Anda di halaman 1dari 5

Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Rohmatan lil Alamin

Menggali Potensi Daerah Lewat Wirausaha Muda

Lampiran Artikel Kegiatan 5

Borobudur Ramai Wisatawan Tetapi 3 Desanya Dilanda Kemiskinan

Daya pikat Candi Borobudur sebagai destinasi wisata memang tak perlu diragukan. Dibangun pada abad
ke-IX, di atas bukit yang dikelilingi pegunungan kembar (Merapi-Merbabu & Sindoro Sumbing), monumen
Buddha terbesar di dunia itu adalah magnet bagi para pelancong lokal dan mancanegara.
Dengan kunjungan rata-rata 3,5-3,8 juta turis per tahun, wisata Candi Borobudur jadi penopang
pendapatan pariwisata di Kabupaten Magelang—pada 2015 menyetor Rp96,49 miliar atau 95,93 persen dari
total pendapatan obyek wisata.
Namun, besarnya pendapatan itu tak serta-merta berdampak pada perekonomian masyarakat desa di
sekitarnya.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPD) Jawa Tengah mencatat, tiga desa di Kecamatan
Borobudur masih masuk dalam zona merah kemiskinan, yakni Giri Tengah, Ngadiharjo dan Wringinputih.
Saya menyaksikan langsung bagaimana kondisi Giri Tengah, berjarak sekitar 7 kilometer dari Candi
Borobudur, pada Rabu, 13 November lalu. Dibandingkan desa yang lebih dekat lokasinya dengan Candi
Borobudur, pembangunan infrastruktur Giri Tengah memang terlihat masih minim.
Beberapa titik jalan belum teraspal, berlubang dan terlihat gelap saat saya melewatinya jelang Maghrib
karena tak ada penerangan. Kondisi ini membuat akses ke Giri Tengah yang menanjak dan berkelok di kaki
perbukitan Menoreh rawan kecelakaan.
Turis dari Candi Borobudur juga jarang ada yang berkunjung meski desa itu punya potensi pariwisata
yang tak kalah menarik: kerajinan pahat topeng kayu, anyaman bambu, batik tulis, hingga gamelan.

Mati Suri Balkondes


Sebenarnya, desa-desa di Kecamatan Borobudur punya Balai Ekonomi Desa (Balkondes) yang dapat
kucuran dana corporate social responsibility BUMN, PT Taman Wisata Candi Borobudur.
Balai yang diresmikan serentak di 20 desa pada tahun 2017 itu diharapkan jadi ruang bagi masyarakat
untuk mengembangkan potensi ekonomi desanya masing-masing.
Namun hingga sekarang, manfaatnya belum benar-benar dirasakan. Pengelola Balkondes Giri Tengah,
Cahyo Sipiani mengatakan, waktu kunjungan turis yang relatif sebentar di Candi Borobudur jadi salah satu
penyebab sepinya kunjungan ke desanya.
Para pelancong biasanya hanya mampir ke Borobudur, lalu kembali ke penginapan mereka di
Yogyakarta. Padahal, jika mereka singgah lebih lama, banyak potensi pariwisata lain yang bakal berkembang
di desa-desa Kecamatan Borobudur.
"Sejarah Giri Tengah ini jadi saksi peperangan Pangeran Diponegoro dulu, jadi banyak petilasan-
petilasan, dari ujung sana sampai ujung sana, itu ada ceritanya semuanya," ungkapnya.
Selain itu, menurut Cahyo, pengelola Candi Borobudur juga masih kurang promotif terhadap potensi
wisata desa-desa setempat.
Hal serupa juga disampaikan oleh Aan Hermawan, 42 tahun, salah satu pengelola Balkondes di Desa
Majaksingi. Menurutnya masih ada ketimpangan antara Balkondes Majaksingi dengan Balkondes lain yang
lokasinya lebih dekat dengan candi.
Desa Majaksingi sendiri memiliki beberapa produk unggulan seperti sangkar burung, kesenian pitutur,
kerajinan bambu, dan kerajinan besek. Mereka juga menawarkan wisata caving Gua Maria Watu Tumpeng.
Aan bahkan menyebut tak hanya Balkondes Majaksingi dan Giri Tengah saja yang lesu dan sepi.
"Balkondes Kebonsari, Balkondes Tanjungsari, dan Balkondes Wringinputih seperti 'mati suri'. Bahkan
Wringinputih bangunannya lapuk sebab pakai bambu," tuturnya.
Supoyo, 38 tahun, seorang pengrajin gerabah di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Borobodur,
mengamini hal tersebut. Dusun Klipoh sendiri jadi desa wisata kerajinan gerabah tradisional; ada 85 keluarga
yang memproduksi gerabah berbentuk kendi, asbak, hingga patung dari tanah.
Supoyo mengatakan, efek domino pariwisata Candi Borobudur terhadap dusunnya masih minim karena
sedikitnya para turis untuk berkunjung.
Padahal harga gerabah produksi Supoyo dan komunitas masyarakat lain di sekitar Borobudur relatif
terjangkau. Sebuah piring kecil dari gerabah yang biasa digunakan untuk tempat sambal, misalnya, hanya
dibandrol dua ribu rupiah.
Tapi, sepinya aktivitas pariwisata di Klipoh bukan sepenuhnya salah para turis. Supoyo mengatakan,
minimnya informasi mengenai desa-desa wisata di desa-desa sekitar Borobudur juga jadi salah satu
penyebab.
"Yang pasti kan untuk kegiatan wisata kan harus kontinyu, kalau misalnya cuma beberapa langkah terus
wisatawan sudah lelah setelah dari Candi Borobudur, enggak menutup kemungkinan tamu yang hadir
akhirnya enggak mampir ke desa-desa wisata," ujarnya saat ditemui Tirto, Rabu (13/11/2019) lalu.

Upaya Kembangkan Wisata Sejarah


Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) membenarkan bahwa selama ini turis
yang datang ke Candi Borobudur hanya enggan mencari wisata alternatif di desa-desa sekitar milik rakyat
lokal.
Karena itu, pemerintah tengah merancang konsep wisata Borobudur dengan gaya interpretative tour dan
storytelling.
Pasalnya, selama ini tour guide yang membawa wisatawan ke Candi Borobudur hanya menceritakan
sejarah candi yang normatif saja tanpa ada kisah-kisah lainnya.
Anggota Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah, Religi, Seni, Tradisi, dan Budaya
Kemenparekraf RI, Revalino Tobing, mengatakan akademisi penting untuk dilibatkan karena mereka dapat
menggali konsep wisata dari narasi-narasi sejarah yang telah ada.
Beberapa yang telah ditawarkan untuk ikut bekerja sama adalah dosen sejarah, antropologi, arkeologi,
dan kajian budaya dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Bisa juga diangkat mengenai orang-orang sekitar Borobudur di masa lampau dan masa kini sehingga
bagaimana faktor yang membuat Borobudur menunjang kehidupan warga sekitar sampai sekarang. Semisal
pengrajin gerabah sekarang, itu kan ada di relief-relief sejak zaman dahulu," katanya, Rabu (13/11/2019)
lalu.
Dalam hal ini, lanjut Revalino, Supoyo dan komunitas masyarakat pengrajin gerabah di Dusun Klipoh
juga akan dilibatkan. Sementara di Giri Tengah, yang sempat menjadi lokasi perang Pangeran Diponegoro,
sangat memungkinkan masuk ke dalam wisata interpretatif tour.
Salah satu anggota Tim Penyusun Narasi Legenda Borobudur UGM, Louie Buana, membenarkan ucapan
Revalino.
Menurutnya, perlu para akademisi dan dosen yang paham mengenai narasi-narasi alternatif dari sejarah
Borobudur perlu dilibatkan agar para wisatawan agar lebih tertarik.
"Karena memang selama ini tour wisata Candi Borobudur hanya sebatas sejarah kapan dan oleh siapa
candi dibangun, tanpa pernah dipaparkan cerita-cerita menarik di balik semua relief-reliefnya. Kami ingin
mencoba memaparkan itu, tentu dengan kajian historis yang ketat dan saintifik," kata Louie.
Sumber: https://tirto.id/borobudur-ramai-wisatawan-tapi-3-desanya-dilanda-kemiskinan-elHV

EKONOMI KREATIF : Warga Sekitar Candi Diberdayakan dengan Cara Ini

Harianjogja.com, JOGJA -- Warga di sekitar candi perlu diberdayakan untuk meningkatkan


perekonomian. Jangan sampai hanya menyaksikan wisatawan hilir mudik mengunjungi candi, tetapi mereka
juga harus mengambil peluang bisnis dari rutinitas tersebut.
"Jangan sampai mereka hanya menjadi objek tapi sudah harus menjadi subjek. Caranya dengan membuat
batik motif relief candi," kata salah satu perwakilan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah
Wahyu Astuti saat membuka Pameran Batik Lokal Binaan Unesco, Kamis (2/6/2016).
Pembuatan batik motif relief candi sudah dimulai oleh Unesco, organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang memiliki perhatian pada pelestarian budaya. Sejak satu tahun lalu, Unesco telah mendampingi warga di
sekitar candi Borobudur, Prambanan, dan Candi Ijo untuk memproduksi kain batik dengan motif yang
mengeksplorasi lingkungan sekitar.
Masyarakat di sekitar Candi Sojiwan Prambanan menciptakan kain dengan motif binatang seperti yang
tertera dalam relief.
"Ada motif monyet, burung gagak, ular, kepiting, angsa, dan kambing," kata warga binaan Unesco ,
Hendra Pram, dari Dusun Kebon Dalam Kidul Prambanan.
Dalam sebulan, ia dan 13 temannya mampu membuat 13 potong kain batik. Kain tersebut dijual mulai
Rp250.000-Rp660.000 kepada para wisawatan yang berwisata ke Candi Sojiwan maupun di desa wisata di
dekat candi tersebut. Pembeli tidak hanya dari kalangan wisatawan tetapi juga kolektor kain batik.
"Otomatis kegiatan ini akan meningkatkan perekonomian karena pendapatan kami jadi bertambah.
Semoga masyarakat lain juga akan bergabung," kata Hendra.
Batik produksi para warga binaan Unesco dipamerkan di Tirana House Kotabaru hingga 31 Juli 2016.
Project Coordinator Unesco Jakarta Diana mengatakan, acara pameran ini serangkaian proses yang dilakukan
Unesco sejak 2013. Selain memberi pendampingan dan pelatihan tentang cara membatik, warga binaan juga
dilatih dalam bidang pemasaran.
"Terakhir mereka [warga binaan Unesco] kami ikutkan pameran di Inna Garuda. Kami mencoba antarkan
komunitas ini from zero to hero," tandasnya.
Sumber: https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2016/06/06/512/725991/ekonomi-kreatif-warga-sekitar-
candi-diberdayakan-dengan-cara-ini

Lampiran: Kegiatan 5
Analisis SWOT
Apa itu Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah sebuah bentuk evaluasi akan 4 hal penting (Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan
Tantangan) dalam pengambilan keputusan.
Strength (Kekuatan atau Kelebihan)
Weaknesses (Kelemahan atau Kekurangan)
Opportunities (Kesempatan atau Peluang)
Threats (Ancaman atau Tantangan)
SW adalah faktor dari dalam
OT adalah faktor dari luar
Apa fungsi dari Analisis SWOT?
Melakukan analisis SWOT membantu kita mengidentifikasi kekuatan agar dapat menyeimbangan kelemahan
kita dan juga mengatasi tantangan dengan menggunakan peluang-peluang yang ada. Hasil analisis SWOT
dapat dijadikan rujukan untuk menyusun strategi dan membuat keputusan, baik untuk kehidupan pribadi,
karir, ataupun dalam usaha.

ANALISIS SWOT

Faktor Strengths (Kekuatan/Kelebihan) Weaknesses (Kelemahan/Kekurangan)


Internal
- Apa sumber daya yang dimiliki? - Apa sumber daya yang kurang/tidak kita
- Apa keunikan/kekhasan yang dimiliki? miliki?
- Apa hal baik yang sudah/dapat dilakukan? - Apa hal baik yang perlu ditingkatkan?
- Apa hal baik yang orang lain - Apa kekurangan yang orang lain lihat/pikirkan
lihat/pikirkan tentang kita? tentang kita?

Faktor Opportunities (Kesempatan/Peluang) Threats (Ancaman/Tantangan)


Eksternal
- Apa kesempatan/peluang yang ada - Apa saja tantangan/kesulitan yang ada
sekarang? sekarang?
- Bagaimana mengubah kekuatan menjadi - Bagaimana dengan situasi persaingan?
peluang? - Bagaimana kelemahan yang dimiliki dapat
menjadi tantangan?
Sumber: dari berbagai sumber

Lampiran Artikel Kegiatan 6 : Kearifan Lokal dan Etika Berwirausaha


Kearifan Lokal Dalam Praktik Bisnis di Indonesia
Andi Wijayanto_Administrasi Bisnis FISIP Universitas Diponegoro
Kearifan lokal dapat diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, aturan, dan nilai-nilai sebagai hasil dari
upaya kognitif yang dianut masyarakat tertentu atau masyarakat setempat yang dianggap baik dan bijaksana,
yang dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat tersebut. Gagasan-gagasan dari kearifan lokal tersebut dapat
terwujud ke dalam berbagai bentuk, mulai dari kebiasaan-kebiasaan, aturan, nilai-nilai, tradisi, bahkan agama
yang dianut masyarakat setempat.
Bentuk-bentuk kearifan lokal lainnya dalam masyarakat misalnya adalah norma, etika, kepercayaan, adat-
istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Secara substansi kearifan lokal dapat berupa aturan mengenai
kelembagaan dan sanksi sosial, ketentuan tentang pemanfaatan ruang dan perkiraan musim untuk bercocok
tanam, pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, serta bentuk adaptasi dan mitigasi tempat
tinggal terhadap iklim, bencana atau ancaman lainnya.
Proses sosialisasi nilai-nilai kearifan lokal dilakukan sejak anak-anak. Pada usia anak-anak, nilai-nilai
tertentu biasanya akan mudah mengendap dibandingkan pada usia dewasa. Tidak hanya nilai-nilai filosofis
yang disosialisasikan sejak dini, demikian juga dengan nilai-nilai utama dalam bidang bisnis. Pada masa
anak-anak nilai-nilai penting dalam bidang bisnis di Indonesia umumnya ditanamkan melalui permainan-
permainan. Indrawati (2007) pernah melakukan penelitian terhadap 17 jenis permainan anak-anak pada
masyarakat Sunda. Penelitiannya menemukan berbagai nilai-nilai kearifan lokal yang sangat penting dalam
membentuk jiwa bisnis dalam diri anak-anak, misalnya adalah kejujuran, kesabaran, patuh pada aturan dan
peran, melatih tanggung jawab, kebijaksanaan untuk membedakan mana yang baik dan buruk, melatih jiwa
kepemimpinan, kerjasama, kebersamaan, kekompakan, musyawarah untuk mencapai kesepakatan, tidak
egois, tidak mudah putus asa, berkorban untuk kepentingan orang lain, kewaspadaan, berani mengambil
risiko dan konsekuensi terhadap pilihan yang dibuatnya, disiplin diri, kemurahan hati, menghargai kawan
dan lawan, mengetahui tugas dan kewajiban, menempatkan diri berdasarkan batasan aturan dan peran,
keuletan, semangat daya juang, melatih kepekaan, self-endurance, tahan terhadap godaan, serta teguh pada
pendirian.
Pada masyarakat Jawa, barangkali salah satu ungkapan yang paling populer dan merupakan produk
kearifan lokal adalah ungkapan “alon-alon asal kelakon”. Ungkapan ini seringkali dimaknai secara salah
yaitu diartikan sebagai kelambanan atau tidak responsif terhadap perubahan yang terjadi. Padahal dalam
ungkapan ini terdapat nilai kearifan lokal yang ingin disampaikan kepada masyarakat Jawa, khususnya
dalam pengambilan keputusan yang merupakan salah satu fungsi terpenting dalam kepemimpina bisnis.
Nilai-nilai tersebut adalah tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan, penuh kehati-hatian, cermat dan
teliti, dikaji dan dipertimbangkan secara mendalam sebelum mengambil keputusan.
Kepemimpinan dalam masyarakat Jawa juga diwarnai oleh falsafah Ing Ngarsa Sung tuladha, Ing Madya
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Seorang pemimpin harus bisa memberi contoh yang baik, membangun
prakarsa atau ide dan kemauan, serta memberi dorongan atau motivasi kepada staf bawahan. Budiyanto
(2010) dalam penelitiannya mengenai pengembangan ketahanan pangan berbasis pisang melalui revitalisasi
nilai kearifan lokal di wilayah Kabupaten Lumajang, Malang, dan Blitar menyebutkan bahwa terdapat
beberapa nilai-nilai kearifan lokal yang sangat mendukung pengembangan bisnis pisang di kawasan tersebut.
Misalnya adalah adanya tradisi pemanfaatan pisang dalam acara-acara budaya dan tradisi, seperti untuk acara
kemantenan, sunatan, nyadran, maupun acara adat lainnya sebagaimana berkembangnya usaha ternak di
daerah Sumba karena digunakan dalam acara-acara budaya dan tradisi (priyanto dalam Budiyanto, 2010).
Nilai-nilai 5 kerjasama sebagai salah satu nilai penting dalam organisasi bisnis juga dapat dilihat dengan
kegiatan usaha yang dilakukan dengan semangat gotong-royong.
Pada sebagian masyarakat Indonesia, nilai-nilai kearifan lokal dalam praktik bisnis juga banyak diwarnai
oleh nilai-nilai religi. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, nilai-nilai islam
cukup mewarnai kearifan lokal dalam praktik bisnis. Sebagai missal nilai-nilai tentang riba, timbangan jual
beli, pola hidup sederhana, tidak berlebihan dan tidak melampaui batas, tidak berbuat kerusakan pada
lingkungan sekitar, kewajiban zakat dan shadaqah, serta bekerjasama dalam usaha.
Sementara itu Setyadi (2012) melakukan penelitian nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam
tembang Macapat bagi masyarakat Jawa. Beberapa nilai kearifan lokal dalam tembang Macapat yang relevan
bagi praktik bisnis di Indonesia terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu klasifikasi permintaan dan klasifikasi
larangan. Berupa permintaan antara lain adalah hendaklah menjaga keprofesionalan, berusaha keras dalam
meraih cita-cita, rajin dan teliti, sabar, hati-hati dan cermat, musyawarah untuk perkara yang kecil maupun
besar, tidak individualis, senang menimba ilmu atau belajar tekun, berhati-hati dalam mengambil keputusan,
serta mencari kesempurnaan hidup. Sedangkan yang berupa larangan misalnya adalah tidak sombong,
angkuh, dan congkak, tidak suka disanjung dan disuap maupun menyuap, tidak suka mengobral janji.
Di Indonesia, salah satu etnis yang terkenal keuletannya dalam melakukan bisnis selain masyarakat
Minang dan Bugis adalah masyarakat Madura. Seperti halnya masyarakat Minang, aktifitas bisnis
masyarakat Madura bisa ditemui hampir di seluruh kota-kota di Indonesia. Djakfar (2011) meneliti kearifan
lokal masyarakat Madura yang menjadi landasan etos kerja mereka. Hasil penelitiannya menemukan bahwa
bagi masyarakat Madura berlaku ungkapan "abantal omba' asapo' angin" (berbantal ombak dan berselimut
angin). Ungkapan ini menyiratkan bahwa orang Madura selama dua puluh empat jam dalam kondisi bekerja
dan pantang menyerah. Peribahasa inilah yang menjadi landasan sikap kerja keras pebisnis etnis Madura
perantau. Peribahasa lainnya yang dianut antara lain adalah atonggul to'ot (memeluk lutut) dan nampah
cangkem (bertopang dagu) untuk menyebut mereka yang bersikap malas. Bahkan ungkapan yang lebih sinis
lagi bagi masyarakat Madura misalnya adalah ja' gun karo abandha peller (jangan hanya bermodalkan
kemaluan saja) untuk menyebut para suami kepala keluarga yang malas bekerja untuk menafkahi anak istri.
Semangat juang para pebisnis dari Madura untuk berwirausaha juga kental dengan semangat untuk memiliki
harga diri yang tercermin dari ungkapan "etembang noro' oreng, ango'an alako dhibi' make lane'kene'." yang
artinya, daripada ikut orang lain lebih baik bekerja (usaha) sendiri walaupun hanya kecil-kecilan (Triyuwono
dalam Djakfar, 2011). Masih banyak lagi falsafah pebisnis Madura yang menyebabkan mereka merasa malu
jika gagal berusaha sehingga membentuk sikap kerja keras dan ulet.
Sementara itu bagi para pebisnis dari Bugis berlaku motto Lempu’ (jujur), Acca (cerdas), Warani
(berani), Getteng (integritas; teguh pendirian), dan Sipakatau (saling memanusiakan) merupakan sifat-sifat
yang baik bagi kepemimpinan dalam rangka memajukan usaha. Konsep ini secara nyata diterapkan pada
perusahaan PT. Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), yang mana prinsip Akkatenningeng (prinsip dasar hidup
personal sebagai pegangan hidup bermasyarakat) dan Siri’ (malu/harga diri) tidak hanya sekedar konsepsi,
tetapi merupakan pencerminan diri dalam setiap perilaku dan kebijakan yang mewarnai manajemen
perusahaan tersebut. Penerapan kearifan lokal dalam menjaga stabilitas kerja dan manajemen perusahaan itu
tergambar dalam Motto Perusahaan PT. BKI yaitu “TERPERCAYA” (lempu/malempu), yang berarti jasa
yang 6 diberikan haruslah berkualitas, dalam arti dapat diandalkan, efisien, tepat waktu dan memiliki
reputasi. Perusahaan juga menetapkan nilai-nilai yang harus dijaga dan dikembangkan, yaitu INTEGRITAS
(getteng), PROFESIONALISME (acca/macca) (Makkulau, 2012).
Pada masyarakat Bali yang kental dengan keindahan seni dan budaya juga terdapat ungkapan yang dianut
dalam praktik bisnis, yaitu ''bani meli bani ngadep''. Kalimat ini artinya adalah “berani membeli berani
menjual”. Maksud kalimat pendek ini sangat dalam bahwa dalam menentukan harga barang atau jasa harus
ada keadilan dan tidak saling merugikan. Harga itu harus tidak merugikan pembeli dan juga penjual. Dalam
menentukan satuan harga itu harus ada berbagai perhitungan dengan menggunakan berbagai ilmu (Gobyah
dalam Balipost, 17 September 2003).
Indonesia kaya akan khasanah seni dan budaya yang salah satunya berupa nilainilai, kebiasaan dan tradisi
yang membentuk kearifan lokal. Banyak diantaranya berkaitan dengan tatanan sosial budaya masyarakat
yang menciptakan keteraturan. Meski banyak nilai-nilai kearifan lokal yang positip bagi praktik bisnis,
namun kajiankajian yang ada lebih banyak menyoroti mengenai bagaimana kearifan lokal mampu
menyelesaikan berbagai persoalan sosial budaya dan konservasi sumberdaya alam.
Penulis yakin bahwa masih banyak nilai-nilai kearifan lokal yang penting bagi praktik bisnis, namun tidak
banyak yang dapat penulis temukan dari berbagai literatur yang ada, tidak seperti halnya kearifan lokal
dalam bidang sosial, budaya, dan konservasi sumberdaya alam. Pada beberapa daerah di wilayah Indonesia
kearifan lokal tersebut makin lama makin memudar digantikan oleh nilai-nilai global. Meskipun nilai global
tidak selalu sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, namun nampaknya di kalangan muda nilai-nilai
tersebut tak lagi menjadi idola.
Penelitian mengenai hal ini dari sudut pandang ekonomi bisnis kiranya penting dilakukan. Namun yang
lebih penting lagi adalah bagaimana mensosialisasikan nilainilai tersebut pada generasi muda sehingga tidak
lenyap ditelan nilai-nilai global. Hal ini dikarenakan meskipun banyak perusahaan-perusahaan telah telah go
global namun masih tetap memegang prinsip “Think Globally, Act Locally”. Berfikir global, bertindak
menurut nilai-nilai lokal adalah falsafah yang dianut perusahaan-perusahaan multinasional. Untuk dapat
bertindak secara lokal, maka pemahaman terhadap kearifan lokal menjadi sangat penting dalam dunia bisnis.
Kearifan lokal merupakan kebiasaan-kebiasaan, aturan, dan nilai-nilai sebagai hasil dari upaya kognitif
yang dianut masyarakat tertentu atau masyarakat setempat yang dianggap baik dan bijaksana, yang
dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat tersebut. Terdapat berbagai nilai-nilai kearifan lokal yang
menjadi landasan bagi berbagai praktik bisnis di Indonesia. Nilai-nilai tersebut umumnya bervariasi menurut
etnik mengingat bahwa Indonesia terdiri dari berbagai sukubangsa. Umumnya di setiap suku ataupun suatu
komunal di Indonesia dapat ditemui nilai-nilai tersebut, baik pada masyarakat Jawa, Sunda, Bali, Lombok,
Minang, Dayak, Bugis, hingga Papua.
Penelitian mengenai hal ini dari sudut pandang ekonomi bisnis kiranya penting dilakukan. Namun yang
lebih penting lagi adalah bagaimana mensosialisasikan nilainilai tersebut pada generasi muda sehingga tidak
lenyap ditelan nilai-nilai global.

Catatan: kutipan langsung. belum disederhanakan


Sumber: https://core.ac.uk/download/pdf/17333727.pdf

Anda mungkin juga menyukai