Anda di halaman 1dari 28

Bab. 6.

Pengendalian pencemaran dan perusakan LH:


1. Pengendalian: Pencemaran air; Pencemaran udara; Pencemaran dan perusakan ekosistem
pesisir dan laut ;
2. Pengaturan hukum terkait dengan Pencemaran air; Pencemaran udara; Pencemaran dan
perusakan ekosistem pesisir dan laut;
3. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh sektor usaha;
4. Sanksi atas pelanggaran;
Bab. 7. Pengendalian dan Pengelolaan B3 dan limbah B3:
1. Pengaturan hukum terkait dengan pengelolaan B3 dan limbah B3;
2. Instansi yang berwenang dalam Pengendalian dan Pengelolaan B3 dan limbah B3
3. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh sektor usaha;
4. Sanksi atas pelanggaran;
Bab. 8. Penegakan Hukum Perdata Lingkungan:
1. Proses penyelesaian sengketa lingkungan hidup:
2. Pertanggung jawaban perdata berdasarkan kesalahan (liability based on fault)
3. Pertanggung jawaban tidak berdasarkan kesalahan (strict liability)
4. Ganti rugi;
5. Kasus-kasus gugatan lingkungan perdata di Indonesia;
6. Gugatan kelompok (class Action);
7. Gugatan perwakilan;
8. Pengertian, fungsi dan ruang lingkup dari hak gugat LSM.;
9. Perkembangan dan pengaturan legal standing LSM lingkungan;
BAB. 6.
PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

1. Pengaturan hukum terkait dengan Pencemaran air; Pencemaran udara;


Pencemaran dan perusakan ekosistem pesisir dan laut;

a. Pengertian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup

Beberapa pengertian pencemaran lingkungan hidup menurut beberapa ahli


disajikan berikut:
Eugene P. Odum, (1971), Pollution is an undesirable change in the physical,
chemical, or biological characteristics of our air, land and water that may or will
harmfully affect human life or that of desirable species, our industrial processes
living conditions, and cultural assets; or that may or will waste or deteriorate our
raw material resources.1 (pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika,
kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan
menimbulkan kerugian pada sumber kehidupan, kondisi kehidupan dan proses
industry).2
Menurut Harun M. Husen, yang dikutip oleh Mulida Hayati,3 pencemaran
lingkungan adalah apabila kehadiran unsur asing makhluk hidup, zat, energi atau
komponen lainnya masuk ke dalam lingkungan menyebabkan perubahan
ekosistem lingkungan yang mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan,
sehingga lingkungan tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya secara
ekologis.
Pengertian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup terdapat dalam
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH):
Pasal 1 angka (14):”Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan”.
Pasal 1 ayat (16): “Perusakan Lingkungan hidup adalah tindakan orang
yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik,
kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup”.

Pencemaran terhadap lingkunga dapat dibagi dalam beberapa kelompok yaitu


pencemaran air, pencemaran udara, Pencemaran dan perusakan ekosistem pesisir
dan laut, yang pengaturannya dapat diuraikan sebagai berikut:

1
Subardan Rochmad,, Ruang Lingkup Pencemaran, BIOL4420/MODUL 1 diunduh dari ,
http://repository.ut.ac.id/4450/1/BIOL4420-M1.pdf, hlm. 1.4
2
Ainuddin, Widyawati, Studi Pencemaran Logam Berat Merkuri (Hg) Di Perairan Sungai Tabobo
Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara, Jurnal Ecosystem Volume 17 Nomor 1, Januari – April 2017,
hlm. 654.
3
Mulida Hayati, Perlindungan hukum bagi masyarakat Terhadap pencemaran lingkungan akibat
Budidaya burung wallet, Supremasi Hukum :Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN: 1693-766X ; e-ISSN: 2579-
4663, Vol. 27, No. 1, Januari 2018, 38-54.
b. Pengaturan Hukum

1. Pencemaran air;
(1) Pengertian/Konsep
Menurut Encyclopaedia Britannica, polusi air adalah pelepasan zat ke
dalam air tanah di bawah permukaan atau ke danau, aliran, sungai, muara dan
lautan ke titik di mana zat mengganggu penggunaan air yang bermanfaat atau
fungsi alami ekosistem. Dikutip dari Natural Resources Defense Council,
polusi air adalah ketika zat-zat berbahaya (bahan kimia atau
mikroorganisme) mencemari aliran, sungai, danau, lautan atau badan air
lainnya sehingga menurunkan kualitas air dan menjadi beracun bagi manusia
dan lingkungan.4
Pengaturan hukum terkait dengan pencemaran air diatur dengan
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990 Tentang Namun PP tersebut
kemudian diganti dengan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (LN Tahun 2001 No. 153).
Beberapa konsep yang diatur pada PP No. 82 Tahun 2001 yang berhubungan
dengan pengendalian pencemaran air, antara lain: air, pengelolaan kualitas
air, pengendalian pencemaran air, kriteria mutu air, baku mutu air, beban
pencemaran, daya tampung beban pencemaran.
Konsep tentang air terdapat pada Pasal 1 angka (1) bahwa Air adalah
semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air
laut dan air fosil. Selanjutnya Pasal 1 angka (2) menyebutkan Sumber air
adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ,
waduk, dan muara. Dari kedua pengertian tersebut, air yang dimaksudkan
tidak termasuk air laut.

Pasal 1 angka (11) menyebutkan bahwa :”Pencemaran air adalah


masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi
sesuai dengan peruntukannya. Sementara itu Pengendalian Pencemaran air
diatur dalam Pasal 1 angka (4) yang menyebutkan bahwa Pengendalian
pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran
air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai
dengan baku mutu air;
Pasal 1 angka (12) menyebutkan Beban pencemaran adalah jumlah
suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah; dan Pasal 1
angaka (13) ketentuan tentang Daya tampung beban pencemaran adalah
kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukan beban
pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar;

(2) Kewenangan Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian


pencemaran air

4
Arum Sutrisni Putri, Pencemaran Air: Pengertian, Penyebab, Dampak, Pencegahan",
ttps://www.kompas.com/skola/read/2020/01/15/170000969/pencemaran-air--pengertian-penyebab-dampak-
pencegahan?page=
Sesuai PP No. 82 Tahun 2001, kewenangan pengelolaan kualatis air
air diberikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki
kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air, karena Bupati/Walikota merupakan pejabat yang berwenang
dalam penerbitan ijin pembuangan air limbah dan pengawasan Pemberian
kewenangan ini disesuaikan dengan pola desentralisasi yang dititik beratkan
pada kabupaten/kota berdasarkan undang-undang yang berlaku.
:
(3) Pengawasan dan Pemantauan
Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan dalam hal
pengendalian pencemaran air yaitu tugas pengawasan atas penaatan
persyaratan dalam ijin pembuangan air limbah. Dalam hal ini
Bupati/Walikota dapat membentukpetugas pengawas daerah (Pasal 20 PP
82/2001). Tetapi berdasarkan Pasal 45 PP No. 82/2001, ‘dalam hal tertentu’
pejabat pengawas lingkungan pusat dapat melakukan pengawasan.
Penjelasan Pasal 45 menjelasakan bahwa yang dimaksud ‘dalam hal tertentu’
adalah bahwa daerah belum mampu melakukan pengawasan, belum ada
pejabat pengawas, belum tersdeianya sarana prasarana pengawasan atau
daerah tidak menjalankan tugas pengawasan .

(4) Kewajiban Penanggung jawab usaha


PP No. 82 Tahun 2001 juga mengatur ketentuan yang mengikat
badan-badan usaha atau penanggungjawab usaha. Kewajiban-kewajiban
yang harus dilakukan dalam Pasal 32,33, 34 ayat (1),(2) & (3) adalah:
a. Memberikan informasi yang benar dan akurat tentang pelaksanaan
pengelolaan kul,aitas air dan pengendalian pencemaran air;
b. Menyampaikanlaporan tentang penaatan persyaratan ijin aplikasi air
limbah ke tanah;
c. Menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan ijin pembuangan
air limbah ke sumber air dan menyampaikan laporan-laporan sekurang-
kurangnya sekali dalam tiga bulan.

(5) Sanksi - sanksi


Pasal 48 PP No. 82 Tahun 2001 menyatakan bahwa pelanggaran
terhadap Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, Pasal 32, Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40 dan Pasal 42 dikenai sanksi
administrasi.

2. Pencemaran udara;

a. Pengertian Pencemaran Udara

Pencemaran udara adalah suatu kondisi dimana kehadiran satu atau lebih
substansi kimia, fisik atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang
membahayakan. Berbahaya kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,
mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Polusi udara
merupakan salah satu jenis dari pencemaran lingkungan hidup selain
pencemaran tanah, pencemaran air, pencemaran suara.
Beberapa pengertian tentang pencemaran udara dapat diuraikan sebagai
berikut:
Dalam Ensiklopedia Internasional, definisi peencemaran
udara :”Extraneous gases and small suspended particles in the earth’s
atmosphere”. Sudirman dalam tulisannya ‘Kriteria Pencemaran udara dan air
pada Journal of public Health: memberikan batasan bahwa Pencemaran
udara diartikan sebagai adanya bahan atau zat-zat asing diudara dalam
jumlah yang dapat menyebabkan perubahan komposisi atmosfer normal”.
Hasil laporan Tim Pengkajian Hukum Lingkungan Tentang Pencemaran
udara, BPHN mencantumkan pengertian sebagai berikut: Pencemaran udara
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy atau
komponen lain kedalam udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh
kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun
sampai ke tingkat tertentu yang dapat menyebabkan gangguan dan atau
kerugian terhadap makhluk hidup atau benda-benda disekitarnya.
Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, Pencemaran Udara adalah masuknya atau
dimasukannya zat, energy, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien
oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat
tertentu yang emnyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
Lebih lanjut Pasal 1 angka (2) PP No. 41 Tahun 1999 memberikan
pengertian Pengendalian Pencemaran Udara adalah upaya pencegahan
dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan kualitas udara”.
Mengacu pada rumusan tersebut pengendalian memiliki unsur-unsur:
pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kualitas udara. Secara
substansial makna penanggulangan dimaksudkan untuk menangani (udara),
niscaya pemulihan kualitas udara menjadi sasaran primer upaya pengendalian
pencemaran udara. Langkah pemulihan udara pada hakekatnya telah
terakomodasi dalam istilah penanggulangan pencemaran udara. Dengan
demikian, pengendalian pencemaran udara merupakan serangkaian aktivitas
yang berupaya untuk mencegah dn menanggulangi terjadinya pencemaran
udara yang berorientasi pada pemulihan mutu udara.5
Sumber pencemaran udara yang diatur pada PP No. 41 Tahun 1999,
dirumuskan dalam Pasal 1 butir 12 – 15, yaitu sumber bergerak, sumber
bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, sumber tidak bergerak spesifik.
 Pasal 1 angka (12) Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak
atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor;
 Pasal 1 angka (13) Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang
bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kereta api,
pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
 Pasal 1 angka (14). Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang
fetap pada suatu tempat; Pasal 1 angka (15). Sumber tidak bergerak
spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal
dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah;
b. Pengaturan Pengendalian Pencemaran Udara
Dalam upaya mengendalikan pencemaran udara diperlukan pengaturan
hukum sebagai komponen pengendalian yang merupakan instrument untuk
mencegah dan menanggulangi pencemaran udara. Dari aspek yuridis
5
Suparto Wijoyo, Refeleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu
(Studi Kausu Pencemaran Udara), Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hlm.28
pengelolaan lingkungan (environmental management) memerlukan
pengaturan pengendalian udara yang komprehensif. Perlindungan lingkungan
terhadap (dampak) pencemaran udara merupakan salah satu bidang kajian
hokum lingkungan. Sebagaimana dikemukakan F.P.C.L. Tonner yang dikutip
oleh Suparto Wijoyo, bahwa kita mengenal peraturan perundang-undangan
tentang perlindungan alam….dan peraturan perundang-undanngan tentang
perlindungan lingkungan ….peraturan perundang-udangan yang kedua dapat
dipilah berdsarkan berdasarkan obyeknya, yakni yang mempunyai kaitan
dengan perlindungan terhadap air permukaan, kualitas udara, tanah,air bawah
tanah, pengelolaan, limbah dan perlindungan dari gangguan bising, bahan-
bahan berbahaya dan sinar radiasi.6
Pengaturan pengendalian pencemaran udara untuk mencapai udara yang
sehat dan berkelanjutan di Indonesia, menurut Mieke Komar Kantaatmadja,
bahwa public law yang dibutuhkan tidak berupa satu Peraturan
Pemerintah….tetapi lebih luas mencakup semua peraturan yang ada kaitan
dengan aspek pncemaran udara, ditingkat nasional, antar sector,, Peraturan
Daerah Tingkat I, II dst……Undang-Undangdan PP lain…perlu dibentuk
peraturan lain, baik Undang-Undang, Keputusa Menteri, Perda tk. I dst’.
Pengaturan hukum pengendalian pencemaran udara mencakup keseluruhan
kerangka aturan hukum (legal framework) di bidang hokum
lingkungansebagai hokum fungsional yang berkaitan dengan pengendalian
pencemaran udara.
Beberapa perangkat hukum yang berkaitan dengan pengaturan
pengendalian pencemaran udara antara lain:
a. PP No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara (LN
Tahun 1999 No. 86);
b. PP No. 4 Tahun 2001 tentang PengendalianKerusakan dan/atau Pencemaran
Lingkunan Hidup berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (LN.
Tahun 2001 No.10);
Selain itu beberapa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, yaitu:
Keputusan No. 35/MenLH.10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor; Keputusan No. 12/MenLH/3/1996 tentang Baku
MutuEmisi Sumber Tidak Bergerak; Keputusan No. 48/MenLH/11/1996
tentang Baku Tingkat kebisingan; Keputusan No. 49/MenLH/11/1996 tentang
Baku Tingkat Getaran; Kep No. 50 /MenLH/11/ 1996 tentang baku Tingkat
Kebauan; Kep No. 45?MenLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar
Udara; dan Keputusan Kepala Bapedal No. 107/Ka BAPEDAL/11/1997
tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta InformasiIndeks
Standar Pencemar Udara.
c. Pencegahan, Penanggulangan dan Pemulihan Berdasarkan PP No. 41
Tahun 1999
Pengendalian pencemaran udara dilakukan melalui tiga upaya yaitu:
pencegahan, penanggulan dan pemulihan mutu udara. Upaya pencegahan
pencemaran udara dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Penetapan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA);
b. Baku Mutu Emisi Sumber Tak Bergerak (BMESTB);
c. Baku Tingkat Gangguan (BTG);
d. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor (ABEGBKB).

6
Ibid
Pemerintah menetapkan BMUA nasional (terlampir dalam lampiran PP
No. 41 Tahun 1999). Gubernur berwenang menetapkan BMUA daerahnya
dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari BMUA nasional. Jika Gubernur
belum menetapkan BMUA daerahnya, maka berlaku BMUA nasional. BMUA
nasional maupun daerah ditinjau lima tahun sekali. (Pasal 4 & 5 PP No. 41
Tahun 1999).
Upaya penanggulangan dan pemulihan dilakukan melalui langkah-
langkah berikut:
a. Mewajibkan kegiatan sumber pencemar melakukan penanggulangan dan
pemulihan;
b. Menetapkan pedman tenis penanggulan dan pemulihan;
c. Melakukan pengawasan penaatan oleh sumber pencemar;
d. mewajibkan pelaku pencemaran udara membayar biaya penanggulangan
dan mewajibkan pencemar membayar ganti rugi kepada penderita.
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak dilakukan
melalui pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi, pemantauan emisi
yang keluar dari kegiatan dan pemeriksaan penaatan terhadap persyaratan
teknis pengendalian pencemaran udara (Pasal 28).
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak dilakukan
melalui upaya-upaya sebagaimana dalam Pasal 31, Pasal33 dan Pasal 36,
yaitu:
(1) pengawasan terhadap penaatan ambang batas emisi gas buang,
pemeriksaan emisi gas buang, pemantauan mutu udara disekitar jalan,
pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan
bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar belerang
rendah sesuai standar internasional;
(2) kewajiban memenuhi ambang batas emisi gas buang bagi kendaraan
bermotor lama dan baru;
(3) uji tipe emisi bagi kendaraan baru dan uji emisi bagi kendaraan bermotor
lama.
Penanggulangan pencemaran udara yang berasal dari sumber gangguan
melalui upaya-upaya seperti yang tercantum pada Pasal 37, Pasal 40, Pasal 41
dan Pasal 43 PP 41 Tahun 1999, sebagai berikut:
i. pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan
gangguan;
ii. penaatan terhadap baku tingkat gangguan;
iii. pemenuhan ambang batas kebisingan;
iv. uji tipe kebisingan bagi kendaraan baru dan ujikebisinganbagi kendaraan
lama.
d. Pengendalian Pencemaran Udara berdasarkan No.4 Tahun 2001
PP No. 4 Tahun 2001 tentang PengendalianKerusakan dan/atau
Pencemaran Lingkunan Hidup berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau
Lahan merupakan perangkat hukum yang khusus diterbitkan untuk
pengendalian pencemaran udara yang bersumber dari kebakaran hutan. Hal ini
dilator belakangi karena kegiatan pengalihan fungsi lahan dan kawasan hutan
menjadi kawasan perkebunan dan pertanian melalui pembakaran. Kegiatan
tersebut telah menimbulkan pencemaran udara atau kabut asap di beberapa
wilayah di Indonesia dan mencapai beberapa Negara tetangga diAsia Tenggara
(Malaysia, Singapura).
PP No.4 Tahun 2001 memuat: ketentuan larangan, kewajiban, atau
perintah dan tentang hak. Dalam ketentuan PP No. 4 tersebut dibedakan
terhadap siapa norma hukum tersebut diarahkan, yaitu orang, pengusaha dan
instansi Pemerintah.
Ketentuan uang bersifat larangan seperti diuraikan sebagai berikut:
a) Pasal 11: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan
dan atau lahan”. Ketentuan larangan tersebut bersifat mutlak karena tidak
ada pengecualian.
b) Pasal 12 Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan
atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan;
c) Pasal 17 Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan
atau lahan di lokasi kegiatannya;
d) Pasal 20 Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan
dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup
e) Pasal 39 ayat (1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan, wajib melaporkan kepada pejabat daerah
setempat.
Ketentuan uang bersifat perintah atau kewajiban kepada pengusaha
adalah sebagai berikut:
a) Pasal 13 Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan
di lokasi usahanya.
b) Pasal 14 ayat (1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk
mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
c) Pasal 15 Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan
dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data
penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dengan
tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.
d) Pasal 18 ayat (1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di
lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran
hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
e) Pasal 21 ayat (1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
f) Pasal 41, wajib menyampaikan laporannya kepada
Gubenur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.

Pasal 45 ayat (1), Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan informasi dalam rangka ikut serta melakukan upaya
pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang meliputi : a. peta
daerah rawan kebakaran hutan dan atau lahan; b. peta peringkat bahaya
kebakaran hutan dan atau lahan; c. dokumen perizinan pengusahaan hutan dan
atau lahan; d. dokumen AMDAL; e. rencana penyiapan/pembukaan hutan dan
atau lahan; f. hasil penginderaan jauh dari satelit; g. laporan berkala dari
penanggung jawab usaha mengenai status penaatan terhadap persyaratan
perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); h. hasil pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dan ayat (2).
Ketentuan Pasal 45 ayat (1) tentang pengakuan hak tersebut adalah
bagian dari peranserta dalam pengendalian pencemaran kerusakan dan
pencemaran lingkungan yang bersumber dari pembakaran lahan dan hutan

e. Instansi Pemerintah yang berwenang dalam Pengendalian Pencemaran


Udara.
Berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999, instansi yang berwenang dalam
pengendalian pencemaran udara adalah Kantor MenLH, Menteri Perhubungan,
Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, BAPEDAL, Gubernur,
Bupati/Walikota.
Berdasarkan PP NO. 4 Tahun 2001, pejabat pemerintah yang
berwenang dalam pengendalian pencemaran udara adalah: MenLH, Menteri
Kehutanan, Gubernur, Bupati/Walikota.

3. Pencemaran dan perusakan ekosistem pesisir dan laut;

a. Pengertian Pencemaran dan Perusakan Pesisir dan Laut

Pesisir dan laut merupakan kawasan yang potensial mengandung


kekayaan alam. Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara
daratan dan laut. Menurut Bengen (2004b) sebagaimana dikutip oleh
Mukhtaor, mendefinisikan wilayah pesisir di daratan sebagai wilayah dimana
daratan berbatasan dengan laut, yang masih dipengaruhi oleh proses-proses
laut seperti pasang surut, angina laut, dan intrusi garam. Sedang batasan
wilayah pesisir dilaut adalah daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses
alami di daratan, seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta
daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan.7
Undang-Undang No. 1 Tahun 2014, Pasal 1 angka (2) menyebutkan
bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sedangkan Pasal 1
angka (7) disebutkan Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan
daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk,
perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan
dengan daratan dan bentukbentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan
geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan
sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2015).
Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH,1991)
mendefinisikan bahwa pencemaran laut adalah masuknya zat atau energy,
secara langsung atau tidak langsung oleh kegiatan manusia kedalam
lingkungan laut termasuk daerah pesisir pantai, sehingga dapat menimbulkan
akibat yang merugikan baik terhadap sumber daya alam hayati, kesehatan
7
Mukhtasor, Pencemaran Pesisir dan Laut, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hlm. 15
manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut, termasuk perikanan dan
penggunaan lain-lain yang dapat menyebabkan penurunan tingkat kualitas air
laut serta menurunkan kualitas tempat tinggal dan rekreasi. Definis tersebut
sejalan dengan definisi yang dibuat dalam Program Lingkungan PBB atau
United Nation’s Environmental Programs, sebagaimana dikutip oleh Bishop
bahwa pencemaran laut adalah dimasukannya substansi atau energy ke dalam
lingkungan laut oleh manusia secara langsung atau tidak langsung yang
mengakibatkan terjadinya pengaruh yang merugikan seperti merusak sumber
daya hidup, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan
kelautan diantaranya perikanan, rusaknya kualitas air, dan pengurangan pada
keindahan dan kenyamanan.8
Pencemaran laut dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan laut adalah
masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat energi dan/atau komponen
lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak
sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
Sumber pencemaran perairan pesisir biasa terdiri dari limbah industri,
limbah cair pemukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater),
pelayaran (shipping), pertanian, dan perikanan budidaya. Bahan pencemar
utama yang terkandung dalam buangan limbah tersebut berupa sedimen,
unsur hara (nutriens), logam beracun (toxic metals), pestisida, organisme
eksotik, organisme pathogen, sampah, dan oxygen depleting substances
(bahan-bahan yang menyebabkan oksigen yang terlarut dalam air laut
berkurang).9

b. Pengaturan Pencemaran dan perusakan ekosistem pesisir dan laut ;


Pencemaran pesisir dan laut diatur berdasarkan PP No. 19 tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan laut. Pendekatan yang
harus dilakukan dalam pengendalian pencemaran dan perusakan laut, adalah:
1) Perlindungan mutu laut;
2) Pencegahan pencemaran laut;
3) Pencegahan perusakan laut;
4) Penanggulangan pencemaran dan perusakan laut.

c. Instansi Pemerintah yang berwenang


Berdasarkan PP No. 19 Tahun 1999, instansi yang berwenang dalam
dalam pengendalian pencemaran dan perusakan laut adalah:
1. MenLH, yang berwenang menetapkan Baku Mutuu Air Laut, Kriteria
Baku Kerusakan Laut; Pengawasan da penaatan, menetapkan pejabat
yang melakukan pengawasan, mengatur tata cara penghitungan biaya,
penangihan dan pembayaran gantirugi; Melaksanakan kewenangan
BAPEDAL sebelum peleburan yaitu: menetapkan pedoman teknis
penilaian dan penetapan status mutu laut; pedomana teknis pencegahan
pencemaran laut, pedomana teknis perusakan laut, pedoman tentang
penanggulangan pencemaran dan perusakan mutu laut, pedoman
pemulihan mutu laut, pedoman dan tata cara pelaporan hasil pemantauan
pengendalian pencemaran dan perusakan laut.
8
IbId
9
Lex Administratum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
2. Gubernur, hanya menetapkan status mutu laut didaerahnya.

d. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh sektor usaha; Sanksi atas


pelanggaran

BAB. 7.
PENGENDALIAN DAN PENGELOLAAN B3 DAN LIMBAH B3

1. Pengaturan Hukum terkait dengan Pengelolaan B3 dan Limbah B3;


a. Pengertian B3 dan Limbah B3
Bahan Beracun Berbahaya (B3) adalah zat, energi, dan/atau komponen lain
yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup. Definisi tersebut terdapat pada Pasal 1 angka (21) Undang-Undang
nNo. 32 Tahun 2009 tentang UUPPLH dan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun
2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Limbah B3 adalah “setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan


/atau beracun yang karena sifat dan /atau konsentrasinya dan /atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan /atau mencemarkan
lingkungan hidup dan /atau membahayakan.” 10 Takdir Rahmadi dalam bukunya
‘Hukum Lingkungan di Indonesia, menyebutkan, Limbah B3 adalah sisa suatu usaha
yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat atau
konsentrasinya, baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat mencemarkan
dan/atau merusak, atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.11
Limbah B3 dapat digolongkan berdasarkan dua kategori, yaitu : (1).
Berdasarkan sumber; (2). Berdasarkan karakteristik Golongan limbah B3 yang
10
Setiyono, Dasar Hukum Pengelolaan Limbah B3, Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.2, No. 1, Januari
2001 : 72-77
11
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm.152
berdasarkan sumber adalah : (a). Limbah B3 dari sumber spesifik; (b). Limbah B3
dari sumber tidak spesifik; (c) Limbah B3 bahan kimia kadaluarsa.
Berdasarkan Pasal 1 angka (22) Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang
selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung B3. Lebih lanjut Pasal 1 angka (23) Pengelolaan limbah B3 adalah
kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.

b. Pengaturan Hukum
Pengeaturan pengelolaan B3 terdapat dalam beberapa peraturan, yaitu:
1) Gevarlijke Stoffen Ordonantie Stb. 1949 No. 337;
2) PP No. 7 Tahun 1993 tenmtang Pengawasan atas Peredaran, penyimpanan dan
Penggunaan,Pestisida;
3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Berbahaya dan Beracun
5) Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Berbahaya dan Beracun
6) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-68/BAPEDAL/05/1994 tentang
Tata Cara Memperoleh Izin Penyimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat
Pengolahan, Pengolahan, dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun
7) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-01/BAPEDAL/09/1995 tentang
Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun
8) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-02/BAPEDAL/09/1995 tentang
Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
9) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-03/BAPEDAL/09/1995 tentang
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
10) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-04/BAPEDAL/09/1995 tentang
Tata Cara Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi
Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun
11) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-05/BAPEDAL/09/1995 tentang
Simbol dan Label Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
12) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-02/BAPEDAL/01/1998 tentang
Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
di Daerah.
13) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-03/BAPEDAL/01/1998 tentang
Program Kemitraan Dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun.
14) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-04/BAPEDAL/01/1998 tentang
Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Kemitraan Dalam
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. 74 J

c. Prinsip-prinsip Pengelolaan Limbah B3.


1. “POLLUTION PREVENTION PRINCIPLE” (Upaya meminimasi timbulan
limbah).
2. “POLLUTER PAYS PRINCIPLE” (Pencemaran harus membayar semua biaya
yang diakibatkannya).
3. “CRADLE TO GRAVE PRINCIPLE” Pengawasan mulai dari dihasilkan sampai
dibuang/ditimbunnya limbah B3
4. Pengolahan dan penimbunan limbah B3 diusahakan dilakukan sedekat mungkin
dengan sumbernya
5. “NON DESCRIMINATORY PRINCIPLE” (Semua limbah B3 harus
diberlakukan sama di dalam pengolahan dan penanganannya. 6.
“SUSTAINABLE DEVELOPMENT” (Pembangunan berkelanjutan).

2. Instansi yang berwenang dalam pengendalian dan pengelolaan b3 dan limbah b3

Pengelolaan B3 dan limbah B3 merupakan kewenangan beberapa instansi


pemerintah, antara lain:
a) Kementerian Kesehatan, mencakup B3 pada umunya berdasarkan Gevarlijke
Stoffen Ordonantie Stb. 1949 No. 337
b) Kementerian Pertanian, mencakup B3 yang termasuk ke dalam kategori
pestisida;
c) Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, berwenang mengatur pengelolaan
B3 dan limbah B3 disektor perindustrian
d) Kementerian Perhubungan, berwenang mengatur pengangkutan B3 dan limbah
B3
e) Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), mengatur pengelolaan radioaktif yang
termasuk kategori B3
f) BAPEDAL, dengan dileburnya kedalam Kementerian Lingkungan Hidup,
memiliki kerwenangan berkaitan dengan ijin pengoperasian limbah B3 termasuk
ijin yang harus diintegrasikan berdasarkan Pasal 123 UUPLH . .

3. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh sektor usaha;

Ketentuan-ketentuan Dalam P.P Limbah B3 berkaitan dengan kewajiban sector usaha


dapat diuraikan sebaga berikut:

a) Kewajiban Bagi Penghasil Limbah B3 1. Wajib mengolah limbah B3 2. Wajib


menyimpan limbah B3 sebelum dikirim ke Pengolah dengan waktu penyimpanan
paling lama 90 hari. 3. Menyediakan tempat penyimpanan limbah B3 sesuai pedoman
yang ditetapkan BAPEDAL. 4. Melakukan analisa limbah B3-nya dan mempunyai
catatan jenis dan jumlah limbah B3 yang dihasilkan. 5. Melakukan pelaporan
mengenai pengelolaan limbah B3 sekurangkurangnya setiap 6 bulan sekali kepada
BAPEDAL. 6. Memberikan label pada kemasan limbah B3-nya. 7. Mengisi dokumen
limbah B3 sebelum diangkut ke Pengumpul/Pengolah. 8. Membantu
pengawas/BAPEDAL dalam melaksanakan pengawasan. 9. Harus mempunyai sistem
tanggap darurat dan melaksanakannya bila terjadi keadaan darurat.

b) Ketentuan Lain : 1. Dapat menjadi pengumpul apabila memenuhi persyaratan sebagai


pengumpul. 2. Dapat menjadi pengolah apabila memenuhi persyaratan sebagai
pengolah. 3. Dapat mengekspor limbah B3 dengan rekomendasi BAPEDAL.
c) Kewajiban Bagi Pengumpul Limbah B3 1. Memiliki lokasi pengumpulan limbah B3
dan memenuhi ketentuan dari BAPEDAL. 2. Beroperasi setelah mendapat ijin dari
BAPEDAL. 3. Membantu pengawas dalam pelaksanaan pengawasan. 4. Mempunyai
Sistem Tanggap Darurat.
d) Kewajiban Bagi Pengolah Limbah B3 1. Melakukan AMDAL. 2. Mempunyai fasilitas
pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 yang memenuhi ketentuan dari
BAPEDAL. 3. Mendapat Ijin dari BAPEDAL. 4. Tatacara penimbunan limbah B3
dan pemantauan dampak lingkungan harus memenuhi ketentuan BAPEDAL. 5.
Membantu pengawas dalam pelaksanaan pengawasan. 6. Mempunyai Sistem Tanggap
Darurat.
e) Kewajiban Bagi Pengangkut Limbah B3. 1. Pengankut harus memiliki izin usaha
pengangkutan limbah B3 dari Instansi yang berwenang. (Instansi yang berwenang
memberikan izin di atas setelah mendapat rekomendasi dari BAPEDAL). 2.
Kendaraan/alat angkut yang digunakan untuk mengankut limbah B3 harus memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Instansi yang berwenang. 3. Wajib memiliki dokumen
muatan dan dokumen limbah B3. 4. Dokumen di atas harus diserahkan kepada
pengumpul dan pengolah. 5. Membantu Pengawas dalam pelaksanaan pengawasan. 6.
Mempunyai Sistem Tanggap Darurat.

Ketentuan Peralihan:
a) Apabila saat ini Penghasil limbah B3 yang telah melakukan penimbunan limbah
B3 dan tidak memenuhi persyaratan seperti dalam peraturan ini maka wajib
melakukan pembersihan dan pemulihan lingkungan.
b) Bila penghasil tidak melakukan pembersihan/pemulihan lingkungan,
sebagaimana dimaksud no. 1 di atas, maka Bapedal dapat melaksanakan atau
meminta pihak ketiga untuk melakukan hal tersebut dengan biaya dibebankan
kepada Penghasil/Pencemar.
c) Orang atau Badan Usaha yang telah melakukan pengumpulan atau pengolahan
limbah B3 wajib meminta Izin ke Bapedal paling lambat 30 April 1995.

f) Hal-hal Yang Dilarang:


a) Pembuangan limbah B3 langsung ke lingkungan.
b) Impor limbah B3.
c) Ekspor limbah B3 kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Pemerintah negara
penerima dan Pemerintah Indonesia (Bapedal).
d) Pengenceran limbah B3.

4. Sanksi atas pelanggaran;

Dalam hal terjadi pelanggaran berkaitan dengan pengelolaan B3 dan limbah B3,
maka sanksi dapat diberikan kepada pihak yang melanggar melalui sanksi administrasi,
perdata dan pidana.
BAB. 8.

PENEGAKAN HUKUM PERDATA LINGKUNGAN:

1. Proses penyelesaian sengketa lingkungan hidup

Pengertian penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo, merupakan rangkaian


proses untuk menjabarkan nilai,ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan
hukum”.12 Sedangkan Soerjono Soekanto, memberikan definisi “Penegakan hukum
adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilainilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah
yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.”13.Sementara itu menurut Jimly Asshiddiqie, “Penegakan hukum adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula
ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya
juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu
mencakup pula nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti
sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan
tertulis saja.14

12
Satjipto Rahadjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. vii
13
Soerjono Soekanto, Faktor- Faktor Yang Memperngaruhi Penegakan Hukum, Penerbit UI Press,
Jakarta, hlm. 35
Menurut Drupsteen, hukum lingkungan adalah cabang hukum yang disebut
sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitudidalamnya terdapat
unsur-unsur hukum administrasi, hokum pidana dan hokum perdata. Oleh karena itu
penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan
instrument-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hokum
pidana dan hukum perdata dengan tujuan memaksa subyek hukum yang menjadi sasaran
mematuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Penggunaan instrumen
hokum perdata, yaitu gugatan perdata, dpat dilakukan oleh warga, badan hukum perdata
dan juga instansi pemerintah.15
Menurut Siti Sundari Rangkuti,16 penegakan hukum lingkungan berkaitan erat
dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang
berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum yaitu administrasi, pidana dan perdata.
Sebagaimana dikemukakan Biezeveld, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya
untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hokum
yang berlaku secara umum dan individual, melaluipengawasan dan penerapan (atau
ancaman) sarana administrasi, kepidanaan, dan keperdataan. Selanjutnya penegakan
hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan
efektivitasnya.
Mas Achmad Santosa, berpendapat bahwa penegakan hukum lingkungan adalah
sebuah alat (a means) untuk mencapai tujuan (an end). Tujuan penegakan hokum
lingkungan adalah penaatan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung
ekosistem dan fungsi lingkungan hidupyang pada umumnya diformalkan ke dalam
peraturan perundang-undangan termasukketentuan yang mengatur baku mutu limbah
atau emisi. Penegakan hukum tidak hanya soal penjatuhan sanksi (sanctioning)
administrasi, perdata dan pidana, melainkan terlebih dahulu harus ada panaatan
(compliance)17
Pasal 1 angka (25 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyebutkan sengketa lingkungan hidup
adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi
dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan bahwa: pertama, sengketa adalah
perselisihan, konflik atau kontoversi yang berkaitan dengan suatu tuntutan atau hak.
Dalam Kamus BI Kontemporer sengketa diartikan sebagai ”sesuatu yang merupakan
sumber perbedaan pendapat, pertengkaran atau perbantahan.18 Peraturan Pemerintah
(PP) No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengekta
Lingkungan diluar Pengadilan, menyebutkan sengketa lingkungan adalah perselisihan
antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemarandan
atau perusakan lingkungan. Dalam pengertian tersebut menurut Sudharto P Hadi, di
lapangan konflik atau sengketa lingkungan lebih luas cakupannya dalam arti bukan
hanya karena adanya pencemaran dan perusakan tetapi juga perubahan tata guna lahan,
kewenangan pemanfaatan, perebutan hak pemanfaatan.Selanjutnya Sudharto
mengemukakan bahwa lingkungan hidup memiliki potensi konflik yang tinggi. Hal
14
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, diakses tanggal 5 Oktober 2020 dari
http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf.
15
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indoesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm 207-
208.
16
Siti Sundri Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga
University Press, Surabaya, 1996, hlm. 190-191.
17
Mas Achmad Santosa, Good GovenancDan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 2001, hlm. 234
18
Hyronimus Rhiti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Penerbit Universitas AtmaJaya,
Jogyakarta, 2006, hlm. 41
tersebut disebabkan ciri-ciri yang melekat dan cara pandang pihak-pihak yang
berkepentingan yang berbeda. Ciri-ciri tersebut adalah bahwa lingkungan itu bersifat
intangible, eksternalitas negative jangka panjang dan masih kuatnya anggapan bahwa
lingkungan iitu merupakan barang public (common property).19
Sengketa lingkungan hidup muncul sebagai perselisihan akibat tuntutan orang
akan hak-hak mereka yang ’ditolak’ oleh pihak lain. Misalnya, Pasal 65 ayat (1)
UUPPLH, bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketika
ada pencemaran lingkungan, maka hak orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
tersebut telah dilanggar oleh pelaku pencemaran. Orang kemudian menuntut haknya,
tetapi tuntutan itu dengan berbagai alas an. Timbullah selanjutya sengketa, konflik,
kontroversi atau perselisihan.
Menurut Heinhard Steiger sebagaimana dikutip Koesnadi Hardjasoemantri, 20 hak
tersebut adalah ’hak subyektif’ (subjective right), yaitu sebagai bentuk yang paling luas
dari perlindungan seseorang. Hak itu memberikan kepada yang memilikinya suatu
tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan lingkungan hidup yang baik dan
sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum dengan
perlindungan hhukum oleh Pengadilan dan peragkat-perangkat lainnya. Tuntutan
tersebut mempunyai dua fungsi yaitu (a) dikaitkan pada hak membela diri terhadap
gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada lingkungan; (b) dikaitkan pada hak
menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya dilestarikan, dipulihkan atau
diperbaiki. Hal tersebut diatur pada Pasal 87 UUPPLH tentang ganti kerugian dan
pemulihan lingkungan.
Kedua, yang dimaksud dua pihak atau lebih pada Pasal 1 angka (25) adalah pihak
pencemar dan/atau perusak lingkungan (pelaku) serta pihak korban pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan. Secara teoritis, pihak pelaku bias orang perseorangan, dan/atau
kelompok orang, dan/ atau badan hukum (sesuai dengan pengertian ‘orang’ pada Pasal 1
angka (32) UUPPLH.
Penyelesaian sengketa lingkungan, yang dimaksudkan adalah prosedur yang
dilalui untuk mencari atau mendapatkan keputusan, solusi atau penyelesaian atas
sengketa lingkungan hidup (karena pencemaran dan/atau perusakan), baik melalui
pengadilan maupun di luar pengadilan. Prosedur adalah tahapan-tahapan tertentu yang
mesti dilalui sebelum sampai pada hasil akhirnya. Hasil akhir dapat berupa keputusan
hakim (perdata, sanksi pidana (untuk proses peradilan pidana), dan kesepakatan

2. Pertanggung jawaban perdata berdasarkan kesalahan (liability based on fault)

Penegakan hukum lingkungan keperdataan dibedakan dari upaya penyelesaian


sengketa dengan cara gugatan lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian bagi korban
pencemaran akibat perbuatan melawan hukum oleh pencemar, karena sifatnya
individual. Gugatan perdata yang dimaksud dalam penegakan lingkungan dilakukakn
oleh penguasa apabila sarana penegakan hkum administrative kurang memadai.
Penggunaan kaidah-kaidah hukum perdata dalam menyelesaikan sengketa-
sengketa yang berkaitan dengan malasah lingkungan hidup, pada hakekatnya
memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan perundang-undanngan, dan
termasuk dalam ruang lingkup Hukum Lingkungan Keperdataan (privaatrechtelijke

19
Sudharto P Hadi, Resolusi Konflik Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
2004, hlm.2
20
Koesnadi Hadjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Jogyakarta, 2000,
hlm. 93
milieurecht). Menurut H Bocken, berkaitan dengan masalah lingkungan hidup terdapat
tiga fungsi dari hukum perdata21:
a. Melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-noram hokum
lingklungan baik yang bersifat hokum privat maupun hokum publik.
b. Hukum perdata dapat memberikan penentuan norma-norma (normstelling dalam
masalah LH
c. Hukum perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti rugi
atas pencemaran lingkungan hidup terhadap pihak yang menyebabkan timbulnya
pencemaran. Biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum.
Menurut Koeman22 hukum perdata-khususnya gugatan berdasarkan perbuatan
melawan hukum dan hakim perdata sesungguhnya memiliki arti penting bagi hokum
lingkungan. Pada pokoknya hal itu berkaitan dengan empat fungsi, yaitu:
a) Penegakan melalui hokum perdata;
b) Penetapan norma tambahan;
c) Gugatan untuk memperoleh ganti kerugian;
d) Perlindungan hukum tambahan.
Salah satu fungsi dari gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum adalah
untuk penegakan hukum. Di Belanda, konsep perbuatan melawan hukum berdasarkan
ketentuan Pasal 1401 BW lama mirip dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata,
sedangkan dalam BW Baru dirumuskan dalam Pasal 6:162. Dikemukakan leh
Drupsteen, gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum dapat dilakukan baik oleh
warga masyarakat maupun oleh pemerintah. Walupun demikian pengajuan gugatan
perdata sebagai sarana penegakan hokum oleh penguasa/pemerintah terbatas pada situasi
bilamana penegak hukum administrasi tidak memadai.
Menurut Koeman, Norma-norma hukum lingkungan termasuk bagian dari norma-
norma hukum publik. Penegakan atas norma-norma hukum lingkungan dibedakan atas
tiga bidang, yaitu:
a. Penegakan ketentuan bersifat larangan dalam peraturan perundang-undangan
lingkungan; dimaknai bahwa peraturan perundang-undangan lingkungan melarang
kegiatan-kegiatan tertentu. Pelanggaran trhadap ketentuan-ketentauan tersebut
termasuk dalam pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam
pengertian Pasal 1401 BW (art. 6:162 NBW).
b. Penegakan ketentuan-ketentuan atau persyaratan-persyaratan dalam ijin; dimaknai
bahwa perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan persyaratan-persyaratan, yng
secara sah ditetapkan dalam sebuah ijin lingkungan, dianggp tidak menurut hokum.
c. Penegakan terhadap ketetapan sanksi-sanksi; dalam hal ini gugatan penegakan hokum
perdata pada akhirnya dapat memaksakan penaatan terhadap keputusan sanksi hokum
publik.
Pertanggungjawaban perdata baik dalam sistem civil law maupun common law,
pada umumnya didasarkan pada aturan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.
Dalam civil law, menurut Tunc, dasar dari pertanggungjawaban perdata (tort) adalah
aturan yang menyatakan bahwa:”[e]very act wahatever of man that causes damage to
another, obliges him by whose fault it happened to repair it”. Di Indonesia aturan ini
disebut dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Sedangkan dalam system common
law, Peck menyatakan bahwa pertanggungjawaban perdata yang paling umum dan
dominan adalah negligence.

21
Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum lingkungan oleh Hakim Perdata, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm. 1
22
Takdir Rahmadi, Op.Cit, hlm. 259
Menurut Badrulzaman, syarat-syarat agar seseorang bertanggung jawab
berdasarkan PMH adalah:
1. Harus ada perbuatan, baik dalam artian melakukan perbuatan maupun tidak
melakukan perbuatan;
2. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melawan hokum;
3. Adanya kerugian;
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan yang melawan hokum dengan kerugian;
5. Adanya kesalahan(schuld)
Menurut Rosa Agustina, yang dikutip oleh Andri G Wibisana23 sebelum
Lindenbaum vs Cohen (1919), pengadilan telah menerapkan pengertian melawan hokum
dalam arti sempit (formil), “ dimana perbuatan melawan hokum dinyatakan sebagai
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau bertentangan
dengan kewajiban hokum pelaku yang telah diatur oleh undang-undang. Dalam
pengertian ini perbuatan dianggap melawan hokum hanya jika melanggar apa yang telah
diatur oleh undang-undang. Tetapi setelah adanya putusan Lindenbaum vs Cohen,
dimana pengadilan menafsirkan melawan hukum secara luas (materiil), yang meliputi
tidak hanya pelanggaran atas apa yang telah ada didalam undang-undang (hokum
tertulis) tetapi juga pelanggaran ats hokum tidak tertulis berupa kaedah kesusilaan dan
kepatutan. Selanjutnya perbuatan melawan hhukum menurut dalam arti luas menurut
Rosa Agustina diartikan sebagai berikut:
1) Melanggar hak subyektif orang lain. Hak subyektif ini diartikan baik sebagai hak –
hak perseorangan (seperti kebebasan, kehormatan, atau nama baik), maupun sebagai
ha katas harta kekayaan (hak kebendaan dan hak mutlak lainnya);
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku , baik kewajiban yang dirumuskan
dalam hukum tertulis maupun dalam hukum tidak tertulis;
3) Bertentangan dengan kaedah kesusilaan, yaitu bertentangan dengan norma yang
diakui sebagai norma hukum.
Menurut teori relativitas (Schutznormtheorie), pelaku perbuatan melawan hokum
(tergugat) akan bertanggung jawab bila norma yang dilanggar dimaksudkan untuk
melindungi penderita (penggugat).

3. Pertanggung jawaban tidak berdasarkan kesalahan (strict liability)

Strict liability (SL) merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban selain PMH.


Istilah tersebut di Indonesia sering digunakan dengan istilah “tanggung jawab mutlak”,
“tanggung jawab secara langsung dan seketika”, atau “tanggung jawab secara ketat”.
Dalam UUPPLH No. 32 Tahun 2009 digunakan istilah “tanggung jawab mutlak”, seperti
yang tercantum pada Pasal 88, yang sebelumnya diatur pada Pasal 35 UU No. 23 Tahun
1997 (UUPLH). Maksudnya dalam hal ini, pencemar dan/atau perusak lingkungan
“mutlak” harus bertanggung jawab tanpa perlu dibuktikan unsur kesalahanya.24
Dari berbagai sumber secara umum dapat dikatakan Strict liability (SL) adalah
sebuah prinsip pertanggungjawban dalam hhukum perdata yang tidak didasarkan ada
kesalahan atau juga kelalaian seperti halnya PMH (onrechtmatige daad), tetapi
berdasarkan risiko.. Maksudnya adalah risiko melakukan suatuu kegiatan atau usaha
tertentu yang berbahaya yang sebenarnya merupakan sesuatu yang dilarang. Hal ini
merupakan reaksi hokum terhadap risiko masyarakat industry, terutama beban
lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan pada masyarakat maju.
23
Andri G Wibisana, Penegakan hokum Lingkungan, Melalui Pertanggungjawaban Perdata, Badan
Penerbit FHUI, 2017, hlm. 32-33
24
Hyronimus Rhiti, Op.Cit, hlm. 56-57
Jadi Strict liability (SL) merupakan bentuk pertanggungjawaban perdata yang
tidak memerlukan pembuktian unsur kesalahan (fault) sebagai unsur utama dalam
pertanggungjawaban perdata jenis fault based (perbuatan melanggar hukum). Dengan
demikian beban pembuktian penggugat menjadi lebih ringan karena tidak perlu
membuktikan adanya unsur kesalahan si tergugat. Meski demikian, pihak penggugat
yang mengalami kerugian (injured party) masih harus membuktikan adanya hubungan
kausal antara kerugian yang dideritanya dengan perbuatan atau kegiatan si tergugat.
Penggugat harus tetap membuktikan apakah kerugiannya diakibatkan oleh perbuatan
atau kegiatan tergugat. Dalam hal ini penggugat tidak dibebaskan sama sekali dari beban
pembuktian.

4. Kerugian (Schade)

Dalam pengertian ini kerugian tidak hanya mengenai kerugian secara konkrit
dalam bidang harta kekakayaan saja, tetapi meliputi kerugian immaterial atau ‘ideele
schade’.25 Secara teoritis, kerugian (damage/losses) dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu kerugian yang dapat secara langsung dihitung dengan uang (pecuniary losses) dan
yang tidak dapat secara langsung dihitung dengan uang (non-pecuniary losses), seperti
misalnya hilangnya kenikmatan hidup (loss of amenity) dan adanya penderitaan (pain
and suffering).26
Dalam Principles of European Tort Law, dijelaskan mengenai kerugian, yaitu:
1) Title IV, Chapter 10, Section 2, menurut Pasal 10:201, pecuniary losses adalah
berkurangnya kekayaan (patrimony) korban karena adanya kerugian. Selanjutnya
pecuniary losses dibagi dalam (a) kerugian yang muncul karena kerugian personal
dan kematian (personal injury and death) dan (b) kerugian karena hilangnya atau
rusaknya barang (loss, destruction, and damage of thing).
2) Pasal 10:202 ayat 1 terkait personal injury, membagi pecuniary losses ke
dalamkerugian karena luka badan, mental, hilangnya penghasilan (loss of income),
terganggunya kemampuan memperoleh penghasilan (impairment of earning
capacity), dan ongkos-ongkos lain yang relevantermasuk biaya perawatan (medical
expences).
3) Pasal 10:202 ayat 2 terkait dengan kerugian karena kematian (death), membagi
pecuniary losses kedalam kerugian yang terjadi karena kematian anggota keluarga
yang selama ini menjadi sumber pendapatan
4) Pasal 10:203 ayat 1, terkait dengan kerugian karena hilang/rsaknya barang,
menyatakan bahwa ukuran untuk menghitung kerugian adalah berkurangnya nilai
(diminution of value) dari suatu benda;
5) Pasal 10:203 ayat 2 menyatakan bahwa kerugian juga dapat dinilai dari hilangnya
manfaat dari sebuah benda (loss of use of the thing);
6) Title IV, Chapter 10, Section 3, Pasal 10:301 ayat 1, non-pecuniary losses dapat
terjadi pada mereka yang menderita secara personal (personal injury), maupun
kerugian atas kehormatan (dignity), kebebasan (liberty), dan hak personal lainnya.
Ditambhakan juga bahwa seseorang dapat meminta penggantian atas non-pecuniary
losses karena adanya penderitaan pada diri seseorang yang memiliki hhubungan
dekat dengannya.
Di Belanda Pasal 6:95 BW, membedakan antara kerugian materiil dan immaterii.
Kerugian materiil merupakan kerugian yang dapat di nilai uang, sedangkan immaterial

25
Paulus Effendi Lotulung, Op.Cit, hlm. 28.
26
Andri G Wibisana, Op.Cit. hlm.217
adalah kerugian yang tidak dapat/sulit dinilai dengan uang dan hanya dapat dimintkan
jika undang-undang menentukan.
Berkaitan dengan kerugian dalam bidang lingkungan hidup, menurut Paulus
Lotulung,27 kerugian dapat ditimbulkan oleh alam atau oleh perbuatan manusia. Kerugian
oleh perbuatan manusia dapat dibedakan:
a. Perbuatan dalam bentuk membubuhkan atau mencampurkan zat-zat kimia, atau zat
lain yang berasal dari luar lingkungan. Ini mengenai pencemaran atau pengotoran
lingkungan;
b. Perbuatan yang tidak memasukkan unsur luar ke dalam lingkungan atau miliu, tetapi
berupa merusak lingkungan itu sendiri.
Dalam kasus pencemaran atau perusakan lingkungan seringkali terdapat kombinasi dari
beberapa macam kerugian, baik yang bersifat materiil maupun immaterial (moral).
Mengenai besarnya kerugian yang harus diganti, pada dasrnya bersifat nutuh (volledig),
termasuk juga kerugian yang akan diderita dalam waktu yang akan datang (in de
toekomst). Di Belanda berdasarkan Nieuw BW Pasal 6.1.9.12a, kepada hakim diberi
wewenang untuk menguranginya (matigingsrecht) apabila pemberian ganti rugi secara
penuh berdasarkan keadaan-keadaan yang ternyata dari hasil pemeriksaan akan
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Keadaan-keadaan yang perlu diperhatikan
adalah:
a) Sifat pertanggungan jawab (de aard van de aansprakelijkheid), misalnya tingkat
kesalahan tidak terlalu besar;
b) Kemampuan membayar dari masing-masing pihak (de draagkracht van beide
patijen), misalnya besarnya biaya-biaya yang harus dipikul.
Masalah besarnya ganti rugi berkaitan lingkungan hidup, seperti halnya dalam ganti rugi
pada umumnya, yang dapat dikabulkan dapat berdasarkan pada rasa kepantasan dan
keadilan (ex aequo et bono).
Di Indonesia dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPLH), kerugian
lingkungan dijelaskan dalam pasal yang mengatur tentang hak gugat pemerintah. Pasal
90 UUPPLH menyebutkan bahwa pemerintah berhak mengajukan gugatan atas
terjadinya pencemaran/kerusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian lingkungan.
Kerugian lingkungan adalah “kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang bukan milik privat”. Selain pembayaran ganti rugi,
dalam Pasal 90 ayat (1) pemerintah juga dapat meminta dilakukannya tindakan tertentu
berupa tindakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
pencemaran/kerusakan, serta pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Menurut Andri G Wibisana,28 kerugian lingkungan memliki sifat yang sedikit
berbeda dengan kerugian pada umumnya. Pada satu sisi, kerugian lingkungan dapat saja
terjadi pada kerugian sumber daya yang dimiliki secara privat, dan dalam hal ini
kerugian seringkali bersifat materiil. Sisi lain kerugian lingkungan dapat terjadi juga
pada sumber daya lingkungan yang tidak dimiliki secara privat, yang bentuknya
merupakan kerugian immaterial. Selain kemungkinan tersebut, dapat juga terjadi
kerugian lingkungan pada sumber daya privat namun bersifat immaterial, atau sebaliknya
terjadi pada sumber daya yang tidak dimiliki secara privat namun bersifat materiil.
Menurut pandangan Edward Brans, kerugian lingkungan nmemiliki karakteristik yang
membuatnya tidak kompetibel dengan pembagian kerugian materiil-immateriil
berdasarkan kerugian perdata pada umumnya. Sementara itu menurut Lui Jing, ciri lain
yang membedakan kerugian lingkungan dari kerugian perdata konvensional, yaitu:

27
Paulus Effendi Lotulung, Op.Cit. hlm. 29-30
28
Andri G Wibisana, Op.Cit, hlm. 218
1) Kerugian lingkungan seringkali lebih memerlukan adanya tindakan pemulihan
dibandingkan dengan ganti kerugian;
2) Kerugian lingkungan seringkali disertai pula dengan kerugian pada orang (personal
injuries) dan barang milik perorangan (property damage);
3) Kerugian lingkungan seringkali terjadi tidak hanya dalam tahap pengoperasian suatu
kegiatan, tetapi juga dalam tahap persiapan, bahkan tahap setalah kegiatan selesai
dilakukan.
Oleh sebab itu, mengacu pada hal tersebut kerugian lingkungan tidak dapat diatasi hanya
dengan mengandalkan system pertanggungjawaban perdata, tetapi harus juga melalui
regulasi system kompensasi yang baik.

5. Kasus-kasus gugatan lingkungan perdata di Indonesia 29;


a. Kasus Mandalawangi
 Duduk Perkaranya (1):
a) Perum Perhutani memperoleh hak untuk mengelola kawasan hutan produksi dan
hutan lindung di kawasan Gunung Mandalawangi Jawa Barat
b) Perum Perhutani menciptakan lahan kosong dan lahan garapan pertanian yang
kemudian dimanfaatkan penduduk di sekitar area hutan Mandalawangi yang mana
Perum Perhutani telah mengubah fisik dan/atau fungsi hutan yang dapat
dikualifikasikan sebagai perusakan hutan.
c) Akibat perbuatan Perum Perhutani tersebut terjadi longsor di area hutan
Mandalawangi dan menghancurkan area pemukiman penduduk
d) Peristiwa longsor ini telah mengakibatkan kerugian berupa terputusnya lalu lintas
BandungGarut lewat Japati serta adanya korban jiwa dan harta benda;
e) Kerugian materiil sejumlah Rp.30.417.200.000,00 dan kerugian immateriil
sebesar Rp.20.000.000.000,00

 Duduk Perkara (2):


Dalam perkara Gunung Mandalawangi, Para Penggugat (warga Kecamatan
Kadungora, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat) mengajukan gugatan yang
berdasarkan pada Strict Liability (kemudian menjadi Termohon Kasasi) terhadap
Direksi Perum Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat
(Tergugat I/Pemohon Kasasi I), Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI
(Tergugat II/Pemohon Kasasi II), Pemerintah Daerah Tk. I Provinsi Jawa Barat
Cq Gubernur Provinsi Jawa Barat (Tergugat III/Pemohon Kasasi III), Pemerintah
Republik Indonesia Cq Presiden RI Cq Menteri Kehutanan RI (Tergugat
IV/Pemohon Kasasi IV), dan Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Garut Provinsi
Jawa Barat Cq Bupati Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat (Tergugat
V/Pemohon Kasasi V). Alasan pengajuan gugatan adalah sebagai berikuut:

 Putusan PN Bandung (Putusan Nomor 49/ Pdt.G/2003/PN.BDG) •


Pengadilan Negeri Bandung menyatakan bahwa Tergugat I, Tergugat III,
Tergugat IV, dan Tergugat V bertanggung jawab secara mutlak (strict liability)
atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor kawasan hutan Gunung
Mandalawangi serta menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV, dan
Tergugat V untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan
29
Sukanda Husin, Penerapan Prinsip Hukum Lingkungan Internasional Dalam Putusan Pengadilan
Nasional Di Beberapa Negara Asia Tenggara, Materi Workshop Hukum Lingkungan III, Universitas Andalas-
Padang, 2019.
Gunung Mandalawangi • Pegadilan Negeri Bandung memberikan pertimbangan
hukum bahwa asas precautionary Principle telah resmi diterima dalam hukum
lingkungan positif di Indonesia, sehingga penyimpangan peruntukan kawasan
hutan dianggap sebagai sebab (causa) yang menyalahi aturan Precautionary
Principle sehingga para Tergugat adalah bertanggung jawab dalam kasus ini.

 Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat •


Pengadilan Tinggi Jawa Barat memutuskan bahwa kejadian longsor disebabkan
antara lain kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan karena pemanfaatan tanah
tidak sesuai fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung. Fakta ini
berhubungan seara kausalitas dengan kerugian (yang timbul akibat longsor),
sehingga terpenuhi unsur Strict Liability dan para Tergugat tidak dapat
membuktikan sebaliknya. • Pendapat tersebut muncul karena adanya asas
Precautionary Principle dalam hukum lingkungan positif di Indonesia, sehingga
penyimpangan peruntukan kawasan hutan dianggap sebagai sebab (causa) yang
menyalahi aturan Precautionary Principle sehingga para Tergugat adalah
bertanggung jawab dalam kasus ini.

 Putusan Mahkamah Agung


Dalam memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I, Pemohon Kasasi
mendalilkan bahwa karena Precautionary Principle belum menjadi hukum positif
Indonesia, maka Judex Facti dinilai telah salah dalam menerapkan hukum dan
melakukan kelalaian yang dapat mengakibatkan dibatalkannya putusan yang telah
dikeluarkan. Berdasarkan alasan tersebut MA berpendapat bahwa suatu ketentuan
hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional apabila telah
dipandang sebagai ”ius cogen” sehingga hakim tidak salah dalam menerapkan
hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional.

b. Kasus Kalista Alam

 DUDUK PERKARA •
PT. KALLISTA ALAM, diwakili oleh SUBIANTO RUSID selaku Direktur,
berkedudukan di Jalan Gampong Kuala Seumayam,Kecamatan Dahrul
Makmur,Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh,dalam hal ini memberi kuasa
kepada: FIRMAN AZUAR LUBIS, S.H., dan kawan-kawan, Para Advokat pada
Kantor Hukum Firman Azuar Lubis & Rekan, berkantor di Jalan Brigjend H.A.
Manaf Lubis Nomor 1-B Medan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 22
September 2014;

 Putusan Pengadilan Negeri Perkara No. 12/Pdt.G/2012/PN.MBO •


Dalam Perkara No. 12/Pdt.G/2012/PN.MBO, Pengadilan Negeri Meulaboh
menghukum PT. Kalista Alam membayar ganti rugi sebesar Rp.
114.303.419.000,00 (seratus empat belas milyar tiga ratus tiga juta empat ratus
sembilan belas ribu rupiah) dan uang pemulihan sebesar Rp. 251.765.250.000,00
(dua ratus lima puluh satu milyar tujuh ratus enam puluh lima juta dua ratus lima
puluh ribu rupiah).

 PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANDA ACEH •


Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor50/DPT/2014/ PT.BNA tanggal
15 Agustus 2014 yang mengambil alih Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh
Nomor12/Pdt. G/2012/PN.MBO,tanggal 8 Januari 2014 adalah kesimpulan Judex
Facti yang tidak didukung dengan pertimbangan hukum yang cukup.

 PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG •


Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi:PT. KALLISTA ALAM
tersesebut.

6. Gugatan perwakilan/ kelompok (class Action)


Gugatan Perwakilan merupakan penyerapan dari konsep class action dalam
sistem hukum Anglo Saxon. Pengertian class action dalam Pasal 23 Hukum Acara
Perdata Amerika Serikat (The Rules of Civil Procedure) adalah:”one or more members
of a class to sue or to be sued as representative parties on the behalf of all”.
Di Indonesia, pengertian gugatan perwakilan dimuat dala UUPLH No. 23 Tahun
1997, dalam Penjelasan Pasal 37 ayat (1), adalah:” hak kelompok kecil masyarakat untuk
bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan fakta , hokum dan tuntutan”. Jadi dalam hal ini menurut konsep gugatan
perwakilan kelompok ada dua unsur penggugat, yaitu:
6. Wakil kelompok yang jumlahnya kecil, mungkin satu atau beberapa orang;
7. Anggota kelompok yang mungkin jumlahnya puluhan,ratusan, ribuan.
Akan tetapi hal tersebut tidak diatur lebih lanjut bagaimana cara gugatan perwakilan
diajukan ke Pengadilan.30
UU No. 32 Tahun 2009 dalam Pasal 91 ayat (1) menyatakan bahwa”Masyarakat
berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri
dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran
dan/atau kerusakan lingkkungan hidup.Dari rumusan tersebut penggugat dalam class
action sama dengan penggugat dalam gugatan perorangan, yaitu sama-sama merupakan
korban, bedanya dalam class action jumlah penggugatnya banyak.
Dalam class action, penggugat terdiri dari wakil kelas/kelompok, yaitu yang
maju di Pengadilan, dan anggota kelas/kelompok. Diantara wkil kelas dan anggota
kelompok tersebut harus memenuhi syarat, sebagaimana dalam Pasal 91 ayat (2) yaitu:
ada kesamaan fakta, atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan diantara wakil
kelompok dan anggota kelompok. Syarat tersebut disebut sebagai commonality
(kesamaan dasar hukum dan fakta) dan typicality (kesamaan tuntutan). Dalam literature,
syarat calss action ditambah dengan kelayakan dari wakil kelas (adequacy of
representation).31
Peraturan MA No. 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, Pasal 3 menentukan adanya syarat formil dalam surat gugatan class action,
yaitu:
a. Identitas lengkap dan jelas dari wakil kelompok;
b. Definisi keompok secara rinci dan spesifik tanpa perlu menyebutkan nama anggota
kelompok satu persatu;
c. Keterangan umum tentang anggota kelompok guna memudahkan pemberitahuan
kepada para anggota;
d. Adanya posita (fondamentum petendi/grondslag de eis, dasar gugatan) yang jelas
dan terperinsci dari seluruh kelompok;
e. Dalam sat gugatan perwakilan, dapat dikelompokan beberapa bagian kelompok atau
sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda.

30
Takdir Rahmadi, Op.Cit, hlm. 270
31
Andri G Wibisana, Op.Cit, hlm. 18
f. Tuntutan atau petitum secara jelas dan rinci, serta memuat pula usulan tentang
mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti rugi kepada seluruh anggota
kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yng membantu
memperlancar pendistribusian ganti rugi.
Dari syarat petitum diatas dapat dilihat bahwa didalam gugatan calss action, penggugat
dapat megajukan permohonan putusan ganti rugi dan/atau permohonan
dilakukannya/dihentikannya perbuatan tertentu oleh tergugat.

Dalam gugatan class action, pemberitahua (notifikasi) kepada anggota kelas


merupakan hal yang sangat penting. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada anggota kelas untuk menentukan sikap apakah akan ikut serta di
dalam gugatan (menjadi anggota kelas) atau tidak.

7. Pengertian, fungsi dan ruang lingkup dari hak gugat LSM;


Kewenangan atau kecakapan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dibidang
pelestarian lingkungan hidup sebagai penggugat di muka pengadilan untuk menguji
kebijakan penguasa negara maupun swasta yang mengancam kelestarian daya dukung
lingkungan di negara-negara maju dsebut atau distilahkan dengan “Standing to sue in
conservation Suits atau Standing to sue in Enveironmental Litigation, yang disingkat
dengan istilah “Standing” atau “Locus standi”32
Perdebatan tentang hak Standing (Standing Right) bagi organisasi-organisasi
lingkungan di Amerika Serikat (atau LSM- di Indonesia) telah terjadi pada tahun 1970an
yang menjadi isu mearik dan konroversial. Dasar filosofinya adalah bahwa lingkungan
hidup membutuhkan semacam ‘wali’ atau ‘guardian’ yang mengurusi kepentingan
lingkungan hidup apabila kepentingannya tergaanggu termasuk beracara di muka
Pengadilan. Hal ini mengacu pada teori Prof. Christopher Stone, dalam artikelnya yang
berjuudul “Should Trees Have Standing ? Toward Legal Rights for Natural Objects.
(Stone, 1972). Teori ini memberikan hak hukum (legal right) kepada obyek-obyek alam
layak memiliki hak hokum dan adalah tidak bijaksana jika dianggap sebaliknya hanya
karena sifat inanimasi (tidak dapat bicara).
Keberadaan hak “standing” bagi LSM/organisasi lingkungan di Amerika Serikat
tidak terlepas dari keberadaan ‘hak masyarakat atas pemanfaatan sumber daya alam yang
dikuasai oleh Negara‘ atau yang dikenal dengan istilah doktrin “public trust”. Doktrin ini
berawal dan berkembang dari suatu premis bahwa Negara/pemerintah adalah ‘penjaga’
atau ‘wali’ dari kepentingan masyarakat atas pemanfaatan sumber-sumber daya alam
(public resources) memberi dasar pembenaran bahwa public resources merupakan harta
pusaka atau harta peninggalan yang bersifat turun temurun dan karenanya harus dijaga
pelestariannya. Dengan demikian doktri “public trust” merupakan suplementerpenting
dari “Hak katas lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat.”
Hak organisasi Lingkungan Hidup untuk mengajukan gugatan ini tidak sama
dengan Class Action (CA). Organisasi Lingkungan Hidup (OLH) sebagai pihak
penggugat bukan pihak yang mengalami kerugian nyata atau riil. Organisasi Lingkungan
Hidup adalah pihak yang bertindak untuk dan atas nama atau mewakili lingkungan
hidup. Kepentingan LH perlu diperjuangkan, karena LH tidak dapat memperjuangkan
sendiri kepentingannya karena sifatnya yang inanimatif. Hutan hancur, ikan-ikan mati,
udara kotor, air yang tercemar tidak bias membuat sendiri surat gugatan, berperkara di
muka pengadilan. Kepentingannany harus diperjuangkan oleh ‘wakilnya’ yaitu
Organisasi Lingkungan Hidup.33
32
Mas Achmad Santosa, Op.Cit, hlm. 286-290
33
Hyronimus Rhiti, Op.Cit, hlm. 103
Di Indonesia, dasar pemberian “standing” merupakan doktrin hukum perdata
berlandaskan pada asas “tiada gugatan tanpa kepentingan hokum” (point d’interest, point
d’action). Mengacu pada doktrin ini berarti seseorang ataupun organisasi dikategorikan
cakap serta wenang sebagai penggugat apabila orang atau organisasi tersebut mampu
membuktikan bahwa dirinya ‘penderita’ dari suatu kerugian, atau kuasa mereka termasuk
‘penderita’. Persyaratan ini telah dijadikan yurisprudensi tetap oleh Mahkamah Agung
RI tanggal 7 Juli 1971 No. 294/K/SIP/1971.
Menurut Prof. Munadjat Danusaputro, yang disimpulkan oleh Mas Achmad
Santosa lingkungan hidup sesungguhnya merupakan kepemilikan bersama (common
34

property) dan bersifat peninggalan serta turun temurun (legacy). Implikasi dari
‘kepemilikan bersama’ dan ‘turun temurun’ mengandung arti bahwa lingkungan
hidupnharus selalu terpelihara kelestariannya. Oleh sebab itu siapapun berkewajiban
asasi untuk memelihara dan melangsungkan kelestarian lingkungan hidup. Pelestarian
LH merupakan hal yang mutlak, karena melestarikan LH berarti melestarikan serta
melangsungkan hidup.
Pengakuan terhadap prinsip “pemilikan bersama” (common property),
“kewajiban asasi setiap insan melestarikan lingkungan hidup dan prinsip “turun
temurun”, di Indonesia secara tegas dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI
1945, Gais-Garis Besar Halauan Negara (GBHN) 1998, Pasal 10 dan Pasal 5 UU No. 4
Tahun 1982, yang kemudian ganti dengan UU No. 23 Tahun 1997 dan sekarang yang
berlaku UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH).
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH), hak gugat organisasi lingkungan
hidup diatur dalam Pasal 92 ayat (1) bahwa “dalam rangka pelaksanaan tanggungjawab
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak
mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”. Namun
demikian hak mengajukan gugatan ‘terbatas’ pada tuntutan untuk melakukan ‘tindakan
tertentu’ tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Hal ini
diatur dalam Pasal 92 ayat (2). Demikian juga setidak setiap OLH mempunyai hak gugat.
Hanya OLH yang memenuhi syarat tertentu mempunyai hak gugat (ius standi/standing
to sue) mengatasnamakan lingkungan hidup. Persyaratan tersebut tercantum dalam Pasal
92 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan
gugatan apabila memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan didalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat
2 (dua) tahun.

8. Perkembangan dan pengaturan legal standing LSM lingkungan

Dalam hukum acara perdata di Indonesia yang didasarkan pada Hukum Acara
perdata yang diperbaharui (HIR) dan RBg, belum mengatur konsep hukum mengenai hak
gugat organisasi, class action dan citizen law suit. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya
tata cara yang jelas, dan pengaturannya tergantung pada Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA).
Pada awal pengajuannya ke pengadilan, legal standing organisasi lingkungan
hidup selalu ditolak oleh hakim karena tidak ada peraturannya dalam hukum acara

34
Mas Achmad Santosa, Op.Cit, hlm.292
perdata yang berlaku. Namun pada tahun 1988 telah terjadi pergeseran paradigm hakim
dalam memahami makna ‘patisipasi masyarakat’ dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam perkara Perdata yang diputus kan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tanggal 14 Agustus 1989, menempatkan Yayasan Wahana Lingkunga Hidup (WALHI)
sebagai penggugat terhadap BKPM Pusat bersama-sama dengan Gubernur Sumatera
Utara, Menteri Perindustrian, Menteri KLH, Menteri Kehutanan dan Perusahaan Pulp
dan Rayon PT Inti Idorayon Utama yang masing-masing sebagai tergugat. Majelis
Hakim PN Jakarta Pusat dengan Putusan No. 820/Pdt.G/1988/PN JKT PST, menolak
gugatan penggugat Yayasan WALHI yang mempersoalkan keabsahan studi AMDAL PT
IIU, ditutupnya akses penggugat pada informasi AMDAL dan soal kerusakanserta
pencemaran lingkungan. Namun disisi lain, Yayasan WALHI meski tidak memiliki
kepentingan (property interest) ‘diakui’ standing-nya untuk tampil sebagai penggugat di
muka pengadilan. Inti keputusan yang menyangkut soal standing ini sekaligus
menggeser doktrinhukumperdata konvensional yang mendalilkan ‘tiada gugatan tanpa
kepentingan hukum’.
Menurut Fajar Winarni, hal tersebut menjadi sejarah dalam dalam hukum acara
perdata di Indonesia, karena legal standing WALHI diterima oleh hakim meski saat itu
belum ada peraturannya.35 Setelah putusan itu, Pemerintah dan DPR akhirnya
mengadopsi konsep legal standing dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup pada Pasal 38. Pengakuan yang tegas juga dimasukkan dalam
perubahan Undang-Undang tersebut, yakni UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 92 UU PPLH sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya.
Lebih lanjut menurut Fajar Winarni, persyaratan organisasi lingkungan tersebut
yang diiuji oleh hakim dalam perkembangan legal standing pasca pengakuan terhadap
konsep legal standing sejak 1997. Peraturan perundang-undangan sektoral, sebenarnya
sudah banyak mengatur legal standing. Legal standing organisasi justru memperluas
makna kepentingan dalam hukum. Dalam hukum perdata konvensional, kepentingan
hukum itu adalah kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan atau kepentingan
materiil berupa kerugian yang dialami secara langsung. Dalam legal standing organisasi
lingkungan hidup, kepentingan hukumnya diartikan sebagai kepentingan pelestarian
lingkungan hidup. Dengan demikian, organisasi lingkungan hidup tidak memiliki
kepentingan kepemilikan atau mengalami kerugian secara langsung. Hal ini belum
terakomodasi dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku.

35
Muhammad Yasin/AJI/ADY, Layar Terkembang Untuk Hak Gugat Organisasi, Class Action, Dan
Citizen Lawsuit, diakses tanggal 15 Oktober 2020 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a255f2b2ff59/layar-terkembang-untukhak-gugat-organisasi--class-
action--dan-citizen-lawsuit
DAFTAR PUSTAKA

Andri G Wibisana, Penegakan hokum Lingkungan, Melalui Pertanggungjawaban


Perdata, Badan Penerbit FHUI, 2017.
Ainuddin, Widyawati, Studi Pencemaran Logam Berat Merkuri (Hg) Di Perairan
Sungai Tabobo Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara, Jurnal Ecosystem Volume
17 Nomor 1, Januari – April 2017

Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, diakses tanggal 5 Oktober 2020 dari


http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf
Hyronimus Rhiti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Penerbit
Universitas AtmaJaya, Jogyakarta, 2006
Koesnadi Hadjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Jogyakarta, 2000
Mas Achmad Santosa, Good GovenancDan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 2001
Muhammad Yasin/AJI/ADY, Layar Terkembang Untuk Hak Gugat Organisasi, Class
Action, Dan Citizen Law Suit, diakses tanggal 15 Oktober 2020 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a255f2b2ff59/layar-terkembang-untukhak-
gugat-organisasi--class-action--dan-citizen-lawsuit
Mulida Hayati, Perlindungan hukum bagi masyarakat Terhadap pencemaran
lingkungan akibat Budidaya burung wallet, Supremasi Hukum :Jurnal Penelitian Hukum p-
ISSN: 1693-766X ; e-ISSN: 2579-4663, Vol. 27, No. 1, Januari 2018, 38-54

Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum lingkungan oleh Hakim Perdata, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1993

Satjipto Rahadjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Genta


Publishing, Yogyakarta, 2009
Siti Sundri Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Airlangga University Press, Surabaya, 1996,

Soerjono Soekanto, Faktor- Faktor Yang Memperngaruhi Penegakan Hukum, Penerbit


UI Press, Jakarta.
Subardan Rochmad,, Ruang Lingkup Pencemaran, BIOL4420/MODUL 1 diunduh
dari , http://repository.ut.ac.id/4450/1/BIOL4420-M1.pdf
Sukanda Husin, Penerapan Prinsip Hukum Lingkungan Internasional Dalam Putusan
Pengadilan Nasional Di Beberapa Negara Asia Tenggara, Materi Workshop Hukum
Lingkungan III, Universitas Andalas-Padang, 2019.
Sudharto P Hadi, Resolusi Konflik Lingkungan, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2004
.
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indoesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2014

Anda mungkin juga menyukai