Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

ANALISA STUDI KASUS

Ditujukan Untuk Memenuhi Kriteria Penilaian

Pada Mata Kuliah Teknik Sungai yang diampu

Dian Sisinggih, ST., MT., Ph.D.

Disusun Oleh:

Dyah Laksmi Wahyusetyaningtyas NIM.195060400111023


Chiara Adristi Zetta Adeli NIM.195060400111037
Agung Ayu Gayatri Devi NIM.195060400111054
Faris Rifqi Himawan NIM.195060400111059
Anggi Okvitasari NIM.195060401111007
Annisa Ridha Fashira NIM.195060407111019

TEKNIK PENGAIRAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
STUDI KASUS ALIRAN DEBRIS ERUPSI GUNUNG
KELUD
I. Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang paling sering terjadi bencana alam dengan
berbagaijenisnya. Sekitar 13% gunung berapi yang ada di dunia berada di negara
Indonesia dengansemuanya berpotensi menimbulkan bencana alam pada intensita
dan kekuatan yang berbeda-beda (Belanawane, 2015 dalam (Sukmana, 2018). Di
Indonesia terdapat 127 Gunung api yang masih aktif. Gunung Api tersebut
terbaggi menjadi 3 tipe, pertama gunung tipe A dengan jumlah 76, gunung tipe B
dengan jumlah 30, dan gunung tipe C dengan jumlah 21. Sebanyak 19 gunung api
tipe A berlokasi di Jawa Timur dengan salah satunya adalah Gunung Kelud yang
terletak diantara kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Malang
(Syiko, Rachmawati, & Rachmansyah, 2014). Gunung Kelud meletus
menimbulkan banyak kerugian bukan hanya berdampak untuk masyarakat
sekitarnya, tetapi letusan abu sampai Jawa Barat dan menutup langit sehingga
mengganggu penerbangan (Saputra, Alfaritdzi and Kriswibowo, 2020).
Berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Pencana (BNPB) akibat dari erupsi
Gunung Kelud korban meninggal berjumlah 7 orang yang semuanya berasal dari
Kabupaten Malang. Korban yang mengalami luka-luka sebanyak 1.423 orang, dan
sebanyak 31 menjalani rawat inap. Jumlah pengungsi pada tanggal 17 Februari
2014 sebanyak 87.629 (BNPB, 2014).

Gunung Kelud termasuk dalam tipe stratovulkan dengan karakteristik letusan


eksplosif. Seperti banyak gunungapi lainnya di Pulau Jawa, Gunung Kelud
terbentuk akibat proses subduksi lempeng benua IndoAustralia terhadap lempeng
Eurasia. Sejak tahun 1300 Masehi, gunung ini tercatat aktif meletus dengan
rentang jarak waktu yang relatif pendek (9-25 tahun), sehingga menjadikannya
sebagai gunung api yang berbahaya bagi manusia. Letusan Gunung Kelud yang
terakhir terjadi adalah letusan pada tahun 2014 yang dianggap lebih dahsyat
daripada tahun 1990. Letusan pertama tipe ledakan (eksplosif). hujan kerikil yang
cukup lebat dirasakan warga di wilayah Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur.
Dampak berupa abu vulkanik bahkan mencapai Kabupaten Sleman, Yogyakarta,
hingga Kabupaten Ciamis, Bandung dan beberapa daerah lain di Jawa Barat.

Pembangunan Waduk Wlingi di latar belakangi oleh faktor lingkungan


dan ekonomi masyarakat. Faktor lingkungan yang terkait dengan rencana
pembangunan Waduk Wlingi berhubungan dengan faktor geografis berupa
kondisi daerah yang kurang subur karena terbatasnya ketersediaan irigasi pada
musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan sebagian kawasan sering
dilanda banjir. Secara ekonomi yang mempengaruhi daerah tersebut perlu
dibangun Waduk Wlingi terkait pentingnya sarana irigasi pertanian di wilayah
Kabupaten Blitar hingga Tulungagung karena mayoritas masyarakat bermata
pencaharian sebagai petani. Karena letusan Gunung Kelud pada tahun 1990 dan
2014, tentunya berdampak besar pada wilayah sekitarnya khususnya pada Waduk
Wlingi ini sendiri yaitu terjadinya aliran debris akibat material vulkanik yang
dibawa oleh letusan Gunung Kelud. Maka dari itu perlu dibuat pembahasan
mengenai kasus aliran debris akibat erupsi dari Gunung Kelud.
II. Permasalahan

Waduk Wlingi adalah salah satu waduk pada aliran S. Brantas terletak di Kab.
Blitar, dibangun tahun 1975 – 1977, dimanfaatkan untuk penyediaan air irigási
dan PLTA. Pada saat ini volume efektif air waduk 3,348 juta m3 atau 64% dari
volume efektif rencana sebesar 5,2 juta m3 sehingga debit air untuk irigasi
berkurang dan daya listrik yang dihasilkan lebih kecil dari yang direncanakan.
(Sumaryono and Puspitosari, 2011)

Laju sedimentasi waduk Wlingi bertambah cepat setelah terjadi letusan G.


Kelud tanggal 10 Februari 1990. Hal ini disebabkan material vulkanik yang
mengendap pada sungai‐sungai di DAS Waduk Wlingi yang berhulu di G. Kelud
terangkut oleh aliran air pada sungai‐sungai Putih, Jari, Semut dan Lekso menuju
ke waduk dan akhirnya mengendap di dasar waduk.

Dalam periode 19 tahun dari 1979 sampai 1998, volume air waduk
menurun drastis dari volume total rencana sebesar 24 juta m3 pada tahun 1979,
menjadi 4,454 juta m3 pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa telah
terjadi penurunan volume waduk sebesar 81,5% dari volume total rencana
selama kurun waktu 19 tahun setelah waduk beroperasi.

Penurunan volume waduk Wlingi yang sedemikian besar telah


mengganggu operasional waduk baik untuk irigasi maupun untuk PLTA.
Untuk itu maka perlu dilakukan tindakan‐tindakan untuk mengatasi hal tersebut
antara lain dengan penjadwalan operasional waduk, pengerukan sedimen dari
dasar waduk dan mengendalikan angkutan sedimen yang masuk ke waduk
terutama dari lereng G. Kelud.

Sejak tahun 1998 telah dilakukan tindakan untuk menurunkan laju


sedimentasi waduk dengan melakukan pengurukan sedimen dari dasar waduk
secara periodik setiap tahun. Selain itu pekerjaan penanggulangan dengan
membuat bangunan sabo di sepanjang sungai‐sungai yang berhulu di G.
Kelud dalam DAS Waduk Wlingi telah dilaksanakan dengan intensif. Sejak saat
itu, volumen air waduk relatif stabil sampai tahun 2006.
Angkutan sedimen yang masuk ke Waduk Wlingi tidak hanya berasal
dari lereng G.Kelud, tetapi juga berasal dari Kali Brantas di hulu waduk. Namun
demikian, vulume sedimen yang berasal dari Kali Brantas di hulu Waduk
Wlingi tidak terlalu besar, karena di hulu Waduk Wlingi terdapat Waduk
Sutami yang secara tidak langsung berfungsi sebagai penangkap sedimen,
sehingga angkutan sedimen yang masuk ke Waduk Wlingi sangat kecil.
Sumber sedimen lain berasal dari anak‐anak sungai kecil antara Waduk
Sutami dan Waduk Wlingi yang volumenya relatif kecil.

Bendungan Wlingi dibangun pada tahun 1975 – 1977 berfungsi untuk menyuplai
air irigasi untuk 13.600 ha sawah serta menghasilkan daya sebesar 188 juta
KWH/jam. Kapasitas tampungan mati didesain sebesar 18,8 juta m3, dan
tampungan efektif sebesar 5,2 juta m3. Dengan memiliki kapasitas tampungan
mati yang cukup besar waduk Wlingi akan mampu menampung sedimen dengan
jumlah besar, dan memiliki usia guna yang panjang. Namun pada tahun 2011
kapasitas tampungan tersebut menyusut hingga tersisa 0,98 juta m3. Kondisi
tersebut disebabkan meningkatnya angkutan sedimen yang masuk ke waduk serta
efek dari erupsi gunung kelud (1990, 2007, dan 2014). Kondisi saat ini sedimen
yang ada sudah mempengaruhi pola operasi waduk Wlingi, meskipun sedimen
belum menutupi intake untuk PLTA.

Masalah yang ada akan bertambah pelik ketika sedimen cukup banyak dan
mengganggu. Untuk Waduk wlingi intake irigasi berada pada elevasi yang cukup
tinggi sehingga pengaruh sedimen tidak begitu berarti, namun berbeda untuk
fungsi pengendalian banjir dan PLTA yang sangat sensitif terhadap jumlah
kapasitas tampungan waduk sedimen yang melebihi tampungan mati atau bahkan
mendekati kapasitas tampungan mati akan berpengaruh pada tinggi jatuh yang
dihasilkan oleh tampungan dan berpengaruh pula pada pengendalian banjir serta
kemampuan Waduk dalam mempertahankan volume air yang ada. Imbas dari
terbuangnya air melalui spillway tidak hanya merugikan PLTA saja karena
berkurangnya daya yang dihasilkan namun juga berpeluang merugikan pengelola
dari segi ekonomi. Mutlak penanganan sedimen di Waduk harian tidak bisa
dipandang sebelah mata karena sensitifitas volume tampungan Waduk akan
berimbas pada kemampuan atau daya guna waduk tersebut dalam memenuhi
segala tujuan yang direncanakan. Pola operasi yang ada pun tidak bisa dipaksakan
penggunaannya jika Waduk tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi
tujuannya hal ini akan berimbas pada kondisi pengguna air waduk dan bisa
menjadi Efek domino dalam kesejahteraan masyarakat
III. Analisa penyebab/ mekanisme masalah

Letusan G. Kelud tahun 1990 menghasilkan piroklastik dan lahar panas


berupa material vulkanik yang menyebar ke semua arah dan mengendap di
sekitar puncak, lereng dan kaki gunung. Endapan lahar panas dan piroklastik
terdiri dari batu‐batu, kerikil, pasir, dan abu vulkanik. Material vulkanik
yang dihasilkan kurang lebih 120 juta m3. Sebagian dari material vulkanik
ini mengendap di sepanjang sungai‐sungai yang dilalui dan sebagian lainnya
mengendap di lahan di luar alur sungai dan sisanya mengendap pada lahan di
sekitar puncak dan lereng. Sedimen yang berasal dari lahar panas mengendap
pada alur sungai‐sungai yang berhulu di puncak G. Kelud. Material yang
berasal dari piroklastik menyebar di sekitar pucak.

Pada musim penghujan, endapan material vulkanik yang mengendap di sekitar


puncak, lereng dan alur sungai bercampur dengan air hujan, berubah menjadi
aliran lahar dingin. Aliran lahar dapat berupa aliran debris atau aliran
lumpur dengan gaya seret yang besar sehingga sedimen yang terangkut ke
hilir volumenya besar dan kecepatannya tinggi. Pada kemiringan dasar sungai
yang landai terjadi pengendapan di sepanjang alur sungai yang berhulu di G,
Kelud dan sedimen yang bergradasi lebih halus terangkut sampai ke Waduk
Wlingi dan mengendap di dasar waduk.

Sedimen yang mengendap di dasar Waduk Wlingi terutama berasal dari


sungai‐sungai lahar yang berhulu di G. Kelud. Sungai‐sungai lahar dari G. Kelud
yang mengalir ke Waduk Wlingi adalah K. Putih, K. Jari, K. Semut dan K.
Lekso. Keempat sungai ini berkuala di K. Brantas di sebelah hulu Waduk
Wlingi. Akibat dari aliran sedimen yang masuk K. Brantas maka terjadi
sedimentasi waduk. Sedimen dari lereng G. Kelud memberikan kontribusi
terbesar terhadap sedmentasi waduk.
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi Penanganan

Letusan Gunung Kelud yang terjadi menyebabkan semakin cepatnya laju


sedimentasi di Waduk Wlingi dan volume air waduknya pun menurun secara
drastis sehingga pola operasional waduk baik untuk irigasi maupun PLTA.

Melihat begitu besar dampak dari sedimentasi aliran debris ini, maka perlu adanya
penanganan untuk mengurangi sedimentasi aliran debris tersebut. Berikut
beberapa rekomendasi penangan sedimentasi aliran debris yang dapat dilakukan :

1. Untuk mengatasi akibat berkurangnya volume efektif waduk dilakukan


pengurangan jam operasi PLTA terutama pada musim kemarau dan
pengurangan luas areal sawah yang diairi dengan cara giliran. Sedang
untuk mengatasi penurunan volume efektif waduk dilakukan pekerjaan
pengerukan sedimen yang mengendap di dasar waduk secara rutin di
sepanjang tahun terutama di musim penghujan.
2. Agar operasi waduk tidak terganggu, pengerukan sedimen dari dasar
waduk dilakukan dengan mengoperasikan kapal keruk pada musim
penghujan. Volume sedimen yang dapat dikeruk dari dasar waduk
antara 200.000 m3 sampai 400.000 m3 setiap tahun.
3. Untuk mengurangi sedimen yang terangkut aliran air dari anak‐anak
sungai yang berhulu di G. Kelud diterapkan teknologi sabo dengan
membuat bangunan‐bangunan sabo seperti kantong lahar, bendung
penahan sedimen, bendung pengendali dasar sungai, bendung
konsolidasi, tanggul pengaman dll. Pembuatan bangunan sabo
dilakukan di sungai‐sungai K. Putih, K. Jari, K. Semut dan K. Lekso.
Selain itu telah dibuat saluran pengelak (diversion channel) untuk
membelokkan aliran sungai dari K. Putih menuju ke hilir Waduk
Wlingi.
DAFTAR PUSTAKA

Saputra, D. P., Alfaritdzi, R. M. and Kriswibowo, A. (2020) ‘Model Manajemen


Bencana Gunung Meletus Di Gunung Kelud’, Public Administration
Journal of Research, 2(2), pp. 109–126. doi: 10.33005/paj.v2i2.41.

Sumaryono, A. and Puspitosari, D. A. (2011) ‘PENERAPAN TEKNOLOGI


SABO PADA SUNGAI SUNGAI DI WILAYAH GUNUNG KELUD
UNTUK MENGURANGI SEDIMENTASI WADUK WLINGI’, 7, pp. 1–
12.

Anda mungkin juga menyukai