Anda di halaman 1dari 55

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TEKANAN

DARAH PADA PETANI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS


PAAL MERAH II KOTA JAMBI TAHUN 2021

PROPOSAL PENELITAN

OLEH :
RAKHMI AISYAH EL MAWADDAH
NIM. 1713201031

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYRAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN IBU
JAMBI
2021

i
PERNYATAAN PERSETUJUAN

Proposal Ini Telah Diperiksa, Disetujui dan Telah Dipertahankan Dihadapan Tim
Penguji Proposal Program Studi Kesehatan Masyarakat
STIKES Harapan Ibu Jambi

Jambi, Maret 2021

Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

(Sugiarto, SKM., M.K.M) (Eti Kurniawati, SKM., M.Kes)

Mengetahui,
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
STIKES Harapan Ibu Jambi

(Renny Listiawaty, SKM, M.K.M)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan proposal skripsi ini. Penulisan

proposal skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Program Studi Kesehatan

Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Ibu Jambi. Dalam penulisan

proposal skripsi yang berjudul ”Faktor Yang Berhubungan Dengan Tekanan

Darah Pada Petani Di Wilayah Kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi Tahun

2021” ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak baik ilmu, tenaga dan waktu.

Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ns. Susi Widiawati, S.Kep, M.Kep selaku Ketua STIKES HI Jambi

2. Ibu Renny Listiawaty, SKM, M.K.M selaku Ketua Prodi Kesmas STIKES HI

Jambi

3. Bapak Sugiarto, SKM, M.K.M selaku pembimbing I yang telah memberikan

masukan dan bimbingan serta arahan dengan penuh kesabaran kepada penulis

dalam penulisan proposal skripsi ini.

4. Ibu Eti Kurniawati, SKM, M.Kes selaku pembimbing II yang telah

memberikan masukan dan bimbingan serta arahan dengan penuh kesabaran

kepada penulis dalam penulisan proposal skripsi ini.

5. Seluruh Dosen dan staf STIKES Harapan Ibu Jambi yang telah banyak dalam

memberikan ilmu yang berguna dan bermanfaat untuk penelitian ini.

6. Teman-teman terdekat yang selalu meberikan motivasi dan dukungannya,

serta teman satu angkatan yang memberikan semangat yang terlibat langsung

untuk penyelesaian tulisan ini.

iii
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan proposal skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ini masih jauh dari

kesempuranan, dengan segala kekurangan yang terdapat didalamnya, untuk itu

penulis mohon kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan

tulisan ini dan berguna bagi semua pihak.

Jambi, Maret 2021

Penulis

iv
1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris dengan penduduk yang bekerja di

sektor pertanian mencapai 28,23% dari jumlah seluruh tenaga kerja (Soedarto,

2013). Untuk meningkatkan hasil di sektor pertanian perlu didukung beberapa

sarana pertanian. Adapun sarana yang mendukung pertanian antara lain alat-

alat pertanian, pupuk buatan (Urea, TSP, NPK, Za dan sebagainya), bahan-

bahan kimia tambahan, termasuk pestisida. Pemakaian pestisida pada produk

pertanian menyebabkan peningkatan kualitas maupun kuantitas. Begitu pula

keadaan masyarakat, mengarah lebih baik dengan dilakukannya pengendalian

vektor yang memakai pestisida (Departemen Pertanian RI, 2013).

Berdasarkan data Kementerian Pertanian Republik Indonesia pada

tahun 2016, tercatat ada 3.247 formulasi pestisida yang digunakan untuk sektor

pertanian dan kehutanan. Pestisida di satu sisi dianggap mampu mengendalikan

hama dan penyakit tanaman oleh sektor pertanian, di sisi lain, penggunaan

pestisida dapat mengakibatkan dampak negatif yang sangat besar, yakni

pencemaran lingkungan dan gangguan pada kesehatan (Kemenkes RI, 2016).

Paparan pestisida dapat berdampak bagi kesehatan manusia terutama

kesehatan petani (Djojosumarto, 2008). Diperkirakan setiap tahun terjadi 3 juta

kasus keracunan pada pekerja pertanian dengan tingkat kematian mencapai

250.000 korban jiwa menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain

mengakibatkan keracunan, dampak pestisida pada orang-orang yang selalu


2

terpapar dapat menyebabkan gangguan syaraf, gangguan hati, gangguan sistem

hormone, dan kenaikan tekanan darah (Koesyanto, 2014).

Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Harari, et al. (2010)

di Ekuador Utara pada sektor pertanian bunga menyebutkan bahwa paparan

pestisida dapat mempengaruhi peningkatan tekanan darah sistolik rata-rata 3,6

mmHg. Pada penelitian di Kenya oleh Kipsengeret, et al., (2016) menyebutkan

bahwa terdapat sebanyak 24% penyakit hipertensi pada pekerja dan 16%

hipertensi pada keluarga yang dilaporkan terjadi di wilayah pertanian bunga

potong dan diduga karena paparan pestisida. Penelitian Zulfania, Setiani, &

Dangiran (2017) menyebutkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara

riwayat pajanan pestisida dengan tekanan darah, serta terdapat hubungan antara

masa kerja dengan tekanan darah petani. Penelitian yang dilakukan Nurkhayati,

Nurjazuli, & Joko (2018) menyebutkan terdapat sebanyak 26,7% petani yang

memiliki tekanan darah diastolik tidak normal >90 mmHg.

Tekanan darah yang lebih tepat digunakan untuk menentukan ada atau

tidaknya hipertensi. Data Riskesdas tahun 2018 menyatakan bahwa kejadian

hipertensi cenderung banyak terjadi pada masyarakat dengan pekerjaan sebagai

petani yaitu sebnayak 15,58%. Apabila hipertensi tidak terkontrol akan

menyerang target organ dan akanmeningkatkan risiko serangan jantung, stroke,

gangguan ginjal, diabetes militus serta kebutaan (Guyton dan Hall, 2008).

Adanya beberapa kandungan zat aktif pestisida yang masuk ke dalam

tubuh mengganggu proses penguraian asetilkolin atau bahkan tidak dapat

berlangsung. Kolinesterase yang harusnya menguraikan asetilkolin akan

berikatan dengan zat aktif yang terkandung dalam beberapa jenis pestisida
3

yaitu organofosfat. Ketika kolinesterase berikatan dengan organofosfat,

asetilkolin tidak dapat diuraikan sehingga terjadi penumpukan asetilkolin.

Penumpukan asetilkolin di dalam saluran peredaran darah manusia akan

menimbulkan gerakan yang tidak teratur dan tidak harmonis, dapat lebih cepat

ataupun lebih lambat. Pergerakan ini berdampak pada gerakan pembuluh darah

yang dapat menghasilkan tekanan darah menjadi rendah (hipotensi) atau

tekanan darah tinggi (hipertensi) (Raini, 2007).

Tekanan darah pada petani dipengaruhi oleh beberapa faktor. Semakin

lama petani melakukan penyemprotan maka semakin banyak akumulasi

pestisida masuk ke dalam tubuh sehingga semakin tinggi risiko untuk

mengalami keracunan dan kenaikan tekanan darah (Achmadi, 2014). Menurut

hasil penelitian Zulfania, et al (2017) ada hubungan antara hubungan yang

signifikan antara masa kerja dengan tekanan darah (p-value = 0,005).

Paparan pestisida dalam tubuh juga dipengaruhi oleh pemakaian alat

pelindung diri (APD) oleh petani (Kemenkes RI, 2016). Sesuai dengan

pendapat Suma’mur (2014) penggunaan APD bertujuan untukomelindungi

petani dari sumber bahayaotertentu, terutama yang berasalOdari lingkungan

kerja. Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman para petani tentang bahaya

pestisida serta tidak digunakannya peralatan kerja yang memenuhi standar

keselamatan dan kesehatan kerja merupakan beberapa faktor penyebab

timbulnya risiko gangguan kesehatan akibat pemaparan pestisida pada pekerja

sektor pertanian (Kemenkes RI, 2016).

Petani tidak menggunakan APD pada saat melakukan penyemprotan

maka tubuhnya akan terpapar oleh pestisida. Pestisida bisa masuk melalui
4

saluran pernafasan, kontak langsung dengan kulit dan saluran pencernaan. Alat

pelindung diri sangat penting digunakan petani untuk melindungi diri dari

paparan pestisida (Kemenkes RI, 2016). Adanya paparan pestisida dalam tubuh

maka menyebabkan petani berisiko mengalami kenaikan tekanan darah. Sesuai

dengan hasil penelitian Nurkhayati, Nurjazuli & Joko (2018) yang menyatakan

bahwa ada hubungan antara penggunaan APD dengan tekanan darah pada

petani (p-value = 0,035).

Teknik penyemprotan juga merupakan salah satu faktor penyebab

petani mengalami keracunan pestisida dan tekanan darah (Kemenkes RI,

2016). Kegiatan menyemprot terhadap arah angin merupakan tindakan petani

saat menyemprot tanaman yang memakai pestisida dengan arah angin yang

bertiup. Penyemprotan yang baik jika petani mengikuti arah angin saat

melakukan penyemprotan. Petani yang melawan arah angin akan membuat

paparan pestisida yang lebih banyak sehingga akan mudah mendapatkan

keracunan apalagi jika tanaman yang disemprot tinggi. Semakin rendah kadar

kholinesterase akan menyebabkan kenaikan tekanan darah (Kemenkes RI,

2016).

Puskesmas Paal Merah II merupakan salah satu puskesmas yang ada di

Kota Jambi yang sudah memiliki pos UKK. Jumlah petani yang ada di wilayah

kerja Puskesmas Paal Merah II sebanyak 61 orang petani. Berdasarkan hasil

pengukuran tekanan darah terhadap 10 orang petani setelah melakukan

penyemprotan di wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II diperoleh hasil

sebagai berikut :
5

Tabel 1.1
Data Tekanan Darah 10 Orang Petani di Wilayah Kerja Puskesmas Paal Merah
II Tahun 2021

No Inisial Tekanan Darah


1 Tn. A 128 mmHg
2 Tn. B 152 mmHg
3 Tn. C 148 mmHg
4 Tn. D 130 mmHg
5 Tn. E 156 mmHg
6 Tn. F 138 mmHg
7 Tn. G 155 mmHg
8 Tn. H 160 mmHg
9 Tn. I 126 mmHg
10 Tn. J 145 mmHg
Sumber : Data Primer, 2021

Tabel diatas menunjukkan bahwa dari 10 orang petani yang dilakukan

pengukuran tekanan darah, ada 6 orang petani yang tekanan darah diatas

normal (> 140 mmHg) dan 4 orang memiliki tekanan darah normal. Hasil

wawancara dengan petani diketahui aktivitas pertanian yang dilakukan

responden yaitu menyiapkan pestisida, mencampur pestisida, menyemprot

dikebun, memberantas hama dikebun, memanen sayuran, melepaskan sayuran

dari tangkainya, mencuci peralatan menyemprot dengan sabun, memupuk

tanaman. Kegiatan-kegiatan tersebut tergolong kontak langsung dengan

pestisida. Penggunaan APD pada petani menunjukkan sebanyak 60%

menggunakan penutup hidung (yang terbuat dari kain), baju lengan panjang

serta menggunakan topi pada saat melakukan penyemprotan. Saat melakukan

penyemprotan, petani melakukan penyemprotan pukul 07.00 s/d 11.00 WIB

dan 13.30 s/d 17.00 WIB. Menurut Kemenkes RI (2016) waktu yang tepat

untuk melakukan penyemprotan adalah pukul 08.00 s/d 11.00 WIB dan 15.00

s/d 17.00 WIB.


6

Hasil studi pendahuluan juga menunjukkan bahwa jenis pestisida yang

banyak digunakan oleh petani adalah organofosfat, golongan insektisida dan

fungisida. Dalam penggunaan pestisida, petani melakukan pencampuran lebih

dari dua jenis pestisida dan sebagian besar petani tidak menggunakan Alat

Pelindung Diri (APD) yang lengkap ketika melakukan penyemprotan sehingga

para petani di desa tersebut menjadi salah satu kelompok yang rentan terkena

paparan pestisida.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti melakukan penelitian

tentang faktor yang berhubungan dengan tekanan darah pada petani di wilayah

kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi Tahun 2021.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor apa saja yang

berhubungan dengan tekanan darah pada petani di wilayah kerja Puskesmas

Paal Merah II Kota Jambi Tahun 2021.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya faktor yang berhubungan dengan tekanan darah pada petani di

wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi Tahun 2021.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan masa kerja dengan tekanan darah pada petani di

wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi Tahun 2021.

b. Diketahuinya hubungan teknik penyemprotan dengan tekanan darah pada

petani di wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi Tahun

2021.
7

c. Diketahuinya hubungan penggunaan APD dengan tekanan darah pada

petani di wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi Tahun

2021.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pekerja

Penelitian ini berguna sebagai tambahan informasi bagi petani terutama

yang sudah menderita penyakit hipertensi mengenai dampak paparan

pestisida terhadap kesehatan masyarakat di Puskesmas Paal Merah II dan

memberikan informasi kepada masyarakat cara menanggulangi dampak

paparan pestisida.

2. Bagi Puskesmas Paal Merah II

Penelitian ini berguna sebagai referensi dan pertimbangan bagi puskesmas

dalam membuat program-program dalam menyelesaikan kasus paparan

pestisida dan penyakit akibat paparan pestisida di Puskesmas Paal Merah II

3. Bagi Peneliti lain

Sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian

tentang faktor yang berhubungan dengan tekanan darah pada petani.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan desain cross

sectional untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan tekanan darah

pada petani di wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi Tahun 2021.

Penelitian akan dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II pada

bulan April 2021. Sampel penelitian adalah petani sayur yang melakukan
8

penyemprotan di wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II sebanyak 51 orang.

Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Instrumen

yang digunakan adalah kuesioner, pedoman observasi, dan tensimeter digital

(sfigmomanometer digital). Teknik pengumpulan data dengan melakukan

wawancara dan pengukuran tekanan darah. Data dianalsis menggunakan uji

statistik T Independen.
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tekanan Darah

1. Pengertian

Tekanan darah adalah daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap

satuan luas dinding pembuluh darah yang dinyatakan dalam satuan

milimeter air raksa (mmHg) (Guyton dan Hall, 2014). Tekanan darah

adalah tekanan pada pembuluh nadi yang berasal dari peredaran sistemik

darah pada tubuh manusia. Tekanan darah terdiri dari tekanan darah

sistolik dan tekanan darah diastolik. Tekanan darah sistolik merupakan

tekanan darah di saat posisi jantung menguncup (sistole). Sementara

tekanan darah diastolik yaitu tekanan darah pada saat posisi jantung

kembali mengendor, tidak menguncup (diastole). Maka dari itu, tekanan

darah sistolik tingginya akan selalu lebih dibandingkan dengan tekanan

darah diastolik. Tekanan darah manusia selalu tidak konstan dan berubah-

ubah, tinggi dan rendahnya mengikuti detak jantung (Gunawan, 2012).

2. Fisiologi Tekanan Darah

Tekanan darah mendeskripsikan hubungan antara curah jantung,

elastisitas dari arteri, adanya tahanan vaskuler perifer, volume darah dan

kekentalan darah/viskositas (Potter dan Perry, 2010).

a. Curah Jantung
10

Curah jantung merupakan pemompaan volume darah oleh jantung

dalam waktu satu menit. Tekanan darah akan naik apabila terjadi

peningkatan pada curah jantung, darah yang dipompakan ke dinding

arteri akan menjadi lebih banyak lalu menyebabkan adanya peningkatan

tekanan. Peningkatan frekuensi jantung, peningkatan volume darah, dan

adanya kontraktilitas dari otot jantung dapat menyebabkan peningkatan

curah jantung (Potter dan Perry, 2010).

b. Tahanan Perifer

Tahanan perifer merupakan aliran darah yang mengalami tahanan dan

dipengaruhi oleh tonus-tonus otot vaskular serta diameter pembuluh

darah. Jika lumen pembuluh darah berukuran kecil, maka tahanan

perifer terhadap aliran darah juga akan semakin besar. Jika terjadi

kenaikan tahanan, maka akan terjadi kenaikan tekanan darah arteri. Jika

pembuluh darah mengalami dilatasi dan penurunan tahanan, maka akan

terjadi penurunan tekanan darah (Potter dan Perry, 2010).

c. Volume Darah

Tekanan darah dapat dipengaruhi oleh volume sirkulasi darah dalam

sistem vaskuler. Volume sirkulasi darah pada orang dewasa yaitu 5000

ml dan pada keadaan normal, volume darah akan tetap konstan. Jika

terjadi peningkatan volume darah, maka terjadi pembesaran tekanan

terhadap dinding arteri (Potter dan Perry, 2010).

d. Viskositas

Kelancaran aliran darah untuk melewati pembuluh darah yang

ukurannya kecil dipengaruhi oleh viskositas darah/ kekentalan darah.


11

Viskositas darah dipengaruhi oleh adanya protein plasma di dalam

aliran darah dan jumlah sel darah yang ada. Jika persentase sel darah

merah dalam darah meningkat dan aliran darah melambat, maka

kontraksi jantung akan menguat dan mengalirkan darah yang kental

melalui sistem peredaran darah (Potter dan Perry, 2010).

e. Elastisitas

Elastisitas dinding pembuluh darah arteri pada normalnya dapat dengan

mudah mengalami distensi. Perubahan tekanan diakomodasikan oleh

adanya peningkatan tekanan pada arteri yang diikuti dengan

pembesaran diameter dinding pembuluh darah. Tahanan pada aliran

darah akan lebih besar seiring sdengan menurunnya elastisitas dinding

pembuluh darah. Tekanan sistemik akan meningkat apabila ventrikel

kiri memompa darah melalui dinding arteri yang kaku. Penurunan

elastisitas arteri menyebabkan tekanan darah sistolik lebih signifikan

mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tekanan darah

diastolik (Potter dan Perry, 2010).

3. Pengukuran Tekanan Darah

Tekanan darah dapat diukur melalui berbagai cara dan dinyatakan

dalam satuan milimeter air raksa (mmHg). Guyton dan Hall (2014)

membagi pengukuran tekanan darah menjadi dua cara yakni sebagai

berikut:

a. Cara Langsung

Cara ini biasanya digunakan untuk mengukur tekanan darah pada

hewan dan tidak diterapkan pada manusia. Caranya dengan


12

memasukkan kanula atau jarum steril ke dalam arteri sehingga

perubahan tekanan dapat diukur secara langsung dengan manometer

merkuri atau dengan oskilografi yang hasilnya dapat dibaca secara

grafik pada kertas. Walaupun hasilnya sangat tepat, akan tetapi metode

ini sangat berbahaya karena menimbulkan masalah kesehatan.

b. Cara Tidak Langsung

Manometer air raksa atau yang lebih dikenal dengan nama

sphygmomanometer atau tensimeter ditemukan oleh Riva-Rocci pada

tahun 1896. Alat ini digunakan untuk mengukur tekanan darah yang

terdiri dari cuff, bladder, hand bulb, dan alat ukur air raksa. Pada tahun

1905 Korotkoff menemukan cara untuk menentukan tekanan sistolik

dan diastolik atas dasar suara yang timbul (sound of korotkoff). Suara

ini ditimbulkan oleh adanya turbulensi sebagai akibat pembuluh darah

yang menyempit karena ditekan oleh manset. Sound of korotkoff terdiri

atas lima fase yaitu:

1) Bunyi pertama yang terdengar setelah tekanan cuff diturunkan

perlahan. Begitu bunyi ini terdengar, nilai tekanan yang ditunjukkan

pada sphygmomanometer dinilai sebagai tekanan sistolik;

2) Perubahan kualitas bunyi menjadi bunyi berdesir;

3) Bunyi semakin jelas dan keras;

4) Bunyi menjadi meredam;

5) Bunyi terakhir yang terdengar sebelum bunyi menghilang. Pada fase

ini dinilai sebagai tekanan diastolik.


13

Langkah-langkah untuk mengukur tekanan darah menurut Potter dan Perry

(2010) yaitu:

a. Melakukan pengkajian tempat agar klien merasa nyaman saat diukur

tekanan darahnya.

b. Melakukan persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan,

Sphygmomanometer, stetoskop, kantung dan manset, pena, dan lembar

observasi tanda vital.

c. Membantu memposisikan pasien dalam mengambil posisi duduk

ataupun berbaring.

d. Menjelaskan prosedur tindakan kepada pasien

e. Menggulung lengan baju bagian atas pasien dan terlebih dahulu

meminta izin kepada pasien.

f. Melakukan palpasi arteri brakialis, manset diletakkan 2,5 cm diatas nadi

brakialis (ruang antekubital), dan memastikan manometer diposisikan

ventrikal sejajar dengan mata, jarak pengamat dengan pasien tidak

dianjurkan jika lebih dari 1 m.

g. Ujung jari dari salah satu tangan kita melakukan palpasi arteri radialis

atau brakialis dan tangan yang satunya lagi mengembangkan manset

sampai tekanan 30 mmHg diatas titik yang denyut nadinya teraba.

Kemudian kempeskan manset secara perlahan dan catatlah dimana saat

titik denyut nadi kembali muncul. Kempiskan manset lalutunggu

selama 30 detik.

h. Pasang earpieces stetoskop pada telinga dan cek kembali bahwa bunyi

yang didengar sudah jelas. Carilah lokasi arteri brakhialis dan letakkan
14

diagfragma chestpiece/ bel diatasnya. Pastikan chestpiece tidak

menyentuh manset atau baju klien.

i. Manset digembungkan 30 mmHg tepat diatas tekanan sistolik yang

teraba. Secara perlahan buka ventil putar dan biarkan air raksa turun

dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik.

j. Catat dan perhatikann titik pada manometer sambil mendengarkan

bunyi yang pertama kali didengar dengan jelas dan kempiskan kembali

manset. Catat titik pada manometer sampai 2 mmHg saat bunyi muffled

atat dompened hilang.

k. Kempiskan manset secara sempurna dan cepat.

l. Posisikan pasien ke posisi awal dan pastikan pasien merasa nyaman

serta

m. trapikan baju pasien pada lengan atas.

4. Jenis Alat Ukur Tekanan Darah

Alat untuk mengukur tekanan darah dinamakan tensimeter atau

sphygmomanometer. Terdapat tiga jenis sphygmomanometer, yaitu

sphygmomanometer air raksa, aneroid, dan digital. Meskipun memiliki

fungsi yang sama, namun ketiga jenis ini memiliki perbedaan. Perbedaan

tersebut akan dipaparkan sebagai berikut:

a. Sphygmomanometer air raksa

Sphygmomanometer air raksa menggunakan air raksa untuk

mengukur tekanan darah. Satuan pengukuran tekanan darah pada

manusia adalah mmHg (milimeter hydrargyrum/raksa) yaitu ketinggian

kolom air raksa yang dapat diangkat oleh tekanan darah. Dalam
15

penggunaannya, dibutuhkan alat tambahan yaitu stetoskop untuk

membantu mendengarkan bunyi sistolik dan diastolik. Keunggulan

yang dimiliki oleh tensimeter air raksa adalah akurasinya yang tinggi

sehingga menjadi gold standar pengukuran tekanan darah,

sedangkan kelemahannya pada ukuran alatnya yang besar sehingga

akan sangat merepotkan untuk dibawa kemana-mana (Kemenkes RI,

2013).

Prinsip kerja sphygmomanometer air raksa adalah udara yang

berada di manset akan bereaksi pada air raksa yang menyebabkan

pergerakan pada manometer. Dipilihnya air raksa karena air raksa

memiliki massa jenis 13,6 kali dari massa jenis air (tekanan sistolik 120

mmHg setara dengan 160 cmH2O, sehingga 7,5 mmHg = 10 cmH2O).

Meniskus yang dihasilkan pada sphygmomanometer air raksa berbeda

dengan menggunakan air biasa. Meniskus pada air raksa berbentuk

cembung dan pada bagian inilah dilakukan pencatatan nilai tekanan

darah (Kemenkes RI, 2013). Sphygmomanometer air raksa akan

ditunjukkan pada Gambar 2.1 berikut:

Sumber : Sphygmomanometer air raksa (Sumber: Kemenkes RI, 2013)

b. Sphygmomanometer aneroid
16

Sphygmomanometer aneroid berasal dari kata latin aneroid yang

berarti tanpa cairan. Alat ini menggunakan alat pengukur pegas dan

menggantikan kolom air raksa (yang digunakan pada

sphygmomanometer air raksa) karena lebih kuat dan menghindari

masalah lingkungan yang terkait dengan toksisitas air raksa. Prinsip

kerjanya yaitu peningkatan tekanan memperluas balon pengembang,

yang kemudian menggerakan pointer sepanjang skala untuk

menunjukan tekanan. Masalah yang dapat ditimbulkan dengan

sphygmomanometer pegas adalah rentannya kehilangan akurasi dari

waktu ke waktu sehingga diperlukan kalibrasi secara berkala

(Kemenkes RI, 2013). Sphygmomanometer aneroid akan ditunjukkan

pada Gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.2 Sphygmomanometer aneroid

c. Sphygmomanometer digital

Sphygmomanometer digital adalah pengukur tekanan darah terbaru dan

lebih mudah digunakan dibanding model standar yang menggunakan air

raksa, tapi akurasinya relatif lebih rendah. Model digital ini mengukur

tekanan darah melalui suatu peralatan yang berupa mikrofon atau

transduser. Data yang diperoleh melalui sensornya akan dikonversikan

oleh mikroprosesor menjadi bacaan tekanan darah. Bacaan tersebut


17

ditampilkan pada layar kecil atau disajikan secara tercetak.

Sphygmomanometer digital akan ditunjukkan pada Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Sphygmomanometer digital

B. Pestisida

1. Pengertian

Pestisida merupakan bahan yang telah banyak memberikan manfaat

untuk keberlangsungan dunia produksi pertanian. Banyaknya organisme

pengganggu tumbuhan yang dapat menurunkan hasil panen, dapat

diminimalisir dengan pestisida. Untuk itu pestisida digunakan secara luas di

sektor pertanian. Namun demikian pestisida termasuk salah satu bahan

kimia beracun dan berbahaya (B3) dan termasuk zat pencemar organik yang

persisten (persisten organic pollutans / POPs) dimana memiliki dampak

negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Secara definisi

pestisida adalah zat kimia atau bahan lainnya yang dipakai untuk mematikan

hama, baik yang berupa tumbuhan, serangga, dan hewan lainnya yang

berada di sekitar lingkungan kita (Kemenkes RI, 2016). Pestisida adalah

semua zat atau campuran yang berfungsi untuk mengatur pertumbuhan

tanaman (Djojosumarto, 2008).

Adapun fungsi lain pestisida adalah sebagai berikut;


18

a. Mencegah hama-hama dan memberantas penyakit yang merusak bagian-

bagian tanaman dan hasil-hasil pertanian.

b. Membasmi rerumputan.

c. Mencegah dan mematikan pertumbuhan daun yang tidak dikehendaki.

d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian

tanaman tidak termasuk pupuk.

e. Mencegah dan memberantas hama-hama luar yang mengganggu ternak

dan hewan-hewan piaraan.

f. Mencegah dan mematikan hama-hama air.

g. Mematikan atau mencegah jasad-jasad renik dan binatang-binatang

dalam bangunan, rumah tangga, dan alat-alat pengangkutan.

h. Mencegah dan memberantas organisme yang dapat mengakibatkan

penyakit pada tanaman, binatang, dan manusia (Kemenkes RI, 2016).

2. Jenis Pestisida

Jenis pestisida dapat dibagi berdasarkan sasaran target organisme

pengganggu tanaman. Yang paling banyak digunakan oleh petani adalah

insektisida (pembasmi serangga), fungisida (pembasmi jamur), rodentisida

(pembasmi hewan pengerat), dan herbisida (pembasmi rumput/gulma).

Selain mengetahui jenis-jenisnya, pengguna pestisida harus memperhatikan

kandungan bahan aktif dari pestisida yang digunakan. Bahan aktif adalah

bagian dari pestisida yang membunuh atau mengendalikan hama target

komponen (Kemenkes RI, 2016).

Klasifikasi pestisida antara lain :

a. Berdasarkan organisme target


19

Organisme pengganggu tanaman (OPT) berbeda-beda sehingga perlu

dilakukan pengendalian yang berbeda pula. Menurut Djojosumarto

(2008) pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan OPT targetnya, yaitu

sebagai berikut :

1) Insektisida digunakan untuk mengendalikan hsms serangga.

Kelompok insektisida dibedakan menjadi dua, yaitu ovisida

(mengendalikan telur serangga) dan larvisida (mengendalikan larva

serangga).

2) Akarisida digunakan untuk mengendalikan akarina (tungau atau

mites).

3) Moluskisida digunakan untuk mengendalikan hama dari bangsa siput

(moluska).

4) Rodentisida digunakan untuk mengendalikan binatang pengerat.

5) Nematisida digunakan untuk mengendalikan nematoda (cacing).

6) Fungisida digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang

disebabkan oleh jamur atau cendawan.

7) Bakterisida digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang

disebabkan oleh bakteri.

8) Herbisida digunakan untuk mengendalikan gulma (tumbuhan

pengganggu).

9) Algisida digunakan untuk mengendalikan ganggang (algae).

10) Piscisida digunakan untuk mrngendalikan ikaan buas.

11) Avisida digunakan untuk meracuni burung perusak hasil pertanian

serta pengontrol populasi burung,


20

12) Repelen adalah pestisida yang tidak bersifat membunuh, tetapi hanya

mengusir hama.

13) Atraktan digunakan untuk menarik atau mengumpulkan serangga.

14) ZPT, digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman yang efeknya

bisa memacu pertumbuhan atau menekan pertumbuhan.

15) Plant activator digunakan untuk merangsang timbulnya kekebalan

tumbuhan sehingga tahan terhadap penyakit tertentu.

16) Termisida berfungsi untuk membunuh rayap.

b. Berdasaarkan Struktur Kimia

Setiap pestisida satu dengan pestisida yang lainnya memiliki struktur

kimia yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan bahan kimia yang

digunakan untuk membuat juga berbeda. Pengelompokan pestisida

berdasarkan struktur kimianya adalah sebagai berikut:

1) Pestisida Golongan Organokhlorin

Organokhlorin atau Chlorinated hydrocarbon adalah senyawa

insektisida yang mengandung atom karbon, khlor, dan hidrogen,

kadang kala oksigen. Pestisida golongan organokhlorin merupakan

jenis pestisida yang paling baik digunakan untuk mengendalikan

serangga. Senyawa DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane) dan

BHC (benzene heksakhlorida) merupakan senyawa organokhlorin

yang pertama kali diketahui memiliki sifat sebagai racun serangga.

2) Pestisida Golongan Oganofosfat

Pestisida golongan organofosfat biasanya sangat beracun, tetapi

mudah diuraikan di alam dan tidak bersifat bioakumulatif. Cara kerja


21

golongan ini selektif, tidak persisten dalam tubuh, dan tidak

menyebabkan resistensi terhadap serangga. Bekerja sebagai racun

kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Semua golongan ini

merupakan racun saraf yang bekerja dengan cara menghambat

Cholinesterase (ChE) yang menyebabkan serangga sasaran

mengalami kelumpuhan dan akhirnya mati. Beberapa pestisida yang

termasuk kedalam golongan organofosfat antara lain : Asefat,

Azinfos-etil, Azinfos-metil, Kadusafos, Klorfenvinfos, Klorpirifos,

Prefenofos, Kumafos, Diklorvos, Etion, Malation, Paration, dan

masih banyak lainnya (Djojosumarto, 2008).

3) Pestisida Golongan Karbamat

Pestisida golongan karbamat bekerja dengan cara menghambat

aktivitas enzin cholinesterase. Gejala keracunan sama halnya dengan

gejala keracunan akibat pestisida golongan organofosfat namun lebih

mendadak dan tidak lama karena efeknya terhadap enzim

cholinesterase tidak persisten. Meskipun efek yang ditimbulkan tidak

lama dan gejalanya cepat hilang, namun keracunan pestisida

golongan ini sangat fatal dan berbahaya apabila tidak segera

mendapat pertolongan yang dapat disebabkan oleh depresi

pernafasan. Berikut merupakan pestisida golongan karbamat antara

lain : Karbanil, Karbofuran, Dioksakarp, Kartap, Bufenkarb, dan

lainnya.

4) Macrolide (Hasil Fermentasi)


22

Senyawa macrolida dihasilkan dari fermentasi yang melibatkan

mikroorganisme. Efikasinya sangat baik untuk mengendalikan

nematoda parasit, tungau, dan berbagai serangga. Contoh macrolida

antara lain abamektin, emamektin, milbemektin, dan polinaktins.

Abamektin termasuk dalam insektisida dan akarisida dan tersusun

atas sedikitnya 80% avermektin B1a dan 20% avermektin B1b.

Abamektin sangat efektif untuk mengendalikan tungau pengganggu

tanaman. Emamektin dikembangkan dari avermektin B1. Pestisida ini

sangat efektif untuk mengendalikan berbagai jenis larva serangga

hama dari ordo Lepidoptera.

5) Neonikotinoid

Insektisida ini merupakan kelompok yang relatif baru yang mulai

dipublikasikan pertma kali tahun 1990-an. Neonikotinoid bersifat

sistemik, diserap oleh jaringan tanaman (termasuk akar) dan di

translokasikan secara akropetal. Neonikotinoid dibagi menjadi

beberapa kelompok, antara lain :

a) Kloronikotinil, contohnya tiakloprid, imidakloprid, asetamiprid.

b) Tianikotinil, contohnya tiametoksam

c) Nitrometilen, contohnya MTI 446.

6) Piretiroid

Insektisida piretroid merupakan insektisida sintetik yang merupakan

tiruan dari piretrum. Piretroid memiliki efek sebagai racun kontak

yang sangat kuat. Insektisida piretroid dibedakan atas kepekaannya

terhadap cahaya, sebagai berikut:


23

a) Light sensitive piretroid (piretroid yang sensitif terhadap cahaya)

contohnya seperti : alletrin, tetrametrin, dan resmetrin.

b) Photostable piretroid (piretroid yang stabil terhadap cahaya),

contohnya yaitu : sipermetrin, deltametrin, bifentrin, fenvalerat,

dan tau-fluvalinat. Kelompok ini dibagi lagi menjadi dua

kelompok, yaitu :

1) Halovinycycloprophane piretroid : siperpetrin, deltametrin

2) Non-cycloprophane piretroid : fenvalerat, tau-fluvalinat.

7) Diphenyl-Ether

Diphenyl-Ether merupakan salah satu jenis herbisida. Contoh dari

diphenyl-ether adalah okdifluorfen. Pestisida ini bekerja dengan cara

menghambat protoporpyrinogrn oxidase. Herbisida ini diserap oleh

daun dan tunas yang baru tumbuh, sedikit leat akar dan sedikit

ditranslokasikan ke bagian lainnya.

8) Nereistoksin

Nereistoksin alami merupakan racun yang dihasilkan oleh semacam

cacing laut Thiocyclam. Senyawa ini sudah sudah dapat dibuat

analognya dan beberapa diantaranya diproduksi sebagai insektisida.

Contoh dari nereistoksin adalah dimehypo. Dimehypo merupakan

insektisida sistemik yang bekerja sebagai racun kontak dan racun

perut.

3. Jalur Masuk Pestisida

Pestisida dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara yaitu:

(Kemenkes RI, 2016)


24

a. Inhalation (pernapasan)

Masuknya pestisida melalui pernapasan dikarenakan terhirupnya zat

kimia berupa uap, debu atau asap yang terbawa udara dan terhirup

saluran pernapasan. Penyebabnya sebagai contoh yaitu teknik

penyemprotan pestisida yang dilakukan dengan tidak tepat (misalnya

tidak memperhatikan arah angin).

b. Skin absorption (penyerapan kulit)

Masuknya pestisida melalui skin absoption (penyerapan kulit) juga

merupakan hal yang umum terjadi. Pestisida dibuat untuk dapat

menembus kulit serangga/gulma, dan hal ini juga dapat terjadi pada

manusia apabila terkena zat ini. Kondisi lingkungan kerja yang panas

lebih meningkatkan risiko karena panas mengakibatkan pori-pori kulit

lebih melebar/ terbuka sehingga zat kimia dalam pestisida mudah masuk

ke dalam kulit.

c. Ingestion (pencernaan)

Sedangkan ingestion atau masuknya pestisida lewat pencernaan dapat

terjadi karena praktek hygiene yang buruk serta kekuranghati-hatian

dalam bekerja. Hal ini terjadi misalnya karena hal-hal berikut:

1) Tidak membersihkan tubuh dengan baik setelah bekerja (terutama

tangan), kemudian memakan makanan sehingga zat yang tertinggal

di dalam tangan atau anggota badan lain dapat menempel ke

makanan dan tertelan.


25

2) Meniup nozzle yang tersumbat dengan meletakkannya diantara bibir

dan meniupnya sehingga cairan/ tetesan zat bisa masuk ke dalam

mulut.

3) Pestisida dimasukkan ke dalam wadah minuman (botol dan

sejenisnya) namun tidak diberi label/ tanda, sehingga orang lain

mengira bahwa itu adalah minuman.

4. Tanda dan Gejala Keracunan Pestisida

Beberapa tanda dan gejala keracunan pestisida yang diakibatkan

inhibisi kolinesterase, tergantung pada tingkat keparahan keracunan, adalah

sebagai berikut (Kemenkes RI, 2016):

a. Keracunan ringan; letih, lemah, limbung, mual, pandangan kabur

b. Keracunan sedang; nyeri kepala, berkeringat, berair mata, mengeluarkan

air liur, muntah, pandangan kabur, kedutan otot;

c. Keracunan berat; kejang perut, buang air, diare, tremor (kejang) otot,

berjalan sempoyongan, penyempitan pupil mata, hipotensi (tekanan

darah yang rendah), denyut jantung lambat, gangguan pernapasan

(Kemenkes RI, 2016)

5. Upaya Pencegahan Keracunan Pestisida

Menurut Djojosumarto (2008), hal-hal yang harus diperhatikan untuk

mencegah risiko keracunan pestisida antara lain: sebelum melakukan

penyemprotan, saat melakukan aplikasi/ penyemprotan, dan sesudah

penyemprotan. Sebelum melakukan penyemprotan, jangan melakukan

penyemprotan jika merasa tidak sehat, jangan pernah mengizinkan anak-

anak terlibat dengan pestisida, memberikan kode pada pestisida, gunakan


26

pada saat mempersiapkan pestisida, perhatikan hal-hal apa saja dalam

melakukan pengolahan pestisida. Sedangkan, saat melaukan penyemprotan,

perhatikan kecepatan angin saat menyemprot, jangan melawan arah angin

saat menyemprot, jangan makan, minum, atau merokok saat menyemprot.

Terakhir, sesudah melakukan penyemprotan, cuci tangan dengan sabun

setelah pekerjaan selesai, segera mandi, lalu cuci pakaian kerja secara

terpisah dari cucian lainnya.

6. Permasalahan Penggunaan Pestisida

Di Indonesia, meningkatnya penggunaan pestisida dewasa ini

memiliki konsekuensi terhadap kesehatan masyarakat. Banyak masyarakat

petani yang berperilaku tidak aman dalam menggunakan pestisida sehingga

berisiko tinggi terkena penyakit atau mengalami kecelakaan kerja. Pestisida

sebagai salah satu bahan kimia yang beracun dan berbahaya, seharusnya

memiliki panduan pada label tiap kemasannya agar dapat digunakan secara

aman dan sehat. Namun demikian pestisida yang beredar di kalangan petani

belum tentu merupakan pestisida yang dibeli lengkap dengan kemasan

standar, bahkan ada juga pengguna yang membeli pestisida secara eceran

tanpa kemasan dan tidak membaca label kemasan pestisida saat digunakan

(Kemenkes RI, 2016).

Permasalahan dalam penggunaan pestisida di sektor pertanian adalah

sebagai berikut (Kemenkes RI, 2016) ;

a. Penggunaan pestisida yang berlebihan

b. Mencampur beberapa jenis pestisida secara sembarangan

c. Penyebutan pestisida sebagai “obat”


27

d. Tidak memperhatikan arah angin ketika menyemprot pestisida

e. Tidak menggunakan APD saat kontak dengan pestisida

f. Rendahnya pemeliharaan peralatan pestisida seperti tidak mencuci

peralatan yang ada setelah menggunakan pestisida.

g. Kurangnya pengetahuan, informasi dan pelatihan di kalangan petani pada

pemilihan, pencampuran dan penanganan pestisida yang tepat

h. Kurangnya pengetahuan dan informasi di kalangan petani, terutama

petani perempuan pada pestisida secara umum dan khusus mengenai

dampak kesehatan dalam jangka panjang

i. Sulitnya menginterpretasi label produk pestisida;

j. Kebersihan pribadi yang buruk kaitannya dengan penggunaan pestisida

k. Penyimpanan dan praktik pembuangan limbah pestisida yang buruk

l. Tingginya paparan pestisida di kalangan petani perempuan, bahkan

selama kehamilan.

Keterbatasan tingkat pendidikan para pekerja sektor pertanian,

menyebabkan kurangnya pengetahuan dan kesadaran serta perilaku para

petani dalam memahami dampak dan bahaya penggunaan pestisida secara

aman dan sehat. Sehingga petani belum dapat melaksanakan penggunaan

pestisida dengan prosedur kerja yang baik dan aman. Oleh karena itu

diperlukan pengetahuan dan keterampilan bagi petugas kesehatan untuk

membina petani dan penjamah pestisida dalam menerapkan cara aman dan

sehat bekerja dengan pestisida (Kemenkes RI, 2016).

C. Hubungan Pestisida dan Tekanan Darah


28

Perilaku penggunaan organofosfat dan senyawa pestisida lainnya yang

tidak tepat, menyebabkan gangguan kesehatan yang serius. Pestisida masuk ke

dalam tubuh melalui oral, dermal dan inhalasi (Kemenkes RI, 2016). Masalah

kesehatan yang dapat timbul akibat pajanan organofosfat, berupa gangguan

kardiovaskular, gangguan sistem saraf pusat, gangguan dalam kehamilan serta

dampak lainnya. Salah satu gangguan sistem kardiovaskular yang diakibatkan

penggunaan pestisida adalah kenaikan tekanan darah. Organofosfat masuk ke

dalam sirkulasi darah dan berdistribusi ke organ target yaitu sistem saraf.

Organofosfat bersifat inhibitor asetilkolinesterase (Anti-AChE) dengan

mengikat enzim AChE. Ikatan tersebut terjadi di plasma, sel darah merah dan

sinaps kolinergik. Inhibisi kolinesterase menyebabkan penurunan fungsi enzim

AChE dan mengakibatkan asetilkolin tertimbun di sinaps sehingga terjadi

stimulasi yang terus menerus pada reseptor postsinaptik dimana asetilkolin

akan berikatan dengan reseptor kolinergik maupun reseptor adrenergik. Inhibisi

kolinesterase pada ganglion simpatis akan meningkatkan rangsangan simpatis

dengan manifestasi klinis midriasis, hipertensi dan takikardia. Neurotransmiter

katekolamin noradrenalin dan adrenalin serta reseptor primernya, reseptor α

dan β, memainkan peran penting dalam pengaturan aktivitas sistem saraf

simpatis meliputi tekanan darah dan aktivitas jantung (Guyton dan Hall, 2014).

Reseptor α1 adalah reseptor yang ditemukan pada otot polos pembuluh

darah. Aktivitas reseptor α1 utamanya melibatkan kontraksi otot polos. Hal ini

menyebabkan vasokonstriksi di banyak pembuluh darah. Sedangkan reseptor

β1 memainkan peran penting dalam aktivitas jantung. Rangsangan simpatis

pada reseptor ini akan meningkatkan frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung.
29

Daya dorong jantung dan adanya tahanan perifer akibat vasokonstriksi akan

mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan arteri (Guyton dan Hall, 2014).

Kemenkes RI (2016) menunjukkan bahwa paparan pestisida dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu penggunaan pestisida yang berlebihan, mencampur

beberapa jenis pestisida secara sembarangan, teknik penyemprotan dimana

pada saat penyempotan tidak memperhatikan arah angin ketika menyemprot

pestisida, tidak menggunakan APD saat kontak dengan pestisida, rendahnya

pemeliharaan peralatan pestisida seperti tidak mencuci peralatan yang ada

setelah menggunakan pestisida, kurangnya pengetahuan, informasi dan

pelatihan di kalangan petani pada pemilihan, pencampuran dan penanganan

pestisida yang tepat, kurangnya pengetahuan dan informasi di kalangan petani

mengenai dampak kesehatan dalam jangka panjang, sulitnya menginterpretasi

label produk pestisida, kebersihan pribadi yang buruk kaitannya dengan

penggunaan pestisida, penyimpanan dan praktik pembuangan limbah pestisida

yang buruk, tingginya paparan pestisida di kalangan petani perempuan, bahkan

selama kehamilan.

Menurut Achmadi (2014), proses terjadinya suatu penyakit berbasis

lingkungan disebabkan karena adanya interaksi antara simpul satu, simpul dua,

simpul tiga, simpul empat, dan simpul lima. 1) Simpul satu adalah sumber

penyakit yaitu benda atau makhluk hidup yang dapat menghasilkan atau

menimbulkan penyakit, biasanya dikenal dengan agent penyakit seperti virus,

bakteri, parasit, logam berat, dan pestisida. Dalam penelitian ini, sumber

penyakit hipertensi adalah pestisida. 2) Simpul dua adalah media transmisi atau

media penularan yaitu media yang dapat menularkan atau memindahkan agent
30

penyakit kepada host/manusia. Dalam penelitian ini, yang menjadi media

transmisi adalah udara. 3) Simpul tiga adalah biomarker atau perilaku

pemajanan yaitu banyaknya agent penyakit yang kontak dengan host/manusia

yang diukur dengan mengukur kadar agent penyakit di dalam bagian tubuh

manusia. Dalam penelitian ini, yang menjadi simpul tiga adalah masa kerja,

lama penyemprotan, teknik penyemprotan, penggunaan alat pelindung diri dan

kadar koliesterase. 4) Simpul empat adalah kejadian penyakit yaitu hasil dari

hubungan interaktif antara masyarakat dengan lingkungan yang berpotensi

menimbulkan gangguan kesehatan. Dalam penelitian ini, yang menjadi simpul

empat adalah hipertensi. 5) Simpul lima adalah variabel lain yang dapat

memengaruhi semua simpul. Dalam penelitian ini, yang menjadi simpul lima

adalah karakteristik, musim, sosial ekonomi, dan sosial budaya.

D. Masa Kerja

Masa kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

paparan pestisida masuk kedalam tubuh seseorang dan beresiko pada

kesehatan. Masa kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

paparan pestisida masuk kedalam tubuh seseorang, hal ini karena

bertambahnya masa sesorang menjadi petani dan menggunakan pestisida dalam

setiap aktivitas pertaniannya akan menyebabkan penumpukan zat kimia

pestisida yang masuk dalam tubuh seseorang sehingga semakin lama seseorang

bekerja sebagai petani dapet mempengaruhi adanya paparan pestisida yang

masuk kedalam tubuh (Djojosumarto, 2008).

Masa kerja petani penyemprot berkaitan dengan banyaknya akumulasi

pestisida yang masuk ke dalam tubuh. Paparan pestisida yang semakin lama
31

akan menyebabkan akumulasi atau penumpukan dalam tubuh seseorang yang

akan menganggu kerja enzim kolinesterase sehingga memicu terjadinya

tekanan darah (Mahmudah M, 2012). Secara garis besar masa kerja

dikategorikan menjadi 3 yaitu :

1) Masa kerja < 6 tahun

2) Masa kerja 6-10 tahun

3) Masa kerja > 10 tahun (Budiono, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Fatma Hidayah (2020) menunjukkan bahwa

petani yang memiliki masa kerja > 5 tahun memiliki risiko 1,937 kali lebih

tinggi mengalami hipertensi jika dibandingkan dengan petani yang memiliki

masa kerja < 5 tahun

E. Teknik Penyemprotan

Teknik penyemprotan pestisida yang tidak sesuai dengan yang

diajurkan dapat menjadikan pestisida masuk kedalam tubuh seseorang,

pestisida yang masuk kedalam tubuh akan berakibat pada kesehatan manusia.

Cara penyemprotan pestisida antara lain :

a) Arah semprotan harus sama dengan arah angin.

b) Petani penyemprot pestisida berjalan sesuai arah angin dan diusahakan

untuk tidak melalui daerah yang telah disemprot.

c) Arah angin dan ketinggian harus sesuai dengan sasaran

d) Semakin lama petani kontak dengan pestisida, semakin besar kemungkinan

untuk terpapar oleh bahan beracun, jadi sebaiknya lama penyemprotan tidak

lebih dari 5 jam (Djojosumarto, 2008).


32

Peraturan Menteri Pertanian R.I No. 107/Permentan/SR.140/9/2014 tentang

cara penyemprotan yaitu:

1. Arah semprotan harus sama dengan arah angin.

2. Petani penyemprot pestisida berjalan sesuai arah angin dan diusahakan

untuk tidak melalui daerah yang telah disemprot.

3. Arah dan kecepatan angin harus sesuai dengan sasaran.

4. Semakin lama petani kontak dengan pestisida, semakin besar kemungkinan

untuk terpapar oleh bahan beracun, jadi sebaiknya lama penyemprotan tidak

lebih dari 5 jam.

5. Jangan makan dan minum atau merokok pada saat melakukan

penyemprotan dan pencampuran

F. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang

mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya

mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja

(PP Nomor PER.08/MEN/VII/2010). Alat pelindung diri mempunyai

kemampuan untuk melindungi seseorang pekerja dan berfungsi untuk

melindunginya dari bahaya–bahaya baik secara fisik maupun kimiawi.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Per.03 /Men/1986

tentang keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja yang mengelola

pestisida. Pasal 2 ayat (2) menyebutkan tenaga kerja yang mengelola Pestisida

harus memakai alat-alat pelindung diri yang berupa pakaian kerja, sepatu lars

tinggi, sarung tangan, kacamata pelindung atau pelindung muka dan pelindung

pernafasan. Tenaga kerja yang menggunakan pekerjaan menyemprotkan


33

pestisida khususnya petani harus melakukan prosedur kerja yang standar juga

harus memakai APD, bertujuan untuk menjaga agar resiko bahaya yang

mungkin terjadi dapat dihindari.

Berdasarkan Permenkes No.258/Menkes/Per/III/1992 tentang persyaratan

pengelolaan pestisida, untuk perlengkapan pelindung yang minimal harus

digunakan berdasarkan jenis pekerjaan dan klasifikasi pestisida khusus

penyemprotan di luar gedung dengan klasifikasi pestisida yaitu:

1. Pestisida yang sangat berbahaya sekali: sepatu boot, baju terusan lengan

panjang dan celana panjang, topi, pelindung muka, masker, dan sarung

tangan.

2. Pestisida yang sangat berbahaya: sepatu kanvas, baju terusan lengan

panjang dan celan panjang, topi dan masker.

3. Pestisida yang berbahaya: sepatu kanvas, baju terusan lengan panjang dan

celan panjang, topi dan masker

4. Pestisida yang cukup berbahaya: sepatu kanvas, baju terusan lengan

panjang dan celana panjang, topi.

Pestisida merupakan racun yang bersifat kontak yang dapat masuk

kedalam tubuh melalui saluran cerna, saluran nafas atau melalui kulit. Oleh

karena itu penggunaan alat pelindung diri pada petani ketika menyemprot

sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan pestisida.

Pemakaian alat pelindung diri lengkap ada 7 macam yaitu : baju lengan

panjang, celana panjang, masker, topi, kacamata, kaos tangan, dan sepatu boot

(Notoatmodjo, 2003)

G. Kerangka Teori
34

Kerangka teori penelitian ini mengacu dari teori Kemenkes RI (2016) dan

Achmadi (2014) yang tergambar pada bagan berikut :

Bagan 2.1
Kerangka Teori

a. Penggunaan pestisida yang berlebihan


b. Mencampur beberapa jenis pestisida
secara sembarangan
c. Teknik penyemprotan dimana pada saat
penyempotan tidak memperhatikan arah
angin ketika menyemprot pestisida
d. Tidak menggunakan APD saat kontak
dengan pestisida
e. Rendahnya pemeliharaan peralatan
pestisida seperti tidak mencuci peralatan
yang ada setelah menggunakan pestisida
f. Kurangnya pengetahuan, informasi dan
pelatihan di kalangan petani pada Paparan
pemilihan, pencampuran dan Pestisida Tekanan Darah
penanganan pestisida yang tepat
g. Kurangnya pengetahuan dan informasi
di kalangan petani mengenai dampak
kesehatan dalam jangka panjang
h. Sulitnya menginterpretasi label produk
pestisida
i. Kebersihan pribadi yang buruk a. Masa kerja
kaitannya dengan penggunaan pestisida b. Lama penyemprotan
j. Penyimpanan dan praktik pembuangan c. Teknik penyemprotan
limbah pestisida yang buruk d. Penggunaan alat
k. Tingginya paparan pestisida di kalangan pelindung diri
petani perempuan, bahkan selama
kehamilan. Achmadi (2014)
Kemenkes RI (2016)

Sumber : Modifikasi Kemenkes RI (2016) & Achmadi (2014)


35

BAB 3

METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori pada bab II yang menunjukkan bahwa

tekanan darah pada petani yang melakukan penyemprotan pestisida

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Peneliti tidak mengambil semua faktor yang

berhubungan dengan tekanan darah, peneliti meneliti masa kerja, teknik

penyemprotan dan penggunaan APD sebagai variabel independen dan

kejadian tekanan darah sebagai variabel dependen. Kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Masa Kerja

Teknik Penyemprotan Tekanan Darah

Penggunaan APD

B. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan

desain cross sectional (potong silang) dimana data yang menyangkut variabel
36

sebab atau resiko dan akibat atau kasus yang terjadi pada objek penelitian

diukur dan dikumpulkan secara simultan (dalam waktu yang bersamaan).

20

C. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini tergambar pada tabel sebagai

berikut :

Tabel 3.1
Definisi Operasional

N Definisi Skala
Variabel Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur
o Operasional Ukur
Variabel Dependen
1 Tekanan Daya yang sphygmo Pengukuran .... mmHg Rasio
Darah dihasilkan oleh manomet tekanan darah
darah er digital
terhadap
setiap satuan
luas dinding
pembuluh arah
yang
inyatakan
dalam satuan
milimeter air
raksa (mmHg).
Variabel Independen
2 Masa Kerja Lama waktu sejak Kuesioner Wawancara 1. Lama, jika > 5 Ordinal
responden aktif tahun
sebagai petani 2. Baru, jika < 5
penyemprot tahun
hingga saat
penelitian
dilakukan, dalam
satuan tahun
3 Teknik Cara dan langkah- Kuesioner Wawancara 1. Tidak Baik, jika Ordinal
Penyemprotan langkah yang skor <
dilakukan petani mean/median
dalam melakukan 2. Baik, jika skor >
penyemprotan. mean/median
4 Penggunaan Tindakan Kuesioner Wawancara 1. Kurang baik, nilai Ordinal
APD responden dalam < mean/median
menggunakan alat 2. Baik, nilai >
pelindung diri mean/median
untuk melindungi
diri agar terhindar
dari kontak
langsung dengan
37

pestisida saat
penyemprotan

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan antara masa kerja dengan tekanan darah pada petani di

wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi Tahun 2021.

2. Ada hubungan antara teknik penyemprotan dengan tekanan darah pada

petani di wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi Tahun 2021.

3. Ada hubungan antara penggunaan APD dengan tekanan darah pada petani

di wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi Tahun 2021.

E. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II

pada bulan April tahun 2021

F. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan

diteliti (Arikunto, 2010). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah seluruh petani sayur yang melakukan penyemprotan di wilayah

kerja Puskesmas Paal Merah II sebanyak 61 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan

dipergunakan sebagai penelitian (Arikunto, 2010). Sampel dalam

penelitian ini adalah petani sayur yang melakukan penyemprotan di


38

wilayah kerja Puskesmas Paal Merah II Kota Jambi sebanyak 61 orang.

Teknil pengambilan sampel dengan teknik total sampling.

G. Sumber Data

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diambil secara langsung oleh peneliti

terhadap sasaran. Data primer diperoleh dengan melakukan pengukuran

tekanan darah, pengamatan penggunaan APD dan wawancara

menggunakan kuesioner tentang karakteristik responden (usia, jenis

kelamin, pendidikan), masa kerja dan teknik penyemprotan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari orang lain atau tempat lain

dan bukan dilakukan oleh peneliti sendiri. Data sekunder dalam penelitian

ini diperoleh dari Puskesmas Paal Merah II tentang jumlah petani.

H. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah perangkat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data. Instrumen pada penelitian ini adalah lembar kuesioner dan

alat pengukur tekanan darah dengan sphygmomanometer digital.

a. Kuesioner

Pedoman wawancara yang digunakan untuk mengetahui karakteristik

responden mulai dari nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja,

penggunaan APD pada bekerja


39

b. Sphygmomanometer digital

Alat ini digunakan untuk mengukur tekanan darah petani sayur.

cara pengukuran dengan menggunakan tensimeter digital:

1) Sebelum melakukan pengukuran tekanan darah, responden sebaiknya

menghindar kegiatan aktivitas fisik seperti olah raga, merokok, dan

makan, minimal 30 menit sebelum pengukuran. Dan juga duduk

beristirahat setidaknya 5-15 menit sebelum pengukuran. Hindari

melakukan pengukuran dalam kondisi stres. Pengukuran sebaiknya

dilakukan dalam ruangan yang tenang dan posisi duduk. Responden

duduk dengan posisi kaki tidak menyilang tetapi kedua telapak kaki

datar menyentuh lantai. Letakkan lengan kanan responden di atas meja.

2) Singsingkan lengan baju pada lengan bagian kanan responden dan

memintanya untuk tetap duduk tanpa banyak gerak, dan tidak berbicara

pada saat pengukuran. Biarkan lengan dalam posisi tidak tegang

dengan telapak tangan terbuka ke atas. Pastikan tidak ada lekukan pada

pipa mancet.

3) Persiapkan manset. Pasang manset pada lengan kanan responden

dengan posisi kain halus/ lembut ada di bagian dalam dan D-ring (besi)

tidak menyentuh lengan, masukkan ujung mancet melalui D-ring

dengan posisi kain perekat di bagian luar. Ujung bawah mancet

terletak kira-kira 1–2 cm di atas siku. Posisi pipa mancet harus terletak

sejajar dengan lengan kanan responden dalam posisi lurus dan relaks.

4) Tarik mancet dan kencangkan melingkari lengan kanan responden.

Tekan kain perekat secara benar pada kain bagian luar mancet.
40

Pastikan mancet terpasang secara nyaman pada lengan kanan

responden.

5) Tekan tombol ’start’, pada layar akan muncul angka 888 dan semua

simbol.

6) Selanjutnya semua simbol gambar hati “♥” akan berkedip-kedip.

sampai denyut tidak terdeteksi dan tekanan udara dalam mancet

berkurang, angka sistolik, diastolik dan penyut nadi akan muncul.

7) Apabila responden tidak bisa duduk, pengukuran dapat dilakukan

dengan posisi berbaring.

Selain itu, terdapat prosedur standart pengoperasian tensimeter digital,

yaitu:

1) Masukkan selang udara ke dalam Port Udara

2) Masukkan lengan ke dalam manset

3) Gunakan manset pada lengan atas

4) Perhatikan posisi lengan, bagian bawah manset harus 1-2 cm di atas

siku. Penanda berwarna (tanda panah) berada di tengah lengan dalam.

Kencangkan manset.

5) Tekan tombol Start/ Stop, Manset akan mengembang otomatis. (Untuk

menghentikan pengukuran, tekan tombol START/ STOP)

6) Setelah pengukuran selesai, lepaskan manset. Tekan tombol Start/ Stop

untuk mematikan alat. Alat akan menyimpan pengukuran secara

otomatis ke dalam memori dan alat akan mati dalam 5 menit.

I. Pengolahan Data dan Analisa Data

1. Pengolahan Data
41

Menurut Hastono (2010) data yang dikumpulkan diolah menjadi

beberapa tahap yaitu :

a. Editing

Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau

kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner adalah lengkap

(semua pertanyaan sudah terisi jawabannya), jelas (jawaban

pertanyaan apakah tulisannya cukup jelas terjawab), relevan (jawaban

yang tertulis apakah relevan dengan pertanyaan), dan konsisten

(apakah antara beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan isi

jawabannya konsisten).

b. Coding

Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi

data berbentuk angka/bilangan. Kegunaan data coding adalah untuk

mempermudah pada saat analisis data dan juga mempercepat pada saat

entry data.

1) Masa Kerja

Masa kerja diketrgotikan menjadi :

a) Lama, jika > 5 tahun diberi kode 1

b) Baru, jika < 5 tahun diberi kode 2

2) Teknik Penyemprotan

Variabel teknik penyemprotan dikategorikan menjadi tidak baik

dan baik.
42

a) Tidak Baik, jika skor < mean/median diberi kode 1

b) Baik, jika skor > mean/median diberi kode 2

3) Penggunaan APD

Variabel penggunaan APD dikategorikan menjadi :

a) Kurang baik, jika nilainya < mean/median diberi kode 1

b) Baik jika nilainya ≥ mean/median diberi kode 2

c. Scoring

Scoring dilakukan dengan menetapkan skor (nilai) pada setiap

pertanyaan kuesioner.

1) Teknik Penyemprotan

Teknik penyemprotan diukur dengan beberapa pertanyaan yang

terdiri dari 2 pilihan jawaban (ya dan tidak). Jika responden

menjawab ya diberi skor 2, jika responden menjawab tidak diberi

skor 1.

2) Penggunaan APD

Jika responden menjawab ya diberi skor 1 dan jika responden

menjawab tidak diberi skor 0.

d. Processing

Setelah semua kuesioner terisi penuh dan benar, serta sudah melewati

pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar

data yang sudah di entry dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan

dengan cara mengentry data dari kuesioner ke paket program

komputer.

e. Cleaning
43

Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di

entry ke komputer apakah ada kesalahan atau tidak.

2. Analisis Data

Setelah data didapat dari hasil pengisian kuesioner oleh responden

diolah dengan menggunakan fasilitas komputer dianalisis ke dalam dua

bentuk analisis yaitu analisis univariat dan analisis bivariat yang diuraikan

sebagai berikut :

a. Analisis Univariat

Dilakukan untuk menyederhanakan, untuk memudahkan

interprestasi data kedalam bentuk tabuler (tabel) dari tampilan

distribusi frekuensi responden menurut variabel yang diteliti. Selain itu

analisis univariat juga bertujuan untuk memperoleh gambaran

distribusi frekuensi dari setiap variabel yang diteliti meliputi variabel

dependen dan variabel independen (Hastono, 2010).

b. Analisis Bivariat

Bertujuan untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua

variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Untuk

melihat keeratan hubungan antara variabel independen dengan variabel

dependen menggunakan uji T Independen.

Untuk melihat batas kemaknaan α = 0,05 sehingga keputusannya

adalah:

a. Jika p-value < 0,05 maka Ho ditolak, artinya kedua variabel

terdapat hubungan yang signifikan.


44

b. Jika p-value > 0,05 maka Ho diterima artinya kedua variabel tidak

terdapat hubungan yang signifikan.


DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U F. (2014). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada
Arikunto. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi).
Jakarta: Rineka Cipta

Baehr, M., & Frotscher, M. (2005). Duus' Tropical Diagnosis In Neurology. New
York: Thieme.
Budiono, Sugeng A.M. (2010). Bunga Rampai dan Keselamatan Kerja.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Departemen Pertanian Republik Indonesia. (2013). Statistik Ketenagakerjaan
Sektor Pertanian. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian; 2013
Djojosumarto, P. (2008). Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agromedia Pustaka

Gunawan, L. (2012). Hipertensi Tekanan Darah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Guyton, A & Hall. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran . Jakarta: EGC.

Guyton, A. C. dan J. E. Hall. (2014). Textbook of Medical Physiology. Eleventh


Edition. Singapore: Elsevier’s Health Science Rights Department.
Terjemahan oleh Irawati et al. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
Kesebelas. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Harari, R., Julvez, J., Murata, K., Barr, D., Bellinger, D., Debes, F., & Grandjean,
P. (2010). Neurobehavioral Deficits and Increased Blood Pressure in
School-Age Children Prenatally Exposed to Pesticides. Environmental
Health Perspectives Vol 118 (6), 890-896.
Hastono, Sutanto Priyo. (2010). Statistik Kesehatan. Jakarta : PT Rajagrafindo
Hidayah, Fatma. (2020). Hubungan Paparan Pestisida dengan Kejadian
Hipertensi pada Petani di Kecamatan Sumowono. Artikel Penelitian.
Universitas Ngudi Waluyo.
http://repository2.unw.ac.id/583/23/S1_020116A014_Artikel.pdf
Kemenkes RI. (2013). Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer ed. 1. Jakarta: Kemenkes RI
Kemenkes RI. (2016). Pedoman Penggunaan Pestisida Secara Aman Dan Sehat
Di Tempat Kerja Sektor Pertanian (Bagi Petugas Kesehatan). Jakarta:
Kemenkes RI
Kipsengeret, K., Mbaria, J., Muchemi, G., Kitala, P., & Kanja, L. (2016).
Occupational exposure to pesticide and associated health problems in
Kenya’s floriculture industry. Prudent Journals Vol. 1 (1), 1-10.
Koesyanto H. (2014). Penyakit akibat kerja. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro . 2014. H 35- 44
Mahmudah M, Wahyuningsih N E, dan Setyani O. (2012). Kejadian Keracunan
Pestisida Pada Istri Petani Bawang Merah Di Desa Kedunguter Kecamatan
Brebes Kabupaten Brebes. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. Vol.
11(1) : 65-70.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2010. Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi No. PER.08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri.
Jakarta
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Nurkhayati, S., Nurjazuli, & Joko, T. (2018). Hubungan Paparan Pestisida dengan
Tekanan Darah Diastolik pada Petani Hortikultura Desa Kapuhan
Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Masyarakat
(e-journal) Volume 5, No. 3, 335-343.
Peraturan Menteri Pertanian R.I No. 107/Permentan/SR.140/9/2014 tentang
Pengawasan Pestisida. Jakarta
Puskesmas Paal Merah II. (2021). Data Jumlah Petani di Wilayah Kerja
Puskesmas Paal Merah I tahun 2020. Jambi: Puskesmas Paal Merah II
Potter, P.A dan Perry, A.G. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 7 Volume 3. Jakarta: EGC
Raini, M. (2007). Toksikologi Pestisida dan Penanganan Keracunan Akibat
Pestisida. Jakarta: Media Litbang Kesehatan
Riskesdas. (2018). Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018. Jakarta: Kemenkes RI
Soedarto. (2013). Lingkungan dan Kesehatan. Jakarta: Sagung Seto.
Suma’mur. (2014). Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES).
Jakarta: Sagung Seto

Zulfania, K. D., Setiani, O., & Dangiran, H. L. (2017). Hubungan Riwayat


Paparan Pestisida dengan Tekanan Darah pada Petani Penyemprot di Desa
Sumberejo Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (e-journal) Volume 6 No. 6, 392-401.
KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TEKANAN DARAH PADA


PETANI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAAL MERAH II KOTA
JAMBI 2021
Data Umum Responden
1. Nomor responden : .............
2. Umur : ............. tahun
3. Pendidikan : .......................
4. Jenis kelamin : .......................
5. Masa Kerja : ............. tahun

A. Tekanan Darah
Hasil Pengukuran Tekanan Darah : ............mmHg

B. Teknik Penyemprotan
No Pertanyaan Ya Tidak
1 Apakah saudara melakukan penyemprotan
searah dengan arah angin
2 Apakah saudara saat melakukan
penyemprotan berjalan sesuai arah angin
dan tidak melalui daerah yang telah
disemprot
3 Apakah saudara melakukan penyemprotan
tidak lebih dari 5 jam
4 Apakah saudara melakukan penyemprotan
pada waktu pagi hari pada pukul 08.00-
11.00 WIB?
5 Saat melakukan penyemprotan pada sore
hari, apakah saudara melakukan
penyemprotan pukul 15.00 – 18.00 WIB

C. Penggunaan APD
Apakah anda saat bekerja menggunakan APD sebagai berikut :

No APD Ya Tidak
1 Sarung tangan
2 Topi
3 Baju berlengan panjang
4 Sepatu boot
5 Celana Panjang
6 Masker
LEMBAR KONSULTASI/BIMBINGAN PROPOSAL/SKRIPSI

Nama Mahasiswa : Rakhmi Aisyah El Mawaddah


NIM : 1713201031
Program Studi : Keshatan Masyarakat
Peminatan : Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Pembimbing I : Sugiarto, SKM, M.K.M
Pembimbing II : Eti Kurniawati, SKM, M.Kes
Judul Skripsi : Faktor yang Berhubungan dengan Tekanan Darah Pada
Petani di Wilayah Kerja Puskesmas Paal Merah II Kota
Jambi Tahun 2021

Bbg Hari /Tanggal Materi Bimbingan Tanda Tangan


Ke : Pembimbing I
LEMBAR KONSULTASI/BIMBINGAN PROPOSAL/SKRIPSI

Nama Mahasiswa : Rakhmi Aisyah El Mawaddah


NIM : 1713201031
Program Studi : Keshatan Masyarakat
Peminatan : Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Pembimbing I : Sugiarto, SKM, M.K.M
Pembimbing II : Eti Kurniawati, SKM, M.Kes
Judul Skripsi : Faktor yang Berhubungan dengan Tekanan Darah Pada
Petani di Wilayah Kerja Puskesmas Paal Merah II Kota
Jambi Tahun 2021

Bbg Hari /Tanggal Materi Bimbingan Tanda Tangan


Ke : Pembimbing II

Anda mungkin juga menyukai