Anda di halaman 1dari 9

Nama : Kartika Dina Rahma

NIM : 220704120030
Tutor : apt. Sadli Syarifuddin, S.Farm., M.Sc.

Step 6 : Student Centered Learning (Belajar Mandiri)

1. Skrining Resep

Skrining administratif Skrining Farmasetik Pertimbangan klinis

Nama √ Nama obat √ Kombinasi CCB dan


ACEI sinergis

Usia - Bentuk √

Jenis kelamin √ Kekuatan √


sediaan

Berat badan dan -


tinggi badan

Nama dokter √
peulis resep

SIP √

Alamat √

Nomer telepon √

Paraf -

Tanggal -
penulisan resep

Unit asal resep √

2. Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di
atas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (mordibitas) dan angka kematian/
mortalitas. Tekanan darah 140/90 mmHg didasarkan pada dua fase dalam setiap denyut jantung yaitu
fase sistolik 140 menunjukan fase darah yang sedang di pompa oleh jantung dan fase diastolic 90
menunjukan fase darah yang kembali ke jantung (Triyanto, 2017, p. 7)
Hipertensi biasanya tidak menimbulkan gejala yang spesifik, sehingga menyebabkan banyak
penderita hipertensi yang tidak diobati, dari pasien hipertensi yang mendapat pengobatan, hanya
sekitar 10-20% yang mencapai target kontrol tekanan darah. Diperkirakan prevalensi hipertensi akan
semakin meningkat sehingga memberikan dampak pada kesehatan masyarakat (JNC 8, 2014)
Komplikasi hipertensi dapat mengenai berbagai organ target seperti jantung penyakit jantung
iskemik hipertrofi ventrikel kiri gagal jantung otak (stroke) ginjal (gagal ginjal), mata (retinopati),
juga arteri perifer (klaudikasio intermiten) . Kerusakan organ-organ tersebut bergantung pada
tingginya tekanan darah pasien dan berapa lama tekanan darah tinggi tersebut tidak terkontrol dan
tidak diobati (JNC 8, 2014).

Tabel klasifikasi hipertensi menurut JNC 8 adalah sebagai berikut :

Gejala Hipertensi

Gejala – gejala hipertensi antara lain pusing, muka merah, sakit kepala, keluar darah dari
hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal, kelemahan pada otot, mual, muntah, sesak napas, dan
pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal,
dan lain-lain. Dampak yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi adalah kerusakan ginjal, pendarahan
pada selaput bening ( retina mata), pecahnya pembuluh darah di otak, serta kelumpuhan. Namun,
hipertensi sebenarnya sulit disadari karena hipertensi tidak memiliki gejala khusus (Saraswati,
2021).

Faktor Risiko Hipertensi

Faktor resiko penyebab hipertensi (Kemenkes, 2018) :

a. Kegemukan (obesitas).
Daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih
tinggi daripada dengan berat badan normal, pada orang kuruspun tidak tertutup kemungkinan
terserang hipertensi. Pada obesitas peluang terkena hipertensi lebih besar.
b. Stress.
Peningkatan aktivitas saraf simpatis (saraf yang bekerja pada saat kita
beraktivitas)mengakibatkan meningkatnya tekanan darah secara tidak menentu.
c. Faktor Keturunan (genetic).
Seseorang yang memiliki riwayat keturunan penderita hipertensi memiliki peluang lebih besar
terkena hipertensi daripada orang yang tidak memiliki riwayat keturunan.
d. Jenis Kelamin (gender).
Pria berpeluang menderita hipertensi lebih besar daripada wanita yang dipengaruhi oleh hormon.
Kadar hormon estrogen pada perempuan lebih banyak dari pada pria, dimana fungsi estrogen
adalah menjaga pembuluh darah lebih elastis dan licin sehingga mengurangi penumpukan plak
pada pembuluh darah.
e. Usia (umur).
Sering disebut bahwa hipertensi salah satu penyakit degenerative, yaitu penyakit karena usia.
Semakin bertambahnya usia akan semakin menurun produktivitas organ tubuh seseorang.
f. Makanan dan gaya hidup.
Gaya hidup yang menyebabkan hipertensi, antara lain konsumsi kopi berlebihan, minum
alkohol, kurang olahraga, stress, dan merokok. Factor makanan mencakup kegemukan,
konsumsi rendah serat, konsumsi garam yang berlebihan, tingginya asupan lemak.

Patofisiologi Hipertensi

Sistem pengendalian tekanan darah yaitu yang pertama adalah reseptor tekanan di berbagai
orang yang dapat mendeteksi perubahan kekuatan maupun kecepatan kontraksi jantung, serta
resistensi total terhadap tekanan tersebut. Kedua adalah ginjal yang bertanggung jawab atas
penyesuaian tekanan darah dalam jangka panjang melalui sistem renin-anggiotensin yang
melibatkan banyak senyawa kimia. Kemudian sebagai respons terhadap tingginya kadar kalium
atau angiotensin, steroid aldosteron dilepaskan dari kelenjar adrenal, yang salah satunya berada
di puncak setiap ginjal, dan meningkatkan retensi (penahanan) natrium dalam tubuh.
Darah yang mengalir ditentukan oleh volume darah yang dipompakan oleh ventrikel kiri
setiap kontraksi dan kecepatan denyut jantung. Tahanan vaskuler perifer berkaitan dengan
besarnya lumen pembuluh darah perifer. Makin sempit pembuluh darah, makin tinggi tahanan
terhadap aliran darah, makin besar dilatasinya makin 12 tinggi kurang tahanan terhadap aliran
darah. Jadi, semakin menyempit pembuluh darah, semakin meningkat tekanan darah. Dilatasi
dan konstraksi pembuluh – pembuluh darah dikendalikan oleh sistem saraf simpatis dan sistem
renin-angiotensi. Apabila sistem saraf simpatis dirangsang, ketekolamin, seperti epinefrin dan
norepinefrin akan dikeluarkan. Kedua zat kimia ini menyebabkan kontraksi pembuluh darah,
meningkatnya curah jantung, dan kekuatan kontraksi ventrikel.
Sistem pengendalian pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai
dari enam sistem reaksi cepat seperti refleksi kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflex
kemoreseptor, respons iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri
pulmonalis otot polos, sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan
antara sirkulai kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormone angiotensin dan
vasopressin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam jangka panjang yang
dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.
Jantung secara terus-menerus bekerja memompakan darah ke seluruh organ tubuh. Jika
tanpa gangguan, porsi tekanan yang dibutuhkan sesuai dengan mekanisme tubuh. Namun, akan
meningkat begitu ada hambatan. Inilah yang menyebabkan tekanan darah meningkat. Semakin
besar hambatannya, tekanan darah akan semakin tinggi. (Alifariki, 2018, p. 15)

Tata Laksana Hipertensi

Algoritma Hipertensi
Terapi non farmakologi

Modifikasi gaya hidup menjadi rekomendasi sebelum memulai terapi farmakologi.


Modifikasi gaya hidup tidak hanya menurunkan tekanan darah tetapi juga dapat mengurangi
berlanjutnya kondisi pada pasien dengan prehipertensi ke hipertensi derajat 1 atau 2 (Chobanian
dkk, 2004).

Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

 penurunan berat badan yaitu mempertahankanberat badan normal pada kisar BMI (Body
Mass Index) 18,5-24,9;
 perencanaan pola makan dengan mengkonsumsi buah-buahan, sayuran, dan produk rendah
lemak dengan mengurangi kandunganlemak saturasi dan lemak total, pembatasan natrium
dengan mengurangi natrium sampai tidak melebihi dari 100 mmol tiap hari (6 g NaCl atau
2-4 g natrium) setara 1 sendok teh, aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur, seperti jalan
cepat kurang lebih 30 menit setiap hari, pembatasan konsumsi alkohol pada laki-laki tidak
melebihi dari 2 gelas dan pada wanita dan orang kurus tidak melebihi dari 1 gelas tiap hari.

Modifikasi gaya hidup dapat menyebabkan penurunan tekanan darah, menambah efikasi
obat antihipertensi, dan dapat mengurangi resiko komplikasi penyakit kardiovaskuler (JNC-8,
2014).

Terapi Farmakologi

Tatalaksana terapi hipertensi diawali dengan pemakaian obat tunggal. Tergantung level
TD awal, rata-rata monoterapi menurunkan TD sistole sekitar 7-13 mm Hg dan diastole sekitar
4-8 mmHg. JNC VIII saat ini merekomendasikan untuk ras non black (indonesia) mulai dari
golongan thiazide dosis rendah, ACE-inhibitor, ARB, atau CCB tunggal atau kombinasi. Target
penurunan darah untuk hipertensi tunggal <150/90 mmHg dan untuk hipertensi dengan diabetes
melitus dan gagal ginjal kronis <140/90 mmHg (JNC 8, 2014).

Pemilihan terapi farmakologi hipertensi menurut JNC 8 adalah sebagai berikut :


Berdasarkan hasil tekanan darah pasien yaitu 180/100 mmHg maka langsung diberikan terapi
antihipertensi kombinasi sesuai dengan resep yaitu CCB + ACEI. Sesuai dengan Perkeni, 2021 yang
menyebutkan bahwa pada pasien dengan tekanan darah > dari sama dengan 160/100 diberikan terapi
kombinasi antihipertensi. Pengobatan hipertensi harus dilaksanakan seumur hidup meskipun tekanan
darah sudah mencapai target. Tekanan darah yang terkendali setelah satu tahun pengobatan, dapat
diturunkan dosis decara bertahap.

Menurut JNC 8 terapi hipertensi menggunakan 4 golongan antihipertensi yaitu Diuretik, ACE
Inhibitor, ARB, dan CCB. (Weber et al, 2014)

1. Diuretik
Diuretik merupakan obat antihipertensi yang mekanisme kerjanya meningkatkan ekskresi
natrium oleh ginjal dan kemungkinan memiliki beberapa efek vasodilator. Manfaat klinis
(pengurangan stroke dan kejadian kardiovaskular utama) merupakan hasil terbaik yang
ditunjukkan oleh chlorthalidone, indapamide, dan hidroklorotiazid.
2. ACE Inhibitor
ACE inhibitor dapat menurunkan vaskular sistemik tanpa meningkatkan denyut jantung dan
menyebabkan natriuresis. ACE inhibitor efektif dalam pengobatan hipertensi, menurunkan
angka kesakitan dan kematian pada gagal jantung dan disfungsi ventrikel kiri setelah infark
miokard, dan menunda perkembangan nefropati diabetik. ACE inhibitor juga menghambat
degradasi zat lain, termasuk bradikinin, substansi P, dan enkephalins. Penghambatan
metabolisme bradikinin oleh ACE inhibitor memberikan kontribusi signifikan terhadap
penurunan tekanan darah dan bertanggung jawab pada beberapa efek samping batuk dan
angioedema (Katzung, 2012).
3. Angiotensin II Reseptor Blocker (ARB)
ARB mengurangi tekanan darah dengan menghalangi aktivitas angiotensin II pada reseptor
AT1 sehingga mencegah efek vasokonstriktor. ARB tidak menyebabkan batuk dan jarang
menyebabkan angioedema serta memiliki efek dan manfaat yang sama dengan inhibitor ACE.
Obat ini memiliki manfaat yang sama pada hasil kardiovaskular dan ginjal sebagai inhibitor
ACE. ARB tidak boleh digunakan selama kehamilan, terutama pada trimester kedua atau ketiga
karena dapat membahayakan perkembangan normal janin.
4. Calcium Canal Blocker (CCB)
Obat golongan Calcium Canal Blocker bekerja dengan menghalangi aliran ion kalsium ke
dalam sel melalui saluran L dari sel otot polos arteri. Ada dua jenis utama CCBs yaitu
dihidropiridin seperti amlodipine dan nifedipine yang bekerja sebagai vasodilator dan
nondihydropyridines seperti diltiazem dan verapamil yang sedikit melebarkan arteri serta
mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas..
5. β-blocker Obat golongan ini bekerja dengan cara menurunkan curah jantung dan juga
mengurangi pelepasan renin dari ginjal. Namun, antihipertensi β-blocker kurang efektif dalam
menurunkan tekanan darah pada pasien kulit hitam. Efek samping utama dengan β-blocker
yaitu penurunan fungsi seksual dan kelelahan. Gabungan α-blocker dan labetalol, banyak
digunakan secara intravena untuk keadaan darurat hipertensi, dan digunakan secara oral untuk
mengobati hipertensi saat kehamilan dan menyusui. Contoh obat ini adalah labetalol, atenolol
dan propanolol.
6. Central α-agonist Contoh obat dari golongan ini adalah clonidine dan metildopa yang bekerja
dengan mengurangi aliran simpatik dari sistem saraf pusat dan efektif dalam mengurangi
tekanan darah pada sebagian besar kelompok pasien. Di negara seperti Amerika Serikat, α-
metildopa secara luas digunakan untuk mengobati hipertensi pada kehamilan.

DRP (drug related problem) dari resep

 Adanya interaksi obat : antara Norvask golongan CCB dan Tensicap golongan ACEi sinergis
 Kegagalan mendapatkan obat : uang pasien kurang
Peraturan Penggantian Obat Paten ke Obat Generik

Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


HK.02.02/MENKES/068/I/2010 : Apoteker dapat mengganti obat merek dagang/obat paten dengan
obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter
dan/atau pasien.

KIE

Aturan pakai obat dan Cara Penyimpanannya

 Norvask 5 mg 1 tablet 1 kali sehari (JNC 8, 2014), diminum sesudah makan pada pagi atau
malam hari
 Tensicap 12,5 mg 1 tablet 2 kali sehari (JNC 8, 2014), diminum pada saat perut kosong atau 30
menit sebelum makan, siang dan malam hari

Obat Norvask 5mg dan Tensicap 12,5mg disimpan pada tempat yang terhindar dari sinar matahari
langsung, tidak lembab pada suhu ruang, jauhkan dari jangkauan anak dan letakkan dalam kemasan
asli yang masih ada etiketnya (BPOM, 2015).

Efek samping

1. Norvask 5mg
Efek samping utama obat ini adalah hipokalemia, hiperglikemia, dan hiperurisemia yang dapat
dikurangi dengan menggunakan dosis rendah seperti 12,5mg atau 25 mg pada hidroklorotiazid
dan chlorthalidone atau dikombinasikan dengan ACEI atau ARB yang telah terbukti
mengurangi perubahan metabolik. Kombinasi diuretik dengan agen hemat kalium juga
membantu 25 mencegah hipokalemia. Diuretik paling efektif dalam mengurangi tekanan darah
bila dikombinasikan dengan ACEI, ARB atau CCBs. Dikombinasikan dengan golongan Tiazid
dan b-blocker juga merupakan cara yang efektif untuk mengurangi tekanan darah, tetapi dapat
meningkatkan konsentrasi glukosa darah sehingga harus digunakan dengan hati-hati pada
pasien dengan risiko terkena diabetes. . (Weber et al, 2014)

2. Tensicap 12,5mg
Efek samping dari golongan ACE inhibitor yaitu batuk kering, angioedema, dan hiperkalemia
(JNC-8, 2014). Efek samping yang paling umum adalah batuk kering yang teratasi bila
pemakaian dihentikan. Efek samping lainnya adalah hipotensi dan gagal ginjal akut . (Weber
et al, 2014)
Daftar Pustaka

Alifariki, L. O. (2019). Epidemiologi Hipertensi : Sebuah Tinjauan Berbasis Riset. Kendari: Leutika
Prio
BPOM, 2015 Gerakan Nasional Peduli Obat Dan Pangan (GNPOPA).BPOM RI. Jakarta
Chobanian, Aram V. M.D. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure.U . S . Department Of Health
And Human Services, NIH Publication No.04-5230
JNC-8. 2014. Joint National Committee on Prevention Detection, Evaluation,dan Treatment of High
Pressure VIII.Department of Health and Human Services: USA
Katzung, Bertram G. 2012. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. EGC, Jakarta
Kemenkes RI. 2018. Faktor Risiko Hipertensi. Jakarta: Kemenkes RI Direktorat Jenderal P2P
PERKENI. (2015). Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. In Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (1st ed.). PB. PERKENI. https://caiherang.com/wp-
content/uploads/2019/10/Konsensus-DMT2- Perkeni-2015.pdf
Rusdi dan Nurlaela Isnawati. 2009. Hipertensi dan Diabetes. Jogjakarta : Power Books
Saraswati RD. Transisi Epidemiologi Stroke sebagai Penyebab Kematian pada Semua Kelompok Usia
di Indonesia. Semin Nas Ris Kedokt (SENSORIK II). 2021;2(1):2021.
Triyanto, Endang. 2014. Pelayanan Keperawatan bagi Penderita Hipertensi Secara Terpadu.
Yogyakarta : Graha Ilmu
Weber, M.A., Schiffrin, E.L., White, W.B., Mann, S., Lindholm, L.H., Kenerson, J.G., dkk., 2014.
Clinical Practice Guidelines for the Management of Hypertension in the Community: A
Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of
Hypertension. Journal of Clinical Hypertension (Greenwich, Conn.), 16: 14–26.

Anda mungkin juga menyukai