1
Subardan Rochmad,, Ruang Lingkup Pencemaran, BIOL4420/MODUL 1 diunduh dari ,
http://repository.ut.ac.id/4450/1/BIOL4420-M1.pdf, hlm. 1.4
2
Ainuddin, Widyawati, Studi Pencemaran Logam Berat Merkuri (Hg) Di Perairan Sungai Tabobo
Kecamatan Malifut Kabupaten Halmahera Utara, Jurnal Ecosystem Volume 17 Nomor 1, Januari – April 2017,
hlm. 654.
3
Mulida Hayati, Perlindungan hukum bagi masyarakat Terhadap pencemaran lingkungan akibat
Budidaya burung wallet, Supremasi Hukum :Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN: 1693-766X ; e-ISSN: 2579-
4663, Vol. 27, No. 1, Januari 2018, 38-54.
b. Pengaturan Hukum
1. Pencemaran air;
(1) Pengertian/Konsep
Menurut Encyclopaedia Britannica, polusi air adalah pelepasan zat ke
dalam air tanah di bawah permukaan atau ke danau, aliran, sungai, muara dan
lautan ke titik di mana zat mengganggu penggunaan air yang bermanfaat atau
fungsi alami ekosistem. Dikutip dari Natural Resources Defense Council,
polusi air adalah ketika zat-zat berbahaya (bahan kimia atau
mikroorganisme) mencemari aliran, sungai, danau, lautan atau badan air
lainnya sehingga menurunkan kualitas air dan menjadi beracun bagi manusia
dan lingkungan.4
Pengaturan hukum terkait dengan pencemaran air diatur dengan
Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990 Tentang Namun PP tersebut
kemudian diganti dengan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (LN Tahun 2001 No. 153).
Beberapa konsep yang diatur pada PP No. 82 Tahun 2001 yang berhubungan
dengan pengendalian pencemaran air, antara lain: air, pengelolaan kualitas
air, pengendalian pencemaran air, kriteria mutu air, baku mutu air, beban
pencemaran, daya tampung beban pencemaran.
Konsep tentang air terdapat pada Pasal 1 angka (1) bahwa Air adalah
semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air
laut dan air fosil. Selanjutnya Pasal 1 angka (2) menyebutkan Sumber air
adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ,
waduk, dan muara. Dari kedua pengertian tersebut, air yang dimaksudkan
tidak termasuk air laut.
4
Arum Sutrisni Putri, Pencemaran Air: Pengertian, Penyebab, Dampak, Pencegahan",
ttps://www.kompas.com/skola/read/2020/01/15/170000969/pencemaran-air--pengertian-penyebab-dampak-
pencegahan?page=
Sesuai PP No. 82 Tahun 2001, kewenangan pengelolaan kualatis air
air diberikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Dalam hal ini Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki
kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air, karena Bupati/Walikota merupakan pejabat yang berwenang
dalam penerbitan ijin pembuangan air limbah dan pengawasan Pemberian
kewenangan ini disesuaikan dengan pola desentralisasi yang dititik beratkan
pada kabupaten/kota berdasarkan undang-undang yang berlaku.
:
(3) Pengawasan dan Pemantauan
Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan dalam hal
pengendalian pencemaran air yaitu tugas pengawasan atas penaatan
persyaratan dalam ijin pembuangan air limbah. Dalam hal ini
Bupati/Walikota dapat membentukpetugas pengawas daerah (Pasal 20 PP
82/2001). Tetapi berdasarkan Pasal 45 PP No. 82/2001, ‘dalam hal tertentu’
pejabat pengawas lingkungan pusat dapat melakukan pengawasan.
Penjelasan Pasal 45 menjelasakan bahwa yang dimaksud ‘dalam hal tertentu’
adalah bahwa daerah belum mampu melakukan pengawasan, belum ada
pejabat pengawas, belum tersdeianya sarana prasarana pengawasan atau
daerah tidak menjalankan tugas pengawasan .
2. Pencemaran udara;
Pencemaran udara adalah suatu kondisi dimana kehadiran satu atau lebih
substansi kimia, fisik atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang
membahayakan. Berbahaya kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan,
mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Polusi udara
merupakan salah satu jenis dari pencemaran lingkungan hidup selain
pencemaran tanah, pencemaran air, pencemaran suara.
Beberapa pengertian tentang pencemaran udara dapat diuraikan sebagai
berikut:
Dalam Ensiklopedia Internasional, definisi peencemaran
udara :”Extraneous gases and small suspended particles in the earth’s
atmosphere”. Sudirman dalam tulisannya ‘Kriteria Pencemaran udara dan air
pada Journal of public Health: memberikan batasan bahwa Pencemaran
udara diartikan sebagai adanya bahan atau zat-zat asing diudara dalam
jumlah yang dapat menyebabkan perubahan komposisi atmosfer normal”.
Hasil laporan Tim Pengkajian Hukum Lingkungan Tentang Pencemaran
udara, BPHN mencantumkan pengertian sebagai berikut: Pencemaran udara
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy atau
komponen lain kedalam udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh
kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun
sampai ke tingkat tertentu yang dapat menyebabkan gangguan dan atau
kerugian terhadap makhluk hidup atau benda-benda disekitarnya.
Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, Pencemaran Udara adalah masuknya atau
dimasukannya zat, energy, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien
oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat
tertentu yang emnyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
Lebih lanjut Pasal 1 angka (2) PP No. 41 Tahun 1999 memberikan
pengertian Pengendalian Pencemaran Udara adalah upaya pencegahan
dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan kualitas udara”.
Mengacu pada rumusan tersebut pengendalian memiliki unsur-unsur:
pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kualitas udara. Secara
substansial makna penanggulangan dimaksudkan untuk menangani (udara),
niscaya pemulihan kualitas udara menjadi sasaran primer upaya pengendalian
pencemaran udara. Langkah pemulihan udara pada hakekatnya telah
terakomodasi dalam istilah penanggulangan pencemaran udara. Dengan
demikian, pengendalian pencemaran udara merupakan serangkaian aktivitas
yang berupaya untuk mencegah dn menanggulangi terjadinya pencemaran
udara yang berorientasi pada pemulihan mutu udara.5
Sumber pencemaran udara yang diatur pada PP No. 41 Tahun 1999,
dirumuskan dalam Pasal 1 butir 12 – 15, yaitu sumber bergerak, sumber
bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, sumber tidak bergerak spesifik.
Pasal 1 angka (12) Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak
atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor;
Pasal 1 angka (13) Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang
bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kereta api,
pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
Pasal 1 angka (14). Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang
fetap pada suatu tempat; Pasal 1 angka (15). Sumber tidak bergerak
spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal
dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah;
b. Pengaturan Pengendalian Pencemaran Udara
Dalam upaya mengendalikan pencemaran udara diperlukan pengaturan
hukum sebagai komponen pengendalian yang merupakan instrument untuk
mencegah dan menanggulangi pencemaran udara. Dari aspek yuridis
5
Suparto Wijoyo, Refeleksi Matarantai Pengaturan Hukum Pengelolaan Lingkungan Secara Terpadu
(Studi Kausu Pencemaran Udara), Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hlm.28
pengelolaan lingkungan (environmental management) memerlukan
pengaturan pengendalian udara yang komprehensif. Perlindungan lingkungan
terhadap (dampak) pencemaran udara merupakan salah satu bidang kajian
hokum lingkungan. Sebagaimana dikemukakan F.P.C.L. Tonner yang dikutip
oleh Suparto Wijoyo, bahwa kita mengenal peraturan perundang-undangan
tentang perlindungan alam….dan peraturan perundang-undanngan tentang
perlindungan lingkungan ….peraturan perundang-udangan yang kedua dapat
dipilah berdsarkan berdasarkan obyeknya, yakni yang mempunyai kaitan
dengan perlindungan terhadap air permukaan, kualitas udara, tanah,air bawah
tanah, pengelolaan, limbah dan perlindungan dari gangguan bising, bahan-
bahan berbahaya dan sinar radiasi.6
Pengaturan pengendalian pencemaran udara untuk mencapai udara yang
sehat dan berkelanjutan di Indonesia, menurut Mieke Komar Kantaatmadja,
bahwa public law yang dibutuhkan tidak berupa satu Peraturan
Pemerintah….tetapi lebih luas mencakup semua peraturan yang ada kaitan
dengan aspek pncemaran udara, ditingkat nasional, antar sector,, Peraturan
Daerah Tingkat I, II dst……Undang-Undangdan PP lain…perlu dibentuk
peraturan lain, baik Undang-Undang, Keputusa Menteri, Perda tk. I dst’.
Pengaturan hukum pengendalian pencemaran udara mencakup keseluruhan
kerangka aturan hukum (legal framework) di bidang hokum
lingkungansebagai hokum fungsional yang berkaitan dengan pengendalian
pencemaran udara.
Beberapa perangkat hukum yang berkaitan dengan pengaturan
pengendalian pencemaran udara antara lain:
a. PP No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara (LN
Tahun 1999 No. 86);
b. PP No. 4 Tahun 2001 tentang PengendalianKerusakan dan/atau Pencemaran
Lingkunan Hidup berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (LN.
Tahun 2001 No.10);
Selain itu beberapa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, yaitu:
Keputusan No. 35/MenLH.10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor; Keputusan No. 12/MenLH/3/1996 tentang Baku
MutuEmisi Sumber Tidak Bergerak; Keputusan No. 48/MenLH/11/1996
tentang Baku Tingkat kebisingan; Keputusan No. 49/MenLH/11/1996 tentang
Baku Tingkat Getaran; Kep No. 50 /MenLH/11/ 1996 tentang baku Tingkat
Kebauan; Kep No. 45?MenLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemar
Udara; dan Keputusan Kepala Bapedal No. 107/Ka BAPEDAL/11/1997
tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta InformasiIndeks
Standar Pencemar Udara.
c. Pencegahan, Penanggulangan dan Pemulihan Berdasarkan PP No. 41
Tahun 1999
Pengendalian pencemaran udara dilakukan melalui tiga upaya yaitu:
pencegahan, penanggulan dan pemulihan mutu udara. Upaya pencegahan
pencemaran udara dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Penetapan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA);
b. Baku Mutu Emisi Sumber Tak Bergerak (BMESTB);
c. Baku Tingkat Gangguan (BTG);
d. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor (ABEGBKB).
6
Ibid
Pemerintah menetapkan BMUA nasional (terlampir dalam lampiran PP
No. 41 Tahun 1999). Gubernur berwenang menetapkan BMUA daerahnya
dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari BMUA nasional. Jika Gubernur
belum menetapkan BMUA daerahnya, maka berlaku BMUA nasional. BMUA
nasional maupun daerah ditinjau lima tahun sekali. (Pasal 4 & 5 PP No. 41
Tahun 1999).
Upaya penanggulangan dan pemulihan dilakukan melalui langkah-
langkah berikut:
a. Mewajibkan kegiatan sumber pencemar melakukan penanggulangan dan
pemulihan;
b. Menetapkan pedman tenis penanggulan dan pemulihan;
c. Melakukan pengawasan penaatan oleh sumber pencemar;
d. mewajibkan pelaku pencemaran udara membayar biaya penanggulangan
dan mewajibkan pencemar membayar ganti rugi kepada penderita.
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak dilakukan
melalui pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi, pemantauan emisi
yang keluar dari kegiatan dan pemeriksaan penaatan terhadap persyaratan
teknis pengendalian pencemaran udara (Pasal 28).
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak dilakukan
melalui upaya-upaya sebagaimana dalam Pasal 31, Pasal33 dan Pasal 36,
yaitu:
(1) pengawasan terhadap penaatan ambang batas emisi gas buang,
pemeriksaan emisi gas buang, pemantauan mutu udara disekitar jalan,
pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan
bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar belerang
rendah sesuai standar internasional;
(2) kewajiban memenuhi ambang batas emisi gas buang bagi kendaraan
bermotor lama dan baru;
(3) uji tipe emisi bagi kendaraan baru dan uji emisi bagi kendaraan bermotor
lama.
Penanggulangan pencemaran udara yang berasal dari sumber gangguan
melalui upaya-upaya seperti yang tercantum pada Pasal 37, Pasal 40, Pasal 41
dan Pasal 43 PP 41 Tahun 1999, sebagai berikut:
i. pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan
gangguan;
ii. penaatan terhadap baku tingkat gangguan;
iii. pemenuhan ambang batas kebisingan;
iv. uji tipe kebisingan bagi kendaraan baru dan ujikebisinganbagi kendaraan
lama.
d. Pengendalian Pencemaran Udara berdasarkan No.4 Tahun 2001
PP No. 4 Tahun 2001 tentang PengendalianKerusakan dan/atau
Pencemaran Lingkunan Hidup berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau
Lahan merupakan perangkat hukum yang khusus diterbitkan untuk
pengendalian pencemaran udara yang bersumber dari kebakaran hutan. Hal ini
dilator belakangi karena kegiatan pengalihan fungsi lahan dan kawasan hutan
menjadi kawasan perkebunan dan pertanian melalui pembakaran. Kegiatan
tersebut telah menimbulkan pencemaran udara atau kabut asap di beberapa
wilayah di Indonesia dan mencapai beberapa Negara tetangga diAsia Tenggara
(Malaysia, Singapura).
PP No.4 Tahun 2001 memuat: ketentuan larangan, kewajiban, atau
perintah dan tentang hak. Dalam ketentuan PP No. 4 tersebut dibedakan
terhadap siapa norma hukum tersebut diarahkan, yaitu orang, pengusaha dan
instansi Pemerintah.
Ketentuan uang bersifat larangan seperti diuraikan sebagai berikut:
a) Pasal 11: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan
dan atau lahan”. Ketentuan larangan tersebut bersifat mutlak karena tidak
ada pengecualian.
b) Pasal 12 Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan
atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran
hutan dan atau lahan;
c) Pasal 17 Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan
atau lahan di lokasi kegiatannya;
d) Pasal 20 Setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan
dan atau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup
e) Pasal 39 ayat (1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya
kebakaran hutan dan atau lahan, wajib melaporkan kepada pejabat daerah
setempat.
Ketentuan uang bersifat perintah atau kewajiban kepada pengusaha
adalah sebagai berikut:
a) Pasal 13 Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan atau lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan
di lokasi usahanya.
b) Pasal 14 ayat (1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 wajib memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk
mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
c) Pasal 15 Penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
wajib melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan
dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data
penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dengan
tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.
d) Pasal 18 ayat (1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di
lokasi usahanya dan wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran
hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
e) Pasal 21 ayat (1) Setiap penanggung jawab usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya.
f) Pasal 41, wajib menyampaikan laporannya kepada
Gubenur/Bupati/Walikota yang bersangkutan.
Pasal 45 ayat (1), Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan informasi dalam rangka ikut serta melakukan upaya
pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang meliputi : a. peta
daerah rawan kebakaran hutan dan atau lahan; b. peta peringkat bahaya
kebakaran hutan dan atau lahan; c. dokumen perizinan pengusahaan hutan dan
atau lahan; d. dokumen AMDAL; e. rencana penyiapan/pembukaan hutan dan
atau lahan; f. hasil penginderaan jauh dari satelit; g. laporan berkala dari
penanggung jawab usaha mengenai status penaatan terhadap persyaratan
perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); h. hasil pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dan ayat (2).
Ketentuan Pasal 45 ayat (1) tentang pengakuan hak tersebut adalah
bagian dari peranserta dalam pengendalian pencemaran kerusakan dan
pencemaran lingkungan yang bersumber dari pembakaran lahan dan hutan
BAB. 7.
PENGENDALIAN DAN PENGELOLAAN B3 DAN LIMBAH B3
b. Pengaturan Hukum
Pengeaturan pengelolaan B3 terdapat dalam beberapa peraturan, yaitu:
1) Gevarlijke Stoffen Ordonantie Stb. 1949 No. 337;
2) PP No. 7 Tahun 1993 tenmtang Pengawasan atas Peredaran, penyimpanan dan
Penggunaan,Pestisida;
3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Berbahaya dan Beracun
5) Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah
Berbahaya dan Beracun
6) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-68/BAPEDAL/05/1994 tentang
Tata Cara Memperoleh Izin Penyimpanan, Pengumpulan, Pengoperasian Alat
Pengolahan, Pengolahan, dan Penimbunan Akhir Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun
7) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-01/BAPEDAL/09/1995 tentang
Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun
8) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-02/BAPEDAL/09/1995 tentang
Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
9) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-03/BAPEDAL/09/1995 tentang
Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
10) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-04/BAPEDAL/09/1995 tentang
Tata Cara Persyaratan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi
Bekas Pengolahan, dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun
11) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-05/BAPEDAL/09/1995 tentang
Simbol dan Label Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
12) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-02/BAPEDAL/01/1998 tentang
Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
di Daerah.
13) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-03/BAPEDAL/01/1998 tentang
Program Kemitraan Dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun.
14) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-04/BAPEDAL/01/1998 tentang
Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Kemitraan Dalam
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. 74 J
Ketentuan Peralihan:
a) Apabila saat ini Penghasil limbah B3 yang telah melakukan penimbunan limbah
B3 dan tidak memenuhi persyaratan seperti dalam peraturan ini maka wajib
melakukan pembersihan dan pemulihan lingkungan.
b) Bila penghasil tidak melakukan pembersihan/pemulihan lingkungan,
sebagaimana dimaksud no. 1 di atas, maka Bapedal dapat melaksanakan atau
meminta pihak ketiga untuk melakukan hal tersebut dengan biaya dibebankan
kepada Penghasil/Pencemar.
c) Orang atau Badan Usaha yang telah melakukan pengumpulan atau pengolahan
limbah B3 wajib meminta Izin ke Bapedal paling lambat 30 April 1995.
Dalam hal terjadi pelanggaran berkaitan dengan pengelolaan B3 dan limbah B3,
maka sanksi dapat diberikan kepada pihak yang melanggar melalui sanksi administrasi,
perdata dan pidana.
BAB. 8.
12
Satjipto Rahadjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm. vii
13
Soerjono Soekanto, Faktor- Faktor Yang Memperngaruhi Penegakan Hukum, Penerbit UI Press,
Jakarta, hlm. 35
Menurut Drupsteen, hukum lingkungan adalah cabang hukum yang disebut
sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitudidalamnya terdapat
unsur-unsur hukum administrasi, hokum pidana dan hokum perdata. Oleh karena itu
penegakan hukum lingkungan dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan
instrument-instrumen dan sanksi-sanksi dalam lapangan hukum administrasi, hokum
pidana dan hukum perdata dengan tujuan memaksa subyek hukum yang menjadi sasaran
mematuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Penggunaan instrumen
hokum perdata, yaitu gugatan perdata, dpat dilakukan oleh warga, badan hukum perdata
dan juga instansi pemerintah.15
Menurut Siti Sundari Rangkuti,16 penegakan hukum lingkungan berkaitan erat
dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang
berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum yaitu administrasi, pidana dan perdata.
Sebagaimana dikemukakan Biezeveld, penegakan hukum lingkungan merupakan upaya
untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hokum
yang berlaku secara umum dan individual, melaluipengawasan dan penerapan (atau
ancaman) sarana administrasi, kepidanaan, dan keperdataan. Selanjutnya penegakan
hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan
efektivitasnya.
Mas Achmad Santosa, berpendapat bahwa penegakan hukum lingkungan adalah
sebuah alat (a means) untuk mencapai tujuan (an end). Tujuan penegakan hokum
lingkungan adalah penaatan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung
ekosistem dan fungsi lingkungan hidupyang pada umumnya diformalkan ke dalam
peraturan perundang-undangan termasukketentuan yang mengatur baku mutu limbah
atau emisi. Penegakan hukum tidak hanya soal penjatuhan sanksi (sanctioning)
administrasi, perdata dan pidana, melainkan terlebih dahulu harus ada panaatan
(compliance)17
Pasal 1 angka (25 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyebutkan sengketa lingkungan hidup
adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi
dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
Dari pengertian tersebut dapat diuraikan bahwa: pertama, sengketa adalah
perselisihan, konflik atau kontoversi yang berkaitan dengan suatu tuntutan atau hak.
Dalam Kamus BI Kontemporer sengketa diartikan sebagai ”sesuatu yang merupakan
sumber perbedaan pendapat, pertengkaran atau perbantahan.18 Peraturan Pemerintah
(PP) No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengekta
Lingkungan diluar Pengadilan, menyebutkan sengketa lingkungan adalah perselisihan
antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemarandan
atau perusakan lingkungan. Dalam pengertian tersebut menurut Sudharto P Hadi, di
lapangan konflik atau sengketa lingkungan lebih luas cakupannya dalam arti bukan
hanya karena adanya pencemaran dan perusakan tetapi juga perubahan tata guna lahan,
kewenangan pemanfaatan, perebutan hak pemanfaatan.Selanjutnya Sudharto
mengemukakan bahwa lingkungan hidup memiliki potensi konflik yang tinggi. Hal
14
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, diakses tanggal 5 Oktober 2020 dari
http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf.
15
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indoesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm 207-
208.
16
Siti Sundri Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga
University Press, Surabaya, 1996, hlm. 190-191.
17
Mas Achmad Santosa, Good GovenancDan Hukum Lingkungan, ICEL, Jakarta, 2001, hlm. 234
18
Hyronimus Rhiti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Penerbit Universitas AtmaJaya,
Jogyakarta, 2006, hlm. 41
tersebut disebabkan ciri-ciri yang melekat dan cara pandang pihak-pihak yang
berkepentingan yang berbeda. Ciri-ciri tersebut adalah bahwa lingkungan itu bersifat
intangible, eksternalitas negative jangka panjang dan masih kuatnya anggapan bahwa
lingkungan iitu merupakan barang public (common property).19
Sengketa lingkungan hidup muncul sebagai perselisihan akibat tuntutan orang
akan hak-hak mereka yang ’ditolak’ oleh pihak lain. Misalnya, Pasal 65 ayat (1)
UUPPLH, bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketika
ada pencemaran lingkungan, maka hak orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
tersebut telah dilanggar oleh pelaku pencemaran. Orang kemudian menuntut haknya,
tetapi tuntutan itu dengan berbagai alas an. Timbullah selanjutya sengketa, konflik,
kontroversi atau perselisihan.
Menurut Heinhard Steiger sebagaimana dikutip Koesnadi Hardjasoemantri, 20 hak
tersebut adalah ’hak subyektif’ (subjective right), yaitu sebagai bentuk yang paling luas
dari perlindungan seseorang. Hak itu memberikan kepada yang memilikinya suatu
tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan lingkungan hidup yang baik dan
sehat itu dihormati, suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum dengan
perlindungan hhukum oleh Pengadilan dan peragkat-perangkat lainnya. Tuntutan
tersebut mempunyai dua fungsi yaitu (a) dikaitkan pada hak membela diri terhadap
gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada lingkungan; (b) dikaitkan pada hak
menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya dilestarikan, dipulihkan atau
diperbaiki. Hal tersebut diatur pada Pasal 87 UUPPLH tentang ganti kerugian dan
pemulihan lingkungan.
Kedua, yang dimaksud dua pihak atau lebih pada Pasal 1 angka (25) adalah pihak
pencemar dan/atau perusak lingkungan (pelaku) serta pihak korban pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan. Secara teoritis, pihak pelaku bias orang perseorangan, dan/atau
kelompok orang, dan/ atau badan hukum (sesuai dengan pengertian ‘orang’ pada Pasal 1
angka (32) UUPPLH.
Penyelesaian sengketa lingkungan, yang dimaksudkan adalah prosedur yang
dilalui untuk mencari atau mendapatkan keputusan, solusi atau penyelesaian atas
sengketa lingkungan hidup (karena pencemaran dan/atau perusakan), baik melalui
pengadilan maupun di luar pengadilan. Prosedur adalah tahapan-tahapan tertentu yang
mesti dilalui sebelum sampai pada hasil akhirnya. Hasil akhir dapat berupa keputusan
hakim (perdata, sanksi pidana (untuk proses peradilan pidana), dan kesepakatan
19
Sudharto P Hadi, Resolusi Konflik Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
2004, hlm.2
20
Koesnadi Hadjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Jogyakarta, 2000,
hlm. 93
milieurecht). Menurut H Bocken, berkaitan dengan masalah lingkungan hidup terdapat
tiga fungsi dari hukum perdata21:
a. Melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-noram hokum
lingklungan baik yang bersifat hokum privat maupun hokum publik.
b. Hukum perdata dapat memberikan penentuan norma-norma (normstelling dalam
masalah LH
c. Hukum perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti rugi
atas pencemaran lingkungan hidup terhadap pihak yang menyebabkan timbulnya
pencemaran. Biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum.
Menurut Koeman22 hukum perdata-khususnya gugatan berdasarkan perbuatan
melawan hukum dan hakim perdata sesungguhnya memiliki arti penting bagi hokum
lingkungan. Pada pokoknya hal itu berkaitan dengan empat fungsi, yaitu:
a) Penegakan melalui hokum perdata;
b) Penetapan norma tambahan;
c) Gugatan untuk memperoleh ganti kerugian;
d) Perlindungan hukum tambahan.
Salah satu fungsi dari gugatan perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum adalah
untuk penegakan hukum. Di Belanda, konsep perbuatan melawan hukum berdasarkan
ketentuan Pasal 1401 BW lama mirip dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata,
sedangkan dalam BW Baru dirumuskan dalam Pasal 6:162. Dikemukakan leh
Drupsteen, gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum dapat dilakukan baik oleh
warga masyarakat maupun oleh pemerintah. Walupun demikian pengajuan gugatan
perdata sebagai sarana penegakan hokum oleh penguasa/pemerintah terbatas pada situasi
bilamana penegak hukum administrasi tidak memadai.
Menurut Koeman, Norma-norma hukum lingkungan termasuk bagian dari norma-
norma hukum publik. Penegakan atas norma-norma hukum lingkungan dibedakan atas
tiga bidang, yaitu:
a. Penegakan ketentuan bersifat larangan dalam peraturan perundang-undangan
lingkungan; dimaknai bahwa peraturan perundang-undangan lingkungan melarang
kegiatan-kegiatan tertentu. Pelanggaran trhadap ketentuan-ketentauan tersebut
termasuk dalam pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam
pengertian Pasal 1401 BW (art. 6:162 NBW).
b. Penegakan ketentuan-ketentuan atau persyaratan-persyaratan dalam ijin; dimaknai
bahwa perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan persyaratan-persyaratan, yng
secara sah ditetapkan dalam sebuah ijin lingkungan, dianggp tidak menurut hokum.
c. Penegakan terhadap ketetapan sanksi-sanksi; dalam hal ini gugatan penegakan hokum
perdata pada akhirnya dapat memaksakan penaatan terhadap keputusan sanksi hokum
publik.
Pertanggungjawaban perdata baik dalam sistem civil law maupun common law,
pada umumnya didasarkan pada aturan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan.
Dalam civil law, menurut Tunc, dasar dari pertanggungjawaban perdata (tort) adalah
aturan yang menyatakan bahwa:”[e]very act wahatever of man that causes damage to
another, obliges him by whose fault it happened to repair it”. Di Indonesia aturan ini
disebut dengan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Sedangkan dalam system common
law, Peck menyatakan bahwa pertanggungjawaban perdata yang paling umum dan
dominan adalah negligence.
21
Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum lingkungan oleh Hakim Perdata, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm. 1
22
Takdir Rahmadi, Op.Cit, hlm. 259
Menurut Badrulzaman, syarat-syarat agar seseorang bertanggung jawab
berdasarkan PMH adalah:
1. Harus ada perbuatan, baik dalam artian melakukan perbuatan maupun tidak
melakukan perbuatan;
2. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melawan hokum;
3. Adanya kerugian;
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan yang melawan hokum dengan kerugian;
5. Adanya kesalahan(schuld)
Menurut Rosa Agustina, yang dikutip oleh Andri G Wibisana23 sebelum
Lindenbaum vs Cohen (1919), pengadilan telah menerapkan pengertian melawan hokum
dalam arti sempit (formil), “ dimana perbuatan melawan hokum dinyatakan sebagai
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau bertentangan
dengan kewajiban hokum pelaku yang telah diatur oleh undang-undang. Dalam
pengertian ini perbuatan dianggap melawan hokum hanya jika melanggar apa yang telah
diatur oleh undang-undang. Tetapi setelah adanya putusan Lindenbaum vs Cohen,
dimana pengadilan menafsirkan melawan hukum secara luas (materiil), yang meliputi
tidak hanya pelanggaran atas apa yang telah ada didalam undang-undang (hokum
tertulis) tetapi juga pelanggaran ats hokum tidak tertulis berupa kaedah kesusilaan dan
kepatutan. Selanjutnya perbuatan melawan hhukum menurut dalam arti luas menurut
Rosa Agustina diartikan sebagai berikut:
1) Melanggar hak subyektif orang lain. Hak subyektif ini diartikan baik sebagai hak –
hak perseorangan (seperti kebebasan, kehormatan, atau nama baik), maupun sebagai
ha katas harta kekayaan (hak kebendaan dan hak mutlak lainnya);
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku , baik kewajiban yang dirumuskan
dalam hukum tertulis maupun dalam hukum tidak tertulis;
3) Bertentangan dengan kaedah kesusilaan, yaitu bertentangan dengan norma yang
diakui sebagai norma hukum.
Menurut teori relativitas (Schutznormtheorie), pelaku perbuatan melawan hokum
(tergugat) akan bertanggung jawab bila norma yang dilanggar dimaksudkan untuk
melindungi penderita (penggugat).
4. Kerugian (Schade)
Dalam pengertian ini kerugian tidak hanya mengenai kerugian secara konkrit
dalam bidang harta kekakayaan saja, tetapi meliputi kerugian immaterial atau ‘ideele
schade’.25 Secara teoritis, kerugian (damage/losses) dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu kerugian yang dapat secara langsung dihitung dengan uang (pecuniary losses) dan
yang tidak dapat secara langsung dihitung dengan uang (non-pecuniary losses), seperti
misalnya hilangnya kenikmatan hidup (loss of amenity) dan adanya penderitaan (pain
and suffering).26
Dalam Principles of European Tort Law, dijelaskan mengenai kerugian, yaitu:
1) Title IV, Chapter 10, Section 2, menurut Pasal 10:201, pecuniary losses adalah
berkurangnya kekayaan (patrimony) korban karena adanya kerugian. Selanjutnya
pecuniary losses dibagi dalam (a) kerugian yang muncul karena kerugian personal
dan kematian (personal injury and death) dan (b) kerugian karena hilangnya atau
rusaknya barang (loss, destruction, and damage of thing).
2) Pasal 10:202 ayat 1 terkait personal injury, membagi pecuniary losses ke
dalamkerugian karena luka badan, mental, hilangnya penghasilan (loss of income),
terganggunya kemampuan memperoleh penghasilan (impairment of earning
capacity), dan ongkos-ongkos lain yang relevantermasuk biaya perawatan (medical
expences).
3) Pasal 10:202 ayat 2 terkait dengan kerugian karena kematian (death), membagi
pecuniary losses kedalam kerugian yang terjadi karena kematian anggota keluarga
yang selama ini menjadi sumber pendapatan
4) Pasal 10:203 ayat 1, terkait dengan kerugian karena hilang/rsaknya barang,
menyatakan bahwa ukuran untuk menghitung kerugian adalah berkurangnya nilai
(diminution of value) dari suatu benda;
5) Pasal 10:203 ayat 2 menyatakan bahwa kerugian juga dapat dinilai dari hilangnya
manfaat dari sebuah benda (loss of use of the thing);
6) Title IV, Chapter 10, Section 3, Pasal 10:301 ayat 1, non-pecuniary losses dapat
terjadi pada mereka yang menderita secara personal (personal injury), maupun
kerugian atas kehormatan (dignity), kebebasan (liberty), dan hak personal lainnya.
Ditambhakan juga bahwa seseorang dapat meminta penggantian atas non-pecuniary
losses karena adanya penderitaan pada diri seseorang yang memiliki hhubungan
dekat dengannya.
Di Belanda Pasal 6:95 BW, membedakan antara kerugian materiil dan immaterii.
Kerugian materiil merupakan kerugian yang dapat di nilai uang, sedangkan immaterial
25
Paulus Effendi Lotulung, Op.Cit, hlm. 28.
26
Andri G Wibisana, Op.Cit. hlm.217
adalah kerugian yang tidak dapat/sulit dinilai dengan uang dan hanya dapat dimintkan
jika undang-undang menentukan.
Berkaitan dengan kerugian dalam bidang lingkungan hidup, menurut Paulus
Lotulung,27 kerugian dapat ditimbulkan oleh alam atau oleh perbuatan manusia. Kerugian
oleh perbuatan manusia dapat dibedakan:
a. Perbuatan dalam bentuk membubuhkan atau mencampurkan zat-zat kimia, atau zat
lain yang berasal dari luar lingkungan. Ini mengenai pencemaran atau pengotoran
lingkungan;
b. Perbuatan yang tidak memasukkan unsur luar ke dalam lingkungan atau miliu, tetapi
berupa merusak lingkungan itu sendiri.
Dalam kasus pencemaran atau perusakan lingkungan seringkali terdapat kombinasi dari
beberapa macam kerugian, baik yang bersifat materiil maupun immaterial (moral).
Mengenai besarnya kerugian yang harus diganti, pada dasrnya bersifat nutuh (volledig),
termasuk juga kerugian yang akan diderita dalam waktu yang akan datang (in de
toekomst). Di Belanda berdasarkan Nieuw BW Pasal 6.1.9.12a, kepada hakim diberi
wewenang untuk menguranginya (matigingsrecht) apabila pemberian ganti rugi secara
penuh berdasarkan keadaan-keadaan yang ternyata dari hasil pemeriksaan akan
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Keadaan-keadaan yang perlu diperhatikan
adalah:
a) Sifat pertanggungan jawab (de aard van de aansprakelijkheid), misalnya tingkat
kesalahan tidak terlalu besar;
b) Kemampuan membayar dari masing-masing pihak (de draagkracht van beide
patijen), misalnya besarnya biaya-biaya yang harus dipikul.
Masalah besarnya ganti rugi berkaitan lingkungan hidup, seperti halnya dalam ganti rugi
pada umumnya, yang dapat dikabulkan dapat berdasarkan pada rasa kepantasan dan
keadilan (ex aequo et bono).
Di Indonesia dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 (UUPLH), kerugian
lingkungan dijelaskan dalam pasal yang mengatur tentang hak gugat pemerintah. Pasal
90 UUPPLH menyebutkan bahwa pemerintah berhak mengajukan gugatan atas
terjadinya pencemaran/kerusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian lingkungan.
Kerugian lingkungan adalah “kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang bukan milik privat”. Selain pembayaran ganti rugi,
dalam Pasal 90 ayat (1) pemerintah juga dapat meminta dilakukannya tindakan tertentu
berupa tindakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
pencemaran/kerusakan, serta pemulihan fungsi lingkungan hidup.
Menurut Andri G Wibisana,28 kerugian lingkungan memliki sifat yang sedikit
berbeda dengan kerugian pada umumnya. Pada satu sisi, kerugian lingkungan dapat saja
terjadi pada kerugian sumber daya yang dimiliki secara privat, dan dalam hal ini
kerugian seringkali bersifat materiil. Sisi lain kerugian lingkungan dapat terjadi juga
pada sumber daya lingkungan yang tidak dimiliki secara privat, yang bentuknya
merupakan kerugian immaterial. Selain kemungkinan tersebut, dapat juga terjadi
kerugian lingkungan pada sumber daya privat namun bersifat immaterial, atau sebaliknya
terjadi pada sumber daya yang tidak dimiliki secara privat namun bersifat materiil.
Menurut pandangan Edward Brans, kerugian lingkungan nmemiliki karakteristik yang
membuatnya tidak kompetibel dengan pembagian kerugian materiil-immateriil
berdasarkan kerugian perdata pada umumnya. Sementara itu menurut Lui Jing, ciri lain
yang membedakan kerugian lingkungan dari kerugian perdata konvensional, yaitu:
27
Paulus Effendi Lotulung, Op.Cit. hlm. 29-30
28
Andri G Wibisana, Op.Cit, hlm. 218
1) Kerugian lingkungan seringkali lebih memerlukan adanya tindakan pemulihan
dibandingkan dengan ganti kerugian;
2) Kerugian lingkungan seringkali disertai pula dengan kerugian pada orang (personal
injuries) dan barang milik perorangan (property damage);
3) Kerugian lingkungan seringkali terjadi tidak hanya dalam tahap pengoperasian suatu
kegiatan, tetapi juga dalam tahap persiapan, bahkan tahap setalah kegiatan selesai
dilakukan.
Oleh sebab itu, mengacu pada hal tersebut kerugian lingkungan tidak dapat diatasi hanya
dengan mengandalkan system pertanggungjawaban perdata, tetapi harus juga melalui
regulasi system kompensasi yang baik.
DUDUK PERKARA •
PT. KALLISTA ALAM, diwakili oleh SUBIANTO RUSID selaku Direktur,
berkedudukan di Jalan Gampong Kuala Seumayam,Kecamatan Dahrul
Makmur,Kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh,dalam hal ini memberi kuasa
kepada: FIRMAN AZUAR LUBIS, S.H., dan kawan-kawan, Para Advokat pada
Kantor Hukum Firman Azuar Lubis & Rekan, berkantor di Jalan Brigjend H.A.
Manaf Lubis Nomor 1-B Medan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 22
September 2014;
30
Takdir Rahmadi, Op.Cit, hlm. 270
31
Andri G Wibisana, Op.Cit, hlm. 18
f. Tuntutan atau petitum secara jelas dan rinci, serta memuat pula usulan tentang
mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti rugi kepada seluruh anggota
kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yng membantu
memperlancar pendistribusian ganti rugi.
Dari syarat petitum diatas dapat dilihat bahwa didalam gugatan calss action, penggugat
dapat megajukan permohonan putusan ganti rugi dan/atau permohonan
dilakukannya/dihentikannya perbuatan tertentu oleh tergugat.
property) dan bersifat peninggalan serta turun temurun (legacy). Implikasi dari
‘kepemilikan bersama’ dan ‘turun temurun’ mengandung arti bahwa lingkungan
hidupnharus selalu terpelihara kelestariannya. Oleh sebab itu siapapun berkewajiban
asasi untuk memelihara dan melangsungkan kelestarian lingkungan hidup. Pelestarian
LH merupakan hal yang mutlak, karena melestarikan LH berarti melestarikan serta
melangsungkan hidup.
Pengakuan terhadap prinsip “pemilikan bersama” (common property),
“kewajiban asasi setiap insan melestarikan lingkungan hidup dan prinsip “turun
temurun”, di Indonesia secara tegas dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI
1945, Gais-Garis Besar Halauan Negara (GBHN) 1998, Pasal 10 dan Pasal 5 UU No. 4
Tahun 1982, yang kemudian ganti dengan UU No. 23 Tahun 1997 dan sekarang yang
berlaku UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH).
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH), hak gugat organisasi lingkungan
hidup diatur dalam Pasal 92 ayat (1) bahwa “dalam rangka pelaksanaan tanggungjawab
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak
mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”. Namun
demikian hak mengajukan gugatan ‘terbatas’ pada tuntutan untuk melakukan ‘tindakan
tertentu’ tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil. Hal ini
diatur dalam Pasal 92 ayat (2). Demikian juga setidak setiap OLH mempunyai hak gugat.
Hanya OLH yang memenuhi syarat tertentu mempunyai hak gugat (ius standi/standing
to sue) mengatasnamakan lingkungan hidup. Persyaratan tersebut tercantum dalam Pasal
92 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan
gugatan apabila memenuhi persyaratan:
a. Berbentuk badan hukum;
b. Menegaskan didalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat
2 (dua) tahun.
Dalam hukum acara perdata di Indonesia yang didasarkan pada Hukum Acara
perdata yang diperbaharui (HIR) dan RBg, belum mengatur konsep hukum mengenai hak
gugat organisasi, class action dan citizen law suit. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya
tata cara yang jelas, dan pengaturannya tergantung pada Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA).
Pada awal pengajuannya ke pengadilan, legal standing organisasi lingkungan
hidup selalu ditolak oleh hakim karena tidak ada peraturannya dalam hukum acara
34
Mas Achmad Santosa, Op.Cit, hlm.292
perdata yang berlaku. Namun pada tahun 1988 telah terjadi pergeseran paradigm hakim
dalam memahami makna ‘patisipasi masyarakat’ dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam perkara Perdata yang diputus kan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tanggal 14 Agustus 1989, menempatkan Yayasan Wahana Lingkunga Hidup (WALHI)
sebagai penggugat terhadap BKPM Pusat bersama-sama dengan Gubernur Sumatera
Utara, Menteri Perindustrian, Menteri KLH, Menteri Kehutanan dan Perusahaan Pulp
dan Rayon PT Inti Idorayon Utama yang masing-masing sebagai tergugat. Majelis
Hakim PN Jakarta Pusat dengan Putusan No. 820/Pdt.G/1988/PN JKT PST, menolak
gugatan penggugat Yayasan WALHI yang mempersoalkan keabsahan studi AMDAL PT
IIU, ditutupnya akses penggugat pada informasi AMDAL dan soal kerusakanserta
pencemaran lingkungan. Namun disisi lain, Yayasan WALHI meski tidak memiliki
kepentingan (property interest) ‘diakui’ standing-nya untuk tampil sebagai penggugat di
muka pengadilan. Inti keputusan yang menyangkut soal standing ini sekaligus
menggeser doktrinhukumperdata konvensional yang mendalilkan ‘tiada gugatan tanpa
kepentingan hukum’.
Menurut Fajar Winarni, hal tersebut menjadi sejarah dalam dalam hukum acara
perdata di Indonesia, karena legal standing WALHI diterima oleh hakim meski saat itu
belum ada peraturannya.35 Setelah putusan itu, Pemerintah dan DPR akhirnya
mengadopsi konsep legal standing dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup pada Pasal 38. Pengakuan yang tegas juga dimasukkan dalam
perubahan Undang-Undang tersebut, yakni UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pasal 92 UU PPLH sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya.
Lebih lanjut menurut Fajar Winarni, persyaratan organisasi lingkungan tersebut
yang diiuji oleh hakim dalam perkembangan legal standing pasca pengakuan terhadap
konsep legal standing sejak 1997. Peraturan perundang-undangan sektoral, sebenarnya
sudah banyak mengatur legal standing. Legal standing organisasi justru memperluas
makna kepentingan dalam hukum. Dalam hukum perdata konvensional, kepentingan
hukum itu adalah kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan atau kepentingan
materiil berupa kerugian yang dialami secara langsung. Dalam legal standing organisasi
lingkungan hidup, kepentingan hukumnya diartikan sebagai kepentingan pelestarian
lingkungan hidup. Dengan demikian, organisasi lingkungan hidup tidak memiliki
kepentingan kepemilikan atau mengalami kerugian secara langsung. Hal ini belum
terakomodasi dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku.
35
Muhammad Yasin/AJI/ADY, Layar Terkembang Untuk Hak Gugat Organisasi, Class Action, Dan
Citizen Lawsuit, diakses tanggal 15 Oktober 2020 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a255f2b2ff59/layar-terkembang-untukhak-gugat-organisasi--class-
action--dan-citizen-lawsuit
DAFTAR PUSTAKA
Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum lingkungan oleh Hakim Perdata, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1993