Anda di halaman 1dari 40

BAB 4

INSTRUMEN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup


menurut Pasal 14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) terdiri atas: a. Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (KLHS), b. tata ruang, c. baku mutu lingkungan hidup, d. kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, e. amdal, f. UKL-UPL, g. perizinan, h. instrumen ekonomi
lingkungan hidup, i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, j.
anggaran berbasis lingkungan hidup, k. analisis risiko lingkungan hidup, l. audit
lingkungan hidup; dan m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan.
Instrumen tersebut di atas sudah cukup lengkap untuk melindungi lingkungan
hidup dari pencemaran dan kerusakan, namun dalam penerapannya justru beberapa
instrument tidak dilaksanakan dengan konsisten, misalnya instrument perizinan,
kadangkala pejabat yang berwenang dalam memberikan izin tidak memperhatikan aspek
resiko lingkungan, dan memberikan izin pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam
dan lingkungan hidup dengan sangat mudah hanya demi pemasukan bagi Negara ataupun
bagi daerah. Akibatnya dari berbagai kegiatan usaha yang diberikan izin tersebut
menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Demikian juga instrumen
Amdal, masih banyak perusahaan yang dapat beroperasi tapi tidak memiliki dokumen
amdal, padahal syarat untuk memperoleh izin lingkungan harus memiliki hasil kajian
Amdal dengan hasil kajian yang positip. Berikut diuraikan masing-masing instrument
tersebut di atas: 1
1. KLHS

KLHS merupakan instrument hukum baru dalam sistem hukum lingkungan di


Indonesia. KLHS baru diatur dalam UUPPLH 2009. Menurut Pasal 1 angka 10 UUPPLH
2009, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang
sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah

1
S. Maroni, ‘Instrumen Pencegahan dan Perusakan Lingkungan Hidup’, Bahan Kuliah Hukum
Lingkungan, http://zriefmaronie.blogspot.com/2014/05/instrumen-pencegahan-perusakan.html. Diakses 21
September 2020.
dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program. Dengan demikian KLHS sebagai upaya
untuk mencari terobosan dan memastikan bahwa pada tahap awal penyusunan kebijakan,
rencana dan/atau program prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sudah
dipertimbangkan. Makna strategis mengandung arti perbuatan atau aktivitas sejak awal
proses pengambilan keputusan yang berakibat signifikan terhadap hasil akhir yang akan
diraih. Dalam konteks KLHS perbuatan dimaksud adalah suatu proses kajian yang dapat
menjamin dipertimbangkannya hal-hal prioritas dari aspek pembangunan berkelanjutan
dalam proses pengambilan keputusan pada kebijakan, rencana dan/atau program sejak
dini. Secara prinsip sebenarnya KLHS adalah suatu self assessment untuk melihat sejauh
mana Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) yang diusulkan oleh pemerintah
dan/atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip pembangunan
berkelanjutan, baik untuk kepentingan ekonomi, dan social, selain lingkungan hidup.
Dengan KLHS ini pula diharapkan KRP yang dihasilkan dan ditetapkan oleh pemerintah
dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.

KLHS diperlukan sebagai sebuah instrument/tools dalam rangka self assessment


untuk melihat sejauh mana Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) yang diusulkan
oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip
pembangunan berkelanjutan. Dengan KLHS ini pula diharapkan KRP yang dihasilkan
dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.

KLHS dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Pengkajian pengaruh Kebijakan, Rencana, dan/atau Program terhadap kondisi


lingkungan hidup di suatu wilayah;
b. Perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program;  dan
c. Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program
yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Tahapan seperti ini
dilaksanakan baik untuk kegiatan perencanaan maupun evaluasi.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) bertujuan untuk memastikan bahwa


prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan. KLHS digunakan untuk merencanakan dan mengevaluasi kebijakan,
rencana dan/atau program agar dampak dan/atau risiko lingkungan yang tidak
diharapkan dapat diminimalkan, sedangkan dalam evaluasi kebijakan, rencana dan/atau
program, KLHS digunakan untuk mengidentifikasi dan memberikan alternatif
penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program yang menimbulkan dampak
dan/atau risiko negatif terhadap lingkungan.

KLHS bermanfaat untuk memfasilitasi dan menjadi media proses belajar bersama
antara pelaku pembangunan, dimana seluruh pihak yang terkait penyusunan dan evaluasi
kebijakan, rencana dan/atau program dapat secara aktif mendiskusikan seberapa jauh
substansi kebijakan, rencana dan/atau program yang dirumuskan telah
mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Melalui proses KLHS,
diharapkan pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana
dan/atau program dapat mengetahui dan memahami pentingnya menerapkan prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan dalam setiap penyusunan dan evaluasi kebijakan,
rencana dan/atau program.

Ada beberapa prinsip dalam KLHS:

Prinsip 1: Penilaian Diri (Self Assessment)

Makna prinsip ini adalah sikap dan kesadaran yang muncul dari diri pemangku
kepentingan yang terlibat dalam proses penyusunan dan/atau evaluasi kebijakan,
rencana, dan/atau program agar lebih memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip tersebut dalam setiap
keputusannya.Prinsip ini berasumsi bahwa setiap pengambil keputusan mempunyai
tingkat kesadaran dan kepedulian atas lingkungan. KLHS menjadi media atau katalis
agat kesadaran dan kepedulian tersebut terefleksikan dalam proses dan terformulasikan
dalam produk pengambilan keputusan untuk setiap kebijakan, recana, dan/atau program.

Prinsip 2: Penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program

Prinsip ini menekankan pada upaya penyempurnaan pengambilan keputusan suatu


kebijakan, rencana, dan/atau program. Berdasarkan prinsip ini, KLHS tidak dimaksudkan
untuk menghambat proses perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program. Prinsip ini
berasumsi bahwa perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program di Indonesia selama
ini belum mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan secara optimal.

Prinsip 3: Peningkatan Kapasitas dan Pembelajaran Sosial


Prinsip ini menekankan bahwa intergrasi KLHS dalam perencanaan kebijakan, rencana,
dan/atau program menjadi media untuk belajar bersama khususnya tentang isu-isu
pembangunan berkelanjutan, baik bagi masyarakat umum maupun para birokrat dan
pengambil keputusan. Dengan prinsip ini, pelaksanaan KLHS memungkinkan seluruh
pemangku kepentingan yang terlibat dalam perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau
program untuk meningkatkan kapasitasnya mengapresiasi lingkungan hidup dalam
keputusannya. Melalui KLHS diharapkan masyarakat, birokrat, dan pengambil
keputusan lebih cerdas dan kritis dalam menentukan keputusan pembangunan agar
berkelanjutan.

Prinsip 4: Memberi Pengaruh pada Pengambilan Keputusan

Prinsip ini menekankan bahwa KLHS memberikan pengaruh positif pada pengambilan
keputusan. Dengan prinsip ini, KLHS akan mempunyai makna apabila pada akhirnya
dapat mempengaruhi pengambilan keputusan, khususnya untuk memilih atau
menetapkan kebijakan, rencana, dan/atau program yang lebih menjamin pembangunan
yang berkelanjutan.

Prinsip 5: Akuntabel

Prinsip ini menekankan bahwa KLHS harus diselenggarakan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik. Prinsip akuntabel KLHS sejalan dengan prinsip
tata pemerintahan yang baik (good governance). KLHS tidak ditujukan untuk menjawab
tuntutan para pihak. Dengan prinsip ini, pelaksanaan KLHS dapat lebih menjamin
akuntabilitas perumusan kebijakan, rencana, dan/atau program bagi seluruh pihak.

Prinsip 6: Partisipatif

Sejalan dengan amanat UUPPLH, prinsip ini menekankan bahwa KLHS harus dilakukan
secara terbuka dan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya yang
terkait dengan kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan prinsi ini diharapkan
proses dan produk kebijakan, rencana, dan/atau program semakin mendapatkan
legitimasi atau kepercayaan publik.

KLHS menurut Pasal 16 UUPPLH memuat hal-hal sebagai berikut:


a. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
b. Perkiraan mengenai dampak resiko lingkungan hidup;
c. Kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. Tingkaat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
f. Tingkat ketahanan dan potensi keaneka ragamaan hayati.

KLHS tidaklah sama dengan AMDAL, perbedaan mendasar antara KLHS


dengan AMDAL bahwa KLHS merupakan instrument untuk mengintegrasikan aspek
lingkungan pada tahapan awal pengambilan keputusan tentang kebijakan, rencana, dan
program. Sementara Amdal merupakan studi dampak dari suatu kegiatan (proyek)
terhadap lingkungan. KLHS berada di arah kebijakan, rencana, program atau hulu,
sedangkan Amdal di aras proyek atau hilir dari proses pembangunan.

Terkait dengan penyusunan RPJMN 2020-2024 dan SDG Roadmap 2030, KLHS
merupakan “kendaraan” atau tool untuk mengaplikasikan analisis Kebijakan, Rencana
dan Program guna menghasilkan Pembangunan berkelanjutan. Langkah ini menjadikan
berbagai upaya dalam menjaga kualitas lingkungan hidup, termasuk aksi penurunan
emisi gas rumah kaca, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan akan dilaksanakan
secara seimbang dengan pembangunan ekonomi dan sosial. Daya dukung sumber daya
alam kita, termasuk tutupan lahan, air, keanekaragaman hayati, dan emisi, akan menjadi
salah satu faktor penentu perumusan kebijakan dan target perencanaan pembangunan ke
depan.
Di dalam prosesnya, KLHS telah melakukan identifikasi berbagai kebijakan dari
sektor yang diperkirakan berdampak langsung dan tidak langsung pada daya dukung
sumber daya alam dan daya tampung lingkungan, seperti sektor ekonomi, energi,
kehutanan, pertanian, kelautan dan perikanan. Pengaruh kebijakan dari berbagai sektor
tersebut kemudian di analisis melalui model, sehingga trade-off dari implementasi
kebijakan tersebut dapat diperkirakan dan dicari titik temunya.

2. Tata Ruang

Penegasan tata ruang wilayah sebagai instrument pencegahan, pencemaran, dan


atau kerusakan lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 14 huruf b UUPPLH. Tata ruang
berfungsi untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, khususnya dalam kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan. Keterkaitan tata ruang dengan pengelolaan lingkungan hidup
semakin tegas dalam PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Dalam PP ini
ditegaskan bahwa dalam penetapan lokasi rencana usaha harus sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah (RTRW). Jika tidak, maka dokumen lingkungan dan perizinan tidak
akan dinilai dan diterbitkan.

Penyusunan RTRW dilakukan dengan memperhatikan daya dukung dan daya


tampung lingkungan hidup, serta dilakukan KLHS sebelum RTRW ditetapkan. Namun
jika RTRW telah ditetapkan tetapi belum dilakukan KLHS, KLHS dapat dilaksanakan
pada tahap evaluasi RTRW. Selain itu, bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib analisis
mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) atau upaya pengelolaan lingkungan hidup
dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) yang lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan tidak sesuai dengan RTRW, AMDAL atau UKL-UPL, maka usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan harus ditolak.

3. Baku Mutu Lingkungan Hidup (BML)

Untuk menentukan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui


BML. BML adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen
yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. 2 Menurut pengertian secara
pokok, baku mutu adalah peraturan pemerintah yang harus dilaksanakan yang berisi
spesifikasi dari jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang atau jumlah kandungan yang
boleh berada dalam media ambien. Secara objektif, baku mutu merupakan sasaran ke
arah mana suatu pengelolaan lingkungan ditujukan. Kriteria baku mutu adalah kompilasi
atau hasil dari suatu pengolahan data ilmiah yang akan digunakan untuk menentukan
apakah suatu kualitas air atau udara yang ada dapat digunakan sesuai objektif
penggunaan tertentu.

Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai


aktivitas industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian terhadap
pencemaran lingkungan dengan menetapkan BML. Pencemaran lingkungan dapat
dikategorikan menjadi: 1). Pencemaran air; 2). Pencemaran udara, dan 3). Pencemaran

2
Pasal 1 Angka 13 UUPPLH
tanah. BML dimaksudkan untuk mencegah berlimpahnya limbah sehingga
mengakibatkan BML tidak memenuhi syarat penghidupan bagi manusia.

Kemampuan lingkungan sering diistilahkan dengan daya dukung lingkungan,


daya toleransi dan daya tenggang, atau istilah asingnya disebut carrying capacity.
Sehubungan dengan BML ini, ada istilah nilai ambang batas (NAB) yang merupakan
batas-batas daya dukung, daya tenggang dan daya toleransi atau kemampuan lingkungan.
NAB tertinggi atau terendah dari kandungan zat-zat, makhluk hidup atau komponen-
komponen lain dalam setiap interaksi yang berkenaan dengan lingkungan khususnya
yang mempengaruhi mutu lingkungan. Jadi jika terjadi kondisi lingkungan yang telah
melebihi NAB (batas maksimum dan minimum) yang telah ditetapkan berdasarkan
BML, maka dapat dikatakan bahwa lingkungan tersebut telah tercemar.

Adanya peraturan perundangan (nasional maupun daerah) yang mengatur baku


mutu serta peruntukan lingkungan, memungkinkan pengendalian pencemaran lebih
efektif karena toleransi dan atau keberadaan unsur pencemar dalam media (maupun
limbah) dapat ditentukan apakah masih dalam batas toleransi di bawah NAB atau telah
melampaui. BML dapat meliputi kualitas lingkungan hidup (baku mutu ambient) dan
kualitas buangan atau limbah (baku mutu effluent). Menurut Pasal 20 ayat 2 UUPPLH,
BML dibedakan atas baku mutu air, baku mutu limbah, baku mutu air laut, baku mutu
udara ambient, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, dan baku mutu lain sesuai dengan
perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi. Pasal 20 ayat (4) menyatakan bahwa
baku mutu lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d,
dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 20 ayat 5, ketentuan lebih lanjut
mengenai baku mutu lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e,
dan huruf f diatur dalam peraturan menteri.

BML terdiri atas baku mutu media penerima beban limbah (air, air laut, dan
udara), dan baku mutu buangan (air limbah, emisi dan gangguan):

a. Baku Mutu Air


Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah,
kecuali air laut dan air fosil. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya di dalam air.3 Baku mutu air di daerah hanya dapat ditetapkan
dengan peraturan daerah provinsi, dengan ketentuan lebih ketat dari baku mutu air
nasional. Baku mutu air berlaku untuk akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ,
waduk, dan muara. Selain itu, pemerintah provinsi juga dapat menetapkan parameter
tambahan di luar parameter baku mutu air nasional.4 Baku mutu air dan parameter
tambahan tersebut dicantumkan dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari peraturan daerah provinsi.
b. Baku Mutu Air Laut
Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
fungsional. Untuk menentukan terjadinya pencemaran air laut ditetapkan baku mutu air
laut. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut. Baku mutu air laut di daerah hanya dapat ditetapkan
dalam Peraturan Daerah provinsi, dengan ketentuan lebih ketat dari baku mutu air laut
nasional. Baku mutu air laut daerah tersebut dicantumkan dalam lampiran yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah provinsi.
c. Baku Mutu Air Limbah.
Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau
jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan
dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan atau kegiatan. 5 Limbah
adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Baku mutu air
limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke
dalam sumber air dari suatu usaha dan atau kegiatan. Baku mutu air limbah di daerah
hanya dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah provinsi, dengan ketentuan lebih ketat
dengan baku mutu air limbah nasional. Baku mutu air limbah provinsi harus
dicantumkan dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah provinsi. Materi muatan rancangan Peraturan Daerah provinsi yang
mengatur baku mutu air limbah mengatur norma kewajiban bagi setiap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengolahan air limbah dan air limbah

3
Pasal 1 Angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air.
4
Pasal 12 ayat (2), ibid.
5
Pasal 1 Angka 15, ibid.
yang dibuang ke sumber air, ke laut dan/atau dimanfaatkan untuk aplikasi pada tanah
telah mentaati baku mutu air limbah yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selain itu, Peraturan Daerah provinsi perlu mengatur
norma larangan bagi setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
pengenceran air limbah, membuang air limbah ke laut tanpa izin Menteri Negara
Lingkungan Hidup, membuang air limbah ke sumber air dan/atau memanfaatkan air
limbah untuk aplikasi pada tanah sebelum mendapatkan izin dari bupati/walikota.
d. Baku Mutu Air Laut
Baku mutu air laut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air laut. Baku
mutu air laut merupakan ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau
komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut.6
Baku Mutu Air Laut tersebut meliputi Baku Mutu Air Laut untuk Perairan
Pelabuhan, Wisata Bahari dan Biota Laut., menjelaskan bahwa Pelabuhan adalah tempat
yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai
tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat
kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan
serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. 7 Wisata Bahari
adalah kegiatan rekreasi atau wisata yang dilakukan di laut dan pantai. 8 Biota laut adalah
berbagai jenis organisme hidup di perairan laut.9
Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku
kerusakan laut dan status mutu laut.10 Begitu pentingnya perlindungan mutu laut sebagai
upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut tetap baik maka semua tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut sangat dilarang kecuali dalam
keadaan darurat.
6
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
Perusakan Laut.
7
Pasal 1 ayat (4) Kepmen Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut.
8
Ibid., ayat (5).
9
Ibid., ayat (6).
10
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999, tentang Pengendalian Pencemaran
dan/atau Perusakan Laut.
Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha
dan/atau kegiatan di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila; Pembuangan benda
dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut. Pembuangan benda
dapat dilakukan dengan syarat bahwa semua upaya pencegahan yang layak telah
dilakukan atau pembuangan tersebut merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian
yang lebih besar. Dalam keadaan darurat, pemilik dan/atau penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang berwenang
terdekat dan/atau instansi yang bertanggung jawab. Pemberitahuan tersebut, wajib
menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah
yang telah dilakukan. Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan
pencegahan meluasnya pencemaran dan/atau kerusakan laut serta wajib melaporkan
kepada Menteri. Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta
pemulihan mutu laut yang ditimbulkan oleh keadaan darurat, ditanggung oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.11
e. Baku Mutu Udara Ambien
Untuk menentukan terjadinya pencemaran udara ambien diukur melalui baku
mutu udara ambien. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi,
dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam udara ambient.12 Udara ambien adalah udara bebas
dipermukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di dalam wilayah yurisdiksi
Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk
hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya. Berdasarkan Pasal 20 Ayat (4) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, baku mutu udara ambien diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Baku mutu udara ambien hanya dapat ditetapkan oleh pemerintah provinsi,
dengan ketentuan lebih ketat atau sama dengan baku mutu udara nasional. Baku mutu
udara ambien daerah tersebut dicantumkan dalam lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari peraturan daerah provinsi.

f. Baku Mutu Emisi.


Baku mutu emisi terbagi menjadi dua macam, yaitu: Baku mutu emisi sumber
tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor (emisi sumber
11
Pasal 17, ibid.
12
Pasal 1 Angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
bergerak). Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimum
dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam
udara ambient.13 Sementara itu, Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari
pipa gas buang kendaraan bermotor.
Baku mutu emisi sumber tidak bergerak yang merupakan baku tingkat gangguan
terdiri atas baku tingkat kebisingan, baku tingkat getaran dan baku tingkat kebauan.
Sementara itu, untuk penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi
pengawasan terhadap penaatan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi gas
buang untuk kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama, pemantauan
mutu udara ambien di sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di
jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar
belerang rendah sesuai standar internasional. Mengenai kendaraan bermotor diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2006 tentang Ambang
Batas Emisi Gas buang kendaraan bermotor lama dan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2009 Tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe Baru.
Baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, dan baku mutu emisi gas buang
kendaraan bermotor lama dan sumber bergerak lainnya yang sudah beroperasi seperti
dump truk, alat berat, kapal bermotor hanya dapat ditetapkan dengan peraturan gubernur,
dengan ketentuan lebih ketat dengan baku mutu emisi nasional. Baku mutu emisi
provinsi tersebut dicantumkan dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari peraturan gubernur. Selain itu, dalam rancangan peraturan gubernur
perlu mengatur norma kewajiban bagi setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk mentaati baku mutu emisi sumber bergerak atau baku mutu emisi gas buang
kendaraan bermotor lama.
g. Baku Mutu Gangguan
Baku mutu gangguan adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya yang meliputi unsur kebisingan, getaran dan kebauan. Gangguan
terhadap pencemaran lingkungan ada tiga macam: a. Baku Tingkat Kebisingan. 14 b. Baku

13
Pasal 1 Angka 16 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
14
Diatur didalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996.
Tingkat Getaran15 dan c. Baku Tingkat Kebauan.16 Baku tingkat kebisingan adalah batas
maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau
kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan. Sedangkan baku tingkat getaran adalah batas maksimal tingkat getaran
mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan pada media padat sehingga tidak
menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan.
Kemudian baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang
diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
Baku mutu gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang
diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat. Baku mutu gangguan terdiri atas baku
mutu kebisingan, baku mutu getaran dan baku mutu kebauan. Baku mutu kebisingan dan
getaran sumber tidak bergerak dan baku mutu kebisingan kendaraan bermotor lama dan
sumber bergerak lainnya yang sudah beroperasi seperti dump truk, alat berat, kapal
bermotor hanya dapat ditetapkan dengan peraturan gubernur, dengan ketentuan lebih
ketat dengan baku mutu gangguan nasional. Selain itu, dalam rancangan peraturan
gubernur perlu diatur norma kewajiban bagi setiap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan untuk mentaati baku mutu kebisingan, baku mutu getaran dan baku mutu
kebauan.

4. Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup

Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria


baku kerusakan lingkungan hidup. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah
ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. Kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan/atau lahan skala provinsi
atau skala kabupaten/kota ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota. Kriteria baku
kerusakan tanah untuk produksi biomassa pada skala provinsi atau kabupaten/kota juga
ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota. Dalam peraturan gubernur atau
bupati/walikota tersebut supaya dirumuskan norma kewajiban bagi setiap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mentaati kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
yang telah ditetapkan.

15
Diatur didalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 49 tahun 1996.
16
Diatur didalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 50 tahun 1996.
Kriteria baku kerusakan lingkungan menurut Pasal 21 ayat (2) UUPPLH,
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem
dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. Dalam ayat 3 Kriteria baku
kerusakan ekosistem meliputi: a). kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi
biomassa; b). kriteria baku kerusakan terumbu karang; c). kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; d). kriteria
baku kerusakan mangrove; e). kriteria baku kerusakan padang lamun; f). kriteria baku
kerusakan gambut; g). kriteria baku kerusakan karst; dan/atau h). kriteria baku kerusakan
ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut ayat (4) didasarkan pada
paramater antara lain: a). kenaikan temperatur; b). kenaikan muka air laut; c). badai;
dan/atau d). kekeringan.

Adapun langkah-langkah penyusunan BML:

a. Identifikasi dari penggunaan sumber daya atau media ambien yang harus dilindungi
(objektif sumber daya tersebut tercapai).
b. Merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan kumpulan dan pengolahan
dari berbagai informasi ilmiah.
c. Merumuskan baku mutu ambien dari hasil penyusunan kriteria.
d. Merumuskan baku mutu limbah yang boleh dilepas ke dalam lingkungan yang akan
menghasilkan keadaan kualitas baku mutu ambien yang telah ditetapkan.
e. Membentuk program pemantauan dan penyempurnaan untuk menilai apakah objektif
yang telah ditetapkan tercapai.

5. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

AMDAL bermula dari Amerika Serikat, tahun 1969. Dikenal dengan nama
Environmental Impact Assesment (EIA), kemudian The National Enviromental Policy
Act of 1969 (NEPA 1969) diperkenalkan sebagai sebuah instrumen untuk mengendalikan
dampak segala macam kegiatan yang bisa merusak kelestarian lingkungan. Instrumen
tersebut dalam bentuk peraturan. Dalam perkembangan selanjutnya, peraturan ini
diadopsi oleh banyak negara. Tahun 1982, Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No.
4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup (UULH). Dalam UU ini diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1986 tentang Amdal, yang kemudian
diganti PP Nomor 51 Tahun 1993 tentang AMDAL, dan terakhir diganti lagi dalam PP
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal.

AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. AMDAL ini
dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh
terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, baik lingkungan biotik, abiotik, maupun
lingkungan kultural.

AMDAL merupakan salah satu alat bagi pengambil keputusan untuk


mempertimbangkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh suatu rencana usaha dan atau
kegiatan terhadap lingkungan hidup guna mempersiapkan langkah untuk menanggulangi
dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.

Dengan demikian tidak semua rencana kegiatan wajib Amdal, kecuali yang
mempunyai dampak lingkungan. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU
PPLH bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Dampak penting adalah perubahan lingkungan
hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Pasal
22 Ayat (2) menjelaskan, dampak penting dimaksud ditentukan berdasarkan kriteria: a).
besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b). luas wilayah penyebaran dampak; c). intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d).
banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e). sifat
kumulatif dampak; f). berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g). kriteria lain
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi
dengan AMDAL menurut Pasal 23 (1) UUPPLH 2009 terdiri atas:

a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;


b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam
dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara;
dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup.

Pada tanggal 31 Juli 2019 ditetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor: P.38/MENLHK/Setjen/Kum.1/7/2019 tentang Jenis Rencana Usaha
dan/atau Kegiatanyang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
yang mencabut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012
tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatanyang Wajib Memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup. Dalam Lampiran I PermenLHK yang baru ini diatur dan
ditetapkan jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) ditetapkan berdasarkan:
a. Potensi dampak penting. Potensi dampak penting bagi setiap jenis Usaha dan/atau
Kegiatan tersebut ditetapkan berdasarkan: 1) besarnya jumlah penduduk yang akan
terkena dampak rencana Usaha dan/atau Kegiatan; 2) luas wilayah penyebaran
dampak; 3) intensitas dan lamanya dampak berlangsung; 4) banyaknya komponen
lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; 5) sifat kumulatif dampak; 6)
berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan 7) kriteria lain sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau 8) referensi internasional
yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai landasan kebijakan tentang Amdal.
b. Ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia untuk menanggulangi dampak
penting negatif yang akan timbul.

Dalam prosesnya, jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) dapat dibagi berdasarkan
kompleksitas penyusunannya. Proses ini dikenal dengan Kategori Amdal. Kategori
Amdal adalah pengelompokan daftar Usaha dan/atau Kegiatan menjadi beberapa
Kategori berdasarkan kriteria tertentu.
Kategori Amdal bertujuan untuk:
1) menetapkan jangka waktu penyusunan dokumen Amdal yang berkaitan dengan
kompleksitas deskripsi rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang dilakukan;
2) memberikan waktu yang cukup bagi penyusun Amdal untuk melakukan penyusunan
Amdal, menyiapkan data, mengolah data, menganalisis data serta membuat kajian
perkiraan dampak; dan
3) Sebagai bahan Komisi Penilai Amdal (KPA) untuk melakukan penilaian dokumen
Amdal.

Kategori Amdal dibagi menjadi 3 Kategori (kategori):


1) Amdal Kategori A dengan lama penyusunan paling lama 180 (seratus delapan puluh)
hari;
2) Amdal Kategori B dengan lama penyusunan paling lama 120 (seratus dua puluh)
hari; dan
3) Amdal Kategori C dengan lama penyusunan paling lama 60 (enam puluh) hari.
Dalam penentuan kategori jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib
memiliki Amdal berdasarkan pada kriteria sebagai berikut:
1) Kompleksitas jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang akan dilakukan (Kategori
kompleksitas: Sangat Kompleks, Cukup Kompleks dan Tidak Kompleks).
2) Dampak dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan terhadap lingkungan hidup (Kategori
dampak: Sangat Penting, Lebih Penting dan Penting).
3) Sensitifitas lokasi di mana kegiatan akan dilakukan: a. di dalam Kawasan Lindung
yang di kategorikan sebagai Kawasan Konservasi (Tinggi); b. di dalam Kawasan
Lindung diluar Kategori Kawasan Konservasi (Sedang); atau c. di Luar Kawasan
Lindung (Rendah);
4) Status Kondisi Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH)
dimana kegiatan akan dilakukan: a. D3TLH sangat terlampau (Tinggi); b. D3TLH
telah terlampaui (Sedang); atau c. D3TLH belum terlampaui (Rendah).

Dalam Lampiran II PermenLHK 2019 ini juga telah ditetapkan daftar kawasan lindung.
Kawasan Lindung yang dimaksud sebagai berikut:
1) kawasan hutan lindung;
2) kawasan bergambut; dan
3) kawasan resapan air.
4) sempadan pantai;
5) sempadan sungai;
6) kawasan sekitar danau atau waduk;
7) suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut;
8) cagar alam dan cagar alam laut;
9) kawasan pantai berhutan bakau;
10) taman nasional dan taman nasional laut;
11) taman hutan raya;
12) taman wisata alam dan taman wisata alam laut;
13) kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
14) kawasan cagar alam geologi;
15) kawasan imbuhan air tanah;
16) sempadan mata air;
17) kawasan perlindungan plasma nutfah;
18) kawasan pengungsian satwa;
19) terumbu karang;
20) kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil;
21) kawasan konservasi maritim;
22) kawasan konservasi perairan; dan
23) kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi.

Kawasan lindung tersebut diatas adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber
dayabuatan. Penetapan kawasan lindung tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan.

Kegunaan AMDAL:

a. Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah;


b. Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari
rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau
kegiatan;
d. Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup;
e. Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana
usaha dan atau kegiatan;
f. memberikan alternatif solusi minimalisasi dampak negative;
g. digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberi ijin usaha
dan/atau kegiatan.
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang
diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perizinan. Peraturan
pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu
syarat perizinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi
AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk
mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian izin usaha dan/atau kegiatan.

Dokumen AMDAL terdiri dari:

a. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL);


b. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL);
c. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL);
d. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).

Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai
oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana
usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu
direkomendasikan untuk diberi izin atau tidak.

Prosedur Amdal terdiri atas:

a. Proses penapisan (screening) wajib AMDAL;


b. Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat;
c. Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping);
d. Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga
disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu
rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.

Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Pemrakarsa wajib


mengumumkan rencana kegiatannya, menanggapi masukan yang diberikan, dan
kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun
KA-ANDAL. Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses
untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses
pelingkupan).
Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan
dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan
peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar
waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali
dokumennya.

Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan
RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian
Komisi AMDAL). Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL,
RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan,
lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar
waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali
dokumennya.

Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan. Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan
untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah
memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Pihak-pihak yang terlibat
dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat
yang berkepentingan.

Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen


AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, di tingkat Propinsi berkedudukan di Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Dinas Lingkungan
Hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga
masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata
kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sementara anggota-anggota Komisi
Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan
Bupati/Walikota.

Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Masyarakat yang
berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam
proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak
tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor
pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh
nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses
AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat
pemerhati.

Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dalam materi muatan
Amdal supaya mewajibkan setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak
penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki Amdal. Kriteria mengenai dampak
penting, kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting, dan jenis usaha
dan/atau kegiatan wajib Amdal yang menjadi kewenangan gubernur atau bupati/walikota
tidak perlu dirumuskan kembali dalam suatu rancangan Peraturan Daerah, melainkan
cukup mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Kecuali jika gubernur
atau bupati/ walikota akan menetapkan skala/besaran jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan lebih kecil dari skala/besaran yang telah ditetapkan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup atas dasar pertimbangan ilmiah mengenai daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup, serta tipologi ekosistem setempat diperkirakan berdampak
penting terhadap lingkungan hidup, gubernur atau bupati/walikota dapat menetapkan
jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut sebagai jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal. Dalam materi muatan Amdal juga perlu
mewajibkan setiap penyusun dokumen Amdal untuk memiliki sertifikasi kompetensi dan
mewajibkan komisi penilai Amdal untuk memiliki lisensi. Sertifikasi kompetensi dan
lisensi tersebut cukup mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.17

6. UKL‐UPL-SPPL

Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan


Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak
wajib melakukan AMDAL. Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus
melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
17
Lihat ketentuan Pasal 69 dan Pasal 110 UUPPLH
Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun
AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.
Sedangkan setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak diwajibkan untuk memiliki
AMDAL atau UKL-UPL diwajibkan untuk membuat Surat Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL), yaitu Dokumen Lingkungan
Hidup (DLH) berupa surat yang menyatakan kesanggupan pelaku usaha untuk mengelola
dan memantau dampak lingkungan hidup dari kegiatan usahanya. Jika kepala daerah
belum menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL dan SPPL. Dalam
rancangan peraturan daerah juga perlu mewajibkan bupati/walikota untuk menetapkan
jenis usaha dan/atau kegiatan wajib UKL-UPL atau SPPL.

UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk


pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau
kegiatan. Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan
menggunakan formulir isian yang berisi: Identitas pemrakarsa; Rencana Usaha dan/atau
kegiatan; Dampak Lingkungan yang akan terjadi; Program pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup; Tanda tangan dan cap. Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib
menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL. UKL-UPL dikenakan
bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.

Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada:

a. Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup


Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
b. Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi
untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
c. Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu
propinsi atau lintas batas negara.

7) Perizinan (Izin Lingkungan)


Izin Lingkungan18 merupakan instrument hukum admnistrasi yang diberikan oleh
pejabat berwenang. Izin lingkungan berfungsi untuk mengendalikan perbuatan konkret
individu dan dunia usaha agar tidak merusak atau mencemar lingkungan. Sebagai bentuk
pengaturan langsung, izin lingkungan mempunyai fungsi untuk membina, mengarahkan,
dan menertibkan kegiatan individu atau badan hukum agar tidak mencemari serta
merusak lingkungan. Fungsi utama dari izin lingkungan adalah bersifat preventif yakni
pencegahan pencemaran yang tercermin dari kewajiban dicantumkan dalam perizinan
lingkungan. Sedangkan fungsi represifnya untuk menanggulangi pencemaran dan
perusakan yang diwujudkan dalam bentuk pencabutan izin.

Pengertian izin lingkungan berdasarkan Pasal 1 angka 35 UUPPLH yaitu izin


yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Dari pengertian
tersebut maka izin lingkungan tidak diperlukan untuk semua jenis usaha dan/atau
kegiatan, melainkan hanya diwajibkan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib
Amdal atau UKL-UPL. Hal ini sejalan dengan fungsi izin lingkungan yaitu untuk
mengendalikan usaha dan/atau kegiatan yang memiliki dampak terhadap lingkungan
hidup.

Selain Izin Lingkungan, dikenal juga Izin perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup (IPPLH). IPPLH diterbitkan sebagai persyaratan izin lingkungan
dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Jadi sebelum diterbitkan
Izin Lingkungan maka diterbitkan terlebih dahulu IPPLH.

Izin PPLH diterbitkan pada tahap operasional, Izin PPLH, antara lain:

1) pembuangan air limbah ke air atau sumber air;


2) pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah
3) penyimpanan sementara limbah B3;
4) pengumpulan limbah B3;
5) pemanfaatan limbah B3;
6) pengolahan limbah B3;

Pasal 36 ayat (1) UUPPLH berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
18

yang wajib Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.” Pengaturan lebih lanjut tentang Izin
Lingkungan ini, diatur dalam Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2012 tentang Izin lingkungan.
7) penimbunan limbah B3;
8) pembuangan air limbah ke laut;
9) dumping ke media lingkungan;
10) pembuangan air limbah dengan cara reinjeksi; dan
11) emisi; dan/atau
12) pengintroduksian organisme hasil rekayasa genetika ke lingkungan.

Kewenangan penerbitan Izin Lingkungan:

a. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai


dengan kewenangan surat keputusan kelayakan lingkungannya dan rekomendasi
UKL-UPLnya
b. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan keputusan kelayakan
lingkungan atau rekomendasi UKL-UPL kepada pejabat yang ditetapkan oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota

Izin Lingkungan diperoleh melalui tahapan kegiatan yang meliputi:

a. penyusunan Amdal dan UKL-UPL;


b. penilaian Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL; dan
c. permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan.

Permohonan Izin Lingkungan:

a. Permohonan Izin Lingkungan diajukan secara tertulis kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota.
b. Permohonan Izin Lingkungan disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian
Andal dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKL- UPL.
c. Permohonan izin lingkungan, harus dilengkapi dengan:
1) dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL;
2) dokumen pendirian Usaha dan/atau Kegiatan;
3) dan profil Usaha dan/atau Kegiatan.

Jangka Waktu Penerbitan Izin Lingkungan, sejak persyaratan permohonan izin


dinyatakan lengkap:
a. izin lingkungan: paling lama 100 hari (penilaian 75, pengumuman 15 hari, SKKL 10
hari)
b. Waktu tidak termasuk waktu untuk melengkapi data, atau informasi yang masih
dianggap kurang oleh pejabat yang berwenang.

Pengumumam Izin Lingkungan:

a. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib


mengumumkan kepada masyarakat terhadap permohonan dan keputusan izin
lingkungan.
b. Pengumuman kepada masyarakat disampaikan melalui Multi media dan Papan
pengumuman di lokasi usaha dan/atau kegiatan

Muatan Izin Lingkungan:

a. Persyaratan merujuk SKKLH dan jenis Izin PPLH


b. Kewajiban penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan merujuk SKKLH:
1) Rencana kelola lingkungan hidup merujuk pada keputusan kelayakan usaha
dan/atau kegiatan
2) Rencana pantau lingkungan hidup merujuk pada keputusan kelayakan
lingkungan.
3) Kewajiban lain yang ditentukan Menteri, gubernur atau bupati/walikota

c. Rekomendasi untuk memperoleh izin atau menaati PUU instansi terkait

d. Masa berlaku izin lingkungan

Muatan Izin lingkungan PPLH:

a. Persyaratan teknis yang lebih rinci:


1) indeks atau parameter lingkungan kuantitatif dan kualitatif dengan merujuk
2) Sertifikat kompetensi yang harus diperoleh
3) Persyaratan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

b. Kewajiban kelola dan pantau lingkungan untuk menjamin tercapainya PPLH

c. masa berlaku izin PPLH


Integritas Izin Lingkungan dan Izin PPPLH:

a. Izin PPLH diterbitkan berdasarkan persyaratan yang tercantum dalam Izin


Lingkungan
b. Pelanggaran izin lingkungan maupun izin PPLH dapat mengakibatkan pencabutan izin
usaha atas rekomendasi Menteri LH

Penolakan Izin Lingkungan:

a. Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak


permohonan izin lingkungan apabila tidak dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL
b. Dalam hal izin lingkungan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan tidak dapat mengajukan izin usaha dan/atau kegiatan.

Pembatalan Izin Lingkungan, dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota


sesuai dengan kewenangannya wajib membatalkan izin lingkungan apabila:

a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum,


kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen,
dan/atau informasi;
b. Penanggung jawab usaha/kegiatan tidak melaksanakan persyaratan dan kewajiban
dalam izin lingkungan sehingga terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan

Perubahan Izin Lingkungan, Izin lingkungan wajib diubah apabila:

a. Terjadi perubahan kepemilikan usaha dan/atau kegiatan


b. perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
c. perubahan yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang memenuhi kriteria:
1) perubahan dalam penggunaan alat-alat produksi yang berpengaruh terhadap
lingkungan hidup;
2) penambahan kapasitas produksi;
3) perubahan spesifikasi teknik yang memengaruhi lingkungan;
4) perubahan sarana Usaha dan/atau Kegiatan;
5) perluasan lahan dan bangunan Usaha dan/atau Kegiatan;
6) perubahan waktu atau durasi operasi Usaha dan/atau Kegiatan;
7) Usaha dan/atau Kegiatan di dalam kawasan yang belum tercakup di dalam Izin
Lingkungan;
8) terjadinya perubahan kebijakan pemerintah yang ditujukan dalam rangka
peningkatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan/atau
9) terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar akibat peristiwa alam
atau karena akibat lain, sebelum dan pada waktu Usaha dan/atau Kegiatan yang
bersangkutan dilaksanakan;
10) Terdapat perubahan dampak dan/atau risiko terhadap lingkungan hidup
berdasarkan hasil kajian analisis risiko lingkungan hidup dan/atau audit
lingkungan hidup yang diwajibkan; dan/atau
11) Tidak dilaksanakannya rencana Usaha dan/atau Kegiatan dalam jangka waktu 3
(tiga) tahun sejak diterbitkannya Izin Lingkungan.

Kewajiban Pemegang Izin Lingkungan:

a. menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Izin Lingkungan dan izin
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan terhadap persyaratan dan
kewajiban dalam Izin Lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota;
dan
c. menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai
dengan peraturan perundang-undangan

Keterkaitan Izin Lingkungan dengan Izin Usaha dan /atau kegiatan, yaitu
sebagaimana yang diatur pada Pasal 40 UUPPLH yang menyebutkan bahwa:

(1) Izin Lingkungan merupakan persyaratan Untuk memperoleh Izin Usaha dan/atau
kegiatan;
(2) dalam hal izin lingkungan di cabut, izin usaha dan/atau kegaiatan dibatalkan;
(3) dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan

Jadi hubungan izin lingkungan dengan perizinan yang lain bahwa izin lingkungan
merupakan izin utama atau jantungnya dari semua perizinan bagi suatu usaha dan/atau
kegiatan, dengan demikian ketika ingin mendirikan suatu usaha dan/atau kegiatan seperti
(tambang, kebun, hotel, industri dan lain sebagainya) harus diketahui terlebih dahulu
apakah usaha dan/atau kegiatan tersebut wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL, setelah
mengetahui kewajiban dokumen yang wajib dimiliki apakah AMDAL/UKL-UPL,
selanjutnya disusun dokumen yang dimaksud (Amdal/UKL-UPL), jika hasil kajian layak
lingkungan lingkungan, maka langkah berikutnya mengajukan permohonan penerbitan
Izin Lingkungan.

Masa berlaku Izin lingkungan berakhir bersamaan dengan berakhirnya izin usaha
dan/atau kegiatan.19

8. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup

Banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang terjadi akhir-akhir ini seperti;


banjir, kerusakan hutan, pencermaran air laut/darat, erosi tanah/lahan, dan abrasi pantai,
tidak terlepas dari adanya anggapan bahwa sumber daya (air, udara, laut, hutan beserta
kekayaan di dalamnya, dan lain-lain) dianggap milik bersama. Tidak ada satu pun aturan
yang membatasi pemanfaatan sumber milik bersama itu, sehingga terjadilah eksploitasi
yang berlebihan. Setiap pemanfaat menggunakannya semaksimal mungkin dengan
asumsi bahwa orang lain akan memanfaatkan sumber tersebut bila tidak dimanfaatkan
semaksimal mungkin.

Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi


untuk mendorong pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian
fungsi lingkungan hidup. Penggunaan instrumen ekonomi selayaknya dapat segera
diterapkan karena dari satu sisi instrumen tersebut dapat mempengaruhi estimasi harga
tetapi juga akan memberikan suatu keputusan perilaku bisnis/usaha yang lebih 
mengutamakan konservasi sumber daya dan pemulihan lingkungan hidup. Pemanfaatan
instrumen ekonomi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:

a. mendorong konsumen agar tidak menghamburkan penggunaan sumberdaya alam,


misalnya air atau energi. Bila konsumen semakin banyak menggunakan sumber daya
tersebut, maka biaya yang harus dibayar konsumen diperhitungkan meningkat secara
progresif.
b. melakukan retribusi limbah/emisi bagi suatu kegiatan yang mengeluarkan limbah cair
atau gas ke media lingkungan. Jumlah dan kualitas limbah/emisi ini diukur, dan
19
Lihat Pasal 48 ayat (3) PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
retribusi/pungutan dikenakan berdasarkan ketetapan yang telah disusun, sehingga
pelaku bisnis/usaha akan suilt menghindar dari konsekuensi tanggung jawabnya untuk
ikut berperan aktif menjaga kelestarian lingkungan hidup.
c. melakukan defosit-refund, yaitu membeli sisa produk seperti bahan-bahan
anorganik/plastik dari konsumen untuk didaur ulang kembali.
d. mewajibkan suatu kegiatan usaha untuk menyerahkan dana kinerja lingkungan
sebagai penjamin bahwa pelaku kegiatan/usaha akan melaksanakan
reklamasi/konservasi lingkungan hidup akibat dari kegiatan/usaha yang mereka
lakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, terhadap kegiatan
usaha penyimpanan bahan bakar/gas, kegiatan penambangan, usaha pengambilan air
permukaan atau air dalam tanah, dan sebagainya. Hal ini akan sangat efektif dalam
melakukan pengendalian kerusakan lingkungan hidup.

Penggunaan instrument ekonomik dalam pengelolaan lingkungan merupakan


upaya untuk mewujudkan asas/prinsip dalam hokum lingkungan, yaitu prinsip pencemar
membayar (the polluter pays principle). Atas dasar prinsip pencemar membayar banyak
Negara yang mengembangkan instrument ekonomik sebagai sarana pencegahan
pencemaran lingkungan. Pada intinya prinsip pencemar membayar mengandung makna:
pencemar harus memikul biaya pencegahan pencemaran lingkungan yang diwujudkan
dalam bentukk instrument ekonomik yang tujuan utamanya adalah membiayai upaya-
upaya pencegahan pencemaran.20

Instrumen ekonomik ini telah dituangkan di dalam principle 16 Deklarasi Rio 21


dan penerapannya dilakukan melalui pajak atau pungutan pencemaran (pollution charge)
seperti misalnya: “ air pollution fee”, water pollution fee”, dan lain-lain. Prinsip
internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif ini merupakan suatu prinsip yang
pada intinya untuk menekankan pada suatu keadaan, dimana penggunaan sumber daya
alam (resourse use) sebagai reaksi dari dorongan permintaan pasar (market force and
opportunity). Masyarakat yang menjadi korban dari pencemaran dan kerusakan

20
Siti Sundari rangkuti, Implementasi Instrumen Hukum Lingkungan dan Prinsip-Prinsip
Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Revisi UUPLH, Disampaikan Pada Seminar Nasional
Hukum Lingkungan tentang: “Pengelolaan Lingkungan Dalam Rangka Implementasi Agenda 21”, yang
Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya tanggal 16 Juli 2005, hlm. 8.
21
National authorities should Endeavour to promote the internalization of environmental cost and
the use of economic instrument, taking into account the approach that the polluter should, in principle,
bear the cost of pollution, with due regard to the public interest and without distorting international trade
and investment.
lingkungan hidup tidak memiliki suatu mekanisme untuk memaksa kelompok untuk
membayar kerugian bagi kerusakan yang ditimbulkan tersebut, kecuali pengadilan atau
mekanisme resolusi konflik lainnya. Oleh karena itu sumber daya alam (SDA) yang
biasanya “open acces” harus diberi harga/nilai yang memadai. Prinsip ini yang
dikembangkan di dalam Pasal 42-43 UUPPLH.

Makna yang terkandung di dalam Pasal 42 ayat (1) UUPPLH, bahwa dalam
rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Hal ini karena
selama ini lingkungan tidak diberi nilai/harga, maka dalam perkembanganya manusia
atau badan hukum (terutama yang berorintasi profit) banyak menggunakan SDA secara
berlebihan (over use), dan cenderung membabat habis tanpa berpikir akibat bagi generasi
yang akan datang. Tentu yang tersisa hanya derita dan bencana yang harus ditanggung
baik harta, benda dan nyawa. Untuk itu usaha memberi suatu biaya lingkungan yang ada
pada Pasal 42-43 UUPPLH, merupakan gagasan sebagai pengejawantahan dari prinsip
biaya lingkungan dan biaya sosial yang terintegrasikan ke dalam proses pengambilan
keputusan yang berkiatan dengan penggunaan SDA, sehingga pada akhirnya terjadi
internalisasi biaya harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Dengan
memanfatakn instrument yang ada di UUPPLH tersebut berupa: pengaturan (larangan
dan sanksi), charge, fees, leasing, perizinan, mekanisme property right dan lain-lain.

Instrumen lingkungan hidup ini, sarana paling cepat dalam upaya pengendalian
pencemaran, sehingga Pemerintah pada tahun 2017 telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 43 ayat (4) dan Pasal 55 ayat (4)
UUPPLH, yaitu Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 2 PP ini disebutkan bahwa Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup bertujuan untuk: a. menjamin akuntabilitas dan penaatan hukum
dalam penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. b. mengubah
pola pikir dan perilaku pemangku kepentingan dalam pembangunan dan kegiatan
ekonomi. c. mengupayakan pengelolaan Pendanaan Lingkungan Hidup yang sistematis,
teratur, terstruktur, dan terukur. d. membangun dan mendorong kepercayaan publik dan
internasional dalam pengelolaan Pendanaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 3 PP ini juga
disebutkan bahwa Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup meliputi: a. perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. Pendanaan Lingkungan Hidup; dan c. Insentif
dan/atau Disinsentif.

Instrumen ekonomi lingkungan hidup, antara lain:


a. Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (NSDA dan LH).
Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menyusun dan
menggunakan NSDA dan LH dalam perencanaan pembangunan dan kegiatan
ekonomi. Demikian pula pada setiap pengambilan keputusan penetapan target
pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan dan konservasi SDA dan LH harus didasarkan
atas kajian NSDA dan LH. NSDA dan LH provinsi merupakan kompilasi NSDA dan
LH yang disusun oleh setiap Perangkat Daerah (OPD) provinsi dan kabupaten/kota.
Dalam instrumen ekonomi lingkungan hidup, gubernur menetapkan penyusunan
NSDA dan LH dan mengkoordinasikan pelaksanaannya serta menggunakannya
sebagai dasar perencanaan, pertumbuhan ekonomi dan kebijakan pemanfaatan SDA
dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. NSDA dan LH kabupaten/kota
merupakan kompilasi NSDA dan LH yang disusun oleh OPD kabupaten/kota.
Bupati/walikota menetapkan penyusunan NSDA dan LH dan mengoordinasikan
pelaksanaannya serta menggunakannya sebagai dasar perencanaan, pertumbuhan
ekonomi dan kebijakan pemanfaatan SDA dan LH yang berkelanjutan.
b. Produk Domestik Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto (PDB/PDRB).
PDB/PDRB Hijau disusun oleh pemerintah daerah.
PDB/PDRB Hijau digunakan oleh pemerintah daerah untuk memberikan arah
perencanaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan,
memberikan gambaran yang lebih tepat terhadap hasil pembangunan, mengukur
kinerja pembangunan berdasarkan pertimbangan lingkungan hidup, dan pengambilan
keputusan pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup.
c. Mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah.
OPD provinsi dan kabupaten/kota yang tugasnya terkait dengan pemanfaatan dan
pengelolaan SDA dan LH menyediakan data pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup. Kegiatan ekonomi yang diperkirakan mempengaruhi jasa lingkungan hidup di
daerah lain untuk melakukan perencanaan pemanfaatannya dengan baik. Untuk dapat
melaksanakan kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup harus tunduk pada daya
tampung/daya dukung guna tidak melebihi daya eksploitatif jasa lingkungan hidup.
Penerima manfaat imbal jasa lingkungan hidup harus menyediakan anggaran untuk
memberi kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup. Pemerintah daerah
menganggarkan dana untuk pembayaran jasa lingkungan hidup. Anggaran untuk
pembayaran kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup dapat diambil dari kompensasi/
imbal jasa lingkungan hidup melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD). Nilai kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup harus digunakan sebesar-
besarnya untuk kegiatan konservasi, peningkatan kapasitas masyarakat,
pengembangan perekonomian berbasis keberlanjutan, dan pengembangan
infrastruktur pendukungnya.
Kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup didasari kerja sama antarpemerintah daerah
dan/atau masyarakat sebagai pihak penyedia dan pemanfaat jasa lingkungan hidup.
Pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menanggung biaya internalisasi dari
kegiatan pembangunan, sedangkan pemanfaat SDA dan pelaku pencemaran
mempunyai kewajiban untuk menanggung biaya internalisasi kerusakan lingkungan
hidup yang terkait dengan kegiatannya.
d. Dana penjaminan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga
untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana
jaminan pemulihan lingkungan hidup untuk upaya pemulihan lingkungan hidup pasca
operasi dan/atau penanganan tanggap darurat apabila badan usaha tidak melakukan
kewajibannya. Pejabat yang menerbitkan izin lingkungan mengawasi pelaksanaan
dana jaminan pemulihan lingkungan hidup.
e. Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan
hidup.
Pemerintah daerah menyiapkan dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
dan pemulihan lingkungan hidup melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD). Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan
merupakan dana yang disiapkan oleh pemerintah daerah untuk penanggulangan dan
pemulihan lingkungan hidup akibat peristiwa yang tidak jelas sumber dan pelaku
pencemaran dan/atau perusakan serta kegiatan tanggap darurat. Kegiatan tanggap
darurat tersebut merupakan kegiatan untuk penanggulangan pencemaran dan/atau
kerusakan dan pemulihan sebelum pelaku pencemaran dan perusakan diketahui.
f. Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup.
Pemerintah daerah mendorong pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan
hidup.
g. Pengembangan sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Pemerintah daerah mengembangkan sistem penghargaan kinerja di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sistem tersebut bertujuan untuk
memberikan penghargaan kepada perseorangan, masyarakat/kelompok, lembaga dan
instansi pemerintah yang berjasa dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Pemerintah daerah dalam mengembangkan sistem penghargaan
kinerja tersebut dilakukan dengan menyusun program-program penghargaan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, menyusun kriteria-kriteria penilaian
dan kelayakan pemberian penghargaan, menyosialisasikan program-program
penghargaan, dan melakukan harmonisasi dengan penghargaan kinerja di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di instansi pemerintah.
h. Pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup.
Peran pemerintah daerah dalam memfasilitasi pengembangan sistem pembayaran jasa
lingkungan hidup, dengan menginisiasi pembayaran jasa lingkungan hidup apabila
terdapat potensi dan/atau kerusakan lingkungan hidup, memberikan subsidi
lingkungan hidup kepada setiap orang yang usaha dan/atau kegiatannya berdampak
terhadap perbaikan fungsi lingkungan hidup dan mengalokasikan anggaran subsidi
bagi usaha dan/atau kegiatan tersebut.

9. Peraturan Perundang‐Undangan Berbasis Lingkungan Hidup

Pasal 28 H ayat(1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD1945 dikatakan bahwa hak untuk
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik,
merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, UUD 1945 jelas sangat pro-lingkungan
hidup, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi hijau (green constitution). Dengan
demikian, segala kebijakan dan tindakan pemerintahan dan pembangunan haruslah
tunduk kepada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Tidak boleh ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang
ataupun peraturan dibawah undang-undang yang bertentangan dengan ketentuan
konstitusional yang pro-lingkungan. Apalagi, Indonesia sendiri merupakan satu Negara
kepulauan yang sangat rentan dan rawan bencana alam. Jika lingkungan hidup tidak
dilindungi, pada saatnya kerusakan alam yang terjadi justru akan merugikan bangsa
Indonesia sendiri. Mulai dari ranah konstitusi (UUD1945), UU No. 32 Tahun 2009
tentang UUPPLH mengatur dengan jelas betapa pentingnya filosofi nilai-nilai hijau
mutlak diperlukan dalam legal drafting undang-undang termasuk peraturan di tingkat
daerah.
Saat ini berkembangnya tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi
Negara yang pro-lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang
mengingat untuk ditaati oleh semua pemangku-kepentingan (stakeholders). Dari
perspektif yuridis baik secara implisit maupun eksplisit landasan hokum untuk membuat
green policy semakin menguat. Atas dorongan kesadaran yang semakin luas di seluruh
dunia mengenai pentingnya upaya melindungi lingkungan hidup dari ancaman
pencemaran dan perusakan, kebijakan lingkungan hidup dituangkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan secara resmi.22
Oleh karena itu, setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat
nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi LH dan prinsip
perlindungan dan pengelolaan LH sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH.

10. Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup

Dalam Pasal 45 dan 46 UUPPLH, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat


Republik Indonesia serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai:

1) kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan


2) program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.

Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup yang
memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan
kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau
kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.

I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Lingkungan
22

Dalam Rangka Mewujudkan Praktik-Praktik Good Governance di Daerah, Jurnal Yustisia Vol. 2 No. 1
Januari-April 2013, hlm. 67.
11. Analisis Risiko Lingkungan Hidup.
Analisis risiko lingkungan hidup adalah prosedur yang antara lain digunakan
untuk mengkaji pelapasan dan peredaran produk rekayasa genetik dan pembersihan
(clean up) limbah bahan berbahaya dan beracun. Setiap usaha dan/kegiatan yang
berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap
ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia untuk
melakukan analisis resiko lingkungan hidup. Analisis Resiko Lingkungan Hidup terdiri
dari pengkajian risiko, pengelolaan risiko, dan komunika risiko. Pengkajian risiko
meliputi seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya, penaksiran besarnya konsekuensi
atau akibat, dan penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang diinginkan, baik
terhadap keamanan dan kesehatan manusia maupun lingkungan hidup. Pengelolaan
risiko meliputi evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan,
identifikasi pilihan pengelolaan risiko, pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan
pengimplementasian tindakan yang dipilih. Pelaksanaan analisis risiko lingkungan hidup
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Analisis resiko lingkungan merupakan kegiatan untuk mengkaji perkiraan


kemungkinan terjadinya konsekuensi kepada manusia atau lingkungan. Dimana resiko
tersebut terbagi menjadi dua, yakni risiko yang terjadi kepada manusia disebut sebagai
risiko kesehatan, sedangkan risiko yang terjadi kepada lingkungan disebut sebagai risiko
ekologi. Ekologi merupakan cabang dari ilmu biologi, dimana Ekologi adalah salah satu
komponen dalam sistem pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau bersama
dengan komponen lain untuk mendapatkan keputusan yang seimbang. Jadi dalam hal ini,
Ekologilah yang menjadi titik pusat perhatian.

Analisis Resiko Lingkungan (ARL) adalah proses prediksi kemungkinan dampak


negatif yang terjadi terhadap lingkungan sebagai akibat dari kegiatan tertentu. Analisis
resiko lingkungan (ARL) diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009. Dengan melakukam
Analisis resiko lingkunngan (ARL) diharapkan piihak manajemen akan lebih mudah
untuk melakukan pengelolaan lingkungannya dan akan sangat bermanfaat dalam audit
lingkungan. Penerapan dari ARI ini sendiri diperuntukkan kepada industri-industri yang
banyak menggunakan bahan-bahan kimia yag beracun.

Dalam hal yang berkaitan dengan aspek sosial, terdapat tiga macam risiko
ekologis yang dimnuculkan dari hal tersebut, yakni:
1) Risiko fisik-ekologis (physical-ecological risk), yaitu aneka risiko kerusakan fisik
pada manusia dan lingkungannya;
2) Risiko mental (mental risk), yaitu aneka risiko kerusakan mental akibat perlakuan
buruk pada tatanan psikis;
3) Risiko sosial (social risk), yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya
bangunan dan lingkungan sosial (eco-social).

Tiga macam resiko yang ditimbulkan di atas, dapat menimbulkan suatu keadaan
yang tidak baik, dimana resiko tersebut dapat menimbulkan keadaan yang berupa
ketakutan, ancaman, paranoid. Keadaan seperti ini tidak dapat dibiarkan terus-menerus,
untuk itu diperlukan adanya upaya analisis lingkungan untuk mencegah atau mengurangi
kerusakan lingkungan yang memang wajib kita jaga keberadaan dan keberlangsungannya
untuk penerus bangsa selanjutnya. Adapun tahapannya yaitu:

1) Tentukan batasan studi atau analisis;


2) Tentukan area yang ingin diperdalam dan informasi yang ingin di dapat;
3) Lakukan uji dampak lingkungan berdasarkan informasi data dan pengkategorian data
yang telah dikumpulkan;
4) Evaluasi informasi yang diperoleh dari uji data, dengan melakukan uji aspek dan
dampak lingkungan lingkungan.   Indentifikasi dari kegiatan pada masa lalu, masa
kini dan masa yang akan datang memiliki potensi memiliki dampak negatif terhadap
lingkungan.

Ada 4 langkah dalam menentukan aspek dan dampak lingkungan, yaitu:

1) Identifikasi secara menyeluruh aktivitas dari suatu kegiatan dengan menggunakan


diagram alir atau table;
2) Identifikasi aspek lingkungan dari kegiatan yang dilakukan sebanyak-banyaknya;
3) Identifikasi dampak yang ditimbulkan  berdasarkan aspek-aspek yang telah dibuat;
4) Evaluasi dampak yang signifikan.

13) Audit Lingkungan Hidup.


Audit lingkungan merupakan instrumen pengelolaan lingkungan yang sifatnya
sukarela. Dengan audit lingkungan dapat diketahui hasil pengelolaan lingkungan dalam
jangka panjang.23 Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Gubernur atau bupati/walikota hanya dapat
mendorong bagi setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
audit lingkungan hidup yang bersifat sukarela. Selain itu, gubernur atau bupati/walikota
dapat mengusulkan kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk dikeluarkannya
perintah pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan dan audit lingkungan
berkala. Mekanisme pelaksanaan audit lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Audit Lingkungan merupakan suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi


secara sistematik, terdokumentasi, periodik dan obyektif tentang bagaimana suatu kinerja
organisasi sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan menfasilitasi kontrol
manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan
pengkajian pemanfaatan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan lingkungan.24

Pasal 48 UUPPLH menyatakan pemerintah mendorong penanggungjawab usaha


dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan
kinerja lingkungan hidup. Dari ketentuan Pasal 48 UUPPLH ini dapat diketahui bahwa
audit lingkungan adalah instrument pengelolaan lingkungan yang bersifat sukarela.
Namun demikian dalam keadaan tertentu audit lingkungan menjadi bersifat wajib seperti
yang ditentukan Pasal 49 ayat (1) yaitu: ketentuan lebih lanjut mengenai audit
lingkungan ini akan diatur dalam peraturan menteri.

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun


1999 tentang Prinsip-Prinsip dan Pedoman Umum Pelaksanaan Audit Lingkungan,
dengan audit lingkungan, manfaat yang akan diperoleh mencakup: a. mengidentifikasi
risiko lingkungan. b. Menjadi dasar bagi pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan
lingkungan atau upaya penyempurnaan upaya yang ada. c. Menghindari kerugian
financial seperti penutupan atau pemberhentian suatu usaha atau kegiatan atau
pembatasan oleh pemerintah, atau publikasi yang merugikan akibat pengelolaan dan
pemantauan lingkungan yang tidak baik. d. Mencegah tekanan sanksi hokum terhadap
23
R.M. Gatot Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 184.
24
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.42 Tahun 1994 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Audit Lingkungan.
suatu usaha atau kegiatan atau terhadap pimpinannya berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. e. Membuktikan pelaksanaan pengelolaan
lingkungan apabila dibutuhkan dalam proses pengadilan. f. Meningkatkan kepedulian
pimpinan atau penanggungjawab dan staf suatu usaha dan atau kegiatan tentang
pelaksanaan kegiatannya terhadap kebijakan dan tanggungjwab lingkungan. g.
Mengidentifikasi kemungkinan penghematan biaya melalui upaya konservasi energi, dan
pengurangan, pemakaian ulang dan daur ulang limbah. h. Menyediakan laporan audit
lingkungan bagi keperluan usaha atau kegiatan yang bersangkutan, atau bagi kperluan
kelompok pemerhati lingkungan, pemerintah dan media Massa. i. Menyediakan
informasi yang memadai bagi kepentingan usaha atau kegiatan asuransi, lembaga
keuangan, dan pemegang saham.

Fungsi Audit Lingkungan:

1) Upaya peningkatan pentaatan terhadap peraturan : misal baku mutu lingkungan


2) Dokumen suatu usaha pelaksanaan :
a. SOP (Prosedur Standar Operasi);
b. Pengelolaan dan Pemanfaatan Lingkungan;
c. Tanggap Darurat;
d. Jaminan menghindari kerusakan lingkungan;
e. Realisasi dan keabsahan prakiraan dampak dalam dokumen AMDAL;.
f. Perbaikan penggunaan sumberdaya (penghematan bahan, minimasi limbah,
identifikasi proses daur hidup).

Manfaat Audit Lingkungan:

1) Mengidentifikasi resiko lingkungan;


2) Menjadi dasar pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan;
3) Menghindari kerugian finansial (penutupan usaha, pembatasan usaha, publikasi
pencemaran nama);
4) Mencegah tekanan sanksi hukum;
5) Membuktikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dalam proses peradilan;
6) Menyediakan informasi.
Keberhasilan penerapan audit lingkungan dalam pengelolaan lingkungan oleh
suatu kegiatan atau usaha apabila ditunjang oleh hal-hal sebagai berikut: a. Adanya
dukungan pihak pimpinan yang berupa kesadaran yang tinggi terhadap lingkungan. b.
Apabila ada partisipipasi dari banyak pihak maka dokumen audit lingkungan akan lebih
sempurna dan valid. c. Kemandirian dan objektivitas auditor dalam pelaksanaan audit
lingkungan. d. Adanya kesepakatan antara auditor dan perusahan mengenai proses,
prosedur, administrasi, dan pendanaan.25
13. Instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan

Instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu


pengetahuan, yang dapat diterapkan dalam rangka untuk mencegah pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup yaitu dengan menerapkan teknologi yang tepat dan ramah
lingkungan pada berbagai bidang, misalnya di bidang pertanian, industri besar, dan
industri skala rumah tangga. Dengan adanya teknologi tersebut bertujuan selain untuk
memberikan kemudahan dan pemenuhan kebutuhan manusia, sekaligus dapat mencegah
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Pemanfaatan teknologi yang tidak tepat
dan tidak ramah lingkungan dapat menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Teknologi ramah lingkungan26 adalah teknologi yang dalam pembuatan dan
penerapannya menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan. Proses yang efektif dan
efisien dan mengeluarkan limbah yang minimal, dapat mengurangi serta mencegah
terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Selain itu efisien dalam
penggunaan sumber daya, baik itu air, energi, penggunaan bahan baku, dan bahan kimia.
Penerapan teknologi ramah lingkungan harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan
regulasi.
Teknologi ramah lingkungan dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti di
bidang energi dan industri, dan transportasi. Aplikasi teknologi ramah lingkungan pada
bidang energi dan industry, misalnya biogas, biofuel, sel surya. Biogas merupakan jenis
bahan bakar alternatif yang sudah digunakan sebagai bahan bakar bagi kebutuhan rumah
tangga. Biogas diperoleh dari proses fermentasi bahan organik bakteri anaerob (bakteri
yang hidup di lingkungan tanpa oksigen). Bakteri tersebut mengubah zat organik
menjadi gas metana sebesar 75 persen dan gas lainnya seperti karbon dioksida, hidrogen,
dan hidrogen sulfida. Sedangkan biofuel merupakan teknologi penyediaan energi

25
Chafid Fandeli, et.al, Audit Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2000, hlm.
5-6.
26
Ari Welianto, "Teknologi Ramah Lingkungan: Contoh dan Fungsinya",
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/27/120000169/teknologi-ramah-lingkungan--contoh-dan-
fungsinya?page=all. Diakses 22 September 2020.
alternatif dengan memakai SDA dan dapat diperbaharui. Biofuel berasal dari bahan-
bahan organik, seperti tumbuh-tumbuhan. Ada dua jenis biofuel, dalam bentuk etanol
dan biodiesel. Etanol merupakan salah satu jenis alkohol yang bisa dibuat dengan
fermentasi karbohidrat. Sementara biodiesel merupakan bahan bakar alami yang
biasanya diperoleh dari lemak nabati. Sel surya merupakan teknologi ramah lingkungan
yaitu mengubah energi matahari menjadi menjadi listrik. Saat matahari melalui panel
surya, maka cahaya akan menghasilkan emisi elektron pada komponen panel.
Selanjutnya elektro tersebut dihubungkan dengan sistem tertentu sehingga menghasilan
listrik. Listrik tersebut dialirkan dan disimpan pada baterai, jadi bisa dipakai saat
mendung atau malam hari. Panel surya memiliki keunggulan, tidak bisa menghasilkan
emsisi gas rumah kaca, menghasilkan energi cukup besar, selain itu dapat dipasang,
dipindahkan atau dikembangkan. Pembangkit listrik tenaga air untuk menghasilkan
listrik, tenaga air akan menggunakan energi gerak. Siklus air dari tenaga surya diawali
adanya penguapan air yang membentuk awan dan hujan. Air hujan tersebut selanjutnya
mengalir ke daerah yang lebih rendah. Pembangkit listrik tenaga angin Pembangkit
listrik tenaga angin merupakan cara paling murah dalam menghasilkan listrik. Teknologi
tersebut sangatlah bebas polusi. Pembangkit tersebut dapat dibangun dalam waktu 9-12
bulan dan dapat dikembangkan lebih besar lagi. Di Indonesia sudah menerapkan
pembangkit tersebut, seperti di Nusa Penida, yaitu pulau kecil di selatan Pulai Bali dan
Nusa Tenggara Timur (NTT).
Teknologi lainnya, misalnya Biopori dan Fitoremediasi. Biopori adalah lubang
silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah untuk resapan air. Di mana bertujuan
untuk mengatasi genangan air dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah.
Fitoremediasi adalah proses bioremediasi mengggunakan berbagai tananam untuk
menghilangkan, memindahkan, dan menghancurkan kontaminasi dalam tanah dan air
bawah tanah.
Teknologi di bidang transportasi, misalnya kendaraan hydrogen, mobil listrik.
Kendaraan hidrogen adalah kendaraan yang memergunakan gas hidrogen sebagai bahan
bakarnya. Tidak hanya sebatas pada mobil, tapi dapat dipakai pada pesawat. Pada
dasarnya kendaraan ramah lingkungan tidak menggunakan bahan bakar konvensional
seperti bahan bakar minyak (BBM) yang itu menimbulkan polusi. Mobil listrik
merupakan kendaraan yang menggunakan satu atau lebih motor listrik sebagai tenaga
penggeraknya.
Fungsi teknologi ramah lingkungan yaitu menjaga kelestarian alam dari
kerusakan, menjaga lingkungan yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan,
meminimalkan limbah sehingga mencegah pencemaran lingkungan, memanfaatkan
barang-barang yang tidak berguna menjadi produk yang berguna bagi manusia,
memudahkan dan pemenuhan kebutuhan manusia.

Anda mungkin juga menyukai