafi, Struktur


Menurut Freeze dkk dalam Kodoatie (1996) kondisi alami dan distribusi
akuifer, aquiclude, dan aquitard dalam sistem geologi dikendalikan oleh litologi,
stratigrafi, dan struktur dari material simpanan geologi dan formasi. Litologi
merupakan susunan fisik dari simpanan geologi, susunan yang termasuk
komposisi mineral, ukuran butiran, dan kumpulan butiran yang terbentuk dari
sedimentasi atau batuan yang menampilkan sistem geologi. Stratigrafi
menjelaskan hubungan geometris dan umur antara macam – macam lensa, dasar,
dan formasi dalam geologi sistem dari asal terjadinya sedimentasi. Bentuk
struktur seperti pecahan, retakan, lipatan, dan patahan merupakan sifat – sifat
geometrik dari sistem geologi yang dihasilkan oleh perubahan bentuk akibat
adanya proses penyimpanan dan proses kristalisasi dari batuan. Pada simpanan
yang belum terkonsolidasi litologi dan stratigrafi merupakan pengendali yang
paling penting.
2.3.4. Macam – Macam Unconfined Aquifer
Unconfined aquifer merupakan akuifer dengan hanya satu lapisan pembatas
yang kedap air (di bagian bawahnya). Ketinggian hidraulik sama dengan
ketinggian muka airnya. Dari sistem terbentuknya dan lokasinya jenis akuifer ini
ada beberapa macam (Kodoatie, 1996), yaitu:
a. Akuifer Lembah
Merupakan akuifer yang ada pada suatu lembah dengan sungai sebagai
batas. Jenis ini dapat dibedakan berdasarkan lokasinya yaitu di daerah
yang banyak curah hujannya, seperti di Indonesia misalnya. Pengisian air
terjadi pada seluruh areal dari akuifer melalui infiltrasi . Sungai – sungai
yang ada di akuifer ini diisi airnya (recharge) melalui daerah – daerah
yang mempunyai ketinggian yang sama dengan ketinggian sungai. Pada
ilmu hidrogeologi pengisian yang menimbulkan aliran ini dikenal dengan
sebutan aliran dasar (base flow). Merupakan indikator bahwa walaupun
dalam keadaan tidak ada hujan (musim kemarau), pada sungai – sungai
tertentu masih ada aliran airnya. Disamping itu akibat adanya recharge
juga merupakan salah satu faktor penyebab suatu sungai berkembang dari
penampang yang kecil disebelah hulunya menjadi penampang yang besar
disebelah hilirnya.
b. Perched Aquifer
Merupakan akuifer yang terletak di atas suatu lapisan formasi geologi
kedap air. Biasanya terletak bebas di suatu struktur tanah dan tidak
berhubungan dengan sungai. kadang – kadang lapisan di bawahnya tidak
murni kedap air namun berupa aquitard bisa memberikan distribusi air
pada akuifer di bawahnya. Kapasitasnya tergantung dari pengisian air
dari sekitarnya dan juga luasnya lapisan geologi yang kedap air.
c. Alluvial Aquifer
Alluvial deposit merupakan material yang terjadi akibat proses fisik di
sepanjang daerah aliran sungai dan perubahan kecepatan penyimpanan
yang sebelumnya pernah terjadi maka simpanan ini berisi material tanah
yang beragam dan heterogen dalam distribusi sifat – sifat hidrauliknya.
Dalam klasifikasi tanah sering disebut well graded. Akibatnya kapasitas
air di akuifer ini menjadi besar dan umumnya volume air tanahnya
seimbang (equilibrium) dengan air yang ada di sungai. Akuifer ini
membantu pengaturan rezim aliran sungai, sehingga boleh dikatakan di
setiap daerah dengan akuifer jenis ini, akuifer ini merupakan sumber
yang penting untuk suplai air. Di daerah hulu aliran sungai umumnya air
sungai meresap ke tanah (infiltrasi) dan mengisi akuifer ini (recharge).
Hal ini terjadi karena ketinggian dasar sungai relatif di atas ketinggian
muka air tanah pada akuifer. Namun semakin ke hilir aliran sungai terjadi
sebaliknya, akuifer memberikan pengisian ke aliran sungai (recharge),
karena muka air tanah di akuifer relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
dasar sungai. pengisian ini menimbulkan aliran dasar di sungai sepanjang
tahun, walaupun pada musim kemarau tidak terjadi hujan di daerah
pengaliran sungai (DPS).
2.3.5. Infiltrasi
Menurut Harto (1993) infiltrasi merupakan proses masuknya air ke
permukaan tanah. Proses ini merupakan bagian yang sangat penting dalam daur
hidrologi maupun dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran di sungai.
Pengertian infiltrasi sering dicampur adukkan untuk kepentingan praktis dengan
pengertian perkolasi. Merupakan proses aliran air dalam tanah secara vertikal
akibat gaya berat. Keduanya saling berpengaruh akan tetapi secara teoritik
hendaknya pengertian keduanya dibedakan. Dalam kaitan ini terdapat dua
pengertian tentang kuantitas infiltrasi, yaitu kapasitas infiltrasi dan laju infiltrasi.
Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah
tertentu, sedangkan laju infiltrasi adalah laju infiltrasi nyata suatu jenis tanah
tertentu. Faktor yang berpengaruh secara fisik yaitu jenis tanah, kepadatan tanah,
kelembabab tanah, dan tutup tumbuhan. Setiap jenis tanah memiliki laju infiltrasi
karakteristik yang berbeda, yang bervariasi dari sangat tinggi sampai sangat
rendah. Jenis tanah berpasir umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi tinggi,
akan tetapi tanah liat sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi rendah.
Untuk satu jenis tanah yang sama dengan kepadatan yang berbeda mempunyai
laju infiltrasi yang berbeda. Makin padat makin kecil laju infiltrasinya.
Kelembaban tanah yang selalu berubah setiap saat juga berpengaruh terhadap laju
infiltrasi. Makin tinggi kadar air di dalam tanah, laju infiltrasi tanah tersebut
makin kecil.

2.4. Permeabilitas dan Porositas


Menurut Wuryantoro (2007) Keadaan material bawah tanah sangat
mempengaruhi aliran dan jumlah air tanah. Jumlah air tanah yang dapat disimpan
dalam batuan dasar, sedimen, dan tanah sangat bergantung pada permeabilitas.
Permeabilitas merupakan kemampuan batuan atau tanah untuk melewatkan atau
meloloskan air. Air tanah mengalir melewati rongga – rongga yang kecil, semakin
kecil rongganya semakin lambat alirannya. Jika rongganya sangat kecil, akan
mengakibatkan molekul air akan tetap tinggal. Kejadian semacam ini terjadi pada
batulempung. Secara kuantitatif permeabilitas diberi batasan dengan koefisien
permeabilitas.
Porositas juga sangat berpengaruh pada aliran dan jumlah air tanah.
Porositas adalah jumlah atau presentase pori atau rongga dalam total volume
batuan atau sedimen. Porositas dapat dibagi menjadi porositas primer dan
porositas sekunder. Porositas primer adalah porositas yang ada sewaktu bahan
tersebut terbentuk, sedangkan porositas sekunder dihasilkan oleh retakan –
retakan dan alur yang terurai. Pori – pori merupakan ciri batuan sedimen klastik
dan bahan butiran lainnya. Pori berukuran kapiler dan membawa air yang disebut
air pori. Aliran melalui pori adalah laminer. Kapasitas penyimpanan atau
cadangan air suatu bahan ditunjukkan dengan porositas yang merupakan nisbah
volume rongga, dengan volume total batuan.
Porositas merupakan angka tak berdimensi biasanya diwujudkan dalam
bentuk persen (%) umumnya untuk tanah normal mempunyai porositas berkisar
antara 25% sampai 75%, sedangkan untuk batuan yang terkonsolidasi berkisar
antara 0 sampai 10%. Material dengan diameter kecil mempunyai porositas besar,
hal ini dapat dilihat dari diameter butiran material. Tanah berbutir halus
mempunyai porositas yang lebih besar dibandingkan dengan tanah berbutir kasar.
Porositas pada material seragam lebih besar dibandingkan material beragam.

Gambar 2.5. Permeabilitas dan Porositas (Wuryantoro, 2007)

2.5. Geolistrik Metode Schlumberger


Penelitian geolistrik merupakan bagian dari penelitian geofisika yang
digunakan untuk penyelidikan bawah permukaan. Prinsip pengukuran metode
geolistrik adalah dengan mengukur sifat kelistrikan batuan (Dobrin dkk dalam
Winarti, 2013). Arus listrik searah ataupun bolak – balik berfrekuensi rendah
dialirkan ke dalam bumi melalui kontak dua elektroda arus (C1, C2), kemudian
diukur besarnya potensial melalui dua elektroda potensial (P1, P2). Dengan
mengetahui besar arus dan potensial, maka dapat diketahui besar tahanan jenis (ρ)
dari media (batuan) yang dilaluinya.
Dengan adanya aliran arus listrik tersebut maka akan menimbulkan
tegangan listrik di dalam tanah. Tegangan listrik yang terjadi di permukaan tanah
diukur dengan menggunakan multimeter yang terhubung melalui 2 buah elektroda
tegangan “M” dan “N” yang jaraknya lebih pendek dari jarak elektroda AB. Bila
posisi jarak elektroda AB diubah menjadi lebih besar maka tegangan listrik yang
terjadi pada elektroda MN ikut berubah sesuai dengan informasi jenis batuan yang
ikut terinjeksi arus listrik pada kedalaman yang lebih besar. Dengan asumsi bahwa
kedalaman lapisan batuan yang bisa ditembus oleh arus listrik ini sama dengan
separuh dari jarak AB yang biasa disebut AB/2 (bila digunakan arus listrik DC
murni), maka diperkirakan pengaruh dari injeksi aliran arus listrik ini berbentuk
setengah bola dengan jari – jari AB/2 (Broto dan Afifah, 2008).
Menurut Todd dalam Broto dan Afifah (2008) Resistivitas ditentukan dari
suatu tahanan jenis semu yang dihitung dari pengukuran perbedaan potensi antara
elektroda yang ditempatkan di dalam bawah permukaan. Pengukuran suatu beda
potensial antara dua elektroda sebagai hasil dua elektroda lain pada titik C yaitu
tahanan jenis di bawah permukaan tanah di bawah elektroda. Ada dua jenis
penyelidikan tahanan jenis, yaitu Horizontal Profilling (HP) dan Vertical
Electrical Sounding (VES) atau penyelidikan kedalaman, dengan pembedaan
penampang anisotropis pada arah yang horizontal dan pembedaan pendugaan
anisotropis pada arah yang vertikal. Hasil profilling dan sounding sering
dipengaruhi oleh kedua variasi yang vertikal dan pada jenis formasi listrik.
Distribusi vertikal dan horizontal tahanan jenis did alam volume batuan disebut
penampang geolistrik.
Gambar 2.6. Siklus Elektrik Determinasi Resistivitas dan Lapangan Elektrik untuk Stratum
Homogeneous Permukaan Bawah Tanah (Broto dan Afifah, 2008)

Metode geolistrik lebih efektif jika digunakan untuk eksplorasi yang


sifatnya dangkal, jarang memberikan informasi lapisan di kedalaman lebih dari
1000 atau 1500 kaki. Keunggulan secara umum adalah harga peralatan relatif
murah, biaya survei relatif murah, waktu yang dibutuhkan relatif sangat cepat,
bisa mencapai 4 titik pengukuran atau lebih perhari, beban pekerjaan peralatan
yang kecil dan ringan sehingga mudah untuk berpindah – pindah, kebutuhan
personal sekitar 5 orang, konfigurasi Schlumberger serta analisis data secara
global bisa langsung diprediksi saat di lapangan (Anonim dalam Broto dan Afifah,
2008).

2.6. Resistivitas Batuan


Menurut Wuryantoro (2007) dari semua sifat fisika batuan dan mineral,
resistivitas memperlihatkan variasi harga yang sangat banyak. Pada mineral –
mineral logam, hargnya berkisar pada 10-8Ωm hingga 107Ωm. Begitu juga pada
batuan – batuan lain, dengan komposisi yang bermacam – macam akan
menghasilkan jarak resistivitas yang bervariasi. Sehingga jarak resistivitas
maksimum yang mungkin adalah dari 1,6 x 10 -8 (perak asli) hingga 1016Ωm
(belerang murni). Konduktor biasanya didefinisikan sebagai bahan yang memiliki
resistivitas kurang dari 10-8 Ωm, sedangkan isolator memiliki resistivitas lebih dari
107 Ωm. Dan diantara keduanya adalah bahan semikonduktor. Di dalam
konduktor berisi banyak elektron bebas dengan mobilitas yang sangat tinggi.
Sedangkan semikonduktor, jumlah elektron bebasnya lebih sedikit. Isolator
dicirikan oleh ikatan ionik sehingga elektron – elektron valensi tidak bebas
bergerak. Menurut Telford dkk dalam Wuryantoro (2007) Berdasarkan harga
resistivitas listriknya, batuan dan mineral dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu konduktor baik dengan nilai 10-8 Ωm, konduktor pertengahan 1 < ρ < 107
Ωm, dan isolator ρ > 107 Ωm.
Kebanyakan mineral membentuk batuan penghantar listrik yang baik
walaupun beberapa logam asli dan grafit menghantarkan listrik resistivitas yang
terukur pada material bumi utamanya ditentukan oleh pergerakan ion – ion
bermuatan dalam pori – pori fluida. Air tanah umumnya berisi campuran terlarut
yang dapat menambah kemampuan untuk menghantar listrik, meskipun air tanah
bukan konduktor listrik yang baik. Variasi resistivitas material bumi ditunjukkan
sebagai berikut:

Tabel 2.1. Nilai resistivitas variasi material batuan (sumber: Santoso dalam Wuryantoro,
2007)
Bahan Resistivitas (Ωm)
Udara -
Pirit 3 x 10-1
Kuarsa 4 x 1010 s.d. 2 x 1014
Kalsit 1 x 1012 s.d. 1 x 1013
Batuan garam 30 s.d. 1 x 1013
Mika 9 x 1012 s.d. 1 x 1014
Garnit 102 s.d. 1x 106
Gabro 1 x 103 s.d. 1 x 106
Basalt 10 s.d. 1 x 107
Batuan gamping 50 s.d. 1 x 107
Batuan pasir 1 s.d. 1 x 108
Batuan serpih 20 s.d. 1 x 103
Dolomit 102 s.d. 104
Pasir 1 s.d. 103
Lempung 1 s.d. 102
Air tanah 0,5 s.d. 3 x 102
Air laut 0,2

Anda mungkin juga menyukai