Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/353481880

Policy Brief: Pengelolaan Limbah Medis di Tengah Pandemi COVID-19

Article · July 2021

CITATIONS READS
0 857

6 authors, including:

Dinan Arkani Waluyantara Salma Azzahra


University of Indonesia University of Indonesia
1 PUBLICATION   0 CITATIONS    2 PUBLICATIONS   3 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Oscar Ips Ken Ibrahim Sindaru


University of Indonesia University of Indonesia
1 PUBLICATION   0 CITATIONS    1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

State and Non-State Collaboration in Public Services View project

All content following this page was uploaded by Dinan Arkani Waluyantara on 27 July 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


POLICY BRIEF
PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS DI
TENGAH PANDEMI COVID-19

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Dinan Arkani W (1806240095)


Ken Ibrahim Sindaru (1806184586)
Oscar (1806216682)
Riza Ristiani (1806216594)
Salma Azzahra (1806240183)
Wildi Muchtar (1806216291)
2

Pendahuluan
Sejak munculnya Covid-19 di Indonesia, kasus korban yang terinfeksi virus ini terus
bertambah. Seiring dengan pertambahan kasus Covid-19, jumlah pasien covid-19 yang dirawat
di rumah sakit bertambah, begitupula aktivitas pemeriksaan pasien turut bertambah. Dengan
demikian, limbah medis yang dihasilkan juga kian bertambah banyak yang menjadi
kekhawatiran yang cukup serius (AntaraNews,2020). Permasalahan limbah medis merupakan
suatu permasalahan yang sudah lama ada, namun kemunculan pandemi COVID-19 mendorong
permasalahan tersebut menjadi lebih berat, limbah medis ditemukan hampir di berbagai wilayah,
terutama Jawa. Permasalahan limbah medis, baik dari fasilitas kesehatan maupun rumah tangga,
terletak dari hulu ke hilir. Disebutkan dalam suatu webinar yang membahas permasalahan limbah
medis oleh Lina Tri Mugi Astuti, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Ahli Lingkungan Indonesia
(Sekjen IESA) bahwa berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan ada 296 ton limbah medis per
hari dari 2.852 rumah sakit, 9.909 puskesmas, dan 8.841 klinik di masa sebelum pandemi.
Menumpuknya limbah medis ini juga ditambah dengan permasalahan terkait kurangnya fasilitas
kesehatan yang memiliki izin mengelola limbah sendiri. Terdapat kurang dari 100 fasilitas
kesehatan yang memiliki izin mengolah limbah sendiri. Itupun banyak yang tidak layak untuk
beroperasi. Sisanya, mengandalkan perusahaan pengolahan limbah swasta (Renaldi, 2020).
Lebih lanjut, menurut kajian Ombudsman Republik Indonesia satu pasien COVID-19 mampu
menghasilkan 1,88 kilogram limbah medis dalam satu hari (Liputan6.com, 2021).
Permasalahan lainnya adalah adanya gap kapasitas pengelolaan limbah medis di
Indonesia, dimana menurut Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa kapasitas pengelolaan
limbah fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia baru mencapai 53,12 Ton/hari ditambah
kapasitas pengelolaan pihak ketiga sebesar 187,90 ton/hari dan sampah yang dihasilkan per
harinya mencapai 294,66 ton (Prasetiawan, 2020). Dengan adanya gap antara limbah medis
fasilitas kesehatan dengan kapasitas pengelolaan ini akan beresiko menumpuknya limbah medis
yang dapat membahayakan makhluk hidup. Pasalnya, menurut WHO limbah medis ini
mengandung zat - zat berbahaya seperti patogen, yang dapat menyebabkan infeksi saluran
pernapasan, zat genotoksik yang dapat memicu keguguran pada manusia, zat radioaktif yang
dapat menyebabkan sakit kepala, dan lain sebagainya (Anggraini,2021). Penumpukkan limbah
medis juga dapat berdampak pada penularan dan lingkungan. Potensi dampak bagi lingkungan
tersebut dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit dari yang paling ringan hingga yang
paling berat. Selain itu, kontak langsung dengan limbah berbahaya dan beracun atau yang
menghirup udara yang tercemar dapat membawa resiko yang lebih besar terhadap kesehataan
misalnya infeksi kulit, antraks, meningitis, AIDS, demam berdarah, hepatitis A, B, C (Setiawati
& Wita, 2019).
3

Permasalahan-permasalahan limbah medis yang disebutkan diatas menjadi faktor utama


dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah. Dikeluarkannya
Permenkes ini dapat dinilai efektif jika komponen-komponen dalam peraturan tersebut sesuai
dengan kegiatan pengelolaan sampah dan menyesuaikan dengan tuntutan permasalahan yang ada
di lapangan. Untuk meminimalkan limbah fasilitas kesehatan dapat menggunakan konsep
minimasi limbah melalui pendekatan reaktif. Pendekatan reaktif ini merupakan usaha/strategi
untuk menangani limbah yang dilakukan setelah limbah dihasilkan atau terbentuk. Dalam
konsep ini memanfaatkan teknologi untuk pengolahan dan pengurangan limbah yang dihasilkan
agar residu atau emisi yang dihasilkan dapat dilepas ke lingkungan dengan aman. Kemudian
pendekatan reaktif atau dikenal juga dengan end to pipe treatment ini berkembang dengan
adanya kegiatan pemanfaatan kembali limbah (reuse), dan/atau melalui proses dahulu sebelum
digunakan kembali (recycle). Selanjutnya konsep ini dikenal dengann istilah 3R yaitu Reduce,
Reuse,dan Recycle (Nugroho, 2013).
Analisis dan Rekomendasi Kebijakan
Dalam Permenkes No. 18 tahun 2020 disebutkan bahwa Pemda perlu memfasilitasi Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Dalam prakteknya, Penemuan Ombudsman RI (dalam merdeka.com,
2021) masih banyak daerah yang hanya sebatas dalam tahap menyimpan limbah medis dan
belum mengolahnya karena keterbatasan fasilitas. Padahal dalam Permenkes tersebut,
pengolahan limbah medis berbasis insinerator dan non-insinerator telah diperkenankan.
Ombudsman RI menemukan dalam tahun 2020, jumlah limbah medis yang tidak terolah yaitu
mencapai 70 ton per hari. Saat ini, mayoritas sampah medis di Indonesia masih terbatas
mayoritas dikelola menggunakan insinerator, padahal teknologi ini sudah mulai ditinggalkan
karena berpotensi mengemisikan merkuri dan dioksin, dinilai overkill, boros, dan memerlukan
biaya yang mahal dalam pengoperasiannya (Damanhuri dalam Prasetiawan, 2020; Xu et al.,
2020). Data Energy Information Administration (EIA) menunjukkan bahwa membangun dan
mengoperasikan insinerator lebih mahal daripada membangun pembangkit listrik tenaga angin,
matahari, gas, batubara, bahkan nuklir (Sasetaningtyas, 2018). Pembangunan insinerator yang
tidak mudah, seperti pemerintah daerah harus siap dengan lahan sesuai dengan tata ruang, amdal,
biaya, dan komitmen pemda (Kinanti, 2020), menyebabkan terbatasnya unit yang dimiliki, yakni
82 unit di 20 provinsi yang mayoritas tersebar di pulau Jawa (KLHK, 2020). Pun meski
Permenkes tersebut mengatur tentang pelibatan pihak ketiga untuk mengelola limbah medis bagi
pemda yang memiliki keterbatasan fasilitas, pada prakteknya, jasa pengelola limbah medis yang
berizin hanya berjumlah 17 perusahaan dan tidak terdistribusi secara merata di Indonesia
(Hidayatullah dan Pandamsari, 2020). Oleh karena itu, alternatif kebijakan yang dapat
ditawarkan adalah:
4

Rekomendasi 1: Memperluas penggunaan autoclave sebagai sarana pendukung untuk


mempercepat pengolahan limbah medis.
Xu et al. (2020) membandingkan beberapa cara pengelolaan limbah medis dan
menemukan bahwa cara terbaik adalah menggunakan insinerator dan pressure steam sterilization
(autoclave), di mana meski insinerator dapat mengolah seluruh jenis limbah medis dan dalam
jumlah banyak (Nzihou et al., 2012; Xu et. al., 2020), autoclave unggul dalam hal biaya lebih
murah, risiko yang lebih kecil, dan efek desinfeksi yang baik (HCWH, 2013; Xu et al., 2020).
Dilihat dari sisi technical feasibility, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan
bahwa virus termasuk dalam golongan yang rentan rusak, sehingga dapat dilakukan desinfeksi
mikroorganisme menggunakan autoclave, yang merupakan peralatan yang paling banyak
digunakan saat pandemi karena proses sterilisasi dapat dilakukan dengan cepat dan efektif
(theupcoming.co.uk, 2021), namun saat ini, hanya terdapat 4 mesin autoclave di Indonesia
(KLHK, 2020). Autoclave menggunakan teknologi termal yang tidak menghasilkan emisi
berbahaya, bebas patogen dan aman untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir (HCWH, 2004;
HCWH, 2013; republika.co.id, 2020). LIPI (dalam republika.co.id, 2020) juga menemukan
bahwa siklus penggunaan autoclave tidak sulit untuk dikendalikan dan teknologi penerapannya
lebih mudah dibandingkan insinerator. Meski demikian karena masih belum umumnya
penggunaan autoclave, maka akan diperlukan pelatihan kepada operator autoclave di awal.
Autoclave dilengkapi dengan alat pencacah sehingga sisanya dapat dibuang ke tempat
pembuangan akhir (TPA). Opsi lain penanganan sisa autoclave adalah kaca, plastik, dan limbah
logam yang disterilkan dapat didaur ulang atau dilebur setelah diolah untuk menghasilkan
produk lain, sehingga mengurangi limbah TPA (UNDP, 2019).
Dari segi political feasibility, autoclave merupakan alternatif yang lebih murah dan
ramah lingkungan dibandingkan insinerator yang saat ini merupakan prosesor utama limbah
medis di Indonesia (Ferdowsi, 2013; Goodbody et al., 2013; HCWH, 2004; HCWH, 2013,
republika.co.id, 2020; Xu et al., 2020). Biaya pengadaan autoclave di negara berkembang
berkisar sekitar US$1,300—US$11,000 (USAID, 2008). Sementara, biaya pengadaan insinerator
berkisar sebesar US$100,000 (Shouman et al., 2013). Adapun untuk membangun tungku
pembakar berkapasitas 1.000 ton, pemerintah sudah harus merogoh kocek Rp 1,3 triliun
(tempo.co, 2016). Selain itu, penggunaan pengolahan limbah non-insinerator telah
diperkenankan dalam Permenkes No 18 tahun 2020, maka penyediaan autoclave tidak
bertentangan dengan regulasi pemerintah.
Dari sisi public acceptability, autoclave dapat diterima dengan baik, hal ini dikarenakan
cara pengolahan menggunakan insinerator, sebagaimana diatur dalam Permen PUPR No 3 tahun
2013, setidaknya perlu berjarak minimal sejauh 500 meter. Sementara itu, teknologi
non-insinerasi (autoclave) dapat mengolah limbah medis secara langsung di dalam area rumah
sakit (republika.co.id, 2018). Pembangunan insinerator membutuhkan ruang yang banyak,
5

sehingga untuk membangun insinerator dengan kapasitas yang sama dengan autoclave,
dibutuhkan lebih banyak ruang (Ferdowsi, 2013). Kelompok masyarakat, seperti WALHI dan
FRONTIER menyarankan penggunaan autoclave karena tidak menimbulkan emisi berbahaya
dan dampak kesehatan (balinetizen.com, 2020). Dari sisi risk, senyawa organik yang mudah
menguap, limbah sitotoksik, merkuri, limbah kimia berbahaya lainnya, dan limbah radioaktif
tidak dapat diolah menggunakan autoclave (UNDP, 2019). Autoclave tidak ideal digunakan bila
berurusan dengan materi biologis yang besar seperti bagian tubuh atau organ (Ferdowsi et al.,
2013; Kenny dan Priyadharsini, 2021).

Rekomendasi 2: Memperluas penggunaan mesin pengolah limbah medis berteknologi


microwave sebagai sarana pendukung dalam pengolahan limbah medis.
Vincentius Lianto selaku Founder dan Chairman D&V Medika, mengatakan mesin
pengolah limbah medis berteknologi microwave mampu mengubah limbah medis berbahaya
menjadi tidak berbahaya. Dari Segi technical feasibility pada penggunaan microwave, limbah
dibakar dengan teknologi uap, tidak menghasilkan polusi, sehingga bisa diolah langsung di
dalam area rumah sakit, dna untuk sterilisasi dilakukan pada suhu 100 derajat celcius, dengan
waktu 30 menit (Mutia Ramadhani, 2018). Selama ini limbah B3 biasanya dimusnahkan dengan
cara dibakar dan menghasilkan asap, sehingga tempat pengolahan limbah diwajibkan berjarak
minimal 500 meter dari pemukiman penduduk, sesuai dengan peraturan pemerintah yang
berlaku. Dari segi political feasibility Penggunaan teknologi microwave dalam pengolahan
limbah medis juga diatur pada Lampiran 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, tepatnya pada bab 3
dijelaskan bahwa Pengolahan limbah B3 di rumah sakit dapat dilaksanakan secara internal dan
eksternal, pada bagian internal disebutkan dapat dilakukan di lingkungan rumah sakit dengan
menggunakan alat pengolah limbah B3 yang salah satunya adalah microwave. Namun teknologi
microwave tergolong mahal jika dibandingkan dengan alat lainnya, dimana sebagai contoh pada
mesin bernama Ecodas yang didistribusikan perusahaan D&V Medika seharga lima miliar rupiah
per unit.
Dari segi public acceptability penggunaan teknologi microwave dalam pengolahan
sampah medis cukup dapat diterima, hal tersebut dikarenakan dalam penggunaannya
menggunakan teknologi uap, sehingga tidak menghasilkan polusi yang membahayakan
masyarakat ataupun civitas rumah sakit. Karena tidak berbahaya, maka penempatan alat ini bisa
langsung ditaruh didalam rumah sakit yang kemudian dapat menghemat ruang. Penjelasan
tersebut sejalan dengan pendapat dari Ajeng Arum Sari selaku Kepala Loka Penelitian Teknologi
Bersih di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang berpendapat bahwa penggunaan
microwave dalam pengolahan sampah medis cukup efektif karena tidak ada emisi, dan aman
untuk dibuang tempat pembuangan selanjutnya. Selanjutnya dari segi risk penggunaan teknologi
6

microwave dalam pengolahan limbah medis memiliki beberapa kekurangan, dimana alat ini
memiliki larangan dalam disinfeksi, seperti limbah bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, sisa
kemasan, atau buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi seperti limbah patologis dan
jaringan anatomi, limbah radioaktif, limbah farmasi, limbah material sitotoksik (genotoksik), dan
limbah logam (Nurjannah, 2019).
Autoclave merupakan metode non-insenerasi yang paling banyak digunakan Meski
microwave melakukan desinfeksi dan sterilisasi (theupcoming.uk, 2020; Zimmerman, 2018),
umumnya tidak digunakan di lingkungan dan medis karena kemungkinan adanya distribusi
energi yang tidak merata, sehingga memungkinkan bagian dari benda yang bersangkutan masih
tertular (Fais et al., 2009; mesaustralia.com, 2020; Zimmerman, 2018). Data WHO (2019)
menunjukkan kapasitas autoclave (5-3000 kg/h) lebih banyak daripada microwave (100-600
kg/h) dengan biaya yang relatif sama.

Pembahasan Inisiasi Langkah Utama untuk Implementasi Kebijakan


Berdasarkan feasibility assessment yang dilakukan terhadap dua opsi rekomendasi
kebijakan tersebut, maka terdapat beberapa upaya inisiasi yang harus dicapai untuk mewujudkan
rekomendasi kebijakan tersebut. Pertama, dalam rangka mendukung upaya penyediaan fasilitas
teknologi autoclave sebagai alternatif pengolah limbah B3, maka pemerintah harus melakukan
kerjasama atau melibatkan pihak industri untuk mendukung penyediaan teknologi sebagai bagian
dari tanggung jawab perusahaan atau corporate social responsibility terutama terhadap industri
maupun perusahaan dagang yang bergerak di bidang peralatan dan perlengkapan medis. Kedua,
pemerintah perlu mendukung upaya penciptaan maupun perluasan iklim investasi yang sehat
terkait dengan jasa pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan limbah medis. Hal ini tentunya
didukung oleh pemerintah melalui kemudahan dari investor untuk memperoleh izin serta
penguatan regulasi yang mendukung investasi tersebut. Ketiga, pemerintah perlu
mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi sejumlah rumah sakit rujukan di Indonesia
untuk menyediakan anggaran khusus kepemilikan teknologi autoclave sebagai teknologi utama
untuk mengolah limbah medis. Selain itu, upaya untuk mewujudkan alokasi anggaran khusus
teknologi autoclave dan bermesin microwave tersebut juga dapat dilakukan oleh pemerintah
dengan melaksanakan skema pembiayaan yang melibatkan berbagai pihak atau dikenal dengan
Public Private Partnership (PPP) untuk mewujudkan kepemilikan teknologi tersebut.

REFERENSI
Berita
Adilah, R. Y. (2021, Februari 4). Ombudsman: Mendagri Bisa Minta Pemda Upayakan
Pengadaan Fasilitas Olah Limbah Medis. Retrieved Mei 6, 2021, from Merdeka.com:
7

https://www.merdeka.com/peristiwa/ombudsman-mendagri-bisa-minta-pemda-upayaka
n-pengadaan-fasilitas-olah-limbah-medis.html
AntaraNews. (2020). Pendemi Covid-19 Meningkatkan Kekhawatiran Soal Dampak
Limbah Medis. Retrieved Mei, 23,2021, from
https://www.antaranews.com/berita/1430504/pandemi-covid-19-meningkatkan-kekhaw
atiran-soal-dampak-limbah-medis
Balinetizen.com. (2020, 1 Desember). Nilai Insinerator Berbahaya, FRONTIER dan
WALHI Sarankan Gunakan Autoclave Untuk Mengolah Limbah B3 RSUD
Klungkung. Retrieved Mei 23, 2021, from:
https://www.balinetizen.com/2020/12/01/ilai-insinerator-berbahaya-frontier-dan-walhi-
sarankan-gunakan-autoclave-untuk-mengolah-limbah-b3-rsud-klungkung/
Beritasatu.com. (2021, 5 Januari). Banjarmasin Bangun Insinerator, Hemat Biaya Rp 1,3
Miliar/Tahun. Retrieved Mei 23, 2021, from:
https://www.beritasatu.com/nasional/716391/banjarmasin-bangun-insinerator-hemat-bi
aya-rkp-13-miliartahun.
Faqir, A. A. (2021, Februari 4). Duh, Limbah Medis Covid-19 Capai 138 Ton per Hari.
Retrieved Mei 6, 2021, from Liputan6.com:
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4474909/duh-limbah-medis-covid-19-capai-138-
ton-per-hari
Hidayatullah, T. & Pandamsari, A. (2020, 21 November). Limbah medis meningkat, ada
cara sederhana menanganinya. Retrieved Mei 23, 2021, from:
https://lokadata.id/artikel/limbah-medis-meningkat-ada-cara-sederhana-menanganinya.
Kinanti, K. (2020, 22 April). KLHK Akan Bangun 5 Insinerator Tahun Ini. Retrieved Mei
23, 2021, from:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20200422/99/1230996/klhk-akan-bangun-5-insinerato
r-tahun-ini
Anggraini. A.P. (2021). Bahaya Limbah Medis yang Tidak Dikelola dengan Baik. Retrieved
Mei 6. 2021, from Kompas.com :
https://health.kompas.com/read/2021/02/18/081000468/bahaya-limbah-medis-yang-tidak-di
kelola-dengan-baik?page=all
Renaldi, A. (2020). Buruknya Penanganan Sampah Medis Bisa Perparah Pandemi.
Retrieved from MONGABAY website:
https://www.mongabay.co.id/2020/08/06/buruknya-penanganan-sampah-medis-bisa-pe
rparah-pandemi/
Republika.com. (2018, 3 Mei). Bali Jadi Percontohan Pengolahan Limbah Medis Modern.
Retrieved Mei 23, 2021, from:
8

https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/05/03/p856ra328-bali-jadi-percontoha
n-pengolahan-limbah-medis-modern
Republika.co.id. (2020, 22 April). Peneliti: Autoclave Jadi Opsi Pengolahan Limbah Medis
Corona. Retrieved Mei 23, 2021, from:
https://www.republika.co.id/berita/q976x5428/peneliti-autoclave-jadi-opsi-pengolahan
-limbah-medis-corona
Sasetyaningtyas, D. (2018, 9 Desember). Insinerator sebagai solusi untuk masalah sampah
Indonesia, tepatkah?. Retrieved Mei 23, 2021, from:
https://sustaination.id/insinerator-sebagai-solusi-untuk-masalah-sampah-indonesia-tepa
tkah/
Tempo.co. (2016, 10 Februari). Gunakan Insinerator untuk Sampah, Ini yang Harus
Disiapkan. Retrieved Mei 25, 2021, from:
https://tekno.tempo.co/read/743741/gunakan-insinerator-untuk-sampah-ini-yang-harus-
disiapkan
Theupcoming.co.uk. (2021, 18 Januari). Autoclaves: Weapons in the fight against Covid-19.
Retrieved Mei 23, 2021, from:
https://www.theupcoming.co.uk/2021/01/18/autoclaves-weapons-in-the-fight-against-c
ovid-19/
Mutia Ramadhani. (2018, Mei 3). Solusi Pengolahan Limbah Rumah Sakit tanpa
Pembakaran. republika.co.id.
https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/05/03/p8584t328-solusi-peng
olahan-limbah-rumah-sakit-tanpa-pembakaran
Jurnal
Fais, L., Pinelli, L., Adabo, G., da Silva, R., Marcelo, C., & Guaglianoni, D. (2009).
Influence of microwave sterilization on the cutting capacity of carbide burs. Journal of
Applied Oral Science, 17(6).
Ferdowsi, A., Ferdosi, M., & Mehrani, M. J. (2013). Incineration or autoclave? A
comparative study in Isfahan hospitals waste management system. Mater Sociomed,
5(2).pp. 48-51. DOI: 10.5455/msm.2013.25.48-51
Goodbody, C., Walsh, E., McDonell, K., Owende, P. (2013). Regional integration of
renewable energy systems in Ireland – The role of hybrid Energy systems of small
communities. International journal of electrical power and energy systems, 44(1). pp.
713-720.
Kenny, C. & Priyadarshini, A. (2021). Review of Current Healthcare Waste Management
Methods and Their Effect on Global Health. Healthcare 9, 284. DOI: http://doi.org/
10.3390/healthcare90302
View publication stats

Nzihou, A., Themelis, N., Kemiha, M., & Benhamou, Y. (2012). Dioxin emissions from
municipal solid waste incinerators (MSWIs) in France. Waste Management, 32(12). pp.
2273-2277. DOI: ff10.1016/j.wasman.2012.06.016ff. ffhal-01632399f.
Nugroho, S. S. (2013). Pengelolaan Limbah Bahan Berbaha dan Beracun Perspektif
Undangundang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Jurnal Sosial, 14(2), 22-26.
Setiawati, L. A., & Wita, I. N. (2019). Pengelolaan Limbah Medis Bahan Berbahaya dan
Beracun Terhadap Potensi Pencemaran Lingkungan. 9. Retrieved from
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1336908&val=908&title=P
ENGELOLAAN LIMBAH MEDIS BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
TERHADAP POTENSI PENCEMARAN LINGKUNGAN
Shouman, E., Al Bazedi, G., Sorour, M. H., & Albulnour, A. G. (2013). Management of
Hazardous Medical Waste Treatment in Egypt. World Applied Sciences Journal, 28(6).
DOI: 10.5829/idosi.wasj.2013.28.06.13847.
Prasetiawan, T. (2020). Permasalahan Limbah Medis Covid-19 di Indonesia. Pusat
Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 12(9).
Xu, L., Dong, K., Zhang, Y., & Li, H. (2020). Comparison and analysis of several medical
waste treatment technologies. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 615.
doi:10.1088/1755-1315/615/1/012031.
Zimmerman, K. (2018). Microwave Technologies: An Emerging Tool for Inactivation of
Biohazardous Material in Developing Countries. MDPI Recycling review.

Lembaga
Health Care Without Harm. (2004). Non-Incineration Medical Waste Treatment
Technologies in Europe: A Recource for Hospital Administrators, Facility Managers,
Health Care Professionals, Environmental Advocates, and Community Members.
Health Care Without Harm. (2013). Waste Treatment System Evaluation.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2020). Pengelolaan Limbah Medis di Era
Corona.
UNDP. (2019). MODULE 15: Non-Incineration Treatment and Disposal of Healthcare
Waste.
USAID. (2008). Small-Scale Autoclaves to Manage Medical Waste: A buyer’s guide to
selecting autoclaves manufactured in India.
Nurjannah, C. (2019, April 16). PERATURAN PENGELOLAAN LIMBAH B3 KEGIATAN
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN.
WHO. (2019). Overview of technologies for the treatment of infectious and sharp waste
from health care facilities.

Anda mungkin juga menyukai