OIeh:
Djarot S. Widyatmoko
PENDAHULUAN
(Geography is about local variability within a general context - R.J. Johnston, 1984)
Dalam kurun waktu tiga dasawarsa belakangan ini kita menjadi saksi
perubahan-perubahan yang begitu cepat di dunia ini. Kekhususan sifat suatu daerah
atau tempat yang telah menjadi trademark selama berpuluh-puluh tahun banyak yang
telah hilang atau paling tidak telah berubah bentuk. Pulau Bali yang saya tahu
sekarang, sangat jauh berbeda dengan keadaan ketika saya melaksanakan KKL I
duapuluh tahun yang lalu. Riau Kepulauan yang dikenal dengan daerah penampungan
manusia
perahu
dari
Vietnam,
kini
merupakan
kawasan
unggulan
bagi
pengembangan industri dan pariwisata nasional. Lebih dekat lagi, seperti Desa
Kasongan di Kabupaten Bantul: kini terkenal dengan industri kerajinan gerabahnya,
daerah di sekitar Jalan Kaliurang, Condongcatur, Caturtunggal sudah berubah menjadi
kawasan permukiman padat penduduk dan pelayanan yang mungkin lebih padat
daripada beberapa daerah Kotamadya Yogyakarta sendiri. Dan tentunya masih banyak
lagi. Pada kawasan tumbuh-cepat, seperti koridor Merak-Jakarta-Bandung atau
koridor Surabaya-Malang, kecepatan perubahannya (the speed of change) mungkin
tidak dihitung dalam tahun, melainkan dalam bulan.
Perubahan-perubahan yang terjadi seperti yang ditunjukkan dalam contohcontoh di atas menunjukkan bahwa wilayah permukaan bumi merupakan organisme
yang dinamis. Bentuk, sifat, dan kecepatan dari dinamikanya merupakan fungsi dari
kekuatan-kekuatan yang bekerja baik yang berasal dari luar dan dari dalam wilayah itu
sendiri, maupun yang berasal dari perpaduan kekuatan-kekuatan yang bersifat khas
(unique) setempat dan yang bersifat umum (general). Dinamika wilayah memang
proses in situ atau setempat, namun keberadaan proses merupakan hasil perpaduan
dari dua kekuatan tersebut.
Fenomena industri kerajinan gerabah adalah ciri khas Kasongan, yang merupakan
perpaduan dari inovasi lokal dalam teknik dan gaya gerabah yang disesuaikan dengan
selera pasar (baik regional, nasional, maupun internasional). Namun, surutberkembangnya industri gerabah Kasongan tergantung pada elastisitas kemampuan
pengrajin lokal terhadap inovasi baru akibat (perubahan) peningkatan mutu, selera,
dan jumlah permintaan pasar. Perubahan permintaan pasar ini pada dasarnya
merupakan respon terhadap perubahan-perubahan umum yang bersifat global, seperti
perubahan perilaku ekonomi dunia, kemajuan teknologi, keterbukaan negara, dan
sebagainya. Jadi, dinamika suatu tempat tidak dapat dipisahkan atau merupakan
bagian integral dari dinamika yang terjadi di tempat lain. Bentuk saling ketergantungan
antar tempat atau ruang ini (Interdependencies of places atau spatial interdependence)
merupakan fenomena geografi yang kini banyak diminati geografiwan, terutama untuk
menjawab peruhahan-perubahan pola keruangan kegiatan manusia akibat kuatnya
pengaruh arus globalisasi dan internasionalisasi. Seperti yang diungkapkan oleh Knox
dan Marston (1998):
By studying spatial interdependence, geographers are able to address diversity
within the framework of a broader relationship; to see the uniqueness of
individual places and regions within the context of other places and regions
(and, indeed, the whole globe); and to see how general relationships play out
within particular setting.
permukaan
bumi
dalam
lingkup
sub-nasional.
Walaupun
demikian,
diskonsensus masih tetap saja muncul bila dikaitkan dengan persoalan pewilayahan
(regionalization). Pada satu sisi wilayah diekspresikan melalui azas-azas persamaan
(homogenity) dan di sisi lain disusun atas dasar azas-azas fungsionalitas
(functionality). Artikel ini tidak akan membahas perbedaan-perbedaan tersebut, namun
cukup dikatakan disini bahwa kombinasi dari kedua azas tersebut bila diterapkan pada
bagian permukaan bumi sub-nasional yang cukup luas akan melahirkan variasi
Memang tidak ada hal yang baru dalam analisis dinamika wilayah ini. Namun
yang perlu mendapatkan perhatian kita adalah kecepatan dan skala perubahan yang
terjadi akhir-akhir ini (terutama dalam dua dasawarsa terakhir) yang di luar
kemampuan kita untuk mengantisipasinya. Saya tidak pernah mengira kalau kenaikan
harga tempe dan tahu di Pasar Demangan menjadi dua kali lipat dipicu oleh
pengambangan (floating) nilai mata uang Baht di Thailand sana. Tidak hanya skala,
namun juga rentetan pengaruhnya. Siapa sangka kalau kemacetan impor jagung
akan berpengaruh terhadap runtuhnya industri makanan jadi dan juga menurunkan
derajat diet masyarakat. Kejadian yang saling kait-mengkait dengan melibatkan
variasi skala geografis dan skala pengambilan keputusan yang lebar menyebabkan
analisis saling-ketergantungan keruangan menjadi lebih kompleks dan perubahan
menjadi lebih cepat daripada sebelumnya.
Walaupun tidak ada yang baru, namun entry point dan momentum analisis
dinamika wilayah ini dipicu oleh teori sistem-dunia (world-system) karya Emmanuel
Wallerstein (1979). Dalam teori ini permukaan bumi tidak lagi dibagi menjadi dua
wilayah dikotomi tetapi tiga wilayah yang saling berkaitan, yakni core, semi-periphery,
dan periphery. Dengan mengikutsertakan wilayah semi-periphery ke dalam sistem
dunia, Wallerstein ingin menjelaskan sifat kedinamisan wilayah, yaitu tidak selamanya
suatu wilayah terpaku pada satu posisi. Sejarah telah memberikan bukti timbul
tenggelamnya peradaban manusia di suatu wilayah. Eropa Barat, Amerika Utara, dan
Jepang adalah wilayah core dunia sekarang ini dan sebagian besar wilayah Afrika,
Timur-tengah, dan Asia Tenggara adalah periphery, sedang negara-negara industri
baru, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura adalah wilayah semi-periphery.
Namun sejarah juga mengatakan bahwa wilayah-wilayah periphery sekarang ini
dahulu pernah sebagai core dunia dan sebaliknya wilayah core yang sekarang ada,
dahulu adalah periphery. Menurut Wallerstein, hubungan antara core-semiperipheryperiphery adalah hubungan yang dinamis dalam arti bahwa masing-masing saling
membutuhkan dan masing-masing ingin memperkuat posisi atau statusnya dengan
memperkuat efektivitas wilayahnya dalam meningkatkan daya saing kemampuan
domestik (Knox, 1994).
Dalam menerangkan dinamika wilayah, teori sistem-dunia ternyata bukan satusatunya pisau analisa. Di antaranya adalah globalisasi dan perubahan teknologi.
Globalisasi adalah semakin meningkatnya ketertautan (interconnectedness) wilayah-
arah globalisasi ekonomi dan budaya (Knox, 1997). Dewasa ini diyakini ada empat
tingkat kota dunia. Paling atas terdapat tiga kota dunia, yang semuanya terdapat di
wilayah core, yaitu New York, London, dan Tokyo. Di bawahnya adalah kota-kota
dengan kekuatan kontrol skala regional. Untuk wilayah Asia Timur dan Tenggara
adalah Singapura, yang kemudian disusul oleh Hongkong dan Seoul, Osaka, dan
Taipei di tingkat tiga. Untuk kota dunia tingkat ke-empat adalah ibukota-ibukota negara
namun telah mempunyai pengaruh pada skala regional (Jakarta termasuk dalam
kategori ini). Dengan struktur hirarki dan jaringan kota-kota semacam ini, maka sudah
sewajarnya wilayah-wilayah yang mendapat kesempatan berkembang terlebih dahulu
adalah wilayah-wilayah yang memiliki keterkaitan dengan kota-kota dunia. Dicken
(1992) mengidentifikasikan wilayah yang paling dinamis di dunia pada saat ini terpusat
di tiga kutub, yaitu wilayah MEE, Amerika Utara, dan wilayah Asia Timur dan
Tenggara. Kerjasama-kerjasama regional yang menjadi trend perkembangan saat ini,
seperti kerjasama segitiga antara Indonesia-Malaysia-Singapura, Indonesia-MalaysiaThailand, dst sebenarnya merupakan implikasi dari perkembangan (ekonomi) global
yang ditimbulkan oleh dinamika kota-kota dunia. Segitiga pertumbuhan SIJORI
Singapura-Johor-Riau merupakan contoh nyata kerjasama regional yang mengangkat
wilayah sekitar negara-kota Singapura masuk ke dalam jaringan global dengan
Singapura sebagai jangkar dan motor penggeraknya.
Pada tingkat nasional, wilayah-wilayah yang aktif berkembang sudah pasti
dengan mudah dapat kita kenali, yaitu wilayah-wilayah di sekitar kota besar di
Indonesia. Pada tingkat pertama, sudah pasti berada di wilayah sekitar Jakarta:
JABOTABEK, bahkan telah meluas meliputi hampir separoh wilayah Propinsi Jawa
Barat, dengan koridor-koridor yang aktif berkembang, seperti Jakarta-Cirebon, JakartaMerak/Anyer, Jakarta-Bandung-Cianjur. Tingkat kedua adalah wilayah di sekitar
Surabaya: GERBANGKERTOSUSILA, ditambah dengan koridor Surabaya-Malang.
Pada tingkat ketiga mungkin ditempati oleh wilayah di sekitar Medan dan Ujung
Pandang, oleh karena kota-kota ini pusat perniagaan regional dan mempunyai jaringan
intemasional yang cukup kuat.
Lalu, bagaimana dengan JOGLOSEMAR: Jogjakarta, Solo, dan Semarang?
argumen-argumen
yang
secara
teoritis
dan
praktis
dapat
Ada dua hal pokok, menurut hemat saya, yang harus diperhatikan, yaitu lingkup
kajian dan prosedur. Untuk menentukan lingkup kajian dinamika wilayah, saya merujuk
pendapat Bendavid-Val (1991) seperti yang tercantum dalam Tabel I dan Tabel 2.
Beliau mengembangkan suatu kerangka analisa dalam studi intraregional yang
didasari oleh dua kajian pokok (lihat Tabel 1), yaitu kajian tentang economics
characteristics of places and the interactions among them dan the overall
environment in regional subareas, yang kemudian dijabarkan ke dalam lima belas
butir analisis (lihat Tabel 2): (1)Basic statistical compendium; (2)incomes measures;
(3)social
accounts;
(4)economic
composition
analysis;
(5)natural
resource
disertai dengan perencanaan yang cukup matang agar sasaran dapat dicapai secara
efektif dan efisien.
Bagaimana dengan SP-JOGLOSEMAR? tentunya perlu kita pikirkan bersama.
REFERENSI
Bendavid-Val, A. 1991. Regional and Local Economic Analysis For Practitioners. New
York: Preager
Bintarto, R. dan Surastopo H. 1979. Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES
Golledge, RG. dan Stimson, R.J. 1997. Spatial Behaviour: A Geographic Perspective.
New York: The Guilford Press
Hinderink, J. 1981. Geography and the Study of Development. The Indonesian Journal
of Geography. Vol. 11(42): 9-18
Johnston, R.J. (eds.). 1981. The Dictionary of Human Geography. Oxford: Blackwell
Johnston, R.J. 1984. The World is our oyster. Transactions, Institute of British
Geographers. Vol. 9: 443-459
Knox, P.L. 1995. The world Cities and the Organization of Global Space. dalam
Johnston, RJ. et al .(editors). Geographies of Global Change: Remapping the
World in the Late Twentieth Century. Oxford: Blackwell
Knox, P.L. dan Agnew J. 1994. The Geography of the World Economy: An Introduction
to Economic Geography. Edisi kedua. London: Edward Arnold.
Knox, P.L. dan Marston, S. A. 1998. Places and Regions in Global Context: Human
Geography. New Jersey: Prentice Hall
Mutaali, Lutfi. 1997. Tinjauan Geografis Segitiga Pertumbuhan Dalam Pembangunan
Wilayah. BEM Fakultas Geografi-UGM, Yogyakarta.
Pendewasaan,
dicirikan
investasi
meningkat
hingga
20%
dari
tersier, seperti perdagangan dan jasa. Perubahan ini tidak hanya dari struktur
pendapatan regional, tetapi juga perubahan struktur tenaga kerja.
Sebagai contoh pada tahapan industrialisasi (modifikasi dari Rostow), (1) non
industrialisasi, jika sumbangan PDB sektor industri terhadap pendapatan nasional
atau wilayah < 10%; (2) menuju industrialisasi, antara 10-20%; (3) semi
industrialisasi antara 20-30%, dan (4) industrialisasi penuh, jika PDB sektor industri
mencapai lebih dari 30%.
Kuznet, berdasarkan perubahan sektoral menemukan perkembangan wilayah
melalui tahap
1) ekonomi subsisten yang swasembada
2) spesialisasi pada kegiatan primer dan perdagangan antar wilayah
3) introduksi kegiatan industry
4) diversifikasi industrialisasi
5) spesialisasi industri jasa
Selain itu dikemukakan, wilayah disebut maju jika tingkat pengeluaran dan
pendapatan tinggi, produktivitas tinggi, transformasi struktur ekonomi cepat,
kecenderungan ekspor.
4. Teori Transformasi Spasial (Tinjauan Geografi)
Aspek spasial atau keruangan, yang menjadi penciri geografi adalah wujud spasial
dari ekonomi wilayah. Dengan kata lain transformasi sektoral akan berakibat
kepada transformasi spasial. Transformasi spasial dapat dilihat dari perubahan
landuse (konversi lahan), ciri-ciri kekotaan (kepadatan, kawasan terbangun,
fasilitas, proporsi pekerja non pertanian), serta sistem kota-kota, dimana ada
perubahan dari kota kecil-menengah-besar-metropolitan-megaurban. kota besar (
metropolitan ), kota menengah ( secondaiy city ) dan kota kecil (small city ).
Atau Core-Semi perypheri-Perypheri.
Dari berbagai uraian di atas, belum terjelaskan tentang transformasi spasial
(geografi) yang terjadi. Apakah perlu muncul tersendiri ataukah cukup implisit
dalam uraian di atas. Sebagai misal teoRI pentahapan geografis. Berikan
Penjelasan, tentang Tahapan Perkembangan Wilayah dalam Perspektif Geografis!
(Tugas).