Anda di halaman 1dari 2

HUJAN

Menerjang hujan sepertinya menjadi aktivitas rutin 2 hari belakangan ini. Bukannya aku lupa
membawa payung, hanya terlalu malas menambah beban ditasku. Jarak sekolah ke rumahku
terbilang dekat tetapi butuh tenaga juga untuk menempuhnya. Aku berlari sekuat tenaga agar air
hujan tidak terlalu membasahiku. sepertinya hari ini cukup sial bagiku, aku terjatuh karena
bertabrakan dengan seorang berjaket hitam bergambar macan, dia tidak membantuku sama sekali
melainkan bergegas pergi tanpa sepatah katapun. Alhasil tubuhku basah karena terjatuh dikubangan
air, parahnya lagi tasku juga ikut basah. Aku langsung tersadar dan berdiri mencari tempat berteduh,
membuka tasku yang terlihat tak berdaya, “aduh bukuku basah semua, akan butuh waktu lama
mengeringkannya. Huh, aku benci hujan.”

Dua hari berlalu dan hari ini hari senin, aku berangkat sekolah seperti biasanya hanya saja moodku
belum juga membaik, ini semua karena seorang lelaki yang menabrakku, untung saja bukunya tidak
ada dijadwal hari ini. Saat berjalan aku merasa familiar dengan jaket yang dikenakan lelaki yang
berada didepanku, “ah aku ingat, dia si jaket macan”

Aku berjalan mendekat, “hei, kamu yang telah menabrakku tempo hari kan?”

“siapa kau?” jawab si jaket macan. “kau tidak ingat dengan orang yang telah kau tabrak dua hari
lalu? Dan kau langsung pergi begitu saja” Dengusku kesal. “entahlah aku lupa” meninggalkanku, lagi.

“huh, kenapa dia selalu seperti itu...tunggu, dia satu sekolah dengan ku?” aku melihat dia memasuki
gerbang sekolahku “SMA 1 CAHYA”

Aku mengejarnya dan mencoba untuk berbicara padanya, tetapi dia begitu cuek. Aku masih kesal
padanya yang tidak meminta maaf padaku, tapi dia cukup menarik. Ternyata dia kelas MIPA 1
sedangkan aku IPS 1, tetapi aku merasa tidak pernah melihatnya di sekolah. Semenjak saat itu aku
selalu berada dikelasnya, aku sudah tau nama lelaki berjaket macan itu, dia bernama tama
marzelindo. Dia juga sudah tau namaku, dia tidak bertanya tetapi aku yang mengatakan padanya
“ohh namamu tama, aku rizkita.” Dia tidak peduli sama sekali dengan ocehanku.

Aku berulang kali membahas kejadian tabrakan tak terduga itu, sepertinya dia sudah mulai bosan
dan jengkel padaku “okee aku ingat kejadian itu, aku minta maaf.” Dengan ekspresi datar dan
berlalu. Entah kenapa aku tersenyum dan merasa puas dengan perkataan tama.

...

Setiap hari aku selalu datang ke kelasnya, hanya untuk sekedar berbicara. Lebih tepatnya berbicara
sendiri dan sesekali tama menyahut. Pulang sekolah aku selalu mengintilinya, walaupun rumahku
dan rumahnya beda arah. Jadi, saat dipersimpangan jalan aku berpisah dengannya. Entahlah, dia
tidak marah saat aku mengintilinya.

Lama kelamaan tama mulai mencair, mencair dalam artian tidak terlalu cuek padaku lagi, dia sering
membalas perkataanku. Kami juga sering belajar bersama, ternyata tama lumayan pintar di bidang
akademik, tidak heran dia masuk MIPA.
Sore ini aku berada di cafe, belajar bersama dengan tama. Study date? Haha...entahlah. aku kagum
dengannya, dia dengan mudah mengajariku matematika. Dengan lihai tangannya menulis angka
angka memusingkan itu. Herannya, aku langsung paham dengan yang diajarkan tama.

Anda mungkin juga menyukai