Payung Cinta
Payung Cinta
“Iya. Untung aku bawa payung besar, bukan payung lipat. Kalau tidak, mungkin aku sudah basah,” kataku
“Payungmu terlihat kuat,” kata temanku lagi sambil memegangi payungnya erat-erat supaya tidak terbawa
angin.
“Tentu,” jawabku sambil tersenyum. “Payung ini telah menjadi temanku sejak lama.”
“Yah, kok tiba-tiba hujan sih? Kita kan tidak bawa payung. Sepertinya kita harus menunggu sampai
hujannya agak reda,” ujarku. Kamu hanya diam saja sambil melihat keadaan sekitar. “Hujannya sepertinya
tidak terlalu deras. Kamu tunggu disini sebentar yah. Aku akan segera kembali.” Kamu pun berlari
Aku masih berdiri sambil berteduh di tempat yang sama. Tidak lama kemudian, kamu kembali dengan
seukir senyum sambil membawa sebuah payung. Payung ungu bergambar kucing yang cukup besar. Cukup
“Gimana? Bagus ga? Payung yang lain polos, ga ada gambarnya. Jadi aku pilih yang ini deh. Suka?”
tanyamu. Sebenarnya aku lebih suka anjing daripada kucing. Aku juga lebih menyukai warna pink atau
biru daripada warna ungu, tapi aku mengangguk sambil tersenyum, “Suka kok.”
Sejak hari itu, payung kucing itu selalu setia menemaniku di kala hujan datang“Payung ini hebat banget ya.
Di saat payung yang lain rusak karena angin atau hilang karena ketinggalan di suatu tempat, payung ini ga
pernah kenapa-napa,” ujarku setelah melewatkan beberapa tahun bersama payung itu.“Oh iya dong.
Payung cinta,” pamermu dengan bangga. “Dibeli dan selalu dipakai dengan cinta, mana pernah dia kenapa-
napa.” Setibanya di rumah, aku segera menjemur payung itu supaya tidak karatan terkena air hujan yang
masih belum kering. Aku meliriknya sekali lagi. Kenangan lama tentang kita berdua pun muncul silih
berganti. Aku tersenyum mengingat hal-hal yang sudah terjadi di bawah naunga payung itu. Terima kasih,
gumamk