Anda di halaman 1dari 30

BANJIR, KANAL DAN BENDUNGAN DALAM MODERNISASI

SURAKARTA ABAD KE-19 HINGGA AWAL ABAD KE-20

DISUSUN OLEH :
FAIZ NURHUDA
B0421028

DOSEN PEMBIMBING :
Dr. ASTI KURNIAWATI, S.S., M.Hum.

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Abstrak

Artikel ini membahas bencana banjir yang menerjang Surakarta beserta dampak yang
ditimbulkan pada masa kolonial. Surakarta merupakan wilayah yang dalam pemerintahan
tradisional berada di bawah dua kekuasaan yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran, disisi lain
Surakarta juga merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Dalam
menangani masalah banjir pemerintah Kasunanan bersama Mangkunegaran dan Residen Belanda
membangun kanal dan bendungan sebagai sistem drainase kota Surakarta. Pembangunan
infrastruktur tersebut nyatanya tidak menyelesaikan masalah banjir yang terus terjadi setiap
tahunnya. Atas dasar tersebut, terdapat tiga pokok permasalahan yang dibahas dalam artikel ini.
Pertama, menganalisis peristiwa terjadinya banjir di Surakarta. Kedua, mengkaji kompleksitas
dampak yang ditimbulkan oleh bencana banjir di Surakarta dan yang ketiga, menganalisis proyek
pembangunan infrastruktur pencegah banjir. Penelitian ini menggunakan metode sejarah
Kuntowijoyo, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Berdasar narasi yang
diwartakan surat kabar kolonial, banjir yang menerjang Surakarta menimbulkan dua dampak
utama pada sektor vital perkotaan. Pertama, menggenangi jalur transportasi kereta api dan post-
weg, yang menghambat aktivitas distribusi ekonomi dan komunikasi. Kedua, merusak area
persawahan, menghanyutkan ternak, dan merusak rumah di sekitar daerah terdampak. Berdasar
kajian ini menunjukkan bahwa banjir adalah bencana lintas zaman yang menimbulkan dampak
negatif di bidang sosial dan ekonomi,

Kata Kunci : Banjir, Kanal, Bendungan, Sungai Bengawan Solo, Kali Pepe, Sangkrah, Demangan.

Abstract

This article discusses the flood disaster that hit Surakarta and its impact during the colonial
period. During the Dutch colonial period, the Surakarta region had three different
administrations, namely the Surakarta Sunanate, the Mangkunegaran Duchy and the Dutch
Resident. In dealing with the problem of flooding, the Kasunanan government together with
Mangkunegaran and the Dutch Resident built canals and dams as a drainage system for the city
of Surakarta. In fact, the infrastructure development does not solve the problem of flooding which
continues to occur every year. On this basis, there are three main issues discussed in this article.
First, analyzing the occurrence of floods in Surakarta. Second, examine the complexity of the
impact caused by the flood disaster in Surakarta and third, analyze flood prevention infrastructure
development projects. This study uses the Kuntowijoyo historical method, namely heuristics,
source criticism, interpretation, and historiography. Based on the narrative reported in the
colonial newspapers, the flood that hit Surakarta had two main impacts on vital urban sectors.
First, it inundated rail and post-weg transportation lines, which hampered economic distribution
and communication activities. Second, destroying rice fields, washing away livestock, and
destroying houses around the affected area. Based on this study, it shows that flooding is a cross-
age disaster that has a negative impact on the social and economic fields.

Keywords: Flood, Canal, Dam, Bengawan Solo River, Kali Pepe, Sangkrah, Demangan.

Pendahuluan

Surakarta merupakan wilayah yang dalam pemerintahan tradisional berada di bawah dua
kekuasaan yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Di sisi lain Surakarta juga merupakan wilayah
yang berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Kasunanan Surakarta membawahi satu kota
dan lima kabupaten, yakni Kota Surakarta, Kartasura, Klaten, Boyolali, Ampel, dan Sragen serta
satu kawedanan, yaitu Larangan. Kadipaten Mangkunegaran membawahi tiga kawedanan, yaitu
Ibu Kota, Karanganyar, dan Wonogiri. Sementara itu Belanda membawahi 5 deel (bagian) yang
berada di Kasunanan dan Mangkunegaran.1 Wilayah administrasi Kasunanan di Surakarta terdiri
dari 5 kapanewon (subdistrik), yaitu Kutha, Laweyan, Pasar Kliwon, Jebres, dan Serengan.
Wilayah administrasi Mangkunegaran hanya satu yaitu Kawedanan Salebething Kitha yang terdiri
dari dua kapanewon, yaitu Kampung Lor (Stabelan, Margareja, dan Pasar Legi), dan Kampung

1
Nurhadiatmoko, “Konflik-Konflik Sosial Pri-Nonpri Dan Hukum Keadilan Sosial”,
dalam Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta,
1895-1998 (Yogjakarta-Jakarta: Ombak-Yayasan Nabil, 2007), hlm. 16-18.
Kidul (Keprabon, Kethelan, dan Pethelan). Batas antara wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran
di dalam kota adalah jalan memanjang timur-barat yang membelah kota.2

Wilayah Surakarta merupakan kawasan rawan banjir karena berada di zona depresi
(intermontain plain) yang diapit Gunung Lawu, Gunung Merapi dan Pegunungan Selatan. Wilayah
Surakarta mayoritas memiliki relief datar, namun memiliki banyak cekungan terutama pada bagian
timur kota. Cekungan-cekungan tersebut berpotensi menimbulkan genangan. Kawasan dari
Sudiroprajan ke arah timur hingga Kampung Sewu adalah bekas rawa-rawa, yang berarti Kota
Surakarta sebelah timur memang daerah sasaran banjir. Air banjir yang masuk ke Surakarta berasal
dari tiga arah yaitu dari lereng tenggara Gunung Merapi, lereng barat Gunung Lawu dan Wonogiri
dengan sembilan anak sungai yang masuk ke Bengawan Solo. Bentuk DAS Solo hulu yang luas
dan melebar, bahkan mendekati pola radial mengakibatkan waktu konsentrasi air di Bengawan
Solo seragam ketika terjadi hujan. Kondisi itu diperparah dengan hulu Bengawan Solo di Wonogiri
adalah karst atau tanah gersang berbatu yang koefisien aliran permukaannya tinggi.

Pada tahun 1830 dengan gundulnya hutan di wilayah pedalaman (hulu Sungai Bengawan
Solo) dan hinterland (daratan atau daerah tepian sungai) sepanjang Sungai Bengawan Solo
mengakibatkan Surakarta dilanda banjir.3 Pada interval 1857-1900 pihak Belanda bersama
Kasunanan dan Mangkunegaran melakukan proyek besar penanggulangan bahaya banjir, baik
berupa pembuatan kanal, pembuatan sungai baru dan pembuatan tanggul atau bendungan.
Bendungan/dam Tirtonadi merupakan salah satu bendungan yang berada di Surakarta dan menjadi
bangunan penting bagi keberlangsungan kota sejak awal abad ke-20. Arsitektur bendungan
dirancang dengan sistem buka tutup pintu air beserta jaringannya yang terhubung pada pemukiman
Praja Mangkunegaran. Bendungan atau dam Tirtonadi beserta jaringan drainasenya merupakan
salah satu infrastruktur atau prasarana kota yang diwariskan dari hasil kerjasama pemerintah
Mangkunegara dengan pemerintah Kolonial dalam proyek penanggulangan banjir di Kota
Surakarta, khususnya wilayah Praja Mangkunegara. Praja Mangkunegaran dalam kepemimpian

2
Soedarmono, “Surakarta Kota Kolonial”, Laporan Penelitian (Surakarta: LPPM UNS,
2004), hlm. 17.
3
Verslag Van Het Hoofdcomite voor de noodlijdenden door den Watersnood Te Solo op
2 en 3 Februari 1886.
Mangkunegara VII sangat peduli terhadap pembangunan jaringan drainase dan estetika penataaan
kota. Kemajuan sebuah kota dapat dinilai dari sistem drainasenya, oleh karena itu pembangunan
komponen infrastuktur jaringan drainase pada perkotaan sangatlah penting.4

Penelitian tentang sejarah banjir di Indonesia pernah dilakukan oleh beberapa sejarawan.
Buku berjudul Banjir di Kota Surabaya Paruh Abad Ke-20 berkesimpulan bahwa eskalasi dan
siklus banjir yang semakin pendek selama paruh kedua abad ke-20 disebabkan oleh perubahan dan
degradasi lingkungan perkotaan di Surabaya. Eskalasi dan siklus banjir di Surabaya terjadi selama
dua periode, yaitu periode 1951-1976 dan periode 1977-2000.5 Selain itu, buku berjudul Gagalnya
Sistem Kanal: Pengendalian Banjir di Jakarta dari Masa ke Masa membahas mengenai upaya
pemerintah dan masyarakat Jakarta dalam mengendalikan banjir.6 Buku hasil penelitian berjudul
Banjir di Pulau Madura 1878-1940 membahas terjadinya banjir serta dampak yang ditimbulkan,
dan cara penanggulangan banjir. Lokus penelitian tersebut berfokus di Pulau Madura pada masa
kolonial.7 Dari beberapa penulisan tersebut, belum ada yang membahas mengenai banjir di
Surakarta.

Pembangunan infrastruktur pencegahan banjir di Surakarta nyatanya tidak menyelesaikan


masalah banjir yang terus terjadi setiap tahunnya. Atas dasar tersebut, terdapat tiga pokok
permasalahan yang dibahas dalam artikel ini. Pertama, menganalisis peristiwa terjadinya banjir di
Surakarta. Kedua, menganalisis kompleksitas dampak yang ditimbulkan oleh bencana banjir di
Surakarta dan yang ketiga, menganalisis proyek pembangunan infrastruktur pencegah banjir.

4
Mimi Savitri, Sustaining the layout of the Javanese city centre (1745-1942) :the
embodiment of the Sunan's power in Surakarta (London: University of London, 2015), hlm. 90.
5
Husain, Banjir di Kota Surabaya Paruh Abad Ke-20 ,(Yogyakarta: Ombak, 2020).
6
Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir di Jakarta dari Masa ke
Masa, ( Jakarta: Kompas, 2010).
7
Gita Ayu, Banjir di Pulau Madura 1878-1940 (Surabaya: Pustaka Indis, 2020).
Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah, yang meliputi pengumpulan sumber
(heuristik), verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi (penafsiran) dan penulisan
(historiografi).8 Jenis sumber sejarah terbagi menjadi dua yakni sumber primer dan sumber
sekunder.
Sumber primer yang digunakan yakni arsip Verslag Van Het Hoofdcomite voor de
noodlijdenden door den Watersnood Te Solo op 2 en 3 Februari 1886 dan Encyclopaedie van
Nederlandsch-Indië-part 4 halaman 31. Selain itu juga digunakan arsip koran terbitan Bataviaasch
Handelsblad tanggal 9 Februari 1874, arsip koran terbitan Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie tanggal 09 Februari 1875, arsip koran Bataviaasch
handelsblad tanggal terbit 13-01-1880, arsip koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 11
Januari 1894, arsip koran De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 11-
02-1902, arsip koran Het Vaderland tanggal 17 Maret 1902, arsip koran Bataviaasch Nieuwsblad
tanggal 21 Januari 1915, arsip koran De Nieuwe Vorstenlanden tanggal 21 Februari 1918, arsip
koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 01-05-1935, arsip koran Bataviaasch
nieuwsblad 05-01-1937, arsip koran Het nieuwsblad voor Sumatra 24-02-1951, arsip koran De
nieuwe Vorstenlanden tanggal 22 Mei 1908.
Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku dan dokumen
pendukung yakni Haarlem dan De Erven F. Bohn. 1882. P.J Veth.Java, Geographisch,
Ethnologish, Historisch.
Pada tahap ketiga peneliti melakukan kritik sumber untuk menentukan keabsahan sumber.
Kritik sumber terbagi menjadi dua yakni kritik intern dan kritik ekstern. Tahap selanjutnya adalah
interpretasi. Interpretasi merupakan salah satu hal yang dilakukan untuk menafsirkan suatu karya
guna mengetahui keterkaitan karya tersebut. Terdapat dua macam interpretasi yakni analisis dan
sintesis. Penulisan sejarah merupakan tahap terakhir dari penelitian ini.

8
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hlm. 69 dan
75.
Topografi Surakarta

Secara geografis Surakarta atau Solo9 adalah kota yang paling banyak dialiri sungai antara
lain, Kali Pepe, Kali Kabanaran, Kali Wingko, Kali Premulung, Kali Rahman, Kali Jenes, Kali
Larangan dan Kali Anyar. Solo juga menjadi tempat tempuran (pertemuan) dua sungai utama yaitu
Bengawan Solo dan Kali Pepe. Keadaan geografis kota Surakarta bisa dilihat pada Gambar 1.1.

9
Solo adalah sebuah penyebutan nama populer atau nama branding untuk Kota
Surakarta. Sedangkan, Surakarta adalah nama resmi administratif untuk Kota Solo.
Gambar 1.1. Peta wilayah Karesidenan Surakarta tahun 1859. Tertulis Kaart der Residentie
Soerakarta Tezamengesteld Door W.F.Versteeg 1859

Sumber: Digital Collection Universiteit Leiden

Pada peta di atas terlihat wilayah Karesidenan Surakarta dilalui oleh sungai Bengawan
yang sangat luas dan dikelilingi beberapa sungai yang ditunjukkan dengan garis warna biru pada
peta. Sungai di kota Solo memiliki peran yang sangat penting antaralain, sebagai sarana
penghubung antardaerah pada masa Majapahit dengan adanya bukti arkeologis mengenai
pemukiman sepanjang aliran Sungai Bengawan yang tertulis dalam Prasasti Canggu, sebagai
sarana transportasi dan perdagangan. Gambar sisi samping kanan dan kiri pada peta menunjukkan
bahwa kota Solo dikelilingi dataran tinggi yaitu Gunung Merapi dan Gunung Lawu. Dengan
adanya gunung dan dataran tinggi tersebut membuat daerah Solo sebagai dataran rendah yang
dikelilingi oleh dataran tinggi. Hal inilah yang menyebabkan Solo sering terkena bencana banjir.

Gambar 1.2. Potret Sungai Bengawan Solo sebelum tahun 1880

Sumber: Digital Collection Universiteit Leiden

Gambar 1.2 adalah potret sungai Bengawan Solo sebelum tahun 1880. Terlihat Sungai
Bengawan yang terbentang cukup luas dan dalam kondisi intensitas air yang normal. Potret
tersebut sebagai gambaran bagaimana keadaan Sungai Bengawan Solo ketika tidak terjadi banjir.

Topografi Surakarta yang dialiri beberapa sungai dan adanya pembangunan bendungan
turut mempengaruhi toponimi, seperti kampung Tambak Segaran. Kampung Tambak Segaran
terletak di sebelah barat kampung Widuran dan sebelah timur Pasar Legi. Nama ini diambilkan
karena dahulu sungai Pepe sebelum dibuatkan susukan (Sungai Susukan atau Nusukan) sering
banjir. Supaya banjir tidak menggenangi Kraton Kasunanan maka dibuatkan bendungan (tambak),
sehingga penamaan wilayahnya menjadi Tambak Segaran. Tambak itu sudah tidak difungsikan
setelah dibangunnya susukan sungai Pepe. Bekas dinding tambak itu sekarang masih ada, namun
sudah rata dengan tanah dan dijadikan perkampungan Kampung Nusukan, kampung ini terletak di
sebelah utara sungai Pepe. Nusukan berasal dari kata susuk/sudhet yaitu nama sungai buatan yang
mengalirkan air sungai Pepe saat banjir agar kota Surakarta tidak terendam banjir. Susukan ini
dibuat pada masa Mangkunegara VI tahun 1908 bersama dengan Sunan Pakubuwono IX. Sungai
Susukan itu biasa disebut Kali Anyar dan bermuara di Bengawan Solo tepatnya di utara Jurug.
Kampung Kedung Lumbu, kampung ini terletak di sebelah timur alun-alun utara kraton Kasunanan
Surakarta. Kawasan ini dahulu merupakan kawasan rawa yang sempit dan dalam serta banyak
ditumbuhi tanaman lumbu (sejenis talas). Rawa itu kemudian ditutup dengan tanah dari Talawangi
dan Kadipala (pada waktu perpindahan kraton Kartasura ke Surakarta), nama Kedung Lumbu
diartikan sebagai rawa (kedung) yang ditumbuhi tanaman lumbu.10

Banjir Solo Periode Kolonial

Geografis daerah Solo atau Surakarta yang begitu kompleks menyebabkan bencana banjir
kerap terjadi di daerah ini. Beberapa peristiwa banjir di daerah Solo tercatat pernah terjadi pada
tahun 1874 hingga tahun 1900an. Banjir pada tangga 4 Februari 1874 menggenangi rel kereta api
sehingga kereta api penumpang dari Kalasan (Yogyakarta) tidak bisa melintas ke Solo dan
menyebabkan keterlambatan kedatangan kereta api. Dampak dari banjir juga dirasakan para
penduduk kota, untuk mengatasi dampak tersebut pemerintah kolonial berusaha memberikan
bantuan obat-obatan kepada masyarakat yang terdampak banjir. Tetapi pemberian bantuan itu

10
Radjiman, Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya Kasunanan Surakarta
Hadiningrat (Tidak diterbitkan, 2002).
mengalami penolakan oleh masyarakat. Menurut masyarakat, obat-obatan yang diberikan
bertentangan dengan Al Quran dan menganggap sebagai bentuk kemusyrikan.11

Pada tanggal 8 Februari 1880, Solo diguyur hujan lebat yang mengakibatkan sungai
Bengawan Solo meluap dan airnya terus mengalir masuk ke dalam kota. Jalan dari kota ke Kedong
Koppi sebagian terendam dan mencapai ketinggian 4 kaki. Hal ini mengakibatkan terputusnya
komunikasi masyarakat dengan kota. Banyak rumah penduduk terendam banjir dan banyak dari
mereka mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Keadaan itu diperparah lagi ketika malam hari, air
mencapai ketinggian yang tidak pernah terjadi sebelumnya selama lima tahun terakhir. Bahkan
ada rumah yang atapnya sama sekali tidak terlihat. Dalam peristiwa banjir ini banyak masyarakat
yang harta bendanya hanyut. Kota Solo kosong karena masyarakat semuanya mengungsi.
Kelurahan Limolassan, Balong, Kebalen, Pasar Kliwon paling terdampak bencana banjir. Akibat
dari banjir itu jembatan satu-satunya ke Kedong Koppi hanyut dan komunikasi terputus. Selang
beberapa hari keadaan banjir di kota terlihat sebagian ruas jalan mulai surut. Sedangkan air banjir
di Kawasan sungai Bengawan Solo hanya turun 1 meter. Warga di sekitar sungai Bengawan Solo
dan sungai Pepe belum bisa kembali ke rumah mereka masing-masing.12

11
Bataviaasch Handelsblad 9 Februari 1874, Koleksi Delpher, Arsip Koran Kolonial.
12
Bataviaasch handelsblad 13 Januari 1880, Koleksi Delpher, Arsip Koran Kolonial.
Gambar 1.3. Banjir di Surakarta tahun 1894.
Sumber: Welterd Culturen

Kota Surakarta terendam banjir pada tahun 1894 seperti terlihat pada gambar 1.3. Gambar
tersebut adalah foto dari Sri Susuhunan Pakubuwana X waktu usia muda yang sedang meninjau
kuthagara13 dari Kasunanan Surakarta yang sedang dilanda banjir dengan menaiki sampan yang
diiringi kereta kencana dan abdi dalem14. Banjir itu diakibatkan karena Kali Pepe meluap dan
tanggul penahan air pecah karena sudah tidak kuat menahan debit air yang terlalu tinggi. Air banjir
terus mengalami peningkatan ketinggian ketika malam hari. Di kampung-kampung dataran rendah
air setinggi lima kaki dan di kawasan pemukiman Eropa setinggi dua kaki. Hanya rumah residen,
kantor pos dan rumah asisten residen yang bebas dari genangan. Di daerah pecinan air setinggi
tiga kaki. Transportasi pada saat itu hanya bisa dijangkau menggunakan perahu.15

13
Kutha negara atau kuthagara yang artinya ibu kota negara atau ibu kota kerajaan dari
nagari Surakarta Hadiningrat.
14
Abdi Dalem adalah orang yang mengabdikan diri untuk raja yang bertugas sebagai
pelaksana operasional di setiap organisasi yang dibentuk oleh raja.
15
Soerabaijasch Handelsblad 11 Januari 1894, Koleksi Delpher, Arsip Koran Kolonial.
Cuaca buruk dan hujan lebat adalah faktor penting penyebab banjir di Solo. Pada tahun
1902 banjir menggenangi Solo, tindakan pencegahan kerugian harta benda akibat banjir telah
dilakukan, seperti mengirim kuda dan sapi mengungsi karena koestraat (kandang sapi untuk jualan
sapi) terendam banjir. Jalan-jalan di kota juga terendam banjir seperti schoolstraat (jalan sekolah).
Air banjir juga menggenangi ruas jalan depan dan samping benteng. Di Kawasan Mangkunegaran
ketinggian air banjir mencapai pinggang orang dewasa. Jalan-jalan yang mengarah kearah sungai
arus banjirnya sangat kuat, sehingga orang yang melewati daerah itu harus berhati-hati. Jalan
menuju Purwosari juga terendam, semua kampung di sepanjang Kali Larangan seperti kampung
Baron dan Kadipolo juga terendam banjir. Dinding dermaga di sisi jembatan pemukiman runtuh
karena terbawa arus yang deras, pohon asem di sisi benteng tumbang. Komunikasi di kota Solo
terganggu karena kabel telepon menuju kota putus. Malam hari saat banjir melanda, Sunan keluar
untuk meninjau keadaan banjir dalam keadaan hujan di depan keraton. Di daerah resapan sungai
Pepe bendungan milik pabrik es Purwosari tersapu air, jembatan dekat Laweyan juga terbawa arus
air.
Di Kartasura banjir merendam pabrik dan perkampungan, para penduduk melarikan diri
dengan membawa harta mereka. Di halaman administrateurswoning (kantor administrator) air
banjir setinggi 47 cm, air banjir mengalir ke rumah-rumah dengan ketinggian 15 cm. Rumah
boekhouder (akuntan) terendam air setinggi tiga kaki, hujan turun dengan intensitas 172 mm.
Penumpang trem yang ingin pergi ke Boyolali harus turun sebelum Gembongan karena kuda (trem
kuda) tidak mampu menarik trem melawan arus. Sepanjang jalan banyak pohon yang tumbang dan
rumah yang hancur rata dengan tanah. Kereta milik pemerintah NISM (Nedenlandsch-Indische
Spoorweg Maatschappij) juga terkena dampak dari banjir. Perjalanan kereta terakhir dari Jogja
tiba di Gawok, tetapi diberitahukan bahwa kereta itu tidak bisa melintas karena rel terendam banjir,
akibatnya kereta kembali ke Delanggu, antara Gawok dan Purwosari jalur itu tertutup banjir
sehingga rel tidak bisa dilintasi kereta. Lebih dari 1000 m, penumpang kereta harus berjalan kaki
untuk berpindah kereta lain. Parahnya, lokomotif KA pertama tujuan Jogja anjlok di halte
Purwosari. Kemudan NISM berusaha untuk menanggulangi masalah itu sehingga semua lalu lintas
telah teratur kembali.16

16
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad 11 Februari 1902, Koleksi
Delpher, Arsip Koran Kolonial.
Banjir Solo juga pernah merendam benteng Vastenburg, dilaporkan melalui telegram yang
diterima oleh pemerintah (Resident van Soerakarta) pada 12 Februari 1902. Akibat hujan lebat
sungai Solo meluap dan sangat mengkhawatirkan. Kali Pepe juga digenangi air, sehingga pada
sore hari pada pukul 6 semua rumah penduduk pribumi dan pemukiman Eropa di selatan dan timur
Benteng Vastenburg terendam banjir. Semua sekolah pribumi dan Eropa ditutup. Penjara juga
terendam banjir, Para pejabat pemerintahan melakukan yang terbaik untuk menangani banjir,
penanganan ini dipimpin langsung oleh asisten residen dan bawahannya. Telegram tanggal 13
Februari diterima oleh residen yang menyatakan sebagai berikut, dalam satu malam banjir telah
surut sehingga lingkungan pemukiman Eropa, sekolah dan penjara sudah tidak tergenang air.
Banyak kampung di dataran rendah yang masih terendam.17 Kemudian pada tahun 1903 benteng
Vastenburg kembali terendam banjir. Dalam arsip digital milik Tropen Museum menjelaskan
mengenai banjir di kota Solo tahun 1903. Banjir itu menggenangi kawasan Lojiwetan depan
Societeit Harmonie di sebelah kiri (sekarang ruko) dan sebelah kanan adalah kawasan Benteng
Vastenburg, selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1.4.

17
Het Vaderland 17 Maret 1902, Koleksi Delpher, Arsip Koran Kolonial.
Gambar 1.4. banjir di kota Solo tahun 1903

Sumber : Tropen Museum


Gambar 1.5. Banjir Solo tahun 1915

Sumber: Tropen Museum

Banjir yang terdokumentasi pada tahun 1915 adalah banjir yang menggenangi kota Solo
tepatnya di area sekitar Sangkrah atau Kedung Lumbu, peristiwa banjir tahun 1915 ini termuat
dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad yang terbit pada tanggal 21 Januari 1915 yang memuat
berita “Solo, 21 Jan. (Part.) De kampongs Sangkrah, Kaloeraman, Kapandjen, Balong, Kalangan,
Kelipakan, Beton en Karengan staan onder water. Het water is thans vallende.” Yang artinya
Solo, 21 Januari. Kampung Sangkrah, Kaloeraman, Kapandjen, Balong, Kalangan, Kelipakan,
Beton dan Karengan terendam air. Kawasan Sangkrah tidak sekali saja terkena banjir seperti yang
terlaporkan dan dimuat dalam surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden terbitan tanggal 21 Februari
1918 yang berisi mengenai banjir di Sangkrah bahwa seperti prediksi kampung-kampung di
Sangkrah dan beberapa kelurahan terutama di luar tanggul terendam banjir.

Pada tahun 1935, wilayah Surakarta terendam banjir tepatnya di kawedanan Wonogiri
(wilayah kekuasaan Mangkunegaran). Banjir di Wonogiri menewaskan tujuh orang. Wonogiri
diguyur hujan dalam beberapa hari sehingga mengakibatkan sungai Bengawan Solo meluap.
Cabang dari sungai Bengawan di Wonogiri adalah kali Wirotoro di kecamatan Tirtomoyo yang
naik satu meter dalam satu malam. Akibat dari meluapnya air sungai, desa-desa di sekitar aliran
sungai tergenang air. Sebanyak 63 rumah warga runtuh dan menewaskan enam orang dewasa
termasuk seorang bayi. Selain manusia, hewan ternak juga menjadi korbannya. Sebanyak dua ekor
kambing dan satu ekor kuda hanyut, kerugian ditaksir sebesar 2.000 gulden. Untuk menangani
korban jiwa akibat banjir, bupati wonogiri mengambil langkah-langkah yang diperlukan terkait
pasokan pangan untuk warga yang terdampak.18
Banjir melanda Solo karena sungai Bengawan Solo meluap pada tahun 1937. Akibat banjir
yang menggenangi ruas jalan, masyarakat melakukan mobilitas menggunakan kano (perahu kecil).
Banjir sungai Bengawan mengalir menuju dataran rendah di selatan dan timur kota Solo. Banjir
merendam dari hari Jumat hingga Sabtu. Banjir menyebabkan kehancuran dan bencana bagi
penduduk, orang tua pada saat itu tahu bahwa banjir dalam 20 tahun yang lalu tidak sebesar banjir
yang terjadi pada tahun 1937. Ketinggian air di sungai Bengawan mencapai 6,7 meter, banjir
dilaporkan meluas hingga 2000 HA. Di beberapa tempat lebar jalur banjir sekitar 2 km, puluhan
desa dan kelurahan terendam banjir hingga menutupi atap. Sementara penduduk desa ketika malam
hari harus mencari tempat yang lebih tinggi. Karena banjir yang sangat besar menyebabkan
kerugian harta benda dan bencana populasi. Rumah penduduk hanyut dan mengalami kerugian
material sangat banyak. Padi sawah tidak terlalu terkena imbasnya karen padi bisa terendam air
selama beberapa hari. Ternak warga dibawa ke tempat yang lebih aman di tempat tinggi sehingga
tidak ada kerugian. Terdapat beberapa mayat yang tenggelam seperti mayat seorang gelandangan
berusia lima puluh tahun ditemukan, terdapat anak-anak yang tenggelam dan seorang pemuda
berusia sekitar delapan belas tahun tenggelam dan tewas.19

18
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië 1 Mei 1935, Koleksi Delpher, Arsip
Koran Kolonial.
19
Bataviaasch nieuwsblad 5 Januari 1937, Koleksi Delpher, Arsip Koran Kolonial.
Kanal dan Bendungan Surakarta Periode Kolonial

Wilayah Surakarta yang sering tergenang banjir menyebabkan pemerintah sebagai


pemangku kebijakan memikirkan cara agar wilayah yang mereka tempati tidak tergenang oleh air
jika hujan turun di wilayah itu. Rencana pembangunan kanal pengendali banjir di Surakarta
terdapat pada esai milik Houthuyzeri yang berisi mengenai penjelasan bagaimana ibu kota Solo
dapat terhindar dari banjir. Terdapat peta yang menjelaskan rencana proyek tersebut. Dalam esai
yang tertulis dijelaskan bahwa Solo diancam banjir dari sisi barat dan selatan, sisi barat terancam
banjir dari sungai Pepe, kali Larangan Mangkunagaran dan kali Larangan Kasunanan sedangkan
sisi selatan oleh Bengawan Solo. Sungai Pepe sudah dibangun tanggul dan air dapat dikendalikan
dengan adanya tanggul air Mungkung. Pejabat pengelola air wilayah Surakarta sangat cerdik
dalam menangani kasus banjir di Surakarta. Pintu air yang berada di sungai Pepe dapat
dikendalikan dengan cara menutup dan membuka aliran air yang jumlahnya ada sepuluh pintu.
Memikirkan jika semua aliran dari sungai Pepe mengalir pada banjir kanal tanpa adanya
bendungan, meski pada level air rendah aliran akan tetap mengalir menjadi banjir, itu yang
menyebabkan pemerintah membuat wacana proyek penanggulangan banjir.
Penanganan banjir dan pembuangan limbah potassium dengan cara membuat kanal dan
tanggul sejauh aliran sungai Pepe, pengendalian banjir akan dibangun diwilayah kali Larangan
Mangkunegaran. Banjir di kali Larangan yang biasa melanda seluruh wilayah Mangkunegaran
tidak akan terjadi lagi. Tanggul Sumberbragan sudah mampu menampung air yang banyak dan
dianggap sudah tidak akan ada lagi air yang menggenangi sekitar Mangkunegaran. Bagian dari
penanggulangan banjir di kota Solo (bagian kali Larangan Mangkunegaran) telah selesai
seluruhnya. Kemudian proyek akan dilakukan di kali Larangan Kasunanan di bagian barat dan
sungai Bengawan di bagian selatan. Proyek akan dibangun di kali Larangan Kasunanan, kali
Larangan Kasunanan adalah sungai yang mengalir di jalan utama Boyolali yang berasal dari
Pengging. Aliran ini mengalir dibawah jembatan Kleco kemudian mengalir ke kota. Aliran sungai
masih mengikuti jalan utama melewati pabrik es, berbelok ke selatan sedikit melewati Purwosari.
Kali Larangan juga mengalir ke selatan dan membuat tikungan besar di sekitar ibu kota hingga
jatuh ke selatan desa Mojo ke Bengawan dengan nama sungai Jenes.
Di jembatan Kleco terdapat bendungan kali Larangan yang terdiri dari 3 pengunci air yang
masing-masing selebar 1,5 M. Kunci air atau bendungan itu akan bertumpu pada tanggul di kedua
sisinya seperti tanggul air di Mungkung dan Sumber. Jika banjir terjadi di Larangan, pintu air akan
ditutup dan air akan jatuh mengalir ke kali Jenes. Pada aliran selatan kraton yang menuju ke barat
Kali Jenes terdapat aliran buntu, disisi lain aliran sungai ini hanya berlanjut di pedesaan kecil yang
tidak terawat. Sebelum sampai Jenes aliran sungai menikung ke kanan di kampung Ketipes dan
sampai aliran sungai Panularan-Baron. Disinilah akan dibangun tanggul berbentuk cincin yang
akan ditinggikan dari Ketipes yang melengkung seperti busur di selatan ibu kota. Lebarnya akan
menjadi 3 meter dan tingginya menjadi 5 meter melebihi tinggi banjir yang pernah tercatat.
Tanggul yang akan dibangun itu memotong kali Jenes di dua tempat yaitu di Pringgolaijan dan di
Dukuh. Aliran sungai menuju Baki dan Langenharjo juga terpotong oleh tanggul. Dari Dukuh,
tanggul terus melengkung ke utara hingga mencapai sungai Pepe di Demangan, tetapi masih
membelok ke utara hingga berakhir sedikit melewati Sorogenan dekat pekuburan dan dari jalan
lintas Warungpelem-Kepatihan ke Kedongkoppi karena Solo sedang direklamasi. Sungai
Bengawan akan tetap berada di luar kota utama. Kali jenes akan dipotong melalui dua tanggul di
dua tempat, untuk menyediakan drainase maka Jenes akan dialihkan dan akan digali saluran di
sepanjang tanggul tentunya dibagian luar yang nantinya akan membentang dari Pringgolaijan
hingga Dukuh. Di desa terakhir ini saluran akan jatuh lagi ke Jenes. Tanggul yang dibangun akan
memotong jalan ke Baki dan Langenharjo. Jembatan diatas kali Jenes akan dialihkan dan tanggul
akan memotong aliran air menuju Langenharjo kemudian tanggul ditinggikan 4 meter.
Pada sungai Pepe aliran berbelok, aliran menjadi lebih pendek. Di kali baru (kali Anyar)
dibuat pintu air yang terdiri dari 10 pintu, masing-masing lebar 15 meter sehingga kapasitasnya
akan sama dengan Mungkung. Jika proyek ini selesai kali Lama yaitu tikungan akan dibendung
seluruhnya. Tujuan dari pintu air Demangan sendiri dibangun agar sungai Pepe alirannya dapat
lewat dan bisa ditutup ketika Bengawan banjir. Semua pintu air akan ada satpam atau pengamat
dan setiap penjaga akan saling berkomunikasi. Ketika Bengawan banjir maka pintu air Demangan,
pintu air Mungkung, Sumberbragan juga Kleco akan ditutup. Jika tidak ditutup maka akan ada
pertemuan air dari Pepe dan kedua Kali Larangan, aliran itu akan meluap dan mengakibakan banjir.
Kali Larangan Mangkunegaran akan membanjiri belakang Kebalen dan Kali Larangan
Kasunanan akan melalui kali Sangkrah dan di Pepe akan mengalir banjir sepanjang Lojiwurung
dengan cabang disepanjang kawasan residentieerf atau pemukiman, banjir juga akan menggenangi
benteng. Rencana pembangunan bendungan akan dikembangkan lagi untuk menangani masalah
banjir, pembangunan direncanakan untuk mengalihkan kelebihan muatan air Kali Larangan di
Baron yang disalurkan ke Jenes untuk menyimpan semua airnya, tetapi kemudian akan diubah dan
mengalirkannya ke Panularan. Sebuah kanal akan digali di sepanjang jalan Panularan-Ketipes ke
selatan dan sebagian air dari Larangan akan mengalir ke tanggul Jenes. Ukuran yang dibangun
akan lebih berfungsi mencegah banjir yang akan menggenangi kampung di bagian selatan. Air
juga akan masuk ke sungai Pepe melalui Sangkrah. Inilah proyek rencana dari penanggulangan
banjir atau bandjirkanaal. Ketika rencana ini sudah dilaksanakan sepenuhnya, ibu kota Solo akan
aman dari banjir. Tetapi penulis menyatakan bahwa sebagai manusia jangan terlalu optimis akan
pembangunan itu. Karena banjir masih mengancam di sisi lain, yakni dari atas. Mungkin tanggul
Bengawan cukup untuk menampung air tetapi jika hujan deras mengguyur empat hari berturut-
turut itu akan membahayakan, intensitas hujan juga perlu diperhitungkan. Ada yang bisa dilakukan
dan direncanakan jika hal ini terjadi yaitu menggali saluran drainase dari Demangan lurus menuju
Jebres ke saluran kanal Pepe, tetapi proyek itu akan membutuhkan biaya yang banyak dan mungkin
proyek itu tidak akan berhasil. Banjir yang diprediksi itu hanya sebagai kemungkinan yang bisa
diperhitungkan.20
Pemerintah kolonial bersama Kasunanan yang dipimpin Sri Susuhunan Paku Buwono X
dan pemerintah Praja Mangkunegaran yang dipimpin KGPAA Mangkunegara VI yang kemudian
dilanjutkan oleh KGPAA Mangkunegara VII bekerjasama membuat sodetan dan bendungan,
karena dampak dari banjir Surakarta menimbulkan masalah yang cukup berarti bagi pemerintah.
Salah satu contohnya adalah dibangunnya sodetan baru agar air dari wilayah hulu (Boyolali) bisa
dialirkan langsung ke Sungai Bengawan pada tahun 1913. Sodetan itu adalah Kali Anyar. Air dari
hulu sungai Bengawan Solo direkayasa agar tidak masuk kawasan kota dengan dialirkan langsung
melalui pinggiran di wilayah utara. Pembuatan sodetan ini dilakukan di era Mangkunagara VI.
Pembangunan tanggul mulai dari Kampung Tipes ke timur sampai Kampung Mlipitan dan
Semanggi Kidul, kemudian berbelok ke utara sampai Kampung Saragenen Wetan, tepat di sebelah
selatan Pejagalan (Abbatoir). Bangunan tanggul di sebelah utara, dibangun mulai dari sebelah
utara Balekambang di Desa Sumber ke timur hingga Kampung Kenthingan yaitu di sepanjang
pinggiran sungai, sehingga pada musim penghujan air yang mengalir tidak meluap ke kota.
Pembangunan tanggul yang mengelilingi Kota Surakarta dibiayai oleh pemerintah Kraton
Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegara serta bantuan pemerintah kolonial Belanda.

20
De nieuwe Vorstenlanden 22 Mei 1908, Koleksi Delpher, Arsip Koran Kolonial.
Pembangunan tanggul dilaksanakan pada masa pemerintahan PB X (tahun 1893-1939) dan masa
KGPPA Mangkunegara VI (tahun 1896-1916).21

Pada awal abad ke-20 dilakukan pembangunan bendungan Tirtonadi dan jaringan drainase
serta sudetan Kali Anyar, pembangunan ini bertujuan untuk mengatur neraca air di kota Solo
dengan cara mengatur debit air yang masuk ke sungai Pepe kota. Pembuatan dam Tirtonadi dan
jaringan drainase serta pembuatan sodetan Sungai Anyar pada awal abad ke-20 merupakan
langkah mitigasi struktural buatan yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda bersama
Mangkunegara. Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana
dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Bendungan Tirtonadi beserta jaringan
drainase wilayah Praja Mangkunegara dalam hal ini adalah hasil rekayasa teknis yang sengaja
dibuat untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya bencana banjir pada Kota Surakarta,
khususnya wilayah Praja Mangkunegara. Bendungan Tirtonadi (1910) merupakan bendungan
yang ada di Kota Surakarta, dan termasuk komponen penting khususnya dalam hal pengairan.
Keberadaan bendungan Tirtonadi bisa dibilang memiliki nilai vital bagi masyarakat Surakarta.
Bangunan bendungan Tirtonadi memiliki peran dan fungsi vital bagi keberlangsungan Kota
Surakarta, terutama untuk mengatasi karakteristik geografis kota yang rawan banjir. Selain
bendungan Titonadi yang dibangun oleh pemerintah kolonial bersama Praja Mangkunegaran juga
dibangun pintu air Demangan, pintu air ini dibangun oleh pemerintah Kasunanan dan pemerintah
kolonial secara modern.

21
RM Sayid, Babad Sala, terjemahan Darweni, (Surakarta: Museum Rekso Pustaka
Mangkunegaran), 2001, hal 68.
Gambar 2.1. Pintu air Demangan

Sumber: Digital Collection Universiteit Leiden

Pembuatan bendungan Tirtonadi dan Demangan yang dilakukan oleh Kraton Kasunanan
Surakarta dan Praja Mangkunegaran bersama dengan pemerintah kolonial Belanda difungsikan
pada tahun 1910 masih belum dapat mencegah terjadinya banjir. Banjir tahun 1915 di kota solo
menggenangi sebagian besar wilayah Pasar Kliwon yang memang letaknya dekat dengan sungai
Bengawan Solo. Sistem drainase dibangun oleh Mangkunegara VII (1916-1944) pada daerah
pemukiman Praja Mangkunegara awal abad ke-20. Mangkunegara VII menyadari bahwa sistem
drainase merupakan salah satu komponen infrastruktur yang sangat penting, sehingga kemajuan
sebuah kota dapat dinilai dari kondisi sistem drainasenya. Pada sekeliling Pura Mangkunegara
dibangun saluran-saluran khusus untuk mengatur pembuangan limbah, pembangunan saluran-
saluran ini diteruskan hingga daerah Gilingan. Pembangunan saluran induk dari waduk Cengklik
yang dialirkan ke arah timur hingga taman Balekambang dilengkapi dengan pintu air yang
sewaktu-waktu bisa dibuka dan ditutup. Pola jaringan drainase siku biasanya dibuat pada daerah
yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi daripada sungai. Sungai sebagai saluran pembuang
akhir biasanya terletak atau melintasi di tengah kota (Sungai Pepe Kota).
Proyek lain untuk mengantisipasi banjir adalah pembangunan bandjirkanal. Selain luapan
Kali Bengawan Solo, banjir yang menggenangi Kota Surakarta juga berasal dari luapan air di
Sungai Pepe yang meluap saat hujan deras. Sebelum tahun 1900, sungai yang bersumber dari mata
air di Tlatar, Boyolali ini sebenarnya langsung mengalir ke pusat kota. Langkah awal program
pengalihan sungai adalah menggali cabang sungai Pepe. Sungai Pepe kemudian dialirkan ke sungai
kecil yang terletak di utara kota. Cabang sungai yang dipilih terletak tepat di sebelah utara jalur
rel di Stasiun Balapan. Masyarakat Surakarta diorganisir sebelum penggalian dimulai. Ukuran
awal sungai yang kecil lambat laun bertambah besar seiring bertambahnya ukuran dan aliran
sungai. Pintu air dipasang di cabang-cabang Sungai Anyar/Bandjirkanaal agar intensitas air yang
masuk ke kota dapat dikendalikan.
Di Desa Munggung dibangun pintu air, aliran Sungai Pepe diarahkan ke timur melalui Kali
Anyar di sebelah utara kota sampai Sungai Bengawan Solo. Sungai Pepe yang mengalir ke kota,
pada musim penghujan akan ditutup. Pintu air dibangun di Kampung Demangan dan Sangkrah.
Pintu air Demangan bila musim penghujan ditutup agar air yang mengalir dari Sungai Bengawan
Solo tidak masuk ke dalam kota. Di sebelah selatan kota terdapat Sungai Pelem Wulung yang
mengalir ke kota yang kemudian disebut Sungai Jenes dialirkan ke timur yang kemudian
dinamakan sungai Tanggul, alirannya menuju ke sungai Bengawan melalui sebelah utara desa
Nusupan.22 Tujuan dari semua pembanguan ini adalah untuk mengantisipasi banjir Kota Surakarta.

22
Ibid.
Gambar 2.2. Potret Kali Anyar 1930
Sumber: Nationaal Archief Netherlands

Banjir di Solo terus menggenangi kota selama periode abad ke-19 hingga awal abad ke-20
meski proyek bandjirkanaal dan pembangunan tanggul telah selesai. Intensitas curah hujan kota
yang tinggi merupakan salah satu masalah yang belum terselesaikan. Semua pintu air yang
menahan debit air sungai akan tertutup ketika permukaan air di sungai Anyar dan Bengawan Solo
semakin tinggi. Namun, air yang menggenangi kota tidak dapat dibuang jika curah hujan tinggi.
Karena itu Pemerintah Surakarta kewalahan. Meski begitu, proyek penanggulangan banjir
Surakarta merupakan suatu pencapaian dari modernisasi sebuah kota.
Gambar 2.3. Hasil overlay jaringan drainase dengan peta Kota Surakarta tahun 1873. Pada peta
tahun ini terlihat Surakarta sebelum mengalami kepadatan pemukiman dan sebelum dibangunnya
kanal dan bendungan.

Sumber: Arsip Reksa Pustaka Mangkunegara dengan modifikasi penulis


Gambar 2.4. Hasil overlay jaringan drainase dengan peta Kota Surakarta tahun 1935. Peta ini
menunjukkan kepadatan pemukiman Surakarta dan setelah dibangunnya kanal dan bendungan.

Sumber: U.S. Army map service dengan modifikasi penulis

Pada hasil overlay dengan peta tahun 1873, tampak belum dibangun bendungan/dam
Tirtonadi beserta jaringan drainasenya. Pemilihan lokasi pembangunan bendungan beserta Kali
Anyar di desa Munggung dapat diinterpretasikan dari hasil overlay tersebut bahwa di desa
Munggung wilayahnya dilewati sungai Pepe dan belum terdapat pemukiman, tata guna lahannya
masih didominasi oleh persawahan dan perkebunan. Secara hidrologis kondisi kota Surakarta pada
tahun 1873 dengan adanya sawah dan perkebunan menjadikan area resapan saat itu masih luas.
Pada peta tahun 1873 nampak belum adanya pemukiman Praja Mangukenegaran yang terlalu
meluas dan signifikan, walaupun sudah ada pemukiman di selatan desa Munggung.

Diperkirakan pada tahun 1873 pemukiman di selatan desa Munggung sistem drainasenya
menggunakan saluran drainase alami. Saluran drainase alami ini terbentuk oleh alam tanpa ada
campur tangan manusia seperti berupa aliran sungai. Sungai Pepe sendiri merupakan saluran
drainase utama di Surakarta pada saat itu. Kondisi ini berubah seiring dengan terjadinya dinamika
sosial dan pembangunan pada kota Surakarta khususnya pada wilayah Praja Mangkunegaran.
Hasil overlay pada tahun 1935 yang dibuat pemerintah kolonial tampak sangat berbeda dengan
peta tahun 1873. Perbedaan tampak pada perubahan fungsi dan guna lahan. Fungsi lahan pada
tahun 1935 sudah didominasi oleh pemukiman dan berkurangnya sawah dan kebun sehingga
daerah resapan air berkurang. Pada tahun 1935 pengelompokan pemukiman sudah ada antara
Pribumi, Cina, dan Belanda. Pada tahun 1935 memang sudah dibangun dam Tirtonadi beserta
jaringan drainasenya yang cukup memadai dan hampir menjangkau seluruh pemukiman yang ada
beserta taman-taman kota pada masa itu. Akibat dari berkurangnya daerah resapan air karena
banyaknya pemukiman mengakibatkan wilayah Surakarta rentan terhadap banjir walaupun sudah
dibangun sistem pintu air atau bendungan.

Kesimpulan

Banjir di Solo sepanjang periode abad ke-19 hingga awal abad ke-20 berdampak pada
sistem ekonomi dan sosial. Musim hujan antara bulan Desember hingga Maret menyebabkan
wilayah Surakarta atau Solo rentan tergenang Banjir. Banjir yang menerjang Solo merusak sawah,
rumah warga, dan fasilitas umum seperti jalan raya, rel kereta api dan trem. Banjir yang terjadi
selama periode 1930an sangat memukul kehidupan masyarakat yang sedang menghadapi masa
sulit sebagai dampak depresi ekonomi dunia. Bagi masyarakat, bukan dampak ekonomi saja yang
mereka rasakan, dampak sosial juga menjadi beban yang harus mereka tanggung. Hancurnya
rumah mendorong mereka untuk mengungsi ke daerah lebih aman yang tentunya juga akan
menggeser aktivitas keseharian, baik dalam aspek sosial maupun ekonomi. Akibat dampak yang
ditimbulkan karena banjir tersebut, maka pemerintah kolonial Belanda bersama Kasunanan dan
Mangkunegaran berusaha membuat infrastruktur pencegahan banjir agar mencegah kerugian yang
terjadi akibat banjir. Atas inisiasi ketiga pemangku kepentingan wilayah Surakarta maka
dibangunlah bendungan Tirtonadi beserta kanal dan sodetan. Dengan adanya pembangunan
proyek kanal dan bendungan di Solo secara langsung memberikan dampak bagi masyarakat.
Proyek ini selain digunakan sebagai pencegahan banjir juga menjadi sumber air bersih bagi
masyarakat. Pembangunan bendungan dan kanal menjadikan karesidenan Surakarta menjadi
perkotaan kolonial yang modern. Pembangunan ini juga menjadi prestasi bagi Surakarta atas
sinergi bersama menangani banjir antara campur tangan Kasunanan, Mangkunegaran dan
pemerintah kolonial juga masyarakat yang tinggal di wilayah Surakarta sebagai pekerja proyek.
Daftar Pustaka

Arsip
Overzichtkaart Tirtonadi Complex/Partimah Park, Koleksi Perpustakaan Rekso
Pustoko No.A166.

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië-part 4.


Bataviaasch Handelsblad 9 Februari 1874.
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie tanggal
09 Februari 1875. Bataviaasch handelsblad tanggal terbit 13-01-1880.
Soerabaijasch Handelsblad terbitan tanggal 11 Januari 1894.
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal terbit 11-02-1902.
Het Vaderland tanggal terbit 17 Maret 1902.
Bataviaasch Nieuwsblad terbit pada tanggal 21 Januari 1915.
De Nieuwe Vorstenlanden terbitan tanggal 21 Februari 1918.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië tanggal terbit 01-05-1935.
Bataviaasch nieuwsblad tanggal terbit 05-01-1937.
Het nieuwsblad voor Sumatra tanggal terbit 24-02-1951
De nieuwe Vorstenlanden diterbitkan tanggal 22 Mei 1908.
Haarlem dan De Erven F. Bohn. 1882. P.J Veth.Java, Geographisch, Ethnologish,
Historisch.

Buku
Bagoes Wiryomartono. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di aIndonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Chay Asdak. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Handinoto. 2012. Perubahan Besar Morfologi Kota-Kota di Jawa Awal dan Akhir Abad
Ke-20. Yogyakarta:Graha Ilmu.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mimi Savitri. 2015. Sustaining the layout of the Javanese city centre (1745-1942) :the
embodiment of the Sunan's power in Surakarta. London: University of London.
Mulyanto. 2013. Penataan Drainase Perkotaan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Nina Astiningrum, “Kebijakan Mangkunagara VII dalam Pembangunan Perkotaan di


Praja Mangkunegaran Tahun 1916-1944”, makalah tidak diterbitkan.
RM Sayid. 2001. Babad Sala (terjemahan Darweni). Surakarta: Museum Rekso Pustaka
Mangkunegaran.

Radjiman. 2002. Toponimi Kota Surakarta dan Awal Berdirinya Kasunanan Surakarta
Hadiningrat. Buku tidak diterbitkan.

Sartono Kartodirdjo. 1975. Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

Soedarmono. 2004. Sejarah dan Morfologi Kota Konflik Solo: Dari Periode Kolonial-
Orde baru. Surakarta: Solo Heritage Society.

________.2004.“Sejarah dan Morfologi Kota Konflik Solo: Dari Periode Kolonial-Orde


Baru”, Makalah Seminar. Surakarta: Solo Heritage Society.

________. 2004. Surakarta Kota Kolonial, Laporan Penelitian. Surakarta: LPPM UNS.

Soedarmono. Kusumastuti. Rizon Pawardi Utomo. 2009. ”Sejarah dan Morfologi Kota
Konflik.Solo: Dari Periode Kolonial – Orde Baru”, Laporan Hasil Penelitian.
Surakarta: Solo Heritage Society.

Sri Asih.2009. “Karya Arsitektur Thomas Karsten di Surakarta 1917-1942”.Skripsi.


Surakarta: Sastra Seni Rupa,Universitas Negeri Sebelas Maret.

Susanto, ”Surakarta: Tipologi Kota dagang”, dalam Sri Margana dan M. Nursam, Kota-
kota di Jawa: Identiras, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial. Yogyakarta:
Ombak, 2010.

Artikel

Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Pengairan Proyek Induk Pengembangan


Wilayah Sungai Bengawan Solo. 2002. Tirtonadi Rubber Dam. Madiun:
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Pengairan Proyek Induk
Pengembangan Wilayah Sungai Bengawan Solo.

Anda mungkin juga menyukai