Dalam sejarah peradaban manusia, alam merupakan hal yang amat penting
dan tak terpisahkan bagi keberlangsungan hidup manusia. Interaksi antara alam
dengan manusia sudah tercipta sejak manusia pertama kali diciptakan di bumi.
dipengaruhi oleh alam dan lingkungannya, dan begitu juga sebaliknya. Pengaruh
alam dan lingkungan dalam perkembangan peradaban manusia menjadi suatu hal
yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Lanskap atau bentanglahan merupakan
Lanskap secara umum memiliki makna yang hampir sama dengan istilah
Kondisi bentang lahan seperti ini memberikan gambaran fisiografi suatu wilayah.
dan atribut (sifat) pengaruh manusia, yang secara kolektif ditunjukkan melalui
kondisi fisiografi dikenal sebagai suatu lanskap (Vink dalam Yuwono, 2007: 5).
19
20
Batasan lanskap secara spesifik dapat diartikan sebagai wilayah atau suatu
ditunjukkan melalui suatu geotop atau kelompok geotop (bagian geosfera yang
relatif homogen dari segi bentuk dan prosesnya). Batasan ini menekankan
kompleks dengan sifat yang bervariasi menurut jangkauan ruang dan waktu
unsur pada suatu lanskap, maka lanskap dibagi menjadi beberapa jenis, meliputi
di muka bumi, misalnya gunung dan laut. Kategori ini memiliki batasan yang
terminologi umum.
Pada dasarnya visualisasi suatu lanskap dibentuk oleh dua hal pokok, meliputi:
Kedua hal tersebut merupakan prinsip untuk visualisasi bentangahan, karena pada
dasarnya bentanglahan merupakan ekspresi hubungan erat antar sfera dalam ruang
tanah, air, dan vegetasi. Keterlibatan aspek budaya dalam membentuk suatu
dari sifat asli suatu bentuklahan (Yuwono, 2007: 7). Aspek budaya dalam hal ini
adalah adanya campur tangan manusia. Aktivitas manusia tidak hanya tergantung
dan dipengaruhi oleh lingkungan alam, namun juga dapat mempengaruhi dan
sengaja. Modifikasi yang dimaksud adalah semua perubahan bentuk relief bumi
atau permukaan tanah, baik sebagai akibat adanya konstruksi maupun adanya
gejala atau kenampakan fisik lainnya. Modifikasi lanskap yang dilakukan manusia
anomali yang terjadi maka pola alami yang seharusnya terbentuk pada suatu
seringkali terjadi adalah penyimpangan pola saluran (stream pattern), pola kontur,
Fenomena ini terjadi sejak Kota Surakarta masih berupa desa kecil yang bernama
Desa Sala. Desa Sala dipilih menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam
dari karakteristik lanskap Kota Surakarta dewasa ini tampaknya kurang disadari
dahulu. Tulisan dalam bab ini secara khusus akan memberi gambaran tentang
dan Arifin. 2010; 83). Kota Surakarta merupakan salah satu kota tua di Indonesia
yang telah mengalami berbagai peristiwa sejarah. Selama dua abad (1745-1945)
Kota Surakarta tumbuh sebagai pusat Kerajaan Mataram Islam dan berlanjut
hingga tahun 2016 sebagai kota modern, menjadikan Kota Surakarta sebagai salah
sejarah yang terjadi di Kota Surakarta secara langsung maupun tidak langsung
Kota Surakarta. Secara umum, lanskap Kota Surakarta terdiri dari lanskap budaya
Kota Surakarta menurut catatan yang dibuat pada awal abad XX memiliki
luas 24 km² dengan panjang 6 km, membentang dari arah barat ke timur, dan 4 km
dari arah utara ke selatan.1 Kota Surakarta terletak pada ketinggian 200 m di atas
permukaan laut, di sisi kiri Sungai Bengawan Solo, dan pada kedua sisi Sungai
Pepe. Sebagian besar Kota Surakarta termasuk wilayah Kasunanan dan hanya
1
G.P.R., ―Soerakarta of Solo‖,Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, 2de druk, IV(‗s-
Gravenhage, Leiden: E.J. Brill, 1921), hlm. 36.
2
Ibid.
24
seperti ini secara tidak langsung memunculkan batasan imajiner dimana Jalan
Raya Purwasari (sekarang Jl. Slamet Riyadi) dan jalan trem yang menghubungkan
Kota Surakarta pada awalnya hanya sebuah desa kecil yang dikusai oleh Ki
Sala. Penyebutan Ki Sala berasal dari nama tempat bermukimnya pimpinan kuli
pelabuhan yang bernama Ki Soroh Bau (bahasa Jawa, berarti kepala tukang
awalnya, Solo mempunyai empat bandar yang ramai pada masa Kadipaten dan
Kabanaran di Laweyan, Bandar Pecinan di Kali Pepe, Bandar Arab di Kali Jenes,
Sungai Bengawan Solo (Kali Jenes, Kali Kabanaran, dan Kali Pepe), maka
bandar-bandar yang ada tidak dapat berfungsi lagi secara maksimal dan mulai
Islam pada tahun 1745 M dari Keraton Kartasura. Perpindahan ini dilakukan pada
dan peperangan serta adanya kepercayaan bahwa tempat yang telah membawa
pada tahun 1677-1703 dan dipimpin oleh Raden Trunajaya bersama laskar
Makasar.
dan orang-orang Cina, pemberontakan ini dikenal sebagai Geger Pecinan. Paku
Sanasewu), akhirnya Desa Sala terpilih sebagai tempat kedudukan keraton baru.
Dalam keadaan yang belum selesai, keraton baru itu dijadikan tempat kediaman
raja dan pusat pemerintahan. Perpindahan dari Kartasura ke keraton baru hanya
Islam pada masa itu adalah dengan berbagai alasan. Dalam buku Darsiti
enam alasan pemilihan lokasi (analisis lokasional). Hal yang pertama adalah
daerah Surakarta berada di dekat wilayah tempuran (pertemuan antara dua buah
sungai, yaitu Sungai Pepe dan Sungai Bengawan Solo). Wilayah tempuran
3
Soepomo Poedjosoedarmo & M.C. Ricklefs, ―The Establishment of Surakarta, a Translation
from the Babad Giyanti‖ , Indonesia, N. 4, 1967, hlm.89.
26
keramat.4 Kedua, Desa Sala dekat dengan bengawan (sebuah sungai besar yang
sejak zaman kuno menjadi penghubung antara Jawa Tengah-Jawa Timur). Jalur
sosial, politik, dan militer, bahkan masyarakat hingga abad XIX memilih
bepergian melalui sungai daripada daratan. Ketiga, Desa Sala sudah menjadi desa
Oorkonde (OJO) No. XLIII dari Singhasari pada zaman Mpu Sendok. Dalam OJO
disebut nama tempat Kahyunan. Dugaan Poerbatjaraka bahwa nama Cala adalah
Kota Surakarta, karena di kota tersebut terdapat sekolah Prahunan 5 dan terletak di
Keenam, menggunakan petangan sesuai adat yang berlaku, daerah Kadipala dan
Mengenai terpilihnya Desa Sala, desa yang tanahnya tidak rata, penuh dengan
rawa-rawa, Brandes juga menghubungkan dengan kata Sala. Ejaan kata Sala
dapat diubah menjadi Sula, Sola, Sura, dan jika kata-kata itu digabungkan dengan
kata Karta, maka akan didapat kata Sulakarta, Solakarta, dan Surakarta. Brandes
menyimpulkan bahwa nama Kartasura diambil dari Karta dan nama Surakarta dari
4
Gandhajoewana, ―Overblijfselen van Kerta en Plered‖, Djawa XX, 1940, hlm. 217.
5
Poerbatjaraka, ―Sambutan‖, Penelitian Sedjarah, Djuni 1961, No 3 (No. 2-Th, ke-II), Djakarta:
Jajasan Lembaga Ilmiah Indonesia untuk Penyelidikan Sedjarah), hlm. 6.
27
atas, di kalangan rakyat dikenal adanya folklore Kiai Bathang. Sinar api yang
menerangi Desa Sala sesudah Kiai Bathang dikubur ditafsirkan bahwa Desa Sala
Pada dasarnya, dari seluruh penjelasan tentang asal mula nama Desa Sala atau
Kota Surakarta serta berbagai alasan pemilihan lokasi Desa Sala sebagai keraton
baru Kerajaan Mataram Islam bisa ditarik dua macam kesimpulan. Kesimpulan
pertama adalah Kota Surakarta merupakan kota yang lahir dari peradaban Sungai
Bengawan Solo. Kedua, Desa Sala dipilih berdasarkan dua pemikiran yaitu
pemikiran rasional dan pemikiran irasional. Secara pemikiran rasional, sejak abad
XVIII Desa Sala merupakan daerah perdagangan yang ramai dengan melibatkan
berbagai daerah di Jawa Tengah hingga ke Jawa Timur dan bermuara ke laut
Jawa, sehingga pada masa tersebut Desa Sala merupakan daerah strategis.
Pemikiran irasional adalah Desa Sala terletak di daerah tempuran, yaitu daerah
pertemuan antara dua sungai (Sungai Bengawan Solo dan Sungai Pepe) dan
terhadap bencana banjir dari berbagai sungai yang mengelilinginya. Bagi Kota
6
Brandes,op.cit., hlm. 437-438, 448.
7
C.C. Berg et al., Geschiedenis van Nederlandsch Indie, II (Amsterdam: Joost van den Vondel,
1938), hlm. 19.
8
Kuntowijoyo, 2000, The Making of a Modern Urban Ecology: Social and Economic History of
Solo, 1900-1915, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fak. Sastra UGM)
28
Surakarta, banjir merupakan musibah yang bersifat rutin dan sudah menjadi
Banjir merupakan aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal,
sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan
rendah di sisi sungai. Aliran air limpasan tersebut yang semakin meninggi,
mengalir dan melimpasi muka tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air
(Bakornas PB, 2007: 5). Bencana banjir dapat menimbulkan dampak yang
pernah mengalami beberapa kali peristiwa banjir pada Bulan Maret 1966, Maret
1968, Maret 1973, Februari 1974, Maret 1975, Januari 1982, Desember 2007,
Februari 2009 (Prasetya, 2009: 1). Pada tanggal 26-31 Desember 2007 Kota
Jauh sebelum tahun 1966, sebenarnya Kota Surakarta sudah dilanda banjir
besar pada tahun 1915 dimana saat itu tanggul yang mencegah Kota Surakarta
dari bencana banjir belum selesai dibangun dan belum melingkari pinggiran Kota
mencapai 1,5 meter (Ridha, 2009: 53). Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.1 dan
Gambar 2.1. Foto Banjir Kota Surakarta tahun 1915 ketinggian air mencapai
pinggang orang dewasa.
Sumber: kitllv.nl diakses tanggal 14 Juli 2016
Letak geografis Kota Surakarta terletak pada zona depresi antara plato di
di sebelah utara, dan Gunung Lawu di sebelah timur. Keletakan seperti ini
diibaratkan seperti dasar mangkuk yang mengakibatkan air limpasan yang masuk
ke Kota Surakarta berasal dari tiga arah, yaitu dari lereng tenggara Gunung
Merapi, lereng barat daya Gunung Lawu, dan dataran tinggi Wonogiri.9 Kondisi
bencana banjir.
Neraca air adalah neraca masukan dan keluaran air disuatu tempat pada
periode tertentu, sehingga dapat untuk mengetahui jumlah air tersebut kelebihan
kondisi air pada surplus dan defisit dapat mengantisipasi bencana yang
Surakarta menjadikan kota ini rawan bencana banjir, dan hal ini diatasi dengan
pembuatan beberapa infrastruktur kota pada tahun 1900-an dan ditujukan untuk
mengatur keseimbangan neraca air Kota Surakarta berupa beberapa pintu air dan
bendungan.
9
Budi Setiyarso, ―Banjir Kota Solo 1966 Bisa Terulang‖, dalam Kompas, tanggal 15 Januari 2007.
31
tanggul di sebelah utara, dibangun mulai dari sebelah utara Balekambang di Desa
sungai, sehingga pada musim penghujan air yang mengalir tidak meluap ke kota.
timur melalui Sungai Anyar di sebelah utara kota sampai Sungai Bengawan Solo.
Sungai Pepe yang mengalir ke kota, pada musim penghujan akan ditutup. Pintu air
dibangun di Kampung Demangan dan Sangkrah. Pintu air Demangan bila musim
penghujan ditutup agar air yang mengalir dari Sungai Bengawan Solo tidak masuk
ke dalam kota. Di sebelah selatan kota ada Sungai Pelem Wulung yang mengalir
ke kota yang kemudian disebut Sungai Jenes dialirkan ke timur yang kemudian
sebelah utara Desa Nusupan. Tujuan dari semua pembanguan ini adalah untuk
mengantisipasi banjir Kota Surakarta Berikut adalah hasil overlay keletakan pintu
air dan dam Tirtonadi dengan peta Kota Surakarta tahun 1873.
10
RM Sayid, Babad Sala, terjemahan Darweni, (Surakarta: Museum Rekso Pustaka
Mangkunegaran), 2001, hal 68.
32
Gambar 2.3. Hasil overlay letak pintu air dan dam Tirtonadi dengan peta Kota
Surakarta tahun 1873
Tirtonadi beserta sudetan (Kali Anyar) pada tahun 1902-1905 berada di Desa
Munggung. Pada hasil overlay tersebut tampak bahwa Desa Munggung pada
tahun 1873 masih dominan dengan sawah dan perkebunan serta dialiri Sungai
Pepe yang mengarah ke dalam Kota Surakarta, sehingga wajar bila Belanda
dan permukiman pada daerah ini juga dapat menjadi alasan dibangunnya dam
Tirtonadi beserta Kali Anyar yang mengarah langsung ke Sungai Bengawan Solo
banjir karena berada di zone depresi (intermontain plain) yang diapit Gunung
memiliki relief datar, namun memiliki banyak cekungan terutama pada bagian
timur kota dan sekitar anak sungai yang melewati Kota Surakarta. Cekungan-
ke arah timur hingga Kampung Sewu dulunya adalah rawa-rawa, yang berarti dari
dulu Kota Surakarta sebelah timur memang daerah sasaran banjir. Air permukaan
yang masuk Kota Surakarta berasal dari tiga arah yaitu dari lereng tenggara
Gunung Merapi, lereng barat Gunung Lawu dan Wonogiri dengan sembilan anak
sungai yang masuk ke Bengawan Solo. Bentuk DAS Solo hulu yang luas dan
Bengawan Solo seragam ketika terjadi hujan. Kondisi itu diperparah dengan hulu
Bengawan Solo di Wonogiri adalah karst atau tanah gersang berbatu yang
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
utama (Asdak, 2002: 4). DAS Bengawan Solo merupakan DAS terbesar di Pulau
Jawa, terletak di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah
1.594.716,22 Ha. Secara astronomis, DAS Bengawan Solo terletak pada 6o48‘
dalam tiga Sub DAS, yang meliputi; Sub DAS Bengawan Solo Hulu, Sub DAS
34
Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan Solo Hilir. Luas Sub DAS Bengawan Solo
Hulu ± 6.072 km², luas Sub DAS Kali Madiun ± 3.755 km², sedangkan luas Sub
DAS Bengawan Solo Hilir ± 6.273 km². DAS Solo Hulu merupakan ekosistem
9160401 mU, dengan luas wilayah kurang lebih 44,04 km². Berdasarkan posisi
astronomis ini Kota Surakarta berada pada wilayah iklim tropis yang memiliki
Curah hujan 220,00 mm/th. 80% terjadi di musim hujan dan 20% terjadi di
musim kemarau11. Suhu udara maksimum Kota Surakarta adalah 32,5 ºC, sedang
suhu udara minimum adalah 21,9 ºC. Rata-rata tekanan udara adalah 1010,9 MBS
11
Presentasi ―Profil Drainase Kota Surakarta‖ Sub Dinas Drainase Dinas Pekerjaan Umum Kota
Surakarta.
36
dengan kelembaban udara 75%. Kecepatan angin 4 Knot dengan arah angin 240
derajat12.
dengan suhu rata-rata tahunan adalah 27.4 °C. Presipitasi terendah terjadi pada
puncaknya, dengan rata-rata 460 mm (ganbar 2.6). Pada suhu rata-rata 28.2 °C,
adalah bulan terdingin sepanjang tahun (gambar 2.7). Di antara bulan terkering
dan bulan terbasah, perbedaan dalam presipitasi adalah 437 mm. Variasi dalam
12
Ibid.
37
Kondisi geologi Kota Surakarta sebagian besar terdiri dari tanah liat
tinggi terdapat tanah padas dan di wilayah tengah serta timur yang berbatasan
pembentuk batuan di Kota Surakarta terdiri dari bahan vulkanis Merapi dan
Lawu yang berumur Holosen. Kota ini terletak pada ujung timur endapan
yang berasal dari Vulkan Merapi, ujung utara endapan dari Pegunungan
Selatan dan ujung barat endapan yang berasal dari Vulkan Lawu (Widiyanto
air tanah dangkal sebagai sumber air bagi kepentingan penduduk sehari-hari.
2) Bentuk bentanglahan.
adalah bentuk dataran atau pada bagian lembah yang cukup luas. Menurut
Presentasi ―Profil Drainase Kota Surakarta‖ Sub Dinas Drainase Dinas Pekerjaan Umum Kota
13
Surakarta
39
jenis dan sifat fisik tanah/batuan, daerah yang mempunyai potensi air tanah
daerah aliran sungai alam yang terdapat di suatu daerah. Sungai alam yang
1) Bengawan Solo yaitu sungai alam yang membelah wilayah Kota Surakarta
2) Sungai Anyar yaitu sungai yang berada disebelah utara Kota Surakarta
3) Sungai Pepe yaitu sungai yang terletak di bagian tengah Kota Surakarta
4) Sungai Jenes yaitu sungai yang berada disebelah selatan Kota Surakarta
ketersediaan air tanah bebas di Kota Surakarta cukup besar dengan kedalaman
bervariasi tergantung letak topografi dan jenis litologinya. Jumlah ketersediaan air
pada air tanah bebas pada cekungan ini 2910 juta m³/tahun14. Untuk air tanah
tanah tertekan atau air tanah yang terdapat dalam akuifer yang berupa batuan yang
14
Harnandi, D., Arismunandar, Arief S., 2006, Penyelidikan Konservasi Air Tanah Karanganyar-
Boyolali Propinsi Jawa Tengah, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung.
40
air pada sistem akuifer tertekan sebesar 256,29 juta m³/tahun.15 Dewasa ini, pada
daerah tertentu di Kota Surakarta masih terjadi penuruan kedudukan muka air
tanah dan penurunan kualitas air tanah, terutama pada sistem akuifer tertekan. Hal
ini merupakan dampak dari konservasi air tanah di Kota Surakarta belum
secara detail sejak awal mula terbentuknya kota hingga saat ini. Dalam kondisi
seperti inilah peran dan fungsi vital dam Tirtonadi sebagai komponen pengairan
Kota Surakarta sangat diperlukan, oleh karena itu dam Tirtonadi perlu dikaji lebih
Surakarta, dan termasuk salah satu komponen penting Kota Surakarta khususnya
dalam hal pengairan. Keberadaan dam Tirtonadi dapat dikatakan mempunyai nilai
memiliki peran dan fungsi vital bagi keberlangsungan Kota Surakarta, terutama
15
Ibid.
41
bangunan berupa urukan tanah, urukan batu, dan beton, yang dibangun selain
untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan
pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Bendungan juga dapat didefinisikan sebagai
bangunan air yang dibangun secara melintang sungai, sedemikian rupa agar
permukaan air sungai di sekitarnya naik sampai ketinggian tertentu, sehingga air
batu kali, dan bronjong atau beton. Sebuah bendungan konstruksinya dibuat
melintang sungai dan fungsi utamanya adalah untuk membendung aliran sungai
dan menaikkan level atau tingkat muka air di bagian hulu. Pemilihan lokasi
topografi daerah yang akan dialiri, topografi lokasi bendung, keadaan hidrolisis
aliran sungai, keadaan tanah pondasi, dan lain sebagainya. Untuk keperluan
data yang nanti akan dipergunakan untuk menentukan dimensi, luasan, dan
topografi, data hidrologi, data morfologi, data geologi, data mekanika tanah,
42
standar perencanaan (PBI, PKKI, PMI, dll), data lingkungan, dan data ekologi.
Selain itu, diperlukan juga data-data terkait tentang curah hujan di derah tersebut,
data debit banjir, dan data-data lain yang terkait dengan keadaan hidrologis
komponen16, yaitu :
membendung laju aliran sungai dan menaikkan tinggi muka air sungai dari elevasi
awal. Bagian ini biasanya terbuat dari urugan tanah, pasangan batu kali, dan
bronjong atau beton. Tubuh bendung umumnya dibuat melintang pada aliran
sungai. Tubuh bendung merupakan bagian yang selalu atau boleh dilewati air baik
dalam keadaan normal maupun air banjir. Tubuh bendung harus aman terhadap
tekanan air, tekanan akibat perubahan debit yang mendadak, tekanan gempa,dan
Pondasi (foundation)
bendungan.
Pintu air merupakan struktur dari bendung yang berfungsi untuk mengatur,
membuka, dan menutup aliran air di saluran baik yang terbuka maupun tertutup.
16
Nasyiin, 2013, Perencanaan Bendung, https://arsipdosen.wordpress.com/2013/03/29/perencanaan
bendung/, diakses 15 juli 2016
43
Adalah bagian dari pintu air yang menahan tekanan air dan dapat
Adalah alur dari baja atau besi yang dipasang masuk ke dalam beton yang
digunakan untuk menjaga agar gerakan dari daun pintu sesuai dengan yang
direncanakan.
c) Angker (anchorage)
Adalah baja atau besi yang ditanam di dalam beton dan digunakan untuk
menahan rangka pengatur arah gerakan agar dapat memindahkan muatan dari
d) Hoist
Adalah alat untuk menggerakkan daun pintu air agar dapat dibuka dan
Pintu pengambilan berfungsi mengatur banyaknya air yang masuk saluran dan
bendung, tempat pengambilan bisa terdiri dari dua buah, yaitu kanan dan kiri, dan
bisa juga hanya sebuah, tergantung dari letak daerah yang akan diairi. Bila tempat
pengambilan dua buah, menuntut adanya bangunan penguras dua buah pula.
Pintu Penguras
Penguras ini bisanya berada pada sebelah kiri atau sebelah kanan bendung dan
kadang-kadang ada pada kiri dan kanan bendung. Hal ini disebabkan letak
daripada pintu pengambilan. Bila pintu pengambilan terletak pada sebelah kiri
bendung, maka penguras pun terletak pada sebelah kiri pula. Bila pintu
pengambilan terletak pada sebelah kanan bendung, maka penguras pun terletak
pada sebelah kanan pula.. Pintu penguras ini terletak antara dinding tegak sebelah
kiri atau kanan bendung dengan pilar, atau antara pilar dengan pilar. Lebar pilar
antara 1,00 sampai 2,50 meter tergantung konstruksi yang dipakai. Pintu penguras
ini berfungsi untuk menguras bahan-bahan endapan yang ada pada sebelah udik
pintu tersebut. Untuk membilas kandungan sedimen dan agar pintu tidak
tersumbat, pintu tersebut akan dibuka setiap harinya selama kurang lebih 60
menit.
Kantong Lumpur
lebih besar dari fraksi pasir halus ( 0,06 s/d 0,07mm ) dan biasanya ditempatkan
untuk keperluan :
a) Keletakan Dam
banjir kanal yang kini dikenal dengan sebutan Sungai Anyar. Pada tahun 1922,
dalam proses pembuatan Sungai Anyar ditemukan struktur candi dengan bahan
batu bata. Candi ini dikenal dengan nama Candi Nusukan, tetapi pada
perkembangannya candi ini sekarang sudah menjadi bagian dari aliran Sungai
Anyar dan tidak banyak warga masyarakat sekitar dam Tirtonadi yang mengetahui
keberadaan candi tersebut. Keletakan pintu air dan dam Tirtonadi saat ini dapat
17
RM Sayid, Babad Sala, terjemahan Darweni, (Surakarta: Museum Rekso Pustaka
Mangkunegaran), 2001, hal 67.
46
Gambar 2.9.
Peta keletakan pintu air dan dam Tirtonadi di Kota Surakarta
Sumber: DPU Kota Surakarta (2008) dengan modifikasi penulis
Gambar 2.10. Struktur Candi Nusukan pada sudetan Sungai Anyar tahun 1922
Sumber: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran
47
Bangunan dam Tirtonadi terdiri dari dua bagian yang membentang dari
arah utara-selatan. Pada bagian bawah terdapat pintu air yang berjumlah sepuluh
merupakan ruang mesin dengan konstruksi kayu jati yang kokoh dan terdapat
ruang ini terdapat dua tangga. Tangga di sisi selatan berupa undakan, berlantai
ubin dari bahan batu andesit. Menurut Kepala Bagian sub drinase Kota Surakarta
Ir.Budi Santoso, bangunan dam Tirtonadi dapat dikatakan sebagai sebuah cekdam
yang berfungsi untuk mengatur pengairan Kota Surakarta. Cekdam adalah tanggul
48
sejajar dengan arus air untuk mencegah pelebaran sungai atau sebagai tanggul
pengaman18.
b) Arsitektur Dam
Dam Tirtonadi saat ini memiliki lebar bendung ± 60 meter dan tinggi
bendung ± 2,5 meter. Bendungan ini memiliki daya tampung air 600.000 m³
18
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2008. KBBI Edisi Keempat. Jakarta: Balai
Pustaka
49
dengan laju debit air 800 m³/s19. Dam ini memiliki 10 pintu air yang menuju ke
kota, dari sepuluh pintu air yang mengarah ke kota tersebut hanya dua pintu air
yang masih berfungsi mengalirkan air ke Sungai Pepe Kota. Arsitektur bangunan
sebagai dekorasi. Atap bangunan ini berbentuk limasan dari bahan kayu jati.
pengaturan besar-kecilnya debit aliran air yang masuk dan keluar di Kota
Surakarta melalui Sungai Pepe Kota. Berikut penjelasan profil drainase Kota
Surakarta.
sedemikan rupa adanya, maka dapat disimpulkan bahwa ada 4 faktor yang
19
Kop, Jan. .Drinking water,sanitation and flood control in urban areas. .
50
a) Faktor Historis
1) Adanya kebiajakan politik tanam paksa pada tahun 1830 berakibat gundulnya
4) Adanya pembuatan sodetan atau pemotongan Kali Pepe oleh sungai baru (Kali
Anyar) pada bagian utara kota, sehingga air tidak memasuki kota melainkan
b) Faktor Geografis
2) Kondisi geologi sebagian besar terdiri dari tanah liat berpasir (regosol kelabu)
drainage) selama belum jenuh air. Pada elevasi tinggi terdapat tanah padas
dan di wilayah tengah serta timur kota yang berbatasan dengan Bengawan
3) Kawasan Surakarta bagian utara yang relatif luas berkontur dan berbukit
terbatas.
c) Faktor Ekonomi
setiap kali banjir melanda. Beberapa kali peristiwa banjir terjadi pada bulan
Maret 1966, Maret 1968, Maret 1973, Februari 1974, Maret 1975, Januari
3) Perubahan guna lahan yang tidak sesuai dengan perencanaan terutama pada
d) Faktor Fungsional
1) Kesenjangan antara debit air hujan dengan kapasitas saluran, padahal lahan
ada merupakan saluran irigasi. Perubahan fungsi ini tidak diikuti dengan
5) Sebagian saluran yang ada masih saluran alam padahal lahan yang semula
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
Salatiga antara Raden Mas Said, Belanda, dan Sunan Paku Buwono III tahun
2) Raden Mas Said mendapatkan tanah sebesar 4000 karya,20 yang terletak di
3) Raden Mas Said harus bersumpah setia kepada Sunan, Sultan, dan Belanda.
Raden Mas Said juga harus tunduk kepada perintah raja. Ia juga harus tinggal
mendapat tanah lungguh (apanage) seluas 4000 karya .Tanah apanage yang
diberikan kepada Raden Mas Said merupakan tanah yang pernah dikuasai oleh
Raden Mas Said. Wilayah awal Praja Mangkunegara disebut sebagai desa Babok
20
Luas satu karya sekitar 7.096,5 meter atau sama dengan satu bau (3/4 hektar). Lihat Wasino,
2008, Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara.
21
A.K.Pringgodigdo, Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran ,Surakarta: Rekso
Pustaka,1938, hlm 8
54
Mangkunegara pada tahun 1757 dapat dijelaskan melalui tabel 2.1. berikut ini:
(JUNG) (KARYA)
6 Hanggabayan 25 100
Jalan Surakarta-Kartasura)
Surakarta- Kartasura)
Yogyakarta)
12 Kedu 8,5 34
Tabel 2.1. Nama dan Luas Wilayah Desa Babok Mangkunegaran Tahun 1757
55
1813, Praja Mangkunegara mendapat tambahan tanah sebesar 240 jung22 atau
1000 karya sehingga luasnya menjadi sekitar 5.000 karya. Wilayah tambahan ini
Sembuyan (12 jung), Mataram (2,5 jung), Sukawati bagian barat (28,5 jung) dan
daerah di lereng gunung Merapi bagian timur (29,5 jung ). Tambahan tanah ini
masa Mangkunegara IV, tepatnya pada tahun 1875 terjadi perubahan lagi dengan
22
Wasino, op.cit., hlm. 14.
23
Ibid hlm 22.
56
Sembuyan. Ini berarti pada masa Mangkunegara IV, Praja Mangkunegara terbagi
km² yang meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu yang meluas sampai
daerah hulu Bengawan Solo menuju Gunung Kidul. Bagian selatan dari Praja ini
membentang pada bagian timur Gunung Sewu yang sangat tandus hingga
dataran rendah Bengawan Solo sampai pada ujung kaki Gunung Merapi dan
Merbabu yang keadaan tanahnya sangat subur. Pada tahun 1917 Praja
24
Sutrisno Adiwardoyo, Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai Masuknya ke Provinsi
Jawa Tengah, Surakarta: IKIP, 1974,hlm 30.
25
Wasino, Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran: Akhir Abad XIX-
Pertengahan Abad XX, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,1994, hlm 54.
57
ekonomi yang terjadi di seluruh penjuru dunia sudah mulai dirasakan di Praja
Kota Mangkunegara.27
desa. Hal ini terlihat dengan dibentuknya susunan desa. Pada tahun 1920 praja
Mangkunegara memiliki 561 desa, sedangkan pada tahun 1926 telah memiliki
26
Wasino ,op.cit, 2008, hlm. 52.
27
Wasino, op.cit, 1994, hlm. 54
58
agar tidak jatuh karena masuknya pengaruh dunia luar terhadap desa-desa di
beberapa kelompok menurut nama atau gelar figur penting nama kelompok abdi
para pejabat yang memegang peranan dalam sistem birokrasi pemerintahan Praja
Pada wilayah kota Mangkunegara terdepat daerah elite orang Eropa yang
dikenal dengan Villapark. Permukiman Villa Park merupakan tempat tinggal elit
bagi bangsa Eropa di wilayah Kota Mangkunegara. Dengan luas 1,5 ha,
28
Mohamad Daljjyono, Ketataprajaan Mangkunegaran, Surakarta: Rekso Pustaka, 1977, hlm.1
10.
29
Wasino, op.cit, 2008, hlm 124.
59
orang-orang Eropa tidak lagi sepenuhnya dimiliki oleh orang-orang Eropa saja.
Memang pada awalnya daerah Villa Park merupakan daerah yang diperuntukkan
telah membuat golongan pribumi masuk ke dalam lingkungan tersebut. Hal ini
sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 1 November 1913. 31 Pada
dibangun menurut model tata ruang Eropa yang telah meninggalkan konsep arah
perempatan jalan (Nova, 2011: 6). Terlepas dari berbagai kebijakan politik dan
pola permukiman dan tata ruang Praja Mangkunegara, Mangkunegara VII juga
tidak hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi meliputi segala bidang.
30
Daryadi, ―Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan
Mangkunegara VII‖. Skripsi.Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret.2009, hlm. 58.
31
Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No 1
60
seperti bendungan, saluran air, dan prasarana lainnya yang berkaitan dengan
mendesak buat rakyatnya, karena mengingat keadaan tanah dan topografi daerah
berguna sebagai pemupukan, karena air yang mengalir itu membawa lumpur yang
subur yang berasal dari lereng-lereng gunung dan lumpur-lumpur itu akan
buah waduk yang berfungsi sebagai saluran irigasi. Waduk-waduk tersebut, antara
lain: (1) Waduk Kedung Uling yang dibangun pada tahun 1918. Waduk ini
mempunyai luas 15,4 ha dengan kedalaman rata-rata 9,7 m berisi 712.500 m³ air
dan dapat mengaliri 800 ha sawah. (2) Waduk Plumbon dibangun dalam dua
tahap, yaitu tahun 1918-1919 dan tahun 1924-1929. Waduk ini mempunyai luas
12,5 ha dengan kedalam rata-rata 15 m ini berisi 1.200.000 m³ air yang dapat
mengairi 815 ha sawah. (3) Waduk Tirtomarto dibangun pada tahun 1920-1924.
Waduk ini luasnya 56,5 ha dengan kedalaman rata-rata 16 m ini berisi 4.000.000
m³ air yang dapat mengairi 12.700 ha sawah. (4) Waduk Cengklik dibangun pada
tahun 1930-1932. Waduk ini mempunyai luas 301, 2 ha dengan kedalaman rata-
32
Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa
Pustaka. hal 42
61
rata 9 m ini berisi 11.000.000 m³ air yang dapat mengairi 950 ha sawah. (5)
Waduk Jombor dibangun pada tahun 1925-1926. Waduk ini luasnya hanya 16 ha
dengan kedalaman 4,5 m berisi 400.000 m³ air yang dapat mengairi 2,3 ha
sawah.33
33
Wasino, op.cit. hal 203-204
62
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2008. KBBI Edisi Keempat.
Jakarta: Balai Pustaka.
SKRIPSI/THESIS/DISERTASI
Baiquini, Muhammad. 1988. Evaluasi Kapasitas Maksimum Sistem Drainase
terhadap Debit Banjir Rencana Tahun 2005 di Kotamadya Surakarta.
Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM Yogyakarta.
Daryadi. 2009. Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada
Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas
Maret.
Prasetyo, Agustinus Budi. 2009. Pemetaan Lokasi Rawan Dan Risiko Bencana
Banjir Di Kota Surakarta Tahun 2007. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas
Maret
Putro, Nova Yunanto. 2011. Perkembangan Perkotaan Di Praja Mangkunegaran
(Studi Tentang Kebijakan Mangkunegara VII, 1916-1944). Surakarta:
Universitas Negeri Sebelas Maret.
ARTIKEL
Zaida, dan Arifin. 2010. Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No 2. Surakarta:
Perkembangan Kota Sebagai Akibat Pengaruh Perubahan Sosial Pada Bekas
Ibukota Kerajaan di Jawa.
Undang-Undang
Anonim. 2007. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Jakarta.
INTERNET
http://media-kitlv.nl/all–
media/indeling/detail/form/advanced/start/1?q_searchfield=pasar+kliwon diakses
tanggal 14 Juli 2016, 09:57:20
http://media-kitlv.nl/all
media/indeling/detail/form/advanced/start/3?q_searchfield=overstroming+surakart
a diakses tanggal 14 Juli 2016, 10:05:10
http://id.climate-data.org/location/3210/ diakses pada 16 Juli 2016, 10:45:22