Anda di halaman 1dari 44

BAB II

GAMBARAN LANSKAP KOTA SURAKARTA DAN DAM TIRTONADI

Dalam sejarah peradaban manusia, alam merupakan hal yang amat penting

dan tak terpisahkan bagi keberlangsungan hidup manusia. Interaksi antara alam

dengan manusia sudah tercipta sejak manusia pertama kali diciptakan di bumi.

Kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung sangat

dipengaruhi oleh alam dan lingkungannya, dan begitu juga sebaliknya. Pengaruh

alam dan lingkungan dalam perkembangan peradaban manusia menjadi suatu hal

yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Lanskap atau bentanglahan merupakan

komponen alam yang cukup menonjol dalam mempengaruhi kehidupan peradaban

manusia dari masa prasejarah hingga sekarang.

Lanskap secara umum memiliki makna yang hampir sama dengan istilah

‗bentanglahan‘ atau ‗fisiografis‘ dan ‗lingkungan‘. Perbedaan diantara ketiganya

terletak pada aspek interpretasinya. Bentang lahan di dalamnya terdapat unit-unit

bentuklahan (landform) merupakan dasar lingkungan manusia dengan berbagai

keseragaman (similaritas) maupun perbedaan (diversitas) unsur-unsurnya.

Kondisi bentang lahan seperti ini memberikan gambaran fisiografi suatu wilayah.

Wilayah yang mempunyai karakteristik dalam hal bentuklahan, tanah, vegetasi

dan atribut (sifat) pengaruh manusia, yang secara kolektif ditunjukkan melalui

kondisi fisiografi dikenal sebagai suatu lanskap (Vink dalam Yuwono, 2007: 5).

19
20

Batasan lanskap secara spesifik dapat diartikan sebagai wilayah atau suatu

luasan di permukaan bumi dengan delineasi (batas-batas) tertentu, yang

ditunjukkan melalui suatu geotop atau kelompok geotop (bagian geosfera yang

relatif homogen dari segi bentuk dan prosesnya). Batasan ini menekankan

perlunya delineasi untuk menvisualisasikan suatu lanskap sebagai suatu unit

spasial berdasarkan bentuklahan, vegetasi, dan ciri-ciri ubahan (artifisial)

( Yuwono, 2007: 5).

Sesuai dengan karakternya, suatu lanskap dapat menampilkan gambaran yang

kompleks dengan sifat yang bervariasi menurut jangkauan ruang dan waktu

(Gisiger dalam Yuwono, 2007: 6). Untuk mempermudah menemukan dominasi

unsur pada suatu lanskap, maka lanskap dibagi menjadi beberapa jenis, meliputi

(dirangkum dari Bintarto, Rangkuti, Yuwono, dalam Yuwono, 2007: 6):

1. Natural Landscape, yaitu bentanglahan alami sebagai fenomena/ perwujudan

di muka bumi, misalnya gunung dan laut. Kategori ini memiliki batasan yang

sangat umum, dan dapat disamakan dengan istilah ―pemandangan‖ menurut

terminologi umum.

2. Physcial Landscape, yaitu bentanglahan yang masih didominasi oleh unsur-

unsur alam, yang di selang-seling oleh kenampakan budaya.

3. Social Landscape, yaitu bentanglahan dengan kenampakan fisik dan sosial

yang bervariasi karena adanya heterogenitas adaptasi dan persebaran

penduduk terhadap lingkungannya.

4. Economical Landscape, yaitu bentanglahan yang didominasi oleh bangunan

beragam yang beroentasi ekonomis.


21

5. Cultural Landscape, merupakan bangunan atau unsur budaya dengan natural

features sebagai latar belakangnya. Bentanglahan ini merupakan hasil

interaksi antara manusia dengan wilayahnya.

Pada dasarnya visualisasi suatu lanskap dibentuk oleh dua hal pokok, meliputi:

1. Perpaduan antara karakteristik alami dan non-alami dari ruang di permukaan

maupun dekat permukaan bumi yang besifat dinamis.

2. Hasil suatu perubahan berkesinambungan dari interaksi dinamis antar sfera.

Kedua hal tersebut merupakan prinsip untuk visualisasi bentangahan, karena pada

dasarnya bentanglahan merupakan ekspresi hubungan erat antar sfera dalam ruang

dan waktu tertentu (Yuwono, 2007: 6).

Suatu lanskap terbentuk oleh bentuklahan dan unsur-unsur fisik yaitu

tanah, air, dan vegetasi. Keterlibatan aspek budaya dalam membentuk suatu

lanskap seringkali memunculkan bentuk-bentuk anomali yang ―menyimpang‖

dari sifat asli suatu bentuklahan (Yuwono, 2007: 7). Aspek budaya dalam hal ini

adalah adanya campur tangan manusia. Aktivitas manusia tidak hanya tergantung

dan dipengaruhi oleh lingkungan alam, namun juga dapat mempengaruhi dan

menyebabkan modifikasi lingkungan alam, baik secara sengaja maupun tidak

sengaja. Modifikasi yang dimaksud adalah semua perubahan bentuk relief bumi

atau permukaan tanah, baik sebagai akibat adanya konstruksi maupun adanya

gejala atau kenampakan fisik lainnya. Modifikasi lanskap yang dilakukan manusia

seringkali menimbulkan anomali lanksap. Untuk mengetahui dan memahami

anomali yang terjadi maka pola alami yang seharusnya terbentuk pada suatu

bentuklahan harus dipahami terlebih dahulu. Penyimpangan atau anomali yang


22

seringkali terjadi adalah penyimpangan pola saluran (stream pattern), pola kontur,

pola penggunaan lahan (landuse) (Yuwono 2007: 7).

Modifikasi lanskap inilah yang terjadi pada lanskap Kota Surakarta.

Fenomena ini terjadi sejak Kota Surakarta masih berupa desa kecil yang bernama

Desa Sala. Desa Sala dipilih menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Islam

pada tanggal 17 Februari 1745. Campur tangan Pemerintah Belanda, dan

berkembangnya demografi dan sarana-prasarana Kota Surakarta menjadikan

modifikasi lanskap yang terjadi berubah dan membentuk karakteristik lanskap

tersendiri bagi Kota Surakarta. Perubahan modifikasi lanskap yang berkembang

membentuk karakteristik lanskap khas Kota Surakarta mempunyai dampak positif

dan negatif bagi keberlangsungan masyarakat Kota Surakarta. Dampak negatif

dari karakteristik lanskap Kota Surakarta dewasa ini tampaknya kurang disadari

dan dipahami oleh masyarakat maupun Pemkot Surakarta sehingga seringkali

menyebabkan bencana bagi Kota Surakarta. Penulis menyadari fenomena

tersebut, dan untuk menjelaskan modifikasi dan karakteristik lanskap beserta

dampaknya maka perlu pemahaman tentang lanskap Kota Surakarta terlebih

dahulu. Tulisan dalam bab ini secara khusus akan memberi gambaran tentang

lanskap Kota Surakarta dan perkembangannya sejak awal abad XX.


23

2.1. Gambaran Lanskap Kota Surakarta Awal Abad XX

Lanskap yang dibangun manusia dalam suatu periode sejarah dapat

merefleksikan kebudayaan, ekonomi dan political nature suatu masyarakat (Zaida,

dan Arifin. 2010; 83). Kota Surakarta merupakan salah satu kota tua di Indonesia

yang telah mengalami berbagai peristiwa sejarah. Selama dua abad (1745-1945)

Kota Surakarta tumbuh sebagai pusat Kerajaan Mataram Islam dan berlanjut

hingga tahun 2016 sebagai kota modern, menjadikan Kota Surakarta sebagai salah

satu kota yang memiliki karakteristik lanskap tersendiri. Berbagai peristiwa

sejarah yang terjadi di Kota Surakarta secara langsung maupun tidak langsung

telah membentuk karakteristik lanskap Kota Surakata. Lanskap Kota Surakarta

dapat menjadi identitas Kota Surakarta dan cerminan karakteristik masyarakat

Kota Surakarta. Secara umum, lanskap Kota Surakarta terdiri dari lanskap budaya

(Cultural Landscape) dan lanskap fisik (Physcial Landscape).

2.1.1. Lanskap Budaya Kota Surakarta

Kota Surakarta menurut catatan yang dibuat pada awal abad XX memiliki

luas 24 km² dengan panjang 6 km, membentang dari arah barat ke timur, dan 4 km

dari arah utara ke selatan.1 Kota Surakarta terletak pada ketinggian 200 m di atas

permukaan laut, di sisi kiri Sungai Bengawan Solo, dan pada kedua sisi Sungai

Pepe. Sebagian besar Kota Surakarta termasuk wilayah Kasunanan dan hanya

seperlima bagian yang masuk ke wilayah Praja Mangkunegara. 2 Letak Keraton

1
G.P.R., ―Soerakarta of Solo‖,Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, 2de druk, IV(‗s-
Gravenhage, Leiden: E.J. Brill, 1921), hlm. 36.
2
Ibid.
24

Kasunanan di sebelah selatan Kota Surakarta membuat masyarakat mengenalnya

sebagai daerah kidulan, sedang Praja Mangkunegara di sebelah utara. Keletakan

seperti ini secara tidak langsung memunculkan batasan imajiner dimana Jalan

Raya Purwasari (sekarang Jl. Slamet Riyadi) dan jalan trem yang menghubungkan

Bayalali (sekarang Boyolali) dan Wanagiri (sekarang Wonogiri) sebagai batas

pemisah kedua daerah tersebut.

Kota Surakarta pada awalnya hanya sebuah desa kecil yang dikusai oleh Ki

Sala. Penyebutan Ki Sala berasal dari nama tempat bermukimnya pimpinan kuli

pelabuhan yang bernama Ki Soroh Bau (bahasa Jawa, berarti kepala tukang

tenaga) yang berangsur-angsur terjadi pemudahan pelafalan menjadi Ki Sala. Pada

awalnya, Solo mempunyai empat bandar yang ramai pada masa Kadipaten dan

Kerajaan Pajang tahun 1500-1600. Empat bandar tersebut adalah Bandar

Kabanaran di Laweyan, Bandar Pecinan di Kali Pepe, Bandar Arab di Kali Jenes,

dan Bandar Nusupan di Semanggi. Terjadinya pendangkalan pada anak-anak

Sungai Bengawan Solo (Kali Jenes, Kali Kabanaran, dan Kali Pepe), maka

bandar-bandar yang ada tidak dapat berfungsi lagi secara maksimal dan mulai

terganti seiring munculnya pengaruh dan intervensi Belanda di Kota Surakarta

(Qomarun & Prayitno, 2007: 81).

Sementara nama ‗Surakarta‘ diambil dari perpindahan Kerajaan Mataram

Islam pada tahun 1745 M dari Keraton Kartasura. Perpindahan ini dilakukan pada

masa Paku Buwono II karena Keraton Kartasura hancur akibat pemberontakan

dan peperangan serta adanya kepercayaan bahwa tempat yang telah membawa

malapetaka seyogyanya tidak dipergunakan lagi. Pemberontakan tersebut terjadi


25

pada tahun 1677-1703 dan dipimpin oleh Raden Trunajaya bersama laskar

Makasar.

Pemberontakan kedua terjadi pada tahun 1725-1749 dimana keraton

mengalami porak-poranda akibat serangan dan pendudukan kaum pemberontak

dan orang-orang Cina, pemberontakan ini dikenal sebagai Geger Pecinan. Paku

Buwana II sebagai Raja Mataram Islam terakhir yang berkedudukan di Kartasura,

memerintahkan untuk memindahkan keraton Mataram Islam ke tempat lain.

Sesudah melakukan penelitian terhadap beberapa tempat (Kadipala dan

Sanasewu), akhirnya Desa Sala terpilih sebagai tempat kedudukan keraton baru.

Dalam keadaan yang belum selesai, keraton baru itu dijadikan tempat kediaman

raja dan pusat pemerintahan. Perpindahan dari Kartasura ke keraton baru hanya

berjarak sekitar 10 km dan dilangsungkan pada tahun 1746.3 Paku Buwana II di

keraton baru itu memproklamasikan nama Surakarta Adiningrat sebagai pengganti

nama Desa Sala.

Alasan pemilihan Desa Sala sebagai tempat berdirinya keraton Mataram

Islam pada masa itu adalah dengan berbagai alasan. Dalam buku Darsiti

Soeatman, “Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939” dijelaskan ada

enam alasan pemilihan lokasi (analisis lokasional). Hal yang pertama adalah

daerah Surakarta berada di dekat wilayah tempuran (pertemuan antara dua buah

sungai, yaitu Sungai Pepe dan Sungai Bengawan Solo). Wilayah tempuran

mempunyai arti magis dan tempat-tempat yang terdapat di dekatnya dianggap

3
Soepomo Poedjosoedarmo & M.C. Ricklefs, ―The Establishment of Surakarta, a Translation
from the Babad Giyanti‖ , Indonesia, N. 4, 1967, hlm.89.
26

keramat.4 Kedua, Desa Sala dekat dengan bengawan (sebuah sungai besar yang

sejak zaman kuno menjadi penghubung antara Jawa Tengah-Jawa Timur). Jalur

inilah yang berfungsi sebagai penghubung untuk berbagai kepentingan ekonomi,

sosial, politik, dan militer, bahkan masyarakat hingga abad XIX memilih

bepergian melalui sungai daripada daratan. Ketiga, Desa Sala sudah menjadi desa

sehingga tidak perlu adanya pembabatan hutan. Keempat, dihubungkan dengan

bangunan suci Cala (bangsal besar) yang tertulis dalam Oud-Javaansche

Oorkonde (OJO) No. XLIII dari Singhasari pada zaman Mpu Sendok. Dalam OJO

disebut nama tempat Kahyunan. Dugaan Poerbatjaraka bahwa nama Cala adalah

Kota Surakarta, karena di kota tersebut terdapat sekolah Prahunan 5 dan terletak di

dekat muara Sungai Pepe.

Kelima, dihubungkan dengan kepentingan jalur perdagangan dan monopoli

Belanda bahwa jalur Semarang-Surakarta adalah jalur vital bagi Belanda.

Keenam, menggunakan petangan sesuai adat yang berlaku, daerah Kadipala dan

Sanasewu tidak memenuhi syarat petangan (keadaan tanah akan berpengaruh

pada penghuni rumah kediaman yang didirikan di atas tanah itu).

Mengenai terpilihnya Desa Sala, desa yang tanahnya tidak rata, penuh dengan

rawa-rawa, Brandes juga menghubungkan dengan kata Sala. Ejaan kata Sala

dapat diubah menjadi Sula, Sola, Sura, dan jika kata-kata itu digabungkan dengan

kata Karta, maka akan didapat kata Sulakarta, Solakarta, dan Surakarta. Brandes

menyimpulkan bahwa nama Kartasura diambil dari Karta dan nama Surakarta dari

4
Gandhajoewana, ―Overblijfselen van Kerta en Plered‖, Djawa XX, 1940, hlm. 217.
5
Poerbatjaraka, ―Sambutan‖, Penelitian Sedjarah, Djuni 1961, No 3 (No. 2-Th, ke-II), Djakarta:
Jajasan Lembaga Ilmiah Indonesia untuk Penyelidikan Sedjarah), hlm. 6.
27

Kartasura.6 Selain beberapa pendapat mengenai dipilihnya Desa Sala tersebut di

atas, di kalangan rakyat dikenal adanya folklore Kiai Bathang. Sinar api yang

menerangi Desa Sala sesudah Kiai Bathang dikubur ditafsirkan bahwa Desa Sala

memiliki kekuatan magis.7

Pada dasarnya, dari seluruh penjelasan tentang asal mula nama Desa Sala atau

Kota Surakarta serta berbagai alasan pemilihan lokasi Desa Sala sebagai keraton

baru Kerajaan Mataram Islam bisa ditarik dua macam kesimpulan. Kesimpulan

pertama adalah Kota Surakarta merupakan kota yang lahir dari peradaban Sungai

Bengawan Solo. Kedua, Desa Sala dipilih berdasarkan dua pemikiran yaitu

pemikiran rasional dan pemikiran irasional. Secara pemikiran rasional, sejak abad

XVIII Desa Sala merupakan daerah perdagangan yang ramai dengan melibatkan

berbagai etnis melalui jalur Sungai Bengawan Solo yang menghubungkan

berbagai daerah di Jawa Tengah hingga ke Jawa Timur dan bermuara ke laut

Jawa, sehingga pada masa tersebut Desa Sala merupakan daerah strategis.

Pemikiran irasional adalah Desa Sala terletak di daerah tempuran, yaitu daerah

pertemuan antara dua sungai (Sungai Bengawan Solo dan Sungai Pepe) dan

dipercayai memiliki kekuatan magis.8 Terlepas dari adanya pemikiran tersebut

(keuntungan kosmologis dan ekonomis), perlu diketahui bahwa Kota Surakarta

memiliki karakteristik geografis yang menyebabkan Kota Surakarta rawan

terhadap bencana banjir dari berbagai sungai yang mengelilinginya. Bagi Kota

6
Brandes,op.cit., hlm. 437-438, 448.
7
C.C. Berg et al., Geschiedenis van Nederlandsch Indie, II (Amsterdam: Joost van den Vondel,
1938), hlm. 19.
8
Kuntowijoyo, 2000, The Making of a Modern Urban Ecology: Social and Economic History of
Solo, 1900-1915, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fak. Sastra UGM)
28

Surakarta, banjir merupakan musibah yang bersifat rutin dan sudah menjadi

persoalan bersama masyarakat dan Pemerintah Kota Surakarta.

Banjir merupakan aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal,

sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan

rendah di sisi sungai. Aliran air limpasan tersebut yang semakin meninggi,

mengalir dan melimpasi muka tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air

(Bakornas PB, 2007: 5). Bencana banjir dapat menimbulkan dampak yang

merugikan bahkan mengancam kehidupan manusia. Kota Surakarta tercatat

pernah mengalami beberapa kali peristiwa banjir pada Bulan Maret 1966, Maret

1968, Maret 1973, Februari 1974, Maret 1975, Januari 1982, Desember 2007,

Februari 2009 (Prasetya, 2009: 1). Pada tanggal 26-31 Desember 2007 Kota

Surakarta mengalami bencana banjir dengan menyebabkan kerugian total Rp

373.489.810.000,00 (Firdaus, dalam Istikomah 2013: 1).

Jauh sebelum tahun 1966, sebenarnya Kota Surakarta sudah dilanda banjir

besar pada tahun 1915 dimana saat itu tanggul yang mencegah Kota Surakarta

dari bencana banjir belum selesai dibangun dan belum melingkari pinggiran Kota

Surakarta. Bahkan di beberapa tempat di bagian Kota Surakarta ketinggian air

mencapai 1,5 meter (Ridha, 2009: 53). Hal ini dapat dilihat pada gambar 2.1 dan

2.2 di bawah ini:


29

Gambar 2.1. Foto Banjir Kota Surakarta tahun 1915 ketinggian air mencapai
pinggang orang dewasa.
Sumber: kitllv.nl diakses tanggal 14 Juli 2016

Gambar 2.2. Foto Banjir di Pasar Kliwon tahun 1915.


Sumber: kitlv.nl diakses tanggal 14 Juli 2016
30

2.1.2. Lanskap Fisik Kota Surakarta

Letak geografis Kota Surakarta terletak pada zona depresi antara plato di

bagian selatan (Wonogiri), Gunung Merapi di sebelah barat, perbukitan Kendeng

di sebelah utara, dan Gunung Lawu di sebelah timur. Keletakan seperti ini

diibaratkan seperti dasar mangkuk yang mengakibatkan air limpasan yang masuk

ke Kota Surakarta berasal dari tiga arah, yaitu dari lereng tenggara Gunung

Merapi, lereng barat daya Gunung Lawu, dan dataran tinggi Wonogiri.9 Kondisi

tersebut mengakibatkan tidak seimbangnya discharge-recharge area atau neraca

air Kota Surakarta, sehingga mengakibatkan Kota Surakarta menjadi rawan

bencana banjir.

Neraca air adalah neraca masukan dan keluaran air disuatu tempat pada

periode tertentu, sehingga dapat untuk mengetahui jumlah air tersebut kelebihan

(surplus) ataupun kekurangan (defisit). Neraca air berfungsi untuk mengetahui

kondisi air pada surplus dan defisit dapat mengantisipasi bencana yang

kemungkinan terjadi, serta dapat pula untuk mendayagunakan air sebaik-baiknya.

Karakteristik geografis yang mengakibatkan tidak seimbangnya neraca air Kota

Surakarta menjadikan kota ini rawan bencana banjir, dan hal ini diatasi dengan

pembuatan beberapa infrastruktur kota pada tahun 1900-an dan ditujukan untuk

mengatur keseimbangan neraca air Kota Surakarta berupa beberapa pintu air dan

bendungan.

9
Budi Setiyarso, ―Banjir Kota Solo 1966 Bisa Terulang‖, dalam Kompas, tanggal 15 Januari 2007.
31

Pembangunan tanggul mulai dari Kampung Tipes ke timur sampai Kampung

Mlipitan dan Semanggi Kidul, kemudian berbelok ke utara sampai Kampung

Saragenen Wetan, tepat di sebelah selatan Pejagalan (Abbatoir). Bangunan

tanggul di sebelah utara, dibangun mulai dari sebelah utara Balekambang di Desa

Sumber ke timur hingga Kampung Kenthingan yaitu di sepanjang pinggiran

sungai, sehingga pada musim penghujan air yang mengalir tidak meluap ke kota.

Pembangunan tanggul yang mengelilingi Kota Surakarta dibiayai oleh pemerintah

Keraton Surakarta dan Mangkunegara serta bantuan pemerintah kolonial Belanda.

Pembangunan tanggul dilaksanakan pada masa pemerintahan PB X (tahun 1893-

1939) dan masa KGPPA Mangkunegara VI (tahun 1896-1916).10

Di Desa Munggung dibangun pintu air, aliran Sungai Pepe diarahkan ke

timur melalui Sungai Anyar di sebelah utara kota sampai Sungai Bengawan Solo.

Sungai Pepe yang mengalir ke kota, pada musim penghujan akan ditutup. Pintu air

dibangun di Kampung Demangan dan Sangkrah. Pintu air Demangan bila musim

penghujan ditutup agar air yang mengalir dari Sungai Bengawan Solo tidak masuk

ke dalam kota. Di sebelah selatan kota ada Sungai Pelem Wulung yang mengalir

ke kota yang kemudian disebut Sungai Jenes dialirkan ke timur yang kemudian

dinamakan Sungai Tanggul, alirannya menuju ke Sungai Bengawan Solo melalui

sebelah utara Desa Nusupan. Tujuan dari semua pembanguan ini adalah untuk

mengantisipasi banjir Kota Surakarta Berikut adalah hasil overlay keletakan pintu

air dan dam Tirtonadi dengan peta Kota Surakarta tahun 1873.

10
RM Sayid, Babad Sala, terjemahan Darweni, (Surakarta: Museum Rekso Pustaka
Mangkunegaran), 2001, hal 68.
32

Gambar 2.3. Hasil overlay letak pintu air dan dam Tirtonadi dengan peta Kota
Surakarta tahun 1873

Sumber: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran dengan modifikasi penulis

Hasil overlay tersebut menggambarkan bahwa pembangunan dam

Tirtonadi beserta sudetan (Kali Anyar) pada tahun 1902-1905 berada di Desa

Munggung. Pada hasil overlay tersebut tampak bahwa Desa Munggung pada

tahun 1873 masih dominan dengan sawah dan perkebunan serta dialiri Sungai

Pepe yang mengarah ke dalam Kota Surakarta, sehingga wajar bila Belanda

memutuskan membangun dam Tirtonadi di Desa Munggung. Tidak adanya hunian

dan permukiman pada daerah ini juga dapat menjadi alasan dibangunnya dam

Tirtonadi beserta Kali Anyar yang mengarah langsung ke Sungai Bengawan Solo

di timur Kota Surakarta.


33

Secara Geomorfologis, Kota Surakarta memang merupakan kawasan rawan

banjir karena berada di zone depresi (intermontain plain) yang diapit Gunung

Lawu, Gunung Merapi dan Pegunungan Selatan. Kota Surakarta mayoritas

memiliki relief datar, namun memiliki banyak cekungan terutama pada bagian

timur kota dan sekitar anak sungai yang melewati Kota Surakarta. Cekungan-

cekungan tersebut berpotensi menimbulkan genangan. Kawasan dari Sudiroprajan

ke arah timur hingga Kampung Sewu dulunya adalah rawa-rawa, yang berarti dari

dulu Kota Surakarta sebelah timur memang daerah sasaran banjir. Air permukaan

yang masuk Kota Surakarta berasal dari tiga arah yaitu dari lereng tenggara

Gunung Merapi, lereng barat Gunung Lawu dan Wonogiri dengan sembilan anak

sungai yang masuk ke Bengawan Solo. Bentuk DAS Solo hulu yang luas dan

melebar, bahkan mendekati pola radial mengakibatkan waktu kosentrasi air di

Bengawan Solo seragam ketika terjadi hujan. Kondisi itu diperparah dengan hulu

Bengawan Solo di Wonogiri adalah karst atau tanah gersang berbatu yang

koefisien aliran permukaannya tinggi (Istikomah, 2009: 2).

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara

topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan

menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai

utama (Asdak, 2002: 4). DAS Bengawan Solo merupakan DAS terbesar di Pulau

Jawa, terletak di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah

1.594.716,22 Ha. Secara astronomis, DAS Bengawan Solo terletak pada 6o48‘

LS - 8o08‘ LS dan 110o26‘ BT - 112o41‘ BT. DAS Bengawan Solo dibagi ke

dalam tiga Sub DAS, yang meliputi; Sub DAS Bengawan Solo Hulu, Sub DAS
34

Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan Solo Hilir. Luas Sub DAS Bengawan Solo

Hulu ± 6.072 km², luas Sub DAS Kali Madiun ± 3.755 km², sedangkan luas Sub

DAS Bengawan Solo Hilir ± 6.273 km². DAS Solo Hulu merupakan ekosistem

penting bagi kehidupan dan pembangunan di berbagai wilayah, meliputi

Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Karanganyar, Blora, Sragen

dan Kota Surakarta. Lihat pada gambar 2.4 dan 2.5.

Gambar 2.4. Peta DAS Bengawan Solo


Sumber: BBWS Bengawan Solo (2010)
35

Gambar 2.5. Peta Sub DAS Bengawan Solo Hulu


Sumber: BBWS Bengawan Solo (2010)

Secara astronomis Kota Surakarta terletak antara 110o46‘10‖ BT -

110o51‘25‖ BT dan 7o32‘13‖ LS - 7o35‘12‖ LS atau dalam koordinat UTM

terletak zona 49 M antara 474412 – 485510 mT dan antara 9168438 –

9160401 mU, dengan luas wilayah kurang lebih 44,04 km². Berdasarkan posisi

astronomis ini Kota Surakarta berada pada wilayah iklim tropis yang memiliki

ciri-ciri mempunyai dua musim yaitu musim penghujan (Oktober-Maret) dan

musim kemarau (April-September) dengan intensitas curah hujan tinggi.

Curah hujan 220,00 mm/th. 80% terjadi di musim hujan dan 20% terjadi di

musim kemarau11. Suhu udara maksimum Kota Surakarta adalah 32,5 ºC, sedang

suhu udara minimum adalah 21,9 ºC. Rata-rata tekanan udara adalah 1010,9 MBS

11
Presentasi ―Profil Drainase Kota Surakarta‖ Sub Dinas Drainase Dinas Pekerjaan Umum Kota
Surakarta.
36

dengan kelembaban udara 75%. Kecepatan angin 4 Knot dengan arah angin 240

derajat12.

Klasifikasi iklim Kota Surakarta menurut Köppen-Geiger adalah Am

dengan suhu rata-rata tahunan adalah 27.4 °C. Presipitasi terendah terjadi pada

bulan September, dengan rata-rata 23 mm. Pada Januari, presipitasi mencapai

puncaknya, dengan rata-rata 460 mm (ganbar 2.6). Pada suhu rata-rata 28.2 °C,

Oktober adalah bulan terpanas sepanjang tahun. Di 26.7 °C rata-rata, Februari

adalah bulan terdingin sepanjang tahun (gambar 2.7). Di antara bulan terkering

dan bulan terbasah, perbedaan dalam presipitasi adalah 437 mm. Variasi dalam

suhu tahunan adalah sekitar 1.5 °C (gambar 2.8).

Gambar 2.6. Grafik Iklim Tahunan Kota Surakarta


Sumber: id.climate-data.org diakses tanggal 16 Juli 2016

12
Ibid.
37

Gambar 2.7. Grafik Suhu Tahunan Kota Surakarta


Sumber: id.climate-data.org diakses tanggal 16 Juli 2016

Gambar 2.8. Tabel Iklim Tahunan Kota Surakarta


Sumber: id.climate-data.org diakses tanggal 16 Juli 2016
Kondisi topografi Kota Surakarta di bagian selatan relatif datar

ketinggian + 92 mdpl dengan kemiringan 0%-3%, bagian utara kota dengan

ketinggian ± 135 mdpl dan berbukit-bukit. Kedua bagian kawasan ini

dipisahkan oleh Kali Anyar.


38

Kondisi geologi Kota Surakarta sebagian besar terdiri dari tanah liat

berpasir (regosol kelabu) dengan nilai K yang relatif dapat membantu

penyerapan (percolation drainage) selama belum jenuh air. Pada elevasi

tinggi terdapat tanah padas dan di wilayah tengah serta timur yang berbatasan

dengan Bengawan Solo (Keraton dan kedunglumbu) merupakan endapan

lumpur relatif padat, karena merupakan bekas daerah rawa13. Material

pembentuk batuan di Kota Surakarta terdiri dari bahan vulkanis Merapi dan

Lawu yang berumur Holosen. Kota ini terletak pada ujung timur endapan

yang berasal dari Vulkan Merapi, ujung utara endapan dari Pegunungan

Selatan dan ujung barat endapan yang berasal dari Vulkan Lawu (Widiyanto

dalam Baiquni, 1988: 24).

Kondisi hidrologi Kota Surakarta dapat dilihat dengan adanya ketersediaan

air tanah dangkal sebagai sumber air bagi kepentingan penduduk sehari-hari.

Air tanah dangkal yang mengisi langsung daerah Kota Surakarta,

ketersediaannya sangat bergantung dari kondisi permukaannya (Prasetyo,

2009; 50), yaitu :

1) Besarnya curah hujan.

2) Bentuk bentanglahan.

3) Jenis dan sifat fisik tanah/batuan.

4) Luas penutup lahan dan vegetasi.

Bentuk bentang alam yang menguntungkan bagi ketersediaan air tanah

adalah bentuk dataran atau pada bagian lembah yang cukup luas. Menurut

Presentasi ―Profil Drainase Kota Surakarta‖ Sub Dinas Drainase Dinas Pekerjaan Umum Kota
13

Surakarta
39

jenis dan sifat fisik tanah/batuan, daerah yang mempunyai potensi air tanah

dangkal tinggi adalah pada daerah dengan tanah/batuan yang mempunyai

derajat kelolosan tinggi. Daerah tersebut biasanya terletak berdekatan dengan

daerah aliran sungai alam yang terdapat di suatu daerah. Sungai alam yang

terdapat di Kota Surakarta antara lain:

1) Bengawan Solo yaitu sungai alam yang membelah wilayah Kota Surakarta

dengan Kabupaten Karanganyar. Pada saat-saat tertentu, biasanya pada

musim penghujan, sungai ini sering meluap ke daerah sekitarnya, bahkan

mencapai radius ratusan meter dari induk sungainya.

2) Sungai Anyar yaitu sungai yang berada disebelah utara Kota Surakarta

yang mengalir ke sungai induk (Bengawan Solo).

3) Sungai Pepe yaitu sungai yang terletak di bagian tengah Kota Surakarta

yang mengalir ke sungai induk (Bengawan Solo).

4) Sungai Jenes yaitu sungai yang berada disebelah selatan Kota Surakarta

yang merupakan perbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo.

Keberadaan beberapa sungai alam tersebut dapat menggambarkan bahwa

ketersediaan air tanah bebas di Kota Surakarta cukup besar dengan kedalaman

bervariasi tergantung letak topografi dan jenis litologinya. Jumlah ketersediaan air

pada air tanah bebas pada cekungan ini 2910 juta m³/tahun14. Untuk air tanah

tanah tertekan atau air tanah yang terdapat dalam akuifer yang berupa batuan yang

relatif lolos air, mempunyai kedalaman bermacam—macam. Akuifer bervariasi

dari kedalaman 8-200 m, dengan ketebalan beragam 1-25 m. Jumlah ketersediaan

14
Harnandi, D., Arismunandar, Arief S., 2006, Penyelidikan Konservasi Air Tanah Karanganyar-
Boyolali Propinsi Jawa Tengah, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung.
40

air pada sistem akuifer tertekan sebesar 256,29 juta m³/tahun.15 Dewasa ini, pada

daerah tertentu di Kota Surakarta masih terjadi penuruan kedudukan muka air

tanah dan penurunan kualitas air tanah, terutama pada sistem akuifer tertekan. Hal

ini merupakan dampak dari konservasi air tanah di Kota Surakarta belum

terlaksana dengan baik.

Gambaran dan penjelasan berbagai komponen lanskap fisik Kota Surakarta

telah memberikan pemahaman tentang karakteristik geografis Kota Surakarta

secara detail sejak awal mula terbentuknya kota hingga saat ini. Dalam kondisi

seperti inilah peran dan fungsi vital dam Tirtonadi sebagai komponen pengairan

Kota Surakarta sangat diperlukan, oleh karena itu dam Tirtonadi perlu dikaji lebih

dalam sejak awal mula pembangunannya hingga tahun 2016.

2.2. Dam Tirtonadi dan Perkembangannya Awal Abad XX

Dam Tirtonadi merupakan satu-satunya bendungan yang ada di Kota

Surakarta, dan termasuk salah satu komponen penting Kota Surakarta khususnya

dalam hal pengairan. Keberadaan dam Tirtonadi dapat dikatakan mempunyai nilai

vital bagi keberlangsungan masyarakat Kota Surakarta. Bangunan dam Tirtonadi

memiliki peran dan fungsi vital bagi keberlangsungan Kota Surakarta, terutama

untuk mengatasi karakteristik geografis Kota Surakarta yang rawan bencana

banjir. Berikut penjelasan dan gambaran dam Tirtonadi beserta perkembangannya.

15
Ibid.
41

2.2.1. Deskripsi Dam Tirtonadi

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Republik Indonesia Nomor 27/PRT/M/2015, dam atau bendungan adalah

bangunan berupa urukan tanah, urukan batu, dan beton, yang dibangun selain

untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan

menampung limbah tambang, atau mmenampung lumpur sehingga terbentuk

waduk. Seringkali bendungan juga digunakan untuk mengalirkan air ke sebuah

pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Bendungan juga dapat didefinisikan sebagai

bangunan air yang dibangun secara melintang sungai, sedemikian rupa agar

permukaan air sungai di sekitarnya naik sampai ketinggian tertentu, sehingga air

sungai dapat dialirkan melalui pintu sadap ke saluran-saluran pembagi kemudian

hingga ke lahan-lahan pertanian (Katasapoetra, 1991: 37).

Konstruksi sebuah bendungan dapat dibuat dari urugan tanah, pasangan

batu kali, dan bronjong atau beton. Sebuah bendungan konstruksinya dibuat

melintang sungai dan fungsi utamanya adalah untuk membendung aliran sungai

dan menaikkan level atau tingkat muka air di bagian hulu. Pemilihan lokasi

bendungan hendaknya memperhatikan beberapa hal-hal seperti, wilayah atau

topografi daerah yang akan dialiri, topografi lokasi bendung, keadaan hidrolisis

aliran sungai, keadaan tanah pondasi, dan lain sebagainya. Untuk keperluan

perencanaan dan pembangunan suatu konstruksi bendungan, diperlukan pula data-

data yang nanti akan dipergunakan untuk menentukan dimensi, luasan, dan

bagian-bagian bendung yang perlu dibangun. Data-data tersebut, misalnya data

topografi, data hidrologi, data morfologi, data geologi, data mekanika tanah,
42

standar perencanaan (PBI, PKKI, PMI, dll), data lingkungan, dan data ekologi.

Selain itu, diperlukan juga data-data terkait tentang curah hujan di derah tersebut,

data debit banjir, dan data-data lain yang terkait dengan keadaan hidrologis

daerah tersebut. Semua data-data ini dipergunakan untuk perencanaan dan

pembangunan sebuah konstruksi bendungan. Bendungan terdiri dari beberapa

komponen16, yaitu :

 Badan bendungan (body of dams)

Tubuh bendungan merupakan struktur utama yang berfungsi untuk

membendung laju aliran sungai dan menaikkan tinggi muka air sungai dari elevasi

awal. Bagian ini biasanya terbuat dari urugan tanah, pasangan batu kali, dan

bronjong atau beton. Tubuh bendung umumnya dibuat melintang pada aliran

sungai. Tubuh bendung merupakan bagian yang selalu atau boleh dilewati air baik

dalam keadaan normal maupun air banjir. Tubuh bendung harus aman terhadap

tekanan air, tekanan akibat perubahan debit yang mendadak, tekanan gempa,dan

akibat berat sendiri.

 Pondasi (foundation)

Adalah bagian dari bendungan yang berfungsi untuk menjaga kokohnya

bendungan.

 Pintu air (gates)

Pintu air merupakan struktur dari bendung yang berfungsi untuk mengatur,

membuka, dan menutup aliran air di saluran baik yang terbuka maupun tertutup.

Bagian yang penting dari pintu air, yaitu:

16
Nasyiin, 2013, Perencanaan Bendung, https://arsipdosen.wordpress.com/2013/03/29/perencanaan
bendung/, diakses 15 juli 2016
43

a) Daun pintu (gate leaf)

Adalah bagian dari pintu air yang menahan tekanan air dan dapat

digerakkan untuk membuka mengatur dan menutup aliran air.

b) Rangka pengatur arah gerakan (guide frame)

Adalah alur dari baja atau besi yang dipasang masuk ke dalam beton yang

digunakan untuk menjaga agar gerakan dari daun pintu sesuai dengan yang

direncanakan.

c) Angker (anchorage)

Adalah baja atau besi yang ditanam di dalam beton dan digunakan untuk

menahan rangka pengatur arah gerakan agar dapat memindahkan muatan dari

pintu air ke dalam konstruksi beton.

d) Hoist

Adalah alat untuk menggerakkan daun pintu air agar dapat dibuka dan

ditutup dengan mudah.

 Pintu Pengambilan (Intake)

Pintu pengambilan berfungsi mengatur banyaknya air yang masuk saluran dan

mencegah masuknya benda-benda padat dan kasar ke dalam saluran. Pada

bendung, tempat pengambilan bisa terdiri dari dua buah, yaitu kanan dan kiri, dan

bisa juga hanya sebuah, tergantung dari letak daerah yang akan diairi. Bila tempat

pengambilan dua buah, menuntut adanya bangunan penguras dua buah pula.

Kadang-kadang bila salah satu pintu pengambilan debitnya kecil, maka

pengambilannya lewat gorong-gorong yang dibuat pada tubuh bendung.


44

 Pintu Penguras

Penguras ini bisanya berada pada sebelah kiri atau sebelah kanan bendung dan

kadang-kadang ada pada kiri dan kanan bendung. Hal ini disebabkan letak

daripada pintu pengambilan. Bila pintu pengambilan terletak pada sebelah kiri

bendung, maka penguras pun terletak pada sebelah kiri pula. Bila pintu

pengambilan terletak pada sebelah kanan bendung, maka penguras pun terletak

pada sebelah kanan pula.. Pintu penguras ini terletak antara dinding tegak sebelah

kiri atau kanan bendung dengan pilar, atau antara pilar dengan pilar. Lebar pilar

antara 1,00 sampai 2,50 meter tergantung konstruksi yang dipakai. Pintu penguras

ini berfungsi untuk menguras bahan-bahan endapan yang ada pada sebelah udik

pintu tersebut. Untuk membilas kandungan sedimen dan agar pintu tidak

tersumbat, pintu tersebut akan dibuka setiap harinya selama kurang lebih 60

menit.

 Kantong Lumpur

Kantong lumpur berfungsi untuk mengendapkan fraksi-fraksi sedimen yang

lebih besar dari fraksi pasir halus ( 0,06 s/d 0,07mm ) dan biasanya ditempatkan

persis disebelah hilir bangunan pengambilan. Bahan-bahan yang telah mengendap

dalam kantung lumpur kemudian dibersihkan secara berkala melalui saluran

pembilas kantong lumpur dengan aliran yang deras untuk menghanyutkan

endapan-endapan itu ke sungai sebelah hilir.

Suatu bendungan memiliki bangunan pelengkap untuk menunjang fungsi dan

operasional pelaksanaannya. Bangunan pelengkap suatu bendungan terdiri dari

bangunan-bangunan atau pelengkap yang akan ditambahkan ke bangunan utama


45

untuk keperluan :

1) Pengukuran debit dan muka air di sungai maupun di saluran sungai.

2) Peralatan komunikasi, tempat berteduh serta perumahan untuk tenaga

eksploitasi dan pemeliharaan.

3) Jembatan diatas bendung agar seluruh bagian bangunan utama mudah

dijangkau atau agar bagian-bagian itu terbuka untuk umum.

a) Keletakan Dam

Dam Tirtonadi terletak di Kampung Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kota

Surakarta. Secara astronomis bendungan ini terletak pada 110o49‘45‖ BT -

7o33‘13‖ LS atau dalam koordinat UTM terletak zona 49 M antara 481158

mT -9165043 mU. Dam Tirtonadi dibangun pada tahun 1902-1905 dan

difungsikan pada tahun 191017.

Pembangunan dam Tirtonadi berkaitan erat dengan pembuatan sodetan atau

banjir kanal yang kini dikenal dengan sebutan Sungai Anyar. Pada tahun 1922,

dalam proses pembuatan Sungai Anyar ditemukan struktur candi dengan bahan

batu bata. Candi ini dikenal dengan nama Candi Nusukan, tetapi pada

perkembangannya candi ini sekarang sudah menjadi bagian dari aliran Sungai

Anyar dan tidak banyak warga masyarakat sekitar dam Tirtonadi yang mengetahui

keberadaan candi tersebut. Keletakan pintu air dan dam Tirtonadi saat ini dapat

dilihat pada gambar 2.9.

17
RM Sayid, Babad Sala, terjemahan Darweni, (Surakarta: Museum Rekso Pustaka
Mangkunegaran), 2001, hal 67.
46

Gambar 2.9.
Peta keletakan pintu air dan dam Tirtonadi di Kota Surakarta
Sumber: DPU Kota Surakarta (2008) dengan modifikasi penulis

Gambar 2.10. Struktur Candi Nusukan pada sudetan Sungai Anyar tahun 1922
Sumber: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran
47

Gambar 2.11. Penemuan struktur Candi Nusukan dalam pembangunan Sungai


Anyar tahun 1922
Sumber: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran

Bangunan dam Tirtonadi terdiri dari dua bagian yang membentang dari

arah utara-selatan. Pada bagian bawah terdapat pintu air yang berjumlah sepuluh

buah, berukuran lebar masing-masing ± 2 meter (gambar 2.11). Bagian atas

merupakan ruang mesin dengan konstruksi kayu jati yang kokoh dan terdapat

pilar-pilar semu yang berfungsi sebagai struktur bangunan. Untuk sampai ke

ruang ini terdapat dua tangga. Tangga di sisi selatan berupa undakan, berlantai

ubin dari bahan batu andesit. Menurut Kepala Bagian sub drinase Kota Surakarta

Ir.Budi Santoso, bangunan dam Tirtonadi dapat dikatakan sebagai sebuah cekdam

yang berfungsi untuk mengatur pengairan Kota Surakarta. Cekdam adalah tanggul
48

sejajar dengan arus air untuk mencegah pelebaran sungai atau sebagai tanggul

pengaman18.

Gambar 2.12. Pintu air dam Tirtonadi


Sumber: Aji, 2016

b) Arsitektur Dam

Dam Tirtonadi saat ini memiliki lebar bendung ± 60 meter dan tinggi

bendung ± 2,5 meter. Bendungan ini memiliki daya tampung air 600.000 m³

18
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2008. KBBI Edisi Keempat. Jakarta: Balai
Pustaka
49

dengan laju debit air 800 m³/s19. Dam ini memiliki 10 pintu air yang menuju ke

kota, dari sepuluh pintu air yang mengarah ke kota tersebut hanya dua pintu air

yang masih berfungsi mengalirkan air ke Sungai Pepe Kota. Arsitektur bangunan

dam mengandung unsur-unsur pelengkung, baik sebagai konstruksi maupun

sebagai dekorasi. Atap bangunan ini berbentuk limasan dari bahan kayu jati.

Ujung bangunan bendungan sisi selatan menjorok ke arah barat. Langit-langit di

bagian teritisan menggunakan bahan kayu jati. Lantai keseluruhan di ruangan

mesin mengunakan ubin dari bahan batu andesit.

Keberadaan Dam Tirtonadi berhubungan erat dengan jaringan drainase

Kota Surakarta. Dam Tirtonadi sebagai komponen pengairan kota merupakan

pendukung operasional jaringan drainase Kota Surakarta. Peran dan fungsi

jaringan drainase sebagai sistem drainase perkotaan terutama dalam hal

pengaturan besar-kecilnya debit aliran air yang masuk dan keluar di Kota

Surakarta melalui Sungai Pepe Kota. Berikut penjelasan profil drainase Kota

Surakarta.

2.2.2. Latar Belakang Pembangunan Dam Tirtonadi

Melihat gambaran lanskap fisik dan budaya Kota Surakarta yang

sedemikan rupa adanya, maka dapat disimpulkan bahwa ada 4 faktor yang

melatarbelakangi pembangunan Dam Tirtonadi pada awal abad XX antara lain

adalah sebagai berikut:

19
Kop, Jan. .Drinking water,sanitation and flood control in urban areas. .
50

a) Faktor Historis

Faktor historis sebagai pendorong dibangunnya dam Tirtonadi meliputi (Budi

Prayitno, 2007: 83):

1) Adanya kebiajakan politik tanam paksa pada tahun 1830 berakibat gundulnya

hutan-hutan di daerah hinterland membuat Kota Surakarta terancam banjir.

2) Adanya penemuan teknologi transportasi darat (kereta api) mengubah

perubahan paradigma berlalu lintas pada masa interval 1857-1900 yang

semula masih sebagian di sungai sebagian di darat, beralih total ke darat.

3) Terjadinya pendangkalan pada Sungai Bengawan Solo sehingga sulit dilalui

kapal-kapal besar, sehingga aktivitas perdagangan menjadi terhambat.

4) Adanya pembuatan sodetan atau pemotongan Kali Pepe oleh sungai baru (Kali

Anyar) pada bagian utara kota, sehingga air tidak memasuki kota melainkan

melalui luar kota yang bermuara di Sungai Bengawan Solo.

b) Faktor Geografis

Faktor kondisi geografis Kota Surakarta sebagai pendorong pembangunan

dam Tirtonadi awal abad XX meliputi:

1) Kondisi topografi di bagian selatan kota relatif datar ketinggian + 92 m dari

permukaan laut dengan kemiringan 0%-3%, sementara bagian utara kota

ketinggian + 135 m dari permukaan laut dan berbukit-bukit membuat Kota

Surakarta rawan bencana banjir.

2) Kondisi geologi sebagian besar terdiri dari tanah liat berpasir (regosol kelabu)

dengan nilai K yang relatif dapat membantu penyerapan (percolation


51

drainage) selama belum jenuh air. Pada elevasi tinggi terdapat tanah padas

dan di wilayah tengah serta timur kota yang berbatasan dengan Bengawan

Solo (Keraton dan Kedunglumbu) merupakan endapan lumpur relatif padat

bekas rawa zaman dulu.

3) Kawasan Surakarta bagian utara yang relatif luas berkontur dan berbukit

sehingga debit dan kecepatan aliran tinggi padahal saluran outlet

(pembuangan air) ke Kali Anyar baik jumlah maupun kapasitasnya sangat

terbatas.

4) Adanya perubahan bentuk kontur untuk pengembangan permukiman, sehingga

telah merubah arah aliran yang berdampak kesenjangan antara rencana

penataan drainase dengan kenyataan.

c) Faktor Ekonomi

Perkembangan ekonomi Kota Surakarta awal abad XX hingga sekarang

ternyata sangat mempengaruhi dalam pembentukan karakteristik lanskap Kota

Surakarta.. Berikut adalah beberapa faktor ekonomi sebagai pendorong

dibangunnya dam Tirtonadi:

1) Lumpuhnya kegiatan ekonomi Kota Surkarta dan eks Karasidenan Surakarta

setiap kali banjir melanda. Beberapa kali peristiwa banjir terjadi pada bulan

Maret 1966, Maret 1968, Maret 1973, Februari 1974, Maret 1975, Januari

1982, Desember 2007, Februari 2009 (Prasetya, 2009: 1).

2) Perkembangan perumahan-perumahan baru (lahan permukiman) terutama oleh

developer (swasta) tidak diikuti dengan penataan drainase yang memadai.


52

3) Perubahan guna lahan yang tidak sesuai dengan perencanaan terutama pada

daerah bantaran sungai dan badan-badan saluran untuk permukiman.

d) Faktor Fungsional

Secara teknis dan fungsional, faktor pendorong dibangunnya dam Tirtonadi

pada awal abad XX meliputi:

1) Kesenjangan antara debit air hujan dengan kapasitas saluran, padahal lahan

untuk pengembangan saluran sudah tidak ada

2) Sebagian saluran drainase Kota Surakarta masih berfungsi campuran (mixed

used) untuk air hujan dan limbah ataupun irigasi.

3) Hampir semua kawasan Kota Surakarta merupakan lahan terbangun, sehingga

kawasan resapan yang ada menjadi sangat kecil.

4) Pada daerah-daerah bekas persawahan, pada awalnya saluran drainase yang

ada merupakan saluran irigasi. Perubahan fungsi ini tidak diikuti dengan

perubahan desain saluran.

5) Sebagian saluran yang ada masih saluran alam padahal lahan yang semula

kosong telah berubah menjadi permukiman yang padat.

1.3. Permukiman Praja Mangkunegara Awal Abad XX

Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,

baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai

lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang

mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU no.4 tahun 1992, tentang


53

Perumahan dan Permukiman). Secara fisik, suatu permukiman berkaitan erat

dengan struktur sosial-politik masyarakat pendukungnya. Sehubungan dengan hal

tersebut, maka penjelasan dan gambaran struktur sosial-politik serta dinamika

permukiman Praja Mangkunegara adalah sebagai berikut.

1.3.1. Kebijakan Politik Praja Mangkunegara

Berdirinya Praja Mangkunegara ditandai dengan dilaksanakannya perjanjian

Salatiga antara Raden Mas Said, Belanda, dan Sunan Paku Buwono III tahun

1757. Perjanjian tersebut menyepakati beberapa hal yang meliputi:

1) Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji, yang berkedudukan di

bawah Sunan. Raden Mas Said bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara.

2) Raden Mas Said mendapatkan tanah sebesar 4000 karya,20 yang terletak di

Keduwang, Laroh, Matesih dan Gunung Kidul.

3) Raden Mas Said harus bersumpah setia kepada Sunan, Sultan, dan Belanda.

Raden Mas Said juga harus tunduk kepada perintah raja. Ia juga harus tinggal

dan berkedudukan di ibukota Surakarta.21

Berdasarkan perjanjian Salatiga tersebut disepakati bahwa Raden Mas Said

mendapat tanah lungguh (apanage) seluas 4000 karya .Tanah apanage yang

diberikan kepada Raden Mas Said merupakan tanah yang pernah dikuasai oleh

Raden Mas Said. Wilayah awal Praja Mangkunegara disebut sebagai desa Babok

(desa inti atau desa induk).

20
Luas satu karya sekitar 7.096,5 meter atau sama dengan satu bau (3/4 hektar). Lihat Wasino,
2008, Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: PT. LKiS
Pelangi Aksara.
21
A.K.Pringgodigdo, Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran ,Surakarta: Rekso
Pustaka,1938, hlm 8
54

Luas dan nama-nama wilayah yang ada di bawah Pemerintahan Praja

Mangkunegara pada tahun 1757 dapat dijelaskan melalui tabel 2.1. berikut ini:

NO. NAMA WILAYAH LUAS LUAS

(JUNG) (KARYA)

1 Keduang 141 564

2 Laroh 115,5 462

3 Matesih 218 872

4 Wiraka 60,5 242

5 Haribaya 82,5 330

6 Hanggabayan 25 100

7 Sembuyan 133 532

8 Gunung Kidul 71,5 286

9 Pajang (sebelah selatan 58,8 235,2

Jalan Surakarta-Kartasura)

10 Pajang (sebelah utara Jalan 64,5 258

Surakarta- Kartasura)

11 Mataram (Pertengahan 64,5 258

Yogyakarta)

12 Kedu 8,5 34

JUMLAH 975,5 3918

Tabel 2.1. Nama dan Luas Wilayah Desa Babok Mangkunegaran Tahun 1757
55

Sumber: Wasino, 2008, Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat


Mangkunegaran, Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, hlm 13
Di bawah pemerintahan Mangkunegara II (1756-1835), wilayah praja

Mangkunegara mengalami pertambahan wilayah sebanyak dua kali. Pada tahun

1813, Praja Mangkunegara mendapat tambahan tanah sebesar 240 jung22 atau

1000 karya sehingga luasnya menjadi sekitar 5.000 karya. Wilayah tambahan ini

tersebar di sejumlah tempat, yaitu, yang terletak di Keduwang (72 jung ),

Sembuyan (12 jung), Mataram (2,5 jung), Sukawati bagian barat (28,5 jung) dan

daerah di lereng gunung Merapi bagian timur (29,5 jung ). Tambahan tanah ini

sebagai hadiah karena jasa Mangkunegara II yang mengirimkan prajuritnya

membantu Inggris dalam konflik melawan Sultan Sepuh di Yogyakarta dan

Susuhunan Pakubuwana IV.23

Pada masa Pemerintahan Mangkunegara III, tepatnya pada tahun 1847,

secara administrasi Praja Mangkunegara dibagi menjadi tiga daerah

Onderregentschap yang meliputi: Wonogiri (Laroh, Hanggabayan, Keduwang),

Karanganyar (Sukawati, Matesih, Haribaya) dan Malangjiwan. Sedangkan pada

masa Mangkunegara IV, tepatnya pada tahun 1875 terjadi perubahan lagi dengan

dihapuskannya Onderregentschap Malangjiwan dan kemudian dibentuk

Onderregentschap Baturetno yang wilayahnya meliputi tanah Wiraka dan

22
Wasino, op.cit., hlm. 14.
23
Ibid hlm 22.
56

Sembuyan. Ini berarti pada masa Mangkunegara IV, Praja Mangkunegara terbagi

menjadi tiga wilayah meliputi Wonogiri, Karanganyar, dan Baturetno24

Pada masa Pemerintahan Mangkunegara V, tepatnya pada tahun 1891

Onderregentschap Baturetno dihapuskan dan wilayahnya digabungkan dengan

Onderregentschap Wonogiri. Saat pemerintahan Mangkunegara VI tepatnya

tahun 1903 terjadi perubahan wilayah lagi, yaitu dibentuknya Onderregentschap

Kota Mangkunegara sehingga wilayah Mangkunegara pada tahun tersebut terbagi

menjadi tiga Onderregentschap, yaitu: Kota Mangkunegara, Karanganyar, dan

Wonogiri ditambah enclave Ngawen25. Berbagai kebijakan politik yang berlaku

sejak awal abad XVIII-XIX di wilayah Praja Mangkunegara secara langsung

berdampak pada dinamika permukiman, berikut adalah gambaran dinamika

permukiman Praja Mangkunegara.

1.3.2. Dinamika Permukiman Praja Mangkunegara

Pada awal abad XX wilayah Mangkunegara meliputi daerah seluas 2815,14

km² yang meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu yang meluas sampai

daerah hulu Bengawan Solo menuju Gunung Kidul. Bagian selatan dari Praja ini

membentang pada bagian timur Gunung Sewu yang sangat tandus hingga

Samudra Hindia. Di sebelah barat, daerahnya sebagian menuju barat melalui

dataran rendah Bengawan Solo sampai pada ujung kaki Gunung Merapi dan

Merbabu yang keadaan tanahnya sangat subur. Pada tahun 1917 Praja
24
Sutrisno Adiwardoyo, Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai Masuknya ke Provinsi
Jawa Tengah, Surakarta: IKIP, 1974,hlm 30.
25
Wasino, Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran: Akhir Abad XIX-
Pertengahan Abad XX, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,1994, hlm 54.
57

Mangkunegara masih tetap membawahi 3 kabupaten yaitu Kabupaten

Karanganyar, Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Kota Mangkunegara. Pada

tahun 1929 terjadi perubahan, Praja Mangkunegara menghapus Kabupaten Kota

Mangkunegara. Wilayah yang semula Kabupaten Kota Mangkunegara

digabungkan dengan wilayah Kabupaten Karanganyar, sehingga pada waktu itu

Praja Mangkunegara membawahi dua kabupaten, yaitu, Kabupaten Karanganyar

dan Kabupaten Wonogiri26.

Penggabungan Kabupaten Kota Mangkunegara dengan Kabupaten

Karanganyar tersebut dilakukan oleh Mangkunegara VII dalam rangka

penghematan anggaran pemerintahan dikarenakan saat itu dampak-dampak krisis

ekonomi yang terjadi di seluruh penjuru dunia sudah mulai dirasakan di Praja

Mangkunegara. Perubahan ini tidak berlangsung lama, setahun kemudian

diadakan perubahan lagi, yaitu: dengan dihidupkannya lagi Kabupaten Kota

Mangkunegara. Bekas daerah kabupaten Karanganyar menjadi daerah Kabupaten

Kota Mangkunegara.27

Tatanan pemerintahan Praja Mangkunegara berkembang sampai tingkat

desa. Hal ini terlihat dengan dibentuknya susunan desa. Pada tahun 1920 praja

Mangkunegara memiliki 561 desa, sedangkan pada tahun 1926 telah memiliki

sebanyak 738 desa. Dalam perkembangannya sampai tahun 1933, Praja

Mangkunegara telah memiliki seluruhnya 754 desa dan kampung. Kemudian

diadakan penggabungan kelurahan-kelurahan tersebut. Sampai tahun 1939, Praja

26
Wasino ,op.cit, 2008, hlm. 52.
27
Wasino, op.cit, 1994, hlm. 54
58

Mangkunegara telah membentuk 154 kalurahan baru.28 Reorganisasi desa-desa

tersebut dilakukan Mangkunegara VII untuk memperkuat moral masyarakat desa

agar tidak jatuh karena masuknya pengaruh dunia luar terhadap desa-desa di

Mangkunegara. Mangkunegara VII yang memerintah tahun 1916-1944 memiliki

harapan agar desa tetap bertahan berdasarkan moral lama.29

Pembagian wilayah kota (praja) Mangkunegara atas kampung-kampung yang

memiliki spesifikasi tertentu membentuk toponim yang dapat dibagi dalam

beberapa kelompok menurut nama atau gelar figur penting nama kelompok abdi

dalem, aktivitas setempat, maupun bentukan baru (Harri Mulyadi, dan

Soedarmono dkk, 1999: 178-180). Pada wilayah Praja Mangkunegara, beberapa

kampung berfungsi sebagai tempat pemukiiman kompleks pejabat Praja seperti

kampung Tumenggungan. Kampung Tumenggungan merupakan tempat tinggal

para pejabat yang memegang peranan dalam sistem birokrasi pemerintahan Praja

Mangkunegara. Sementara kampung Punggawan merupakan tempat permukiman

para pejabat tingkat rendah dan abdi dalem.

Pada wilayah kota Mangkunegara terdepat daerah elite orang Eropa yang

dikenal dengan Villapark. Permukiman Villa Park merupakan tempat tinggal elit

bagi bangsa Eropa di wilayah Kota Mangkunegara. Dengan luas 1,5 ha,

perkampungan Eropa ini dibangun pada masa Mangkunegara VI lengkap dengan

28
Mohamad Daljjyono, Ketataprajaan Mangkunegaran, Surakarta: Rekso Pustaka, 1977, hlm.1
10.
29
Wasino, op.cit, 2008, hlm 124.
59

fasilitas pendidikan, keagamaan, sosial, kesehatan dan kebudayaan30 Pada tahun

1930-an terjadi adanya suatu perubahan di Kota Mangkunegara, permukiman

orang-orang Eropa tidak lagi sepenuhnya dimiliki oleh orang-orang Eropa saja.

Memang pada awalnya daerah Villa Park merupakan daerah yang diperuntukkan

bagi orang-orang Belanda, namun karena perkembangan dan kemajuan zaman

telah membuat golongan pribumi masuk ke dalam lingkungan tersebut. Hal ini

sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 1 November 1913. 31 Pada

tahun 1942 kawasan Villa Park berubah namanya menjadi Banjarsari.

Konsep pembuatan jalan dalam pola permukiman Praja Mangkunegara

dibangun menurut model tata ruang Eropa yang telah meninggalkan konsep arah

jalan tradisional. Daerah Praja Mangkunegara menunjukkan model pembangunan

jalan bergaya Eropa dengan pembuatan taman-taman di antara pertigaan dan

perempatan jalan (Nova, 2011: 6). Terlepas dari berbagai kebijakan politik dan

pola permukiman dan tata ruang Praja Mangkunegara, Mangkunegara VII juga

merupakan Raja pembaharuan.

Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII, beliau melakukan pembaharuan

tidak hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi meliputi segala bidang.

Mangkunegoro VII menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam

penggunaan keuangan praja. Praja Mangkunegara juga banyak dilakukan

pembangunan-pembangunan yang ditujukan untuk kemajuan dan kesejahteraan

30
Daryadi, ―Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan
Mangkunegara VII‖. Skripsi.Surakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret.2009, hlm. 58.
31
Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No 1
60

rakyatnya. Pembangunan yang paling menonjol adalah pembangunan irigasi

seperti bendungan, saluran air, dan prasarana lainnya yang berkaitan dengan

irigasi itu. Mangkunegoro VII memandang irigasi merupakan kebutuhan yang

mendesak buat rakyatnya, karena mengingat keadaan tanah dan topografi daerah

Mangkunegran, terutama di daerah selatan sangat tidak menguntungkan untuk

pertanian basah, terutama padi.

Pemerintahan Praja Mangkunegara perlu mengatur air di daerah itu agar

ketika musim hujan dapat mengalir pelan-pelan, melewati sawah-sawah dan

menyimpannya untuk keperluan pada musim kemarau. Irigasi ini sekaligus

berguna sebagai pemupukan, karena air yang mengalir itu membawa lumpur yang

subur yang berasal dari lereng-lereng gunung dan lumpur-lumpur itu akan

mengendap di sawah-sawah.32 Pada Masa Mangkunegara VII telah dibangun lima

buah waduk yang berfungsi sebagai saluran irigasi. Waduk-waduk tersebut, antara

lain: (1) Waduk Kedung Uling yang dibangun pada tahun 1918. Waduk ini

mempunyai luas 15,4 ha dengan kedalaman rata-rata 9,7 m berisi 712.500 m³ air

dan dapat mengaliri 800 ha sawah. (2) Waduk Plumbon dibangun dalam dua

tahap, yaitu tahun 1918-1919 dan tahun 1924-1929. Waduk ini mempunyai luas

12,5 ha dengan kedalam rata-rata 15 m ini berisi 1.200.000 m³ air yang dapat

mengairi 815 ha sawah. (3) Waduk Tirtomarto dibangun pada tahun 1920-1924.

Waduk ini luasnya 56,5 ha dengan kedalaman rata-rata 16 m ini berisi 4.000.000

m³ air yang dapat mengairi 12.700 ha sawah. (4) Waduk Cengklik dibangun pada

tahun 1930-1932. Waduk ini mempunyai luas 301, 2 ha dengan kedalaman rata-

32
Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa
Pustaka. hal 42
61

rata 9 m ini berisi 11.000.000 m³ air yang dapat mengairi 950 ha sawah. (5)

Waduk Jombor dibangun pada tahun 1925-1926. Waduk ini luasnya hanya 16 ha

dengan kedalaman 4,5 m berisi 400.000 m³ air yang dapat mengairi 2,3 ha

sawah.33

Pembaharuan yang digalakkan oleh Mangkunegoro VII juga dilakukan di

daerah-daerah perkampungan khususnya di Kota Mangkunegara. Pembangunan

perkampungan di Praja Mangkunegara dilakukan karena Mangkunegoro VII

sebagai pemimpin wajib melakukan pembangunan di kampung-kampung demi

terciptanya kesejahteraan penduduknya. Mangkunegoro VII menginginkan agar

penduduk di perkampungan dapat menikmati modernisasi yang dilakukannya.

Mangkunegoro VII menginginkan agar penduduk di perkampungan dapat hidup

dengan bersih, sehat, dan teratur.

33
Wasino, op.cit. hal 203-204
62

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2008. KBBI Edisi Keempat.
Jakarta: Balai Pustaka.
SKRIPSI/THESIS/DISERTASI
Baiquini, Muhammad. 1988. Evaluasi Kapasitas Maksimum Sistem Drainase
terhadap Debit Banjir Rencana Tahun 2005 di Kotamadya Surakarta.
Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM Yogyakarta.
Daryadi. 2009. Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada
Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas
Maret.
Prasetyo, Agustinus Budi. 2009. Pemetaan Lokasi Rawan Dan Risiko Bencana
Banjir Di Kota Surakarta Tahun 2007. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas
Maret
Putro, Nova Yunanto. 2011. Perkembangan Perkotaan Di Praja Mangkunegaran
(Studi Tentang Kebijakan Mangkunegara VII, 1916-1944). Surakarta:
Universitas Negeri Sebelas Maret.

ARTIKEL
Zaida, dan Arifin. 2010. Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No 2. Surakarta:
Perkembangan Kota Sebagai Akibat Pengaruh Perubahan Sosial Pada Bekas
Ibukota Kerajaan di Jawa.
Undang-Undang
Anonim. 2007. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Jakarta.
INTERNET
http://media-kitlv.nl/all–
media/indeling/detail/form/advanced/start/1?q_searchfield=pasar+kliwon diakses
tanggal 14 Juli 2016, 09:57:20
http://media-kitlv.nl/all
media/indeling/detail/form/advanced/start/3?q_searchfield=overstroming+surakart
a diakses tanggal 14 Juli 2016, 10:05:10
http://id.climate-data.org/location/3210/ diakses pada 16 Juli 2016, 10:45:22

Anda mungkin juga menyukai