Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM HERBAL

KELOMPOK 15

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara tropis memiliki beraneka ragam tumbuhan
yang dapat dimanfaatkan dalam terapi farmakologis. Pada saat ini, penggunaan
komponen alami semakin menarik perhatian pengembangan di dunia medis.
World Health Organization (WHO) sebagai contoh bekerjasama bersama
Center for Disease Control and Prevention (CDC) Afrika mendorong penelitian
obat herbal tradisional yang berpotensi sebagai terapi COVID-19. Obat herbal
yang digunakan dapat bersumber dari bagian-bagian tanaman yang berkhasiat
obat, baik berupa daun, rimpang, akar, kulit kayu, buah, bunga, dan lain
sebagainya. Bahan-bahan tersebut digunakan segar atau dikeringkan menjadi
simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat
tradisional yang belum mengalami pengolahan apapun dan berupa bahan yang
sudah dikeringkan (Utami, 2013). Simplisia dapat dimanfaatkan terutama untuk
pembuatan jamu serbuk, jamu gendong atau jamu ramuan pribadi. Penggunaan
jamu meski digunakan secara turun temurun, tentunya diperlukan penelitian
lebih jauh terkait khasiatnya secara evidence based medicine pada dunia medis.
Pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan ini disebut juga
dengan saintifikasi jamu. Salah satu lembaga yang berperan dalam proses ini
adalah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
(B2P2TOOT). B2P2TOOT bernanung dibawah UPT Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan di bawah Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
adalah salah satu badan dengan kegiatan utama menyelenggarakan saintifikasi
jamu dan integrasi jamu dalam sistem kesehatan.
B. Tujuan
1. Mengetahui bahan dasar ramuan antihiperuresemia
2. Mengetahui karakteristik setiap bahan dasar ramuan antihiperuresemia
3. Mengetahui senyawa aktif dari bahan dasar ramuan yang dapat bekerja
sebagai antihiperuresemia

C. Manfaat
Laporan ini dapat bermanfaat menjadi sumber informasi mengenai
potensi dari ekstrak daun kepel, daun tempuyung, kayu sacang, daun maniran,
rimpang temulawak dan rimpang kunyit sebagai ramuan untuk menurunkan
kadar asam urat serta dapat menambah database ilmiah dalam ilmu kesehatan
khususnya pada bidang farmakologi. 

BAB II
RESUME KEGIATAN PRAKTIKUM DAN PEMBAHASAN

A. BP2TOOT
Definisi: BP2TOOT (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat
dan Obat Tradisional ) merupakan unit pelaksana teknis Kementerian
Kesehatan Indonesia. Tugas dan fungsinya untuk melaksanakan penelitian dan
pengembangan tanaman obat dan obat tradisional meliputi eksplorasi,
inventarisasi, identifikasi, adaptasi, koleksi, dan pelestarian plasma nutfah
tanaman obat.
Visi:
1. Menjadi Institusi Rujukan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat
dan Obat Tradisional
2. Mewujudkan masyarakat yang sehat baik fisik maupun mental dengan
Jamu yang aman, berkualitas, dan bemanfaat)
3. Membuktikan kalau obat tradisional itu aman – menghilangkan sentiment
negatif 
Misi:
1. Meningkatkan mutu litbang
2. Mengembangkan hasil litbang
3. Meningkatkan pemanfaatan hasil litbang
4. Misi meningkatkan kualitas R & D, mengembangkan R & D, dan
pemanfatan R & D dikembalikan ke masyarakat
Nilai: PIREC – Pro People, Inclusive, Responsive, Effective-Efficient, Clean
Aktivitas penelitian dan pengembangan terintegrasi. Penelitian yang dilakukan
memiliki beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Eksplorasi tanaman obat
2. Budidaya tanaan obat
Selain untuk penelitian, budidaya juga digunakan sebagai
pemenuhan bahan baku untuk program saintifikasi jamu yaitu penelitian
berbasis pelayanan. Budidaya dilakukan di 5 kebun produksi tanaman obat
yang ada di ketinggian dan lokasi berbeda dengan total luas sekitar 18
hektar. Dintaranya yaitu di Karanganyar, Toh Kuning Karangpandan,
Doplang Karangpandan, Kalisoro Tawangmangu, Tlogo Dlingo
Tawangmangu, dan Citeureup Jawa Barat. Selain itu ada kebun etalase
tanaman obat yang didalamnya ada sekitar 800 spesies tanaman obat dari
berbagai daerah. Tahapan budidaya meliputi pemilihan lokasi penanaman,
penyiapan lahan, penyiapan bibit, proses penanaman, dan pemeliharaan.
Tanaman obat dipanen saat tanaman memiliki kandungan senyawa aktif
dalam kadar optimal yang diperoleh di umur, bagian tanaman, dan waktu
tertentu.
3. Paska panen
Pasca panen merupanan tahap penting untuk menyediakan bahan
baku jamu yang berkualitas untuk menjamin keseragaman senyawa aktif,
keamana, dan khasiat produk. Pengolahan pasca panen merupakan
pelakuan yang diberikan pada hasil panen hingga produk siap dikonsumsi
atau menjadi simplisia bahan jamu yang terstandar. Pasca panen harus
dilakukan dengan prosedur yang benar agar kualitasnya mencapai kualitas
standar jamu yang diinginkan. Proses pasca panen meliputi pengumpulan
bahan, sortasi basah, penirisan, pengubahan bentuk, pengeringan,  sortasi
kering, pengemasan, dan penyimpanan.

BP2TOOT memiliki laboratorium terpadu yang digunakan untuk


terus melakukan penelitian dan pengembangan agar mendapat formulasi
jamu terstandar dan tananaman obat terstandar. BP2TOOT merilis klinik
jamu yang diberi nama Hortus Medicus yang melayani pasien. Klinik ini
kemudian berkembang menjadi klinik saintifikasi jamu dan diresmikan
menjadi Rumah Riset Jamu Hortus Medicus. Di Klinik tersebut, ada
beberapa kegiatan yang dilakukan seperti pembinaan petani,  penyuluhan
pasien, pameran, dan wisata kesehatan jamu. Ada juga museum hortus
medicus, museum herbarium, perpustakaan, ruang sinema sitomedika, dan
gedung herbarium tawangmanguensis.
Berikut merupakan penelitian prioritas dari BP2TOOT.

a. RISTOJA (Riset Tumbuhan Obat dan Jamu): memproduksi database


dari pengetahuan  etnomedicines, ramuan obat, dan spesies tanaman
obat
b. Standarisasi tanaman obat: purwoceng, tempuyung, ekinase, pegagan,
stevia
c. Pengembangan Bahan Baku untuk Obat Modern: Silimarin
d. Penelitian Jamu saintifik: Formula Jamu Saintifik Hipertensi (Penurun
Tekanan Darah), Formula Jamu Saintifik Hiperurisemia (Penurun
Asam Urat), Formula Jamu Saintifik Dispepsia (Gangguan
Pencernaan), Formula Jamu Saintifik Hemoroid (Wasir), Formula
Jamu Saintifik Osteoarthritis (Radang Sendi), Formula Jamu Saintifik
Hiperkolesterolemia (Penurun Kolesterol), Formula Jamu Saintifik
Hepatoprotektor (Pelindung Fungsi Hati), Formula Jamu Saintifik
Hiperglikemia (Penurun Gula Darah), Formula Jamu Saintifik
Obesitas.

Milestone BP2TOOT:
- <1948 –  Kebun Koleksi RM Santoso S
- 1948 – Lembaga Eijkman “Horus Medicus”
- 1978 – Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO); Kepmenkes No. 149
Tahun 1978
- 2006 – Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat
(BP2TOOT); Permenkes No. 491 Tahun 2004
- 2010 –  Saintifikasi Jamu; Permenkes No. 003 Tahun 2010
- 2017 – UPT Rujukan Saintifikasi Jamu; Permenkes No. 65 Tahun
2017
- 2018 – Lembaga Litbang yang dibina menjadi Pusat Unggulan Iptek
(PUI) Saintifikasi Jamu; Kemenritekdikti
B. Saintifikasi jamu
Diatur dalam Permenkes 003 Tahun 2010
Tujuan:

1. Menyediakan bukti ilmiah mengenai penggunaan jamu


2. Memperluas jejaring pelayanan dengan melatih dokter-dokter yang akan
memanfaatkan jamu saintifik
3. Menyediakan bahan baku yang aman berkualitas dan kandungan kimianya
jelas
C. Pengembangan Obat Tradisional dan Tanaman Obat
Penelitian untuk pengembangan obat tradisional dan tanaman obat dibagi
menjadi 2, yaitu:
1. Penelitian mengenai penggunaan obat tradisional dan tanaman obat
- Penelitian Epidemiologi
- Penelitian di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
2. Penelitian mengenai efektivitas dan keamanan obat tradisional dan tanaman
obat
- Ramuan Baru (New Herbs), tahapan pengembangan meliputi:
a) Uji Pre-Klinik (pada hewan coba)
b) Uji Klinik Fase 1
c) Uji Klinik Fase 2A
d) Uji Klinik Fase 2B
- Jamu Empiris (Traditional Herbs), tahapan pengembangan meliputi:
a) Ethnomedicine : jamu minimal digunakan selama 3 generasi,
pengembangan tidak melalui uji preklinis (tidak melewati hewan
coba, bisa langsung diteliti pada manusia)
b) Penelitian Observasional
c) Uji Klinik Fase 2A
d) Uji Klinik fase 2B

Dalam proses penelitian, terutama dalam uji klinik, terdapat 3 parameter utama
yang dinilai:

1) Keamanan (Safety)
- Memastikan jamu aman untuk dikonsumsi, tidak berefek buruk pada
organ-organ metabolik seperti liver dan ginjal.
- Memastikan efek jamu atau tanaman obat terhadap profil darah, urine
dan parameter-parameter lain yang berpengaruh terhadap suatu
penyakit
- Meliputi:
a) Kejadian Tidak Diinginkan (AE/SAE)
- Mencatat setiap hal yang mengurangi kenyamanan pasien
selama uji klinis sebagai kejadian yang tidak diinginkan
- Menilai apakah kejadian yang tidak diinginkan tersebut
merupakan efek dari produk uji (obat tradisional) atau bukan
b) Fungsi Liver
c) Fungsi Ginjal
2) Kemanfaatan (Efficacy)
- Dinilai manfaat obat tradisional sesuai dengan penyakitnya
- Contoh : Pada penyakit Diabetes Melitus dinilai manfaat obat
tradisional terhadap GDS atau HbA1c
- Meliputi:
a) Temuan Klinis
b) Temuan Laboratorium
3) Kualitas Hidup Pasien (Patient Reporte Outcome/QoL)
- Sedikit berbeda dari pengobatan konvensinal.
- Dinilai apa yang dirasakan oleh pasien (apakah ada perbaikan atau
tidak)
- Melengkapi parameter kemanfaatan, dan memperkuat bukti ilmiah
penelitian
- Pengukuran QoL secara kualitatif, contoh : SF 36
D. Jamu Saintifik
Jamu merupakan gabungan dari beberapa tanaman obat. Terdapat 3 komponen
ramuan jamu, yaitu :
1. Komponen Primer : komponen yang diharapkan memiliki efek mengurangi
gejala klinis/kausatif pada pasien
2. Komponen Sekunder : tanaman obat yang bersifat suportif/penunjang
3. Komponen Tersier : tanaman obat yang menstimulasi rasa dan bau (supaya
lebih nyaman untuk dikonsumsi)
a. Jamu Hiperurisemia
- Komponen Primer : Herba tempuyung, kayu secang, daun kepel (efek
sinergis dalam mengurangi kadar asam urat dan melindungi fungsi
ginjal).
- Komponen Sekunder : Rimpang temulawak, rimpang kunyit (analgetik
dan antiinflamasi).
- Komponen Tersier : Herba meniran meningkatkan kekebalan tubuh dan
memperbaiki ginjal).
b. Jamu Hipertensi Ringan
- Herba seledri (diuretik)
- Herba pegagan (diuretik dan vasodilator)
- Daum kumis kucing (diuretik)
- Rimpang temulawak
- Rimpang kunyit
- Herba meniran
c. Jamu Wasir/Hemoroid
- Daun ungu
- Daun duduk (mengurangi tekanan darah, meningkatkan elastisitas
pembuluh darah
- Daun iler (memperlancar BAB)
- Rimpang temulawak
- Rimpang kunyit
- Herba meniran
d. Jamu Osteoartritis
- Biji adas
- Daun kumis kucing
- Herba rumput bolong
- Rimpang temulawak
- Rimpang kunyit
- Herba meniran
e. Jamu Dyspepsia
- Rimpang jahe
- Herba sembung
- Jinten hitam
- Rimpang kunyit
f. Jamu Hiperkolesterolemia
- Daun jati cina
- Daun jati belanda
- Herba tempuyung
- Teh hijau
- Rimpang temulawak
- Rimpang kunyit
- Herba meniran
g. Jamu Hepatoprotektor
- Daun jombang
- Rimpang temulawak
- Rimpang kunyit
h. Jamu Batu Saluran Kemih
- Daun kumisa kucing
- Daun keji beling
- Daun tempuyung
- Alang-alang
- Herba meniran
- Rimpang kunyit
- Rimpang temulawak
i. Jamu Hiperglikemia
- Daun salam
- Herba sambiloto
- Kulit kayu manis
- Rimpang temulawak
j. Jamu obesitas
- Daun jati belanda
- Daun kemuning
- Akar kelembak
- Daun tempuyung
k. Jamu Kebugaran
- Meniran
- Rimpang temulawak
- Rimpang kunyit
E. Rumah Riset Jamu “Hortus Medicus”
1. Moto :Ramah Informatif Terpercaya menuju masyarakat sehat dengan
jamu yang aman dan berkhasiat
2. Fasilitas :
- Klinik Saintifikasi Jamu Tipe A
- Griya Jamu
- Laboratorium klinik, USG, EKG
- Stone Therapy
- Kebun Sayur Organik
- Green Houses (adaptasi dan pelestarian)
Apabila stabil kemudian dilakukan pembibitan di Rumah Pembibitan (sesuai
dengan ketinggian untuk bisa tumbuh optimal)
- Etalase TO Indonesia (± 1.200 m dpl)
- Kebun Produksi TO Kalisoro (± 1.200 m dpl)
- Kebun Produksi TO Karangpandan (±400 dpl)
- Kebun Subtropik TO Tlogodlingo (± 1.800 m dpl)
3. Paska Panen :
- Sortasi basah
- Pengeringan
a. Pengeriangan Alami (sinar matahari)
b. Pengeringan Buatan (oven)
- Pengemasan dan pelabelan
- Penyimpanan
c. Pelatihan IPTEK
1) Pelatihan Dokten Saintifikasi Jamu
Bertujuan untuk menyiapkan Dokter SJ untuk melayani kesehatan
jamu di fasilitas pelayanan kesehatan
2) Pelatihan Apoteker Saintifikasi Jamu
Bertujuan untuk menyiapakan Apoteker SJ untuk melayani keseheatan
jamu di fasilitas pelayanan kesehatan
3) Pembinaan Petani
Bertujuan agar hasil panen para petani memiliki kualitas bagus dalam
menunjang kebutuhan produksi jamu
F. Kesimpulan
Penggunaan herbal apapun jenisnya baik itu produk yang sudah jadi atau yang
masih berupa simplisia/dedaunan maupun serbuk, baik oral ataupun topikal
sebelum diberikan pada pasien harus terlebih dahulu dibuktikan dengan EBM.
EBM bisa dicapai dengan melakukan riset atau penelitian terlebih dahulu.

 
BAB III
ANALISIS BAHAN SEDIAAN JAMU

A. Daun Kepel

Gambar 2.1 Daun Kepel (Ramadhan et al, 2016)

Kepel (Stelechocarpus burahol) merupakan salah satu pohon buah-


buahan yang asli ditemukan di Indonesia. Pohon Kepel (Stelechocarpus
burahol L.) adalah flora identitas Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditetapkan
dengan Keputusan Gubernur Kepala DIY No. 385/KPTS/1992 tentang
Penetapan Identitas Flora dan Fauna Daerah Propinsi DIY. Kepel dikumpulkan
dari Karanganyar, Nusa Kambangan, dan Cilacap, Jawa Tengah, dan juga dari
Yogyakarta, Indonesia. Daun kepel diekstraksi dengan metanol dan fraksinasi
dengan etil asetat dan air, sedangkan buahnya diekstraksi dengan heksana dan
residunya diekstraksi dengan etil asetat dan air. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ekstrak air dan ekstrak metanol daun kepel dan ekstrak air buah kepel
memberikan aktivitas penghambatan sebesar 51%. Ekstrak heksana dan etil
asetat buah daun kepel hanya memiliki aktivitas penghambatan sekitar 20%
(Batubara et al, 2010).
Stelechocarpus burahol secara tradisional digunakan sebagai obat untuk
menurunkan kadar asam urat dan diuretik. Fraksi tidak larut petroleum eter dari
ekstrak metanol daun kepel mampu menurunkan kadar asam urat dan hasil
identifikasi menunjukkan adanya flavonoid (Sutomo, 2003). Aktivitas
flavonoid sebagai penurun kadar asam urat melalui penghambatan enzim
xantin oksidase dari beberapa flavonoid selain dapat menghambat enzim xantin
oksidase juga bersifat sebagai antioksidan penangkap radikal superoksida (Cos
et al., 1998).
Sebagai upaya pencarian antioksidan alami, maka telah dilakukan
penelitian kandungan flavonoid antioksidan penangkap radikal dari daun kepel.
Potensi antioksidan penangkap radikal ditentukan menggunakan DPPH, suatu
radikal stabil dalam larutan air atau metanol dan mampu menerima sebuah
elektron atau radikal hidrogen untuk menjadi molekul diamagnetik yang stabil
(Oke et al., 2002; Hou et al., 2002). DPPH pada uji ini ditangkap oleh
antioksidan yang melepaskan hidrogen, sehingga membentuk DPPH-H
tereduksi. Warna berubah dari violet menjadi kuning dan diikuti penurunan
serapan pada panjang gelombang 517 nm. Adanya penurunan serapan tersebut
maka aktivitas antioksidan penangkap radikal dapat diketahui.
B.Daun Tempuyung

Gambar 2.1 Daun Tempuyung (Agrotek, 2020)


Tempuyung dengan nama latin Sonchus arvensis L yang berasal dari
suku Asteraceae sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai
tanaman obat potensial untuk menyembuhkan asam urat (Sukmayadi et al.,
2014: Harahap, 2020). Tempuyung juga merupakan salah satu tanaman yang
memiliki antivitas antioksidan (Ediningsih et al., 2019). Bagian yang
digunakan adalah daunnya. Daun tempuyung atau tanaman tempuyung
memiliki banyak ciri, yaitu tumbuh di ketinggian 1.600 mdpl, tumbuh di
daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi yang lembab dan sejuk serta
terpapar matahari langsung. Tanaman tempuyung tidak berkayu dan mudah
berkembang biak dengan biji yang terbawa angin. Daun tempuyung secara
makroskopis berbentuk lonjong, ujung runcing, warna hijau keunguan,
permukaan licin, dan tepi berombak bergerigi tak beraturan, panjang sekitar 6-
48 cm, dan lebar sekitar  3-12 cm. Secara mikroskopis, pada daun tempuyung
terdapat fragmen-fragmen Kristal kalsium oksalat yang berbentuk jarum,
kelenjar minyak atsiri, rambut kelenjar, rambut penutup, stoma dengan tipe
anisositik, dan berkas pembuluh (Harahap, 2020).
Karakteristik simplisia daun tempuyung memiliki kadar air sebesar
5,33%, kadar sari larut dalam air yang tidak kurang dari 28,27%, kadar sari
larut dalam etanol 9,42%, kadar abu total 16,44% dan kadar abu tidak larut
asam yang cukup tinggi sebesar 0,61%. Angka-angka tersebut sudah
memenuhi syarat simplisia yang baik. Selain itu, berdasarkan uji skrining
fitokomia, daun tempuyung mengandung golongan senyawa aktif berupa
alkaloida, flavonoida, glikosida, saponin, tannin, antrakunion, dan streoida atau
terpenoida (Harahap, 2020).
Dari beberapa senyawa aktif yang terkandung dalam daun tempuyung,
senyawa yang memberikan efek antihiperurisemia adalah flavonoid, senyawa
yang bersifat polar dan berpotensi menghambat xanthine oksidase. Kandungan
flavonoid total di dalam daun tempuyung cukup tinggi, sebesar 0,1044%.
Senyawa aktif golongan flavonoid daun tempuyung yang berperan aktif
terhadap penurunan kadar asam urat adalah golonga flavon yang terdiri dari
luteolin dan apigenin yang bersifat antioksidan dan dapat menghambat kerja
enzim xanthine oksidase dan superoksida, sehingga pembentukan asam urat
dapat dihambat. Efek penghambatan aktivitas enzim xanthine oksidase pada
daun tempuyung sudah dibuktikan secara in vitro dapat menurunkan kadar
asam urat sebesar 56,485% dengan menggunakan ekstrak air daun tempuyung
dosis 300 mg/kgBB dan memiliki nilai IC sebesar 23,64 ug/mL yang berarti
50

memiliki aktivitas antioksidan dengan kategori sangat kuat (Pribadi, 2020). 


C. Kayu Secang

Gambar 2.2 Tanaman Secang (Caesalpinia sappan L.) 

(Direktorat Obat Asli Indonesia, 2008)

Salah satu spesies tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai obat


tradisional adalah secang (Caesalpinia sappan L.), tergolong tumbuhan herbal
yang tumbuh alami pada hutan-hutan sekunder. Secang mengandung senyawa
fenolik seperti flavonoid, mempunyai aktivitas antioksidan penangkap radikal
bebas (Panovska et al., 2005 dalam Rahmawati, 2011).
Kayu secang memiliki khasiat sebagai pengelat (astringensia).
Kandungan utamanya adalah brazilin, yakni zat warna merah-sappan, asam
tanat, dan asam galat. Simplisia kayu secang berupa irisan atau keping-keping
kecil kayu ini dikenal sebagai Sappan lignum dalam sediaan FMSo
(Formularium Medicamentorum Soloensis). Brazilin dari kayu secang teruji
secara ilmiah bersifat antioksidan, antibakteri, anti-inflamasi, anti-photoaging,
hypoglycemic (menurunkan kadar lemak), vasorelacant (merelaksi pembuluh
darah), hepatoprotective (melindungi hati) dan anti-acne (anti jerawat) (Nirmal
et al. 2015). Ekstrak kayu secang juga didapuk berkhasiat anti-tumor, anti-
virus, immunostimulant dan lain-lain (Badami et al. 2004). 
Secang juga telah lama dikenal sebagai bahan ramuan untuk mengobati
berbagai penyakit, seperti sifilis, batuk darah, dan radang penelitian yang
dilakukan oleh Sugiyanto et al (2013) di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada, juga mengungkapkan, secang memiliki kemampuan antioksidan,
antikanker, memperlancar peredaran darah, dan melegakan pernapasan
(Pertawamawati, 2017). 
Kayu secang memiliki banyak manfaat dan sudah dikonsumsi secara
tradisional khususnya bagi masyarakat bugis. Mufidah et al. (2012)
mengemukakan bahwa ekstrak etanol kayu secang mampu menstimulasi sel
osteoblast dan juga dapat menghambat pembentukan sel osteoclast. Ekstrak
kayu secang juga bersifat antibakteri, yaitu dapat menghambat aktivitas bakteri
dalam saluran pencernaan, karena diduga mengandung asam galat di dalam
ekstrak kayu secang (Fazri, 2009). 
Kandungan kimia yang terdapat pada kayu secang, yaitu asam galat,
tanin, resin, resorsin, brazilin, brazilein, d-α-phellandrene, oscimene, dan
minyak atsiri (Heyne, 1987 dalam Sufiana dan Harlia, 2012). Uji fitokimia
menunjukkan bahwa kayu secang mengandung senyawa kimia dari kelompok
alkaloid, flavonoid, dan saponin. Senyawa fitokimia yang berperan sebagai
antioksidan pada kayu secang adalah brazilin dan flavonoid (Shafwatunida,
2009 dalam Sufiana dan Harlia, 2012). Widowati (2011) menyatakan bahwa
ekstrak kayu secang juga mengandung terpenoid yang tinggi. Aktivitas
antioksidan yang tinggi dari ekstrak kayu secang juga diduga karena
kandungan terpenoid, seperti monoterpen dan diterpen.
Komponen senyawa bioaktif yang terkandung dalam kayu secang, yaitu
brazilin, brazilein, 3’-O-metilbrazilin, sappanone, chalcone, sappancalchone
dan komponen umum lainnya, seperti asam amino, karbohidrat dan asam
palmitat yang jumlahnya relatif sangat kecil. Komponen brazilin merupakan
spesifik dari kayu secang yang dapat memberikan warna merah kecoklatan jika
teroksidasi atau dalam suasana basa. Selain itu, brazilin ini diduga juga dapat
melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia. Kayu secang
mempunyai berbagai macam khasiat antara lain: sebagai pewarna pada bahan
anyaman, kue, minuman atau sebagai tinta, karena kayu secang apabila direbus
akan memberikan warna merah gading muda. Kayu secang juga berkhasiat
untuk obat berbagai macam penyakit. Beberapa penyakit yang dapat diobati :
diare, disentri, TBC, luka dalam, sifilis, darah kotor, berak darah, memar
berdarah, malaria, tetanus, tumor dan radang selaput lendir mata.

D. Daun Meniran

Gambar 2.3 Tanaman meniran hijau (Phyllanthus niruri L.)

(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2016)

Herba Meniran secara empiris telah lama digunakan oleh masyarakat


sebagai obat tradisional. Terdapat dua jenis tanaman meniran yang memiliki
potensi sebagai obat tradisional yaitu herba meniran hijau (Phyllanthus niruri
L.) dan herba meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) (Handayani and
Nurfadillah, 2014). Meniran dipercaya memiliki khasiat pengobatan kanker,
SARS, hepatitis, demam berdarah, dan batu ginjal. Herba meniran
mengandung filantin, hipofilantin, damar, kalium, tanin, saponin, flavonoid,
dan triterpenoid. Perbedaan antara meniran hijau dan  meniran merah terletak
pada bentuk morfologi makroskopiknya yaitu pada tinggi tumbuhan, pangkal,
ukuran daun, percabangan, dan warna pada batang, serta pada komponen kimia
daun kedua tanaman tersebut (Handayani and Nurfadillah, 2014). Uji
komponen kimia menunjukkan meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) positif
mengandung tanin (katekol), saponin dan karbohidrat. Sedangkan pada
meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) hanya positif mengandung tanin
(katekol) dan saponin (Handayani and Nurfadillah, 2014).
Meniran hijau (Phyllanthus niruri L.) khususnya memiliki potensi
sebagai pengobatan hiperuresimia  dan gout. Tanaman ini dapat ditemukan di
kebanyakan daerah tropis dan subtropis.  Phyllanthus niruri L memiliki ciri
morfologi batang tidak bergetah, basah, berbentuk bulat, tinggi kurang dari 50
cm, bercabang, dan bewarna hijau muda (Wahyuningsih, 2010). Daun bersirip
genap dan setiap satu tangkai terdiri dari daun majemuk yang mempunyai
ukuran kecil, bentuk bulat telur. Panjang 5 mm dan lebar 3 mm. Pada bagian
bawah daun terdapat bintik kemerahan. Bunga melekat pada ketiak herba dan
menghadap ke arah bawah (Wahyuningsih, 2010). Warna bunga putih
kehijauan. Bunga ini tumbuh subur sekitar bulan April-Juni dan buah
berbentuk bulat, pipih, berwarna coklat yang tumbuh sekitar bulan Juli-
November. Akar meniran berbentuk tunggang (tap root), yaitu akar utama
tumbuh tegak ke bawah, dan bercabang (Wahyuningsih, 2010).
Studi penggunaan ekstrak methanol Phyllanthus niruri L pada tikus
hiperurisemia menunjukkan aktiitas penurunan asam urat (Murugaiyah and
Chan, 2009). Purifikasi dan fraksinasi tanaman ini menghasilkan ligan-ligan
yaitu phylanthin, hypophyllanthin, phyltetralin, dan niranthin sebagai
komponen bioaktif yang secara signifikan menurunkan level asam urat pada
hewan hiperurisemia ke level normal yang dapat dibandingkan dengan obat
yang biasa dipakai secara klinis (Murugaiyah and Chan, 2009). Ligan
Phyllanthus niruri L memiliku efek uricosuric atau meningkatkan ekskresi
asam urat pada urin yang menjadi mekanisme perbaikan pada hiperurisemia
dan gout, mengingat pada praktik klinis, 90% pasien gout memiliki ekskresi
asam urat yang kurang. Tidak seperti obat benzbromarone, meniran juga
dilaporkan memiliki efek hepatoprotektif serta antiurolithic yang
meminimalisir risiko deposisi asam urat pada tubulus kolektivus (Murugaiyah
and Chan, 2009).
Mekanisme lain yang mungkin menyebabkan meniran sebagai penurun
asam urat adalah inhibisi enzim xanthine oxidase yang dapat menurunkan
produksi asam urat (Murugaiyah and Chan, 2009). Meniran mempunyai
senyawa flavonoid yang dapat menghambat kerja enzim xanthin oxidase dan
superoksidase yang berperan dalam pembentukan asam urat dalam darah
(Wahyuningsih, 2010). Selain itu meniran juga banyak mengandung kalium
dan zat filantik. Asam urat yang telah mengkristal di darah dan ginjal akan
terlarut dengan bantuan efek diuretik dari ion K+ dan senyawa lain dari
meniran (Wahyuningsih, 2010).
E.Kunyit

Gambar 2.4 Kunyit (Laura Krebs-Holm, 2021)

Kunyit adalah tanaman yang biasa digunakan sebagai bumbu rempah


atau obat-obatan herbal. Walaupun sebenarnya tanaman ini adalah tanaman
dari daerah tropis, tetapi sekarang kegunaannya sudah meluas ke daerah
subtropis di seluruh dunia (Li et al., 2011). Kunyit tergolong dalam spesies C.
longa, genus Curcuma, famili Zingiberaceae, dan ordo Zingiberales, sehingga
nama latin dari kunyit adalah Curcuma longa dengan sinonim Curcuma
domestica Val. Kunyit dikenal dengan banyak nama, diantaranya tumeric,
kurkuma, kunir, kunyir, dan masih banyak lagi (CRCC, 2008).
Kunyit merupakan tanaman yang memiliki karakteristik bau rimpang
yang khas, berwarna coklat muda atau kuning, dengan rasa yang pahit dan
pedas. akar inilah yang biasa digunakan sebagai rempah, penyedap rasa dan
pewarna makanan alami. Batangnya berwarna hijau dengan tinggi 70-100 cm
lurus keatas. Daunnya menyirip seperti tulang dengan warna hijau pucat, ujung
dan pangkal runcing dengan tepi daun rata. Bunganya majemuk, memiliki
tangkai dengan panjang 16-40 cm, panjang dan lebar mahkota + 3 cm dan +
1,5 cm, berwarna kuning atau putih, dan dilapisi sisik dari pucuk batang
(Nugroho, 2020).
Kunyit terdiri dari berbagai macam senyawa, termasuk kurkuminoid
non-volatil bioaktif (kurkumin, dimetoksi-kurkumin, dan bisdemetoksi-
kurkumin) dan senyawa yang ada dalam minyak atsiri (mono dan
seskuiterpenoid). Banyak manfaat farmakologis yang telah diberikan oleh
kunyit baik dari promotif maupun preventif kesehatan, termasuk
antiproliferatif, anti-inflamasi, anti kanker, anti diabetes, hipokolesterolemia,
anti-trombotik, anti hepatotoksik, anti-diare, karminatif, diuretik, antirematik,
hipotensi, antimikroba, antivirus, antioksidan, insektisida, antivenomous, dan
efek anti tirosinase, dan masih banyak lagi (Yeung et al., 2019; Xu et al.,
2018).
Dari banyak senyawa yang terkandung didalam kunyit, kurkumin
merupakan senyawa yang paling banyak memberikan efek terapeutik.
Bermacam-macam penelitian, baik in vitro maupun in vivo telah dilakukan, dan
ditemukan bahwa struktur kimia kurkumin, yaitu ikatan rangkap karbon-
karbon, gugus β-diketo dan cincin fenil dengan gugus hidroksil, dan o-metoksi
berperan sebagai antioksidan, dengan mengikat radikal bebas. hal ini
dikarenakan adanya aktivasi enzim antioksidan, seperti SOD, CAT, GPx, dan
OH-1 (J Sharifi-rad, 2020). Kurkumin juga memiliki potensi untuk mengobati
beberapa penyakit inflamasi (Cianciulli et al., 2016; Edwards et al., 2017; Dai
et al., 2018), dikarenakan ia dapat menginhibisi transkripsi faktor proinflamasi
(NF-κB dan AP-1), mengurangi sitokin proinflamasi (TNFα, IL-1b, IL-2, IL-6,
IL-8, MIP-1a, MCP-1, CRP, dan PGE2), menurunkan regulasi enzim 5-LOX,
COX-2, dan COX-5 ( Panahi et al., 2014a; Panahi et al., 2014b; He et al.,
2015; Machova Urdzikova et al., 2015). Senyawa ini bersifat neuro-hepato-
cardioprotektif karena bersifat antioksidan, menghambat sitokin inflamasi dan
produksi prostaglandin dan  sehingga memiliki efek protektif dan efek anti
inflamasi yang tinggi terhadap stress oksidatif (Yang et al., 2014; Cianciulli et
al., 2016; Pittala et al., 2018; Salehi et al., 2020; Lee et al., 2016).
F. Temulawak

Gambar 2.5 Temulawak (Endang R. et al., 2021)

Temulawak yang memiliki nama ilmiah Curcuma xanthorrhiza adalah


tanaman obat yang berasal dari khususnya Pulau Jawa, Indonesia. saat ini
temulawak sudah memiliki beberapa tempat budidaya, yaitu di Indonesia,
Malaysia, Thailand, dan Filipina. tanaman ini juga dapat ditemui di China,
Korea, India, Indochina, Jepang, Barbados, Amerika Serikat, dan beberapa
negara Eropa (Nurul A et al., 2016). Tanaman ini sulit dibedakan dengan
kunyit, bahkan manfaatnya pun cukup mirip. perbedaannya adalah temulawak
memiliki daun yang lebar dihubungkan dengan pelepah dan daun yang agak
panjang, batang temulawak semu dengan tinggi mencapai 2,5 meter (lebih
tinggi). Perbedaan yang cukup mencolok adalah daging kunyit berwarna lebih
orange pekat jika dibandingkan temulawak yang biasanya berwarna kuning
pudar. temulawak juga memiliki rasa yang lebih pahit dibandingkan dengan
kunyit (Sarah G et al., 2017).
Di Indonesia, rimpang dari temulawak diekstrak untuk dibuat jamu.
Rimpang ini mengandung 48-59,64% zat tepung, 1,6-2,2% kurkumin dan 1,48-
1,63% minyak atsiri, dan lain sebagainya, sehingga dapat mengatasi
bermacam-macam penyakit, seperti penyakit hati, konstipasi, masalah
pencernaan, diare berdarah, disentri, demam, anti-kanker dan masih banyak
lagi. Hal ini dapat terjadi karena kurkumin, yang merupakan salah satu
senyawa yang ditemukan di temulawak memiliki sifat sebagai antioksidan,
anti-inflamasi, dan memiliki sifat protektif terhadap radikal bebas (Salehi et al.,
2020). Dan untuk temulawak sendiri secara umum memiliki efek farmakologis
yaitu hepatoprotektor, menurunkan kadar kolesterol, anti-inflamasi, laxative
(pencahar), diuretik, menghilangkan nyeri sendiri, membersihkan darah,
meningkatkan nafsu makan, dan melancarkan asi (Endang R. et al., 2021).
BAB IV
KESIMPULAN

Penggunaan herbal apapun baik dalam bentuk produk jadi atau masih
berupa simplisia/dedaunan maupun serbuk, dalam sediaan oral maupun topikal
harus terbukti secara EBM sebelum diberikan kepada pasien. Maka EBM dapat
dicapai dengan melakukan riset atau penelitian terlebih dahulu. Senyawa yang
dapat memberikan efek antihiperurisemia adalah flabvonoid karena dapat
menghambat xanthine oksidase. Studi yang melibatkan meniran hijau
(Phyllantus niruri L.) pada tikus menunjukkan aktivitas penurunan asam urat.
DAFTAR PUSTAKA

Cianciulli A., Calvello R., Porro C., Trotta T., Salvatore R., Panaro M. A. (2016). PI3k/Akt
signalling pathway plays a crucial role in the anti-inflammatory effects of
curcumin in LPS-activated microglia. Int. Immunopharmacol. 36, 282–290.
10.1016/j.intimp.2016.05.007

CRCC. (2008). Kunyit (Curcuma longa Linn). Fakultas Farmasi UGM: Cancer
Chemoprevention Research Center 

Dai W., Wang H., Fang J., Zhu Y., Zhou J., Wang X., et al. (2018). Curcumin provides
neuroprotection in model of traumatic brain injury via the Nrf2-ARE signaling
pathway. Brain Res. Bull. 140, 65–71. 10.1016/j.brainresbull.2018.03.020

Ediningsih, Nurhayati, H., Rubiana, R. (2019). Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun
Tempuyung (Sonchus arvensis L.). Repositori Publikasi Kementrian Pertanian
Republik Indonesia, 1468-1474.

Endang Rahmat, Jun Lee, Youngmin Kang, "Javanese Turmeric (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.): Ethnobotany, Phytochemistry, Biotechnology, and Pharmacological
Activities", Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, vol. 2021,
Article ID 9960813, 15 pages, 2021. https://doi.org/10.1155/2021/9960813
Edwards R. L., Luis P. B., Varuzza P. V., Joseph A. I., Presley S. H., Chaturvedi R., et al.
(2017). The anti-inflammatory activity of curcumin is mediated by its oxidative
metabolites. J. Biol. Chem. 292, 21243–21252. 10.1074/jbc.RA117.000123

Handayani V and Nurfadillah (2014). Kajian Farmakognostik Herba Meniran Hijau


(Phyllanthus Niruri L.) Dan Herba Meniran Merah (Phyllanthus Urinaria L.).
Jurnal Fitofarmaka Indonesia, 1(1), pp.: 18–23.

Harahap, N.I. (2020). Skrining Dan Karakterisasi Simplisia Daun Tempuyung (Sonchus
arvensis.L). Jurnal Ilmia Farmasi Imelda, 3(2):42-47.

He Y., Yue Y., Zheng X., Zhang K., Chen S., Du Z. (2015). Curcumin, inflammation, and
chronic diseases: how are they linked? Molecules 20, 9183–9213.
10.3390/molecules20059183

Laura, K. (2021). Turmeric: Nutrition and Benefits. eMediHealth


https://www.emedihealth.com/nutrition/turmeric-health-benefits

Lee H. Y., Kim S. W., Lee G. H., Choi M. K., Jung H. W., Kim Y. J., et al. (2016).
Turmeric extract and its active compound, curcumin, protect against chronic CCl4-
induced liver damage by enhancing antioxidation. BMC Complement. Altern. Med.
16, 316. 10.1186/s12906-016-1307-6

Li, S., W. Yuan, G. Deng, P. Wang, P. Yang, B.B. Aggrawal. (2011). Chemical
composition and product quality control of turmeric (Curcuma longa L.),
Pharmaceuti. Corps, 2:28-54

Machova Urdzikova L., Karova K., Ruzicka J., Kloudova A., Shannon C., Dubisova J., et
al. (2015). The Anti-Inflammatory Compound Curcumin Enhances Locomotor and
Sensory Recovery after Spinal Cord Injury in Rats by Immunomodulation. Int. J.
Mol. Sci. 17 (1), 49. 10.3390/ijms17010049
Murugaiyah V and Chan KL (2009). Mechanisms of Antihyperuricemic Effect of
Phyllanthus Niruri and Its Lignan Constituents. Journal of Ethnopharmacology,
124(2), pp.: 233–239. doi: 10.1016/j.jep.2009.04.026.

Pittala V., Vanella L., Salerno L., Romeo G., Marrazzo A., Di Giacomo C., et al. (2018).
Effects of Polyphenolic Derivatives on Heme Oxygenase-System in Metabolic
Dysfunctions. Curr. Med. Chem. 25, 1577–1595.
10.2174/0929867324666170616110748

Pribadi, T.W. (2020). Review: Senyawa Aktif, Aktivitas Farmakologi, Dan Mekanisme
Kerja Daun Sirsak (Annona muricata L.) Dan Daun Tempuyung (Sonchus arvensis
L.) Sebagai Antihiperurisemia. Farmaka, 18(2):89-94.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (2016). Pemupukan Pada Meniran


Dalam Upaya Standarisasi Mutu Herba Meniran. Available at:
https://perkebunan.litbang.pertanian.go.id/pemupukan-pada-meniran-dalam-upaya-
standarisasi-mutu-herba-meniran/.

Salleh, N. A., Ismail, S., & Ab Halim, M. R. (2016). Effects of Curcuma xanthorrhiza
Extracts and Their Constituents on Phase II Drug-metabolizing Enzymes Activity.
Pharmacognosy research, 8(4), 309–315. https://doi.org/10.4103/0974-
8490.188873

Salehi B., Capanoglu E., Adrar N., Catalkaya G., Shaheen S., Jaffer M., et al. (2019. a).
Cucurbits plants: A key emphasis to its pharmacological potential. Molecules 24,
1854. 10.3390/molecules24101854

Salehi B., Lopez-Jornet P., Pons-Fuster López E., Calina D., Sharifi-Rad M., Ramírez-
Alarcón K., et al. (2019. b). Plant-Derived Bioactives in Oral Mucosal Lesions: A
Key Emphasis to Curcumin, Lycopene, Chamomile, Aloe vera, Green Tea and
Coffee Properties. Biomolecules 9 (3), 106 10.3390/biom9030106

Sharifi-Rad, J., Rayess, Y. E., Rizk, A. A., Sadaka, C., Zgheib, R., Zam, W., Sestito, S.,
Rapposelli, S., Neffe-Skocińska, K., Zielińska, D., Salehi, B., Setzer, W. N.,
Dosoky, N. S., Taheri, Y., El Beyrouthy, M., Martorell, M., Ostrander, E. A.,
Suleria, H., Cho, W. C., Maroyi, A., … Martins, N. (2020). Turmeric and Its Major
Compound Curcumin on Health: Bioactive Effects and Safety Profiles for Food,
Pharmaceutical, Biotechnological and Medicinal Applications. Frontiers in
pharmacology, 11, 01021. https://doi.org/10.3389/fphar.2020.01021

Sukmayadi, A.E., Sumiwi, S.A., Barliana, M.I., Aryanti, A.D. (2014). Aktivitas
Imunomodulator Ekstrak Etanol Daun Tempuyung (Sonchus arvensis Linn.).
IJPST, 1(2):65-72.

Utami M, Widiawati Y, Hidayah  hexa apriliani. Keragaman dan Pemanfaatan Simplisia


Nabati Yang Diperdagangkan Di Purwokerto. Maj Ilm Biol Biosf A Sci J.
2013;30(1):15–24. 

Wahyuningsih HK (2010). Pengaruh Pemberian Ekstrak Herba Meniran (Phyllanthus


Niruri L.) Terhadap Penurunan Kadar Asam Urat Darah Tikus Putih Jantan
Hiperurisemia. Thesis.

Xu X.-Y., Meng X., Li S., Gan R.-Y., Li Y., Li H.-B. (2018). Bioactivity, health benefits,
and related molecular mechanisms of curcumin: Current progress, challenges, and
perspectives. Nutrients 10, 1553. 10.3390/nu10101553

Yang J., Song S., Li J., Liang T. (2014). Neuroprotective effect of curcumin on
hippocampal injury in 6-OHDA-induced Parkinson’s disease rat. Pathol. Res.
Pract. 210, 357–362. 10.1016/j.prp.2014.02.005

Batubara, I., Darusman, L. K., Djauhari, E., & Mitsunaga, T. (2010). Potency of Kepel (Stelechocarpus
Burahol) as Cyclooxigenase-2 Inhibitor. Indonesian Journal of Plant Medicine, 3(2), 142078. 

Ramadhan, B. C., Aziz, S. A., & Ghulamahdi, M. (2016). Potensi kadar bioaktif yang terdapat pada daun kepel
(Stelechocarpus burahol). Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 26(2), 99-108.
Sutomo, 2003, Penurunan asam urat darah ayam jantan Braille hiperurisemia oleh fraksi
ekstrak metanol daun kepel (Stelechocarpus burahol, Hook f. & Th.), Tesis, Pasca
Sarjana, Prodi Ilmu Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Cos, P., Calomme, M., Sindambiwe, J.B., Bruyne, T.D., Cimanga, K., Pieters, L.,
Vlietinck, A.J., and Berghe, D.V., 2001, Cytotoxicity and Lipid Peroxidation-Inhibiting
Activity of Flavonoids, Planta Med., 67 : 515-519.

Hou, W.C., Hsu, F.L. and Lee, M.H., 2002., Yam (Dioscorea batatas) Tuber Mucilage
Exhibited Antioxidant Activities in vitro, Planta Med., 68: 1072 – 1076.

Oke, J.M. and Hamburger, M.O., 2002, Screening of Some Nigerian Medicinal Plants
For Antioxidant Activity Using 2,2, Diphenyl-Picryl-Hydrazyl Radical, AJBR, 5 : 77-
79.

Anda mungkin juga menyukai