Anda di halaman 1dari 5

BAB III

PEMBAHASAN
3.1 Permasalahan Banjir di Rancaekek
Bencana alam merupakan peristiwa alam yang dapat mengakibatkan kerusakan atau bahkan
memusnahkan makhluk hidup. Bencana alam sendiri dapat terjadi karena faktor perubahan
dari alam itu sendiri atau bahkan akibat dari ulah manusia. Bencana alam dapat menyebabkan
berbagai dampak negatif, baik itu fisik maupun mental. Kerugian yang ditimbulkan oleh
bencana alam diantaranya banyakanya korban jiwa, hilangnya harta benda, rusaknya
lingkungan, dan musnahnya ekosistem. Selain itu bencana juga dapat menimbulkan
kemiskinan dan pengangguran. Salah satu bencana alam yang sering terjadi di tengah-tengah
masyarakat ialah bencana banjir. Banjir adalah terbenamnya daratan oleh genangan air yang
diakibatkan dari adanya penyumbatan saluran air, jebolnya tanggul, tidak adanya daerah
resapan air, serta curah hujan yang cukup tinggi (Alma, 2010:215).
Menurut pihak Kecamatan Rancaekek, ketinggian banjir rata-rata mencapai 1- 1,5 meter.
Banjir yang paling parah melanda Rancaekek yaitu banjir yang terjadi ketika tahun 2009 dan
2011. Banjir di Rancaekek juga pernah memakan korban yaitu pengendara motor yang tengah
melewati banjir dan dia tidak tahu bahwa jalan yang ia lewati berbatasan dengan sungai.
Jembatan tersebut tidak memiliki penghalang antara jalan dan sungai, sehingga ia tergelincir
kedalam sungai dan terbawa arus yang cukup deras. Namun, permasalahan banjir tersebut
tidak membuat masyarakat pindah ke tempat lain. Desa Bojongloa sebagai salah satu desa
yang sering mengalami banjir yang ketinggiannya cukup tinggi dibandingkan dengan desa-
desa lainnya di Rancaekek. Di Desa ini melintas Sungai Cikeruh yang kerap meluap
menyebabkan timbulnya banjir. Masyarakat Desa Bojongloa seakan sudah terbiasa dengan
bencana tersebut dan memiliki alasannya tersendiri sehingga mereka tetap tinggal dan
beradaptasi dengan kondisi yang ada.
Permasalahan banjir yang terjadi di Bojongloa tidak hanya menyebabkan tergenangnya air
atau menaiknya debit air tetapi, menibulkan permasalahan lain seperti bau yang tidak sedap
dan warna air banjir yang hitam pekat tercemar oleh kegiatan industri di sekitar. kegiatan
industri menjadi salah satu sektor pembangunan yang sangat berpotensi merusak
lingkungan hidup. Hal ini juga ditandai oleh banyaknya kasus perusahaan industri yang
diberikan sanksi denda dengan jumlah yang besar akibat kerusakan lingkungan
yang mereka sebabkan. Kerusakan yang dihasilkan oleh industri-industri tersebut dapat
berupa polusi udara, polusi air, dan polusi tanah yang masing-masing memiliki dampak
berbahaya dan kesulitan upaya penanganannya masing- masing.Melihat besarnya potensi
pencemaran lingkungan oleh aktivitas industri, Valentino Darsono mengatakan, apabila
hal ini tidak mendapat perhatian yang serius, maka antara industri dan lingkungan hidup tidak
berjalan seiring, akan menimbulkan kesan bahwa semakin maju industri maka semakin
rusak lingkungan hidup.
Banjir di Rancaekek sudah terjadi sejak dahulu, sekitar sejak tahun 70-an. Akan tetapi,
ketinggian banjir di Rancaekek pada masa-masa dahulu tidaklah sebesar sekarang. Banjir
pada masa itu disebabkan oleh hujan yang sangat besar. Dahulu sebagian besar rumah-rumah
masyarakat merupakan rumah panggung. Rumah juga sebagian besar semi permanen. Rumah
panggung dapat menunjang adaptasi yang dilakukan masyarakat karena rumah panggung
mempunyai banyak manfaat. Selain itu juga sebagian besar halaman rumah mereka cukup
luas dan ditanami berbagai macam pohon termasuk juga menanam sayuran. Tanah yang
cukup luas, tidak ditutupi beton, dan bangunan rumah yang merupakan rumah panggung
membuat aliran air hujan ataupun genangan banjir dapat dengan cepat terserap. Pada tahun
1970-an kondisi sungai masih sangat jernih. Sungai dapat digunakan untuk mandi, berenang,
bermain, mencuci, dan berbagai aktivitas lainnya guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Meskipun kontur sungai berkelok-kelok, akan tetapi kondisi sungai masih bagus dan belum
terjadi pendangkalan dan penyempitan. Ranting-ranting kayu yang biasa berjatuhan,
dimanfaatkan masyarakat untuk bahan bakar memasak ataupun membuat benda-benda yang
dapat bermanfaat bagi mereka. Meskipun hujan sangat deras, aliran air pun dapat dengan
lancar mengalir karena tidak terhambatnya sungai dengan sampah ataupun ranting kayu.
Sementara pada masa sekarang ini, sudah banyak berdiri bangunan permanen yang
menyebabkan terhambatnya penyerapan aliran air hujan. Banjir yang cukup besar mulai
melanda Rancaekek sekitar tahun 2000an, khususnya tahun 2011. Semakin kesini, banjir di
Rancaekek semakin meningkat dan semakin parah ketinggiannya.. Menurut Sekdes
Bojongloa, wilayah di Bojongloa yang terkena banjir dengan ketinggian cukup parah adalah
wilayah RW 05, RW 06, RW dan 07. Hal itu dikarenakan wilayah tersebut berada pada posisi
yang landai dibandingkan dengan wilayah lain, dan juga wilayah tersebut dekat dengan
Sungai Cikeruh.

3.2 Penyebab Terjadinya Banjir di Rancaekek


Menurut Kodoatie dan Sugiyatno (2002) dalam Mahfuz M (2016), faktor penyebab terjadinya
banjir dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu banjir alami dan banjir oleh tindakan
manusia. Banjir akibat alami dipengaruhi oleh curah hujan, fisiografi, erosi dan sedimentasi,
kapasitas sungai, kapasitas drainase dan pengaruh air pasang. Sedangkan banjir akibat
aktivitas manusia disebabkan karena ulah manusia yang menyebabkan perubahan-perubahan
lingkungan seperti, perubahan kondisi daerah aliran sungai (das), kawasan permukiman di
sekitar bantaran, rusaknya drainase lahan, kerusakan bangunan pengendali banjir, rusaknya
hutan (vegetasi alami), dan perencanaan sistem pengendali banjir yang tidak tepat.
Banjir di Rancaekek diantaranya disebabkan yaitu : Pertama, pendangkalan dan penyempitan
Sungai Cikeruh. Penyebab Sungai Cikeruh menjadi dangkal dan sempit adalah banyaknya
sampah, lumpur, dan ranting-tanting pohon yang mengendap didasar sungai. Dahulu, ranting-
ranting pohon ataupun kayu sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan bakar yang
digunakan saat memasak. Akan tetapi semenjak masyarakat beralih menggunakan LPG, maka
ranting-ranting pohon dan kayu-kayu pun sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat.
Kemudian selain kondisi sungai yang dangkal dan sempit, kontur sungai yang berkelok-kelok
pun membuat laju air menjadi lambat dan akhirnya sulit untuk mengalir.
Penyebab banjir di Rancaekek yang kedua ialah masalah sampah. Masalah sampah ini masih
berkorelasi dengan permasalahan pendangkalan dan penyempitan Sungai Cikeruh. Banyaknya
sampah yang mengendap di dasar sungai membuat sungai menjadi dangkal dan rempit.
Permasalahan sampah ini sendiri muncul akibat dari kesadaran masyarakat yang masih rendah
terhadap lingkungan. Banyak masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan,
khususnya membuang sampah secara langsung ke sungai. Akibat dari sampah tersebut, pintu
air menjadi tersumbat. Ketika pintu air tersumbat, air yang datang dari hilir tidak dapat
mengalir sehingga meluap dan menimbulkan banjir.
Penyebab banjir selanjutnya ialah masalah alih fungsi lahan yang terjadi di daerah Sumedang
seperti di daerah Manglayang, Jatinangor, Tanjungsari dan Gunung Geulis. Pada jaman
dahulu, Jatinangor merupakan kawasan perkebunan karet, kemudian di Tanjungsari,
Manglayang, dan daerah Gunung Geulis merupakan daerah-daerah resapan air. Namun
sekarang, di wilayahwilayah tersebut sudah banyak berdiri perumahan dan Jatinangor pun
telah berubah menjadi kawasan pendidikan sehingga aliran air hujan pun tidak terserap
dengan maksimal dan akhirnya mengalir lewat Sungai Cikeruh dan menggenang di wilayah
Rancaekek.
Selain dari sungai Cikeruh yang membuat aliran air hujan menjadi semakin tidak terkendali
ke daerah Rancaekek, tetapi banjir juga datang dari sungai Cikijing yang turut menambah
debit air di kawasan Rancaekek. Sungai Cikijing sendiri berada di Kabupaten Bandung,
melintasi empat kawasan desa, yaitu Desa Jelegong, Desa Linggar, Desa Sukamulya
dan Desa Bojongloa, di mana keempat Desa tersebut adalah kawasan pertanian lahan
basah dan kawasan permukiman. Selain itu, masyarakat juga menggunakan air sungai
tersebut untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, cuci dan memasak. Sungai ini
melewati dua kabupaten, yakni Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung.13 Hal
tersebut menyebabkan pembuangan limbah yang dilakukan di sekitar daerah Rancaekek
ini pun mengalir sampai kepada Kabupaten Bandung yang merupakan daerah kabupaten lain.
Selain permasalahan sungai yang menjadi faktor utama penyebab banjir kesadaran
masyarakat dalam menjaga lingkungannya masih tergolong rendah. Hanya ada beberapa
masyarakat yang mengelola sampahnya dengan benar atau paling tidak membakar sampahnya
masing-masing. Masyarakat lainnya lebih sering membuang sampah mereka secara langsung
ke Sungai Cikeruh, sehingga kondisi sungai menjadi kotor dan juga dangkal. Sebenarnya
terdapat petugas yang mengangkut sampah dari permukiman warga, akan tetapi petugas
tersebut tidak menjangkau ke seluruh lokasi rumah-rumah warga. Kemudian lahan untuk
masyarakat membuang sampah pun masih belum mencukupi. Hal itu juga cukup berpengaruh
pada kebiasaan warga dalam membuang sampah sembarangan khususnya membuang sampah
ke sungai.

3.3 Dampak Terjadinya Banjir di Rancaekek


Banjir di Rancaekek biasa terjadi di musim hujan, yaitu sekitar bulan September hingga
Februari. Biasanya masyarakat mulai banyak yang membuat bangku cukup tinggi yang dapat
digunakan ketika banjir. Namun seiring dengan berubahnya kondisi lingkungan yang
mengakibatkan cuaca tidak menentu, banjir pun sekarang juga sudah tidak menentu.
Terkadang 1 tahun bisa tiga kali, namun terkadang pula bisa 1 tahun hingga berapa belas kali.
Untuk tahun 2016 saja, banjir yang cukup besar sudah terjadi sebanyak 5 kali. Banjir sendiri
biasanya datang sekitar sore menjelang maghrib. Terkadang air banjir datang secara tidak
terduga, seperti contohnya ketika masyarakat tengah tertidur. Banjir menggenang sekitar 12
jam atau semalaman. Banyak yang kelelahan ataupun tumbang karena harus berjaga
semalaman selama banjir dan harus membersihkan sisa-sisa banjir
Dampak negatif banjir bagi masyarakat diantaranya yaitu membuat aktivitas masyarakat
menjadi terhambat. Banyak masyarakat yang resah karena sulit untuk bisa keluar rumah.
Banyak para pekerja yang kesulitan untuk berangkat bekerja, sehingga mereka harus
memaksakan diri untuk menembus banjir ataupun terpaksa untuk izin tidak masuk kerja.
Anak-anak pun sulit untuk berangkat ke sekolah karena terhadang banjir dan sekolah mereka
pun banyak yang diliburkan karena ikut juga terendam banjir. Selain itu, tempat ibadah pun
banyak yang tergenang banjir. Banyak rumah warga yang rusak bahkan ada yang runtuh
akibat dari tekanan air yang sangat besar. Lantai-lantai banyak yang retak dan pintu pun ada
yang jebol. Barang-barang banyak yang rusak dan terkadang juga banyak yang hilang hanyut
terbawa aliran air banjir. rak-rak lemari pun banyak yang keropos karena seringnya terkena
banjir.

3.4 Solusi Mengatasi Banjir di Rancaekek


Dalam diskusi daring (online) di radio PR 107,5 FM berkembang ide dari masyarakat seperti
pembuatan jalan baru, jalan layang (flyover) dan tol. Betulkah tidak akan macet? Belum tentu.
Apabila semua orang menggunakan jalan layang atau tol maka macet pun terjadi seperti di tol
Cipularang pada akhir pekan. Solusi jalan layang atau tol ini hanya memindahkan kemacetan
sementara banjir terus berulang. Usul yang lain ialah pasang pompa di titik banjir. Ini pun
tidak efektif, seperti pompa yang dipasang di prapatan Gedebage, Kota Bandung. Debit banjir
yang kecil tentu bisa disalurkan dengan pompa, tetapi akan gagal pada banjir besar karena air
banjir jauh melebihi kemampuan pompa. Alhasil, pompa terpasang dan biayanya keluar untuk
operasi dan pemeliharaan tetapi banjir tetap terjadi.
Pompa hanyalah tindakan kuratif, bukan solusi abadi, bahkan cenderung mubazir pada saat
hujan deras. Apalagi di lokasi cekungan di Rancaekek, hujan biasa saja bisa langsung
tergenang air. Pompa hanyalah upaya parsial. Jika demikian, tiadakah solusi bagi banjir di
Rancaekek? Agar jawabannya ada, maka upaya hendaklah total dengan acuan pada akronim
SIDLACOM: survei, investigasi, desain, land acquisation (pembebasan lahan), construction
(pembangunan), operasi, maintenance (pemeliharaan). Melaksanakan dengan sungguh-
sungguh setiap tahap tersebut dalam pekerjaan pematusan air hujan atau drainase.
Upaya preventif bisa ditempuh dengan tiga tindakan. Yang pertama, rehabilitasi daerah
tangsap (tangkap-resap) air hujan. Penyempitan area tangsap akibat perluasan perumahan
tidak bisa dihindari akibat pertumbuhan penduduk. Perluasan jalan aspal, semen, beton di
perumahan berdampak pada reduksi bidang tangsap air hujan. Yang harus dilakukan adalah
pengaturan lokasi perumahan. Penempatan bangunan berorientasi pada topografi lahan,
mempertimbangkan daerah cekung dan kemiringan lereng. Pengembang wajib menyiapkan
lahan resapan di semua jalan perumahan dan lokasi tertentu sebagai lahan terbuka hijau.
Upaya ini bisa diterapkan pada perumahan yang sudah ada maupun yang masih tahap
konstruksi. Manfaatkan peraturan daerah sebagai alat untuk memagari pengembang agar
berada di koridor pembangunan ramah lingkungan.
Upaya kedua adalah menyiapkan kawasan drainase, yaitu menyalurkan air hujan secepatnya
ke sungai terdekat atau menggali kanal buatan. Aliran dimulai dari saluran tersier di
perumahan berupa selokan di kanan dan kiri jalan. Berikutnya adalah saluran sekunder
dengan dimensi yang lebih besar dan terakhir adalah saluran primer sebelum masuk ke sungai
atau kanal. Apabila upaya rehabilitasi daerah tangsap pada poin pertama di atas berhasil maka
dampaknya akan tampak pada sungai atau kanal penerima limpasan air hujan. Sedimentasi
pun bisa dikurangi atau diperlambat sehingga menghemat biaya pengerukan dalam jangka
panjang. Juga bisa menghemat biaya pembangunan tanggul di kanan dan kiri sungai.
Yang ketiga adalah drainase ramah lingkungan (ecodrainage). Prinsipnya ialah menjadikan
tanah sebagai reservoir raksasa, paradigma baru dalam melawan banjir, menahan air hujan
selama-lamanya di darat. Bisa dikatakan, inilah integrasi dua pola di atas. Perlindungan hutan
yang masih ada di sekitar Rancaekek menjadi prioritas, diikuti oleh reboisasi atau penghijauan
kembali di lahan tandus sekitarnya. Mewajibkan pengembang perumahan menyediakan lahan
atau bidang resapan di sepanjang jalan kawasannya. Pemilik rumah wajib memiliki bidang
resapan seluas satu meter persegi dan minimal memelihara satu pohon berkayu keras.
Adapun air limpasan yang tidak meresap dialirkan ke selokan perumahan. Dimensi selokan
wajib mengikuti kaidah desain dengan mengacu pada debit air Q = CAI, yaitu Q adalah debit
air, C: koefisien limpasan, A: area atau luas daerah tangsap, dan I: intensitas hujan.
Selanjutnya air limpasan ini ditampung di dalam kolam detensi (detention). Lama waktu
pengisian kolam (detention time) bisa dihitung dari volume kolam detensi dibagi debit air
hujan yang masuk ke dalam kolam. Kapasitas kolam ini bisa digunakan untuk perkiraan lama
waktu air surut dan untuk memetakan daerah mana saja yang kena banjir.
Prasarana berikutnya adalah kolam retensi (retention), sebuah badan air yang tidak hanya
menampung air hujan tetapi juga peresap atau infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Lokasinya
tidak bisa dibangun di tepian sungai karena air tanahnya sudah jenuh sehingga tidak mampu
lagi meresapkan air. Retensi hanya cocok di lokasi yang lebih tinggi daripada sungai,
menampung dan meresapkan air hujan dari perumahan dan kawasan yang lebih tinggi
daripada lokasi kolam retensi. Oleh sebab itu, istilah retensi untuk kolam penampung air
hujan di dekat Citarum menjadi kurang tepat. Selain menangsap air hujan, drainase ramah
lingkungan juga sebagai tabungan air, digunakan pada musim kemarau sehingga sungai di
Rancaekek hingga Sungai Cikeruh dan Citarum terus berair. Waduk Saguling, Cirata,
Jatiluhur bisa terus menghasilkan listrik. Polutan pun bisa diencerkan dengan cara swabersih
(self purification) sehingga PDAM tidak perlu menambah zat kimia untuk mengolah air
bakunya. Tarif air tidak perlu naik dan yang untung adalah masyarakat.

Referensi
Habiba, Nurjihan. Nurdin, Fadhil. 2017. Adaptasi Sosial Masyarakat Kawasan Banjir di
Desa Bojongloa Kecamatan Rancaekek. Departemen of Sociology, Faculty of Social and
Political Science, Universitas Padjadjaran
Aprilana. Sugianto, Resdi. 2021. Analisis Spasial Daerah Rawan Banjir Berbasis Sistem
Informasi Geografis di Kabupaten Bandung (Studi Kasus: Kecamatan Rancaekek dan
Kecamatan Cicalengka). Seminar Nasional dan Diseminasi Tugas Akhir
Ridwan,Ita Rustiati. 2010. “Dampak Industri Terhadap Lingkungan Dan Sosial”, Jurnal
Geografi Gea, Vol., No. 2.
Darsono, Valentinus 2020. Pengantar Ilmu Lingkungan, (Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 7, No. 1.

Cahyana, Gede. 2017. Banjir Rancaekek. HU Pikiran Rakyat,

Anda mungkin juga menyukai