1
S. Maroni, ‘Instrumen Pencegahan dan Perusakan Lingkungan Hidup’, Bahan Kuliah Hukum
Lingkungan, http://zriefmaronie.blogspot.com/2014/05/instrumen-pencegahan-perusakan.html. Diakses 21
September 2020.
dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program. Dengan demikian KLHS sebagai upaya
untuk mencari terobosan dan memastikan bahwa pada tahap awal penyusunan kebijakan,
rencana dan/atau program prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sudah
dipertimbangkan. Makna strategis mengandung arti perbuatan atau aktivitas sejak awal
proses pengambilan keputusan yang berakibat signifikan terhadap hasil akhir yang akan
diraih. Dalam konteks KLHS perbuatan dimaksud adalah suatu proses kajian yang dapat
menjamin dipertimbangkannya hal-hal prioritas dari aspek pembangunan berkelanjutan
dalam proses pengambilan keputusan pada kebijakan, rencana dan/atau program sejak
dini. Secara prinsip sebenarnya KLHS adalah suatu self assessment untuk melihat sejauh
mana Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) yang diusulkan oleh pemerintah
dan/atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip pembangunan
berkelanjutan, baik untuk kepentingan ekonomi, dan social, selain lingkungan hidup.
Dengan KLHS ini pula diharapkan KRP yang dihasilkan dan ditetapkan oleh pemerintah
dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.
KLHS bermanfaat untuk memfasilitasi dan menjadi media proses belajar bersama
antara pelaku pembangunan, dimana seluruh pihak yang terkait penyusunan dan evaluasi
kebijakan, rencana dan/atau program dapat secara aktif mendiskusikan seberapa jauh
substansi kebijakan, rencana dan/atau program yang dirumuskan telah
mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Melalui proses KLHS,
diharapkan pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana
dan/atau program dapat mengetahui dan memahami pentingnya menerapkan prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan dalam setiap penyusunan dan evaluasi kebijakan,
rencana dan/atau program.
Makna prinsip ini adalah sikap dan kesadaran yang muncul dari diri pemangku
kepentingan yang terlibat dalam proses penyusunan dan/atau evaluasi kebijakan,
rencana, dan/atau program agar lebih memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip tersebut dalam setiap
keputusannya.Prinsip ini berasumsi bahwa setiap pengambil keputusan mempunyai
tingkat kesadaran dan kepedulian atas lingkungan. KLHS menjadi media atau katalis
agat kesadaran dan kepedulian tersebut terefleksikan dalam proses dan terformulasikan
dalam produk pengambilan keputusan untuk setiap kebijakan, recana, dan/atau program.
Prinsip ini menekankan bahwa KLHS memberikan pengaruh positif pada pengambilan
keputusan. Dengan prinsip ini, KLHS akan mempunyai makna apabila pada akhirnya
dapat mempengaruhi pengambilan keputusan, khususnya untuk memilih atau
menetapkan kebijakan, rencana, dan/atau program yang lebih menjamin pembangunan
yang berkelanjutan.
Prinsip 5: Akuntabel
Prinsip ini menekankan bahwa KLHS harus diselenggarakan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik. Prinsip akuntabel KLHS sejalan dengan prinsip
tata pemerintahan yang baik (good governance). KLHS tidak ditujukan untuk menjawab
tuntutan para pihak. Dengan prinsip ini, pelaksanaan KLHS dapat lebih menjamin
akuntabilitas perumusan kebijakan, rencana, dan/atau program bagi seluruh pihak.
Prinsip 6: Partisipatif
Sejalan dengan amanat UUPPLH, prinsip ini menekankan bahwa KLHS harus dilakukan
secara terbuka dan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya yang
terkait dengan kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan prinsi ini diharapkan
proses dan produk kebijakan, rencana, dan/atau program semakin mendapatkan
legitimasi atau kepercayaan publik.
Terkait dengan penyusunan RPJMN 2020-2024 dan SDG Roadmap 2030, KLHS
merupakan “kendaraan” atau tool untuk mengaplikasikan analisis Kebijakan, Rencana
dan Program guna menghasilkan Pembangunan berkelanjutan. Langkah ini menjadikan
berbagai upaya dalam menjaga kualitas lingkungan hidup, termasuk aksi penurunan
emisi gas rumah kaca, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan akan dilaksanakan
secara seimbang dengan pembangunan ekonomi dan sosial. Daya dukung sumber daya
alam kita, termasuk tutupan lahan, air, keanekaragaman hayati, dan emisi, akan menjadi
salah satu faktor penentu perumusan kebijakan dan target perencanaan pembangunan ke
depan.
Di dalam prosesnya, KLHS telah melakukan identifikasi berbagai kebijakan dari
sektor yang diperkirakan berdampak langsung dan tidak langsung pada daya dukung
sumber daya alam dan daya tampung lingkungan, seperti sektor ekonomi, energi,
kehutanan, pertanian, kelautan dan perikanan. Pengaruh kebijakan dari berbagai sektor
tersebut kemudian di analisis melalui model, sehingga trade-off dari implementasi
kebijakan tersebut dapat diperkirakan dan dicari titik temunya.
2. Tata Ruang
2
Pasal 1 Angka 13 UUPPLH
tanah. BML dimaksudkan untuk mencegah berlimpahnya limbah sehingga
mengakibatkan BML tidak memenuhi syarat penghidupan bagi manusia.
BML terdiri atas baku mutu media penerima beban limbah (air, air laut, dan
udara), dan baku mutu buangan (air limbah, emisi dan gangguan):
3
Pasal 1 Angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air
dan Pengendalian Pencemaran Air.
4
Pasal 12 ayat (2), ibid.
5
Pasal 1 Angka 15, ibid.
yang dibuang ke sumber air, ke laut dan/atau dimanfaatkan untuk aplikasi pada tanah
telah mentaati baku mutu air limbah yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selain itu, Peraturan Daerah provinsi perlu mengatur
norma larangan bagi setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
pengenceran air limbah, membuang air limbah ke laut tanpa izin Menteri Negara
Lingkungan Hidup, membuang air limbah ke sumber air dan/atau memanfaatkan air
limbah untuk aplikasi pada tanah sebelum mendapatkan izin dari bupati/walikota.
d. Baku Mutu Air Laut
Baku mutu air laut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air laut. Baku
mutu air laut merupakan ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau
komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut.6
Baku Mutu Air Laut tersebut meliputi Baku Mutu Air Laut untuk Perairan
Pelabuhan, Wisata Bahari dan Biota Laut., menjelaskan bahwa Pelabuhan adalah tempat
yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai
tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat
kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan
serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. 7 Wisata Bahari
adalah kegiatan rekreasi atau wisata yang dilakukan di laut dan pantai. 8 Biota laut adalah
berbagai jenis organisme hidup di perairan laut.9
Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku
kerusakan laut dan status mutu laut.10 Begitu pentingnya perlindungan mutu laut sebagai
upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut tetap baik maka semua tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut sangat dilarang kecuali dalam
keadaan darurat.
6
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
Perusakan Laut.
7
Pasal 1 ayat (4) Kepmen Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut.
8
Ibid., ayat (5).
9
Ibid., ayat (6).
10
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999, tentang Pengendalian Pencemaran
dan/atau Perusakan Laut.
Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha
dan/atau kegiatan di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila; Pembuangan benda
dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut. Pembuangan benda
dapat dilakukan dengan syarat bahwa semua upaya pencegahan yang layak telah
dilakukan atau pembuangan tersebut merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian
yang lebih besar. Dalam keadaan darurat, pemilik dan/atau penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang berwenang
terdekat dan/atau instansi yang bertanggung jawab. Pemberitahuan tersebut, wajib
menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah
yang telah dilakukan. Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan
pencegahan meluasnya pencemaran dan/atau kerusakan laut serta wajib melaporkan
kepada Menteri. Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta
pemulihan mutu laut yang ditimbulkan oleh keadaan darurat, ditanggung oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.11
e. Baku Mutu Udara Ambien
Untuk menentukan terjadinya pencemaran udara ambien diukur melalui baku
mutu udara ambien. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi,
dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam udara ambient.12 Udara ambien adalah udara bebas
dipermukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di dalam wilayah yurisdiksi
Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk
hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya. Berdasarkan Pasal 20 Ayat (4) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, baku mutu udara ambien diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Baku mutu udara ambien hanya dapat ditetapkan oleh pemerintah provinsi,
dengan ketentuan lebih ketat atau sama dengan baku mutu udara nasional. Baku mutu
udara ambien daerah tersebut dicantumkan dalam lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari peraturan daerah provinsi.
13
Pasal 1 Angka 16 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara.
14
Diatur didalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996.
Tingkat Getaran15 dan c. Baku Tingkat Kebauan.16 Baku tingkat kebisingan adalah batas
maksimal tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau
kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan. Sedangkan baku tingkat getaran adalah batas maksimal tingkat getaran
mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan pada media padat sehingga tidak
menimbulkan gangguan terhadap kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan.
Kemudian baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang
diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
Baku mutu gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang
diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat. Baku mutu gangguan terdiri atas baku
mutu kebisingan, baku mutu getaran dan baku mutu kebauan. Baku mutu kebisingan dan
getaran sumber tidak bergerak dan baku mutu kebisingan kendaraan bermotor lama dan
sumber bergerak lainnya yang sudah beroperasi seperti dump truk, alat berat, kapal
bermotor hanya dapat ditetapkan dengan peraturan gubernur, dengan ketentuan lebih
ketat dengan baku mutu gangguan nasional. Selain itu, dalam rancangan peraturan
gubernur perlu diatur norma kewajiban bagi setiap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan untuk mentaati baku mutu kebisingan, baku mutu getaran dan baku mutu
kebauan.
15
Diatur didalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 49 tahun 1996.
16
Diatur didalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 50 tahun 1996.
Kriteria baku kerusakan lingkungan menurut Pasal 21 ayat (2) UUPPLH,
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem
dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. Dalam ayat 3 Kriteria baku
kerusakan ekosistem meliputi: a). kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi
biomassa; b). kriteria baku kerusakan terumbu karang; c). kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan; d). kriteria
baku kerusakan mangrove; e). kriteria baku kerusakan padang lamun; f). kriteria baku
kerusakan gambut; g). kriteria baku kerusakan karst; dan/atau h). kriteria baku kerusakan
ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut ayat (4) didasarkan pada
paramater antara lain: a). kenaikan temperatur; b). kenaikan muka air laut; c). badai;
dan/atau d). kekeringan.
a. Identifikasi dari penggunaan sumber daya atau media ambien yang harus dilindungi
(objektif sumber daya tersebut tercapai).
b. Merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan kumpulan dan pengolahan
dari berbagai informasi ilmiah.
c. Merumuskan baku mutu ambien dari hasil penyusunan kriteria.
d. Merumuskan baku mutu limbah yang boleh dilepas ke dalam lingkungan yang akan
menghasilkan keadaan kualitas baku mutu ambien yang telah ditetapkan.
e. Membentuk program pemantauan dan penyempurnaan untuk menilai apakah objektif
yang telah ditetapkan tercapai.
AMDAL bermula dari Amerika Serikat, tahun 1969. Dikenal dengan nama
Environmental Impact Assesment (EIA), kemudian The National Enviromental Policy
Act of 1969 (NEPA 1969) diperkenalkan sebagai sebuah instrumen untuk mengendalikan
dampak segala macam kegiatan yang bisa merusak kelestarian lingkungan. Instrumen
tersebut dalam bentuk peraturan. Dalam perkembangan selanjutnya, peraturan ini
diadopsi oleh banyak negara. Tahun 1982, Indonesia mengeluarkan Undang-Undang No.
4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup (UULH). Dalam UU ini diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1986 tentang Amdal, yang kemudian
diganti PP Nomor 51 Tahun 1993 tentang AMDAL, dan terakhir diganti lagi dalam PP
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. AMDAL ini
dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh
terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, baik lingkungan biotik, abiotik, maupun
lingkungan kultural.
Dengan demikian tidak semua rencana kegiatan wajib Amdal, kecuali yang
mempunyai dampak lingkungan. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU
PPLH bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Dampak penting adalah perubahan lingkungan
hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Pasal
22 Ayat (2) menjelaskan, dampak penting dimaksud ditentukan berdasarkan kriteria: a).
besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b). luas wilayah penyebaran dampak; c). intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d).
banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e). sifat
kumulatif dampak; f). berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g). kriteria lain
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi
dengan AMDAL menurut Pasal 23 (1) UUPPLH 2009 terdiri atas:
Pada tanggal 31 Juli 2019 ditetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor: P.38/MENLHK/Setjen/Kum.1/7/2019 tentang Jenis Rencana Usaha
dan/atau Kegiatanyang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
yang mencabut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012
tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatanyang Wajib Memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup. Dalam Lampiran I PermenLHK yang baru ini diatur dan
ditetapkan jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) ditetapkan berdasarkan:
a. Potensi dampak penting. Potensi dampak penting bagi setiap jenis Usaha dan/atau
Kegiatan tersebut ditetapkan berdasarkan: 1) besarnya jumlah penduduk yang akan
terkena dampak rencana Usaha dan/atau Kegiatan; 2) luas wilayah penyebaran
dampak; 3) intensitas dan lamanya dampak berlangsung; 4) banyaknya komponen
lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; 5) sifat kumulatif dampak; 6)
berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan 7) kriteria lain sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau 8) referensi internasional
yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai landasan kebijakan tentang Amdal.
b. Ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia untuk menanggulangi dampak
penting negatif yang akan timbul.
Dalam prosesnya, jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) dapat dibagi berdasarkan
kompleksitas penyusunannya. Proses ini dikenal dengan Kategori Amdal. Kategori
Amdal adalah pengelompokan daftar Usaha dan/atau Kegiatan menjadi beberapa
Kategori berdasarkan kriteria tertentu.
Kategori Amdal bertujuan untuk:
1) menetapkan jangka waktu penyusunan dokumen Amdal yang berkaitan dengan
kompleksitas deskripsi rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang dilakukan;
2) memberikan waktu yang cukup bagi penyusun Amdal untuk melakukan penyusunan
Amdal, menyiapkan data, mengolah data, menganalisis data serta membuat kajian
perkiraan dampak; dan
3) Sebagai bahan Komisi Penilai Amdal (KPA) untuk melakukan penilaian dokumen
Amdal.
Dalam Lampiran II PermenLHK 2019 ini juga telah ditetapkan daftar kawasan lindung.
Kawasan Lindung yang dimaksud sebagai berikut:
1) kawasan hutan lindung;
2) kawasan bergambut; dan
3) kawasan resapan air.
4) sempadan pantai;
5) sempadan sungai;
6) kawasan sekitar danau atau waduk;
7) suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut;
8) cagar alam dan cagar alam laut;
9) kawasan pantai berhutan bakau;
10) taman nasional dan taman nasional laut;
11) taman hutan raya;
12) taman wisata alam dan taman wisata alam laut;
13) kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
14) kawasan cagar alam geologi;
15) kawasan imbuhan air tanah;
16) sempadan mata air;
17) kawasan perlindungan plasma nutfah;
18) kawasan pengungsian satwa;
19) terumbu karang;
20) kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil;
21) kawasan konservasi maritim;
22) kawasan konservasi perairan; dan
23) kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi.
Kawasan lindung tersebut diatas adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber
dayabuatan. Penetapan kawasan lindung tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan.
Kegunaan AMDAL:
Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai
oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana
usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu
direkomendasikan untuk diberi izin atau tidak.
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan
RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian
Komisi AMDAL). Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL,
RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan,
lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar
waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali
dokumennya.
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan. Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan
untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah
memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Pihak-pihak yang terlibat
dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat
yang berkepentingan.
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Masyarakat yang
berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam
proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak
tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor
pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh
nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses
AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat
pemerhati.
Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dalam materi muatan
Amdal supaya mewajibkan setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak
penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki Amdal. Kriteria mengenai dampak
penting, kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting, dan jenis usaha
dan/atau kegiatan wajib Amdal yang menjadi kewenangan gubernur atau bupati/walikota
tidak perlu dirumuskan kembali dalam suatu rancangan Peraturan Daerah, melainkan
cukup mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Kecuali jika gubernur
atau bupati/ walikota akan menetapkan skala/besaran jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan lebih kecil dari skala/besaran yang telah ditetapkan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup atas dasar pertimbangan ilmiah mengenai daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup, serta tipologi ekosistem setempat diperkirakan berdampak
penting terhadap lingkungan hidup, gubernur atau bupati/walikota dapat menetapkan
jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut sebagai jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal. Dalam materi muatan Amdal juga perlu
mewajibkan setiap penyusun dokumen Amdal untuk memiliki sertifikasi kompetensi dan
mewajibkan komisi penilai Amdal untuk memiliki lisensi. Sertifikasi kompetensi dan
lisensi tersebut cukup mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.17
6. UKL‐UPL-SPPL
Izin PPLH diterbitkan pada tahap operasional, Izin PPLH, antara lain:
Pasal 36 ayat (1) UUPPLH berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
18
yang wajib Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.” Pengaturan lebih lanjut tentang Izin
Lingkungan ini, diatur dalam Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2012 tentang Izin lingkungan.
7) penimbunan limbah B3;
8) pembuangan air limbah ke laut;
9) dumping ke media lingkungan;
10) pembuangan air limbah dengan cara reinjeksi; dan
11) emisi; dan/atau
12) pengintroduksian organisme hasil rekayasa genetika ke lingkungan.
a. Permohonan Izin Lingkungan diajukan secara tertulis kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota.
b. Permohonan Izin Lingkungan disampaikan bersamaan dengan pengajuan penilaian
Andal dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKL- UPL.
c. Permohonan izin lingkungan, harus dilengkapi dengan:
1) dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL;
2) dokumen pendirian Usaha dan/atau Kegiatan;
3) dan profil Usaha dan/atau Kegiatan.
a. menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Izin Lingkungan dan izin
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan terhadap persyaratan dan
kewajiban dalam Izin Lingkungan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota;
dan
c. menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
Keterkaitan Izin Lingkungan dengan Izin Usaha dan /atau kegiatan, yaitu
sebagaimana yang diatur pada Pasal 40 UUPPLH yang menyebutkan bahwa:
(1) Izin Lingkungan merupakan persyaratan Untuk memperoleh Izin Usaha dan/atau
kegiatan;
(2) dalam hal izin lingkungan di cabut, izin usaha dan/atau kegaiatan dibatalkan;
(3) dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan
Jadi hubungan izin lingkungan dengan perizinan yang lain bahwa izin lingkungan
merupakan izin utama atau jantungnya dari semua perizinan bagi suatu usaha dan/atau
kegiatan, dengan demikian ketika ingin mendirikan suatu usaha dan/atau kegiatan seperti
(tambang, kebun, hotel, industri dan lain sebagainya) harus diketahui terlebih dahulu
apakah usaha dan/atau kegiatan tersebut wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL, setelah
mengetahui kewajiban dokumen yang wajib dimiliki apakah AMDAL/UKL-UPL,
selanjutnya disusun dokumen yang dimaksud (Amdal/UKL-UPL), jika hasil kajian layak
lingkungan lingkungan, maka langkah berikutnya mengajukan permohonan penerbitan
Izin Lingkungan.
Masa berlaku Izin lingkungan berakhir bersamaan dengan berakhirnya izin usaha
dan/atau kegiatan.19
20
Siti Sundari rangkuti, Implementasi Instrumen Hukum Lingkungan dan Prinsip-Prinsip
Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Revisi UUPLH, Disampaikan Pada Seminar Nasional
Hukum Lingkungan tentang: “Pengelolaan Lingkungan Dalam Rangka Implementasi Agenda 21”, yang
Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya tanggal 16 Juli 2005, hlm. 8.
21
National authorities should Endeavour to promote the internalization of environmental cost and
the use of economic instrument, taking into account the approach that the polluter should, in principle,
bear the cost of pollution, with due regard to the public interest and without distorting international trade
and investment.
lingkungan hidup tidak memiliki suatu mekanisme untuk memaksa kelompok untuk
membayar kerugian bagi kerusakan yang ditimbulkan tersebut, kecuali pengadilan atau
mekanisme resolusi konflik lainnya. Oleh karena itu sumber daya alam (SDA) yang
biasanya “open acces” harus diberi harga/nilai yang memadai. Prinsip ini yang
dikembangkan di dalam Pasal 42-43 UUPPLH.
Makna yang terkandung di dalam Pasal 42 ayat (1) UUPPLH, bahwa dalam
rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Hal ini karena
selama ini lingkungan tidak diberi nilai/harga, maka dalam perkembanganya manusia
atau badan hukum (terutama yang berorintasi profit) banyak menggunakan SDA secara
berlebihan (over use), dan cenderung membabat habis tanpa berpikir akibat bagi generasi
yang akan datang. Tentu yang tersisa hanya derita dan bencana yang harus ditanggung
baik harta, benda dan nyawa. Untuk itu usaha memberi suatu biaya lingkungan yang ada
pada Pasal 42-43 UUPPLH, merupakan gagasan sebagai pengejawantahan dari prinsip
biaya lingkungan dan biaya sosial yang terintegrasikan ke dalam proses pengambilan
keputusan yang berkiatan dengan penggunaan SDA, sehingga pada akhirnya terjadi
internalisasi biaya harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Dengan
memanfatakn instrument yang ada di UUPPLH tersebut berupa: pengaturan (larangan
dan sanksi), charge, fees, leasing, perizinan, mekanisme property right dan lain-lain.
Instrumen lingkungan hidup ini, sarana paling cepat dalam upaya pengendalian
pencemaran, sehingga Pemerintah pada tahun 2017 telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 43 ayat (4) dan Pasal 55 ayat (4)
UUPPLH, yaitu Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup. Dalam Pasal 2 PP ini disebutkan bahwa Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup bertujuan untuk: a. menjamin akuntabilitas dan penaatan hukum
dalam penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. b. mengubah
pola pikir dan perilaku pemangku kepentingan dalam pembangunan dan kegiatan
ekonomi. c. mengupayakan pengelolaan Pendanaan Lingkungan Hidup yang sistematis,
teratur, terstruktur, dan terukur. d. membangun dan mendorong kepercayaan publik dan
internasional dalam pengelolaan Pendanaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 3 PP ini juga
disebutkan bahwa Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup meliputi: a. perencanaan
pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. Pendanaan Lingkungan Hidup; dan c. Insentif
dan/atau Disinsentif.
Pasal 28 H ayat(1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD1945 dikatakan bahwa hak untuk
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik,
merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, UUD 1945 jelas sangat pro-lingkungan
hidup, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi hijau (green constitution). Dengan
demikian, segala kebijakan dan tindakan pemerintahan dan pembangunan haruslah
tunduk kepada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Tidak boleh ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk undang-undang
ataupun peraturan dibawah undang-undang yang bertentangan dengan ketentuan
konstitusional yang pro-lingkungan. Apalagi, Indonesia sendiri merupakan satu Negara
kepulauan yang sangat rentan dan rawan bencana alam. Jika lingkungan hidup tidak
dilindungi, pada saatnya kerusakan alam yang terjadi justru akan merugikan bangsa
Indonesia sendiri. Mulai dari ranah konstitusi (UUD1945), UU No. 32 Tahun 2009
tentang UUPPLH mengatur dengan jelas betapa pentingnya filosofi nilai-nilai hijau
mutlak diperlukan dalam legal drafting undang-undang termasuk peraturan di tingkat
daerah.
Saat ini berkembangnya tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi
Negara yang pro-lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang
mengingat untuk ditaati oleh semua pemangku-kepentingan (stakeholders). Dari
perspektif yuridis baik secara implisit maupun eksplisit landasan hokum untuk membuat
green policy semakin menguat. Atas dorongan kesadaran yang semakin luas di seluruh
dunia mengenai pentingnya upaya melindungi lingkungan hidup dari ancaman
pencemaran dan perusakan, kebijakan lingkungan hidup dituangkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan secara resmi.22
Oleh karena itu, setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat
nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi LH dan prinsip
perlindungan dan pengelolaan LH sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUPPLH.
Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup yang
memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan
kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau
kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Lingkungan
22
Dalam Rangka Mewujudkan Praktik-Praktik Good Governance di Daerah, Jurnal Yustisia Vol. 2 No. 1
Januari-April 2013, hlm. 67.
11. Analisis Risiko Lingkungan Hidup.
Analisis risiko lingkungan hidup adalah prosedur yang antara lain digunakan
untuk mengkaji pelapasan dan peredaran produk rekayasa genetik dan pembersihan
(clean up) limbah bahan berbahaya dan beracun. Setiap usaha dan/kegiatan yang
berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap
ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia untuk
melakukan analisis resiko lingkungan hidup. Analisis Resiko Lingkungan Hidup terdiri
dari pengkajian risiko, pengelolaan risiko, dan komunika risiko. Pengkajian risiko
meliputi seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya, penaksiran besarnya konsekuensi
atau akibat, dan penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang diinginkan, baik
terhadap keamanan dan kesehatan manusia maupun lingkungan hidup. Pengelolaan
risiko meliputi evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan,
identifikasi pilihan pengelolaan risiko, pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan
pengimplementasian tindakan yang dipilih. Pelaksanaan analisis risiko lingkungan hidup
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal yang berkaitan dengan aspek sosial, terdapat tiga macam risiko
ekologis yang dimnuculkan dari hal tersebut, yakni:
1) Risiko fisik-ekologis (physical-ecological risk), yaitu aneka risiko kerusakan fisik
pada manusia dan lingkungannya;
2) Risiko mental (mental risk), yaitu aneka risiko kerusakan mental akibat perlakuan
buruk pada tatanan psikis;
3) Risiko sosial (social risk), yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya
bangunan dan lingkungan sosial (eco-social).
Tiga macam resiko yang ditimbulkan di atas, dapat menimbulkan suatu keadaan
yang tidak baik, dimana resiko tersebut dapat menimbulkan keadaan yang berupa
ketakutan, ancaman, paranoid. Keadaan seperti ini tidak dapat dibiarkan terus-menerus,
untuk itu diperlukan adanya upaya analisis lingkungan untuk mencegah atau mengurangi
kerusakan lingkungan yang memang wajib kita jaga keberadaan dan keberlangsungannya
untuk penerus bangsa selanjutnya. Adapun tahapannya yaitu:
25
Chafid Fandeli, et.al, Audit Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2000, hlm.
5-6.
26
Ari Welianto, "Teknologi Ramah Lingkungan: Contoh dan Fungsinya",
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/27/120000169/teknologi-ramah-lingkungan--contoh-dan-
fungsinya?page=all. Diakses 22 September 2020.
alternatif dengan memakai SDA dan dapat diperbaharui. Biofuel berasal dari bahan-
bahan organik, seperti tumbuh-tumbuhan. Ada dua jenis biofuel, dalam bentuk etanol
dan biodiesel. Etanol merupakan salah satu jenis alkohol yang bisa dibuat dengan
fermentasi karbohidrat. Sementara biodiesel merupakan bahan bakar alami yang
biasanya diperoleh dari lemak nabati. Sel surya merupakan teknologi ramah lingkungan
yaitu mengubah energi matahari menjadi menjadi listrik. Saat matahari melalui panel
surya, maka cahaya akan menghasilkan emisi elektron pada komponen panel.
Selanjutnya elektro tersebut dihubungkan dengan sistem tertentu sehingga menghasilan
listrik. Listrik tersebut dialirkan dan disimpan pada baterai, jadi bisa dipakai saat
mendung atau malam hari. Panel surya memiliki keunggulan, tidak bisa menghasilkan
emsisi gas rumah kaca, menghasilkan energi cukup besar, selain itu dapat dipasang,
dipindahkan atau dikembangkan. Pembangkit listrik tenaga air untuk menghasilkan
listrik, tenaga air akan menggunakan energi gerak. Siklus air dari tenaga surya diawali
adanya penguapan air yang membentuk awan dan hujan. Air hujan tersebut selanjutnya
mengalir ke daerah yang lebih rendah. Pembangkit listrik tenaga angin Pembangkit
listrik tenaga angin merupakan cara paling murah dalam menghasilkan listrik. Teknologi
tersebut sangatlah bebas polusi. Pembangkit tersebut dapat dibangun dalam waktu 9-12
bulan dan dapat dikembangkan lebih besar lagi. Di Indonesia sudah menerapkan
pembangkit tersebut, seperti di Nusa Penida, yaitu pulau kecil di selatan Pulai Bali dan
Nusa Tenggara Timur (NTT).
Teknologi lainnya, misalnya Biopori dan Fitoremediasi. Biopori adalah lubang
silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah untuk resapan air. Di mana bertujuan
untuk mengatasi genangan air dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah.
Fitoremediasi adalah proses bioremediasi mengggunakan berbagai tananam untuk
menghilangkan, memindahkan, dan menghancurkan kontaminasi dalam tanah dan air
bawah tanah.
Teknologi di bidang transportasi, misalnya kendaraan hydrogen, mobil listrik.
Kendaraan hidrogen adalah kendaraan yang memergunakan gas hidrogen sebagai bahan
bakarnya. Tidak hanya sebatas pada mobil, tapi dapat dipakai pada pesawat. Pada
dasarnya kendaraan ramah lingkungan tidak menggunakan bahan bakar konvensional
seperti bahan bakar minyak (BBM) yang itu menimbulkan polusi. Mobil listrik
merupakan kendaraan yang menggunakan satu atau lebih motor listrik sebagai tenaga
penggeraknya.
Fungsi teknologi ramah lingkungan yaitu menjaga kelestarian alam dari
kerusakan, menjaga lingkungan yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan,
meminimalkan limbah sehingga mencegah pencemaran lingkungan, memanfaatkan
barang-barang yang tidak berguna menjadi produk yang berguna bagi manusia,
memudahkan dan pemenuhan kebutuhan manusia.