Anda di halaman 1dari 10

Kasus Pelanggaran Etikas Profesi di Bidang Pajak Serta

Penyelesaiannya

Kasus Pajak, Direktur di Semarang Dihukum 7 Bulan Penjara

(10, September 2016)

Semarang - Direktur sebuah perusahaan jasa transportasi, CV. Bumi Raya dihukum 7 bulan penjara dan
denda Rp 11,74 miliar terkait tindak pidana perpajakan. Terdakwa bernama Soetijono (64) itu
menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) masa pajak pertambahan nilai (PPN) dengan isi yang tidak
sesuai kenyataan.

Hukuman tersebut diketok majelis hakim yang diketuai hakim Moh. Zaenal Arifin di Pengadilan Negeri
Semarang, Rabu (9/11/2016). Hakim menilai Soetijono terbukti menyampaikan SPT masa PPN masa
pajak Januari-Desember 2007 dengan tidak benar.Perbuatan curang ini dilakukan Soetijono dengan
membuat faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi ekonomi yang sebenarnya. Selain itu
berdasarkan keterangan saksi dari pihak-pihak perusahaan, tidak ada yang melakukan transaksi jual beli
dengan CV Bumi Raya dalam perkara itu.

* Soetijono terbukti melakukan tindak pidana melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c jo pasal 43
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah
diubah dengan UU RI Nomor 16 tahun 2000.Perbuatannya merugikan negara sebesar Rp 5,8 miliar.

Komentar :

Dalam kasus tersebut prinsip etika profesi yang dilanggar adalah tanggung jawab profesi. Kasus tersebut
dijadikan pelajaran untuk dikemudian hari agar pemilik perusahaan dan pemegang saham untuk lebih
selektif dan menggunakan pertimbangan dalam memilih pemimpin perusahaan atau direktur yang
memiliki integritas yang tinggi serta memliki komitmen yang teguh terhadap tanggung jawabnya, serta
memahami betul kewajiban perusahaan untuk melaporkan dan membayar kewajiban pajak yang
terhutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Selain itu, direktur harus memilih petugas
pajak yang ahli dalam bidang perpajakan agar tidak melakukan kecurangan dalam pembuatan faktur
pajak yang sesuai berdasarkan transaksi ekonomi yang sebenarnya sehingga tidak melanggar prinsip
etika profesi yaitu kepentingan public dan objektivitas.

II.9 Kasus Pelanggaran Etikas Profesi di Bidang Auditor Serta

Penyelesaiannya
Auditor Ditangkap KPK, BPK Buka Peluang Audit Ulang Kemendes

(27, Mei 2017)

Jakarta- Auditor BPK Ali Sadli (ALS) yang jadi tersangka kasus dugaan penerimaan suap pemberian opini
wajar tanpa pengecualian (WTP) di laporan keuangan Kementerian Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) tahun anggaran 2016 keluar dari gedung Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK),

Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar menyatakan ada kemungkinan pihaknya
mengaudit ulang untuk mengeluarkan pernyataan resmi terkait pengelolaan keuangan di Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).Hal itu disampaikan
Bahrullah saat ditanyai awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.KPK menemukan dugaan
korupsi dalam bentuk suap terkait pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK RI
terhadap Kemendes PDTT. Atas kasus ini, KPK menetapkan Irjen Kemendes Sugito, pejabat Eselon III
Kemendes Jarot Budi Prabowo, sebagai pihak pemberi suap ke pejabat BPK.

Keduanya disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1
KUHP.Sementara pihak yang diduga penerima suap yakni pejabat Eselon I BPK Rachmadi Saptogiri dan
Auditor BPK Ali Sadli dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Komentar :

Dalam konteks kasus tersebut, dapat dinyatakan bahwa tindakan kedua belah pihak sama- sama tidak
etis. Tidak etis seorang auditor menerima sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus tersebut ,
dengan tujuan untuk mendapatkan status penilaian Wajar Tanpa Syarat (WTS). Dari sudut pandang etika
profesi baik auditor dari BPK dan pihak dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi (Kemendes PDTT) tampak tidak bertanggung jawab. Auditor BPK tidak memiliki integritas
yang baik karena seseorang auditor seharusnya memiliki jiwa independensi yang teguh. Dari pihak
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) pun sudah
melakukan hal yang sangat memalukan telah melakukan penyuapan agar lolos mendapatkan status
penilaian WTS.

Dalam kasus ini kembali lagi kepada tanggung jawab moral seorang auditor diseluruh Indonesia harus
sadar mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa berat memgang amanah dari rakyat untuk
meyakinkan bahwa uang rakyat yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya
secara benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas korupsi di
negeri ini.
II.10 Kasus Pelanggaran Etikas Profesi di Bidang Auditor Serta

Penyelesaiannya

Pulang dari Rumah Sakit, Akuntan Publik ini Ditahan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur

(10, Mei 2016)

Surabaya - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur kembali menahan tersangka dugaan korupsi proyek
pengadaan dan distribusi logistik Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 di
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim, Selasa (10/5/2016).Penahanan Ahmad Sumaryono selaku akuntan
publik adalah yang paling terakhir dari 5 tersangka yang lebih dulu ditahan penyidik Pidsus
Kejati.Tersangka Sumaryono memenuhi panggilan penyidik setelah dinyatakan sehat setelah dirawat di
sebuah rumah sakit di Yogyakarta.Ia datang sekitar pukul 09.00 WIB dan ditahan penyidik sekitar pukul
15.00 WIB di Rutan Kelas I Medaeng.

Teman Sumaryono yang ditahan lebih dulu adalah Achmad Suhari, Bendahara KPU Jatim; Anton Yuliono,
PNS KPU Jatim; Nanang Subandi, rekanan swasta; dan Fahrudi, pegawai BUMN yang berperan sebagai
perantara.

Kasus ini diungkap kejaksaan sejak Januari lalu. Ditengarai para tersangka melakukan kegiatan
pengadaan dan distribusi fiktif pada Pemilu 2014 lalu untuk mencairkan anggaran negara. Uang itu
diduga dipakai kepentingan pribadi. Diperkirakan, negara dirugikan Rp12 miliar karena perbuatan
tersangka.Modus yang dilakukan oknum KPU yakni melaporkan adanya kegiatan cetak untuk keperluan
pemilihan, seperti Formulir C dan D, sekaligus distribusinya.

Kegiatan itu untuk mencairkan anggaran. Ternyata kegiatan yang dilakukan itu tidak ada atau fiktif.
Oknum KPU Jatim lantas mentransfer uang ke lima perusahaan yang digandeng untuk mencetak DPT.
Namun uang tersebut dikembalikan lagi ke oknum KPU itu.Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), pengadaan fiktif logistik Pemilu ini telah merugikan negara sebesar Rp 7 miliar.Dari audit BPK
membuat oknum pejabat KPU Jatim kelabakan.

Mereka harus mengembalikan kerugian negara itu ke kas negara, ternyata yang
dikembalikan/disetorkan baru Rp 600 juta.Kejari Surabaya yang memeriksa saat itu langsung
menetapkan lima tersangka pejabat penandaTangan surat perintah membayar (PPSPM) di KPU Jatim.

Komentar :

Terjadinya kasus akuntan ini dikarenakan adanya kecurangan dari pihak akuntan publik dan lemahnya
pengendalian internal dari pihak Pemerintah.Terdeteksinya kecurangan tersebut dapat dilihat pada
laporan adanya kegiatan cetak untuk keperluan pemilihan, seperti Formulir C dan D, sekaligus
distribusinya.Kegiatan itu untuk mencairkan anggaran. Ternyata kegiatan yang dilakukan itu tidak ada
atau fiktif.Untuk jenis kasus seperti ini dapat dihindari dengan cara pengendalian internal yang lebih
ketat serta apabila kasus seperti inisudah terlanjur terjadi maka sebaiknya berikan sanksi yang membuat
jera atas penyalahgunaan tersebut. Menetapkan lima tersangka pejabat penandaTangan surat perintah
membayar (PPSPM) di KPU Jatim.
Kasus pelanggaran etika profesi akuntan yang dilakukan oleh seorang
akuntan

1. Kasus Suap dari Pejabat Kemendes PDTT ke Auditor BPK


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus suap
yang melibatkan pejabat Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) dan
pejabat serta auditor Badan Pemeriksa Keuangan RI. Kasus dugaan suap yang ditangani KPK tersebut terkait
pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT
tahun anggaran 2016.
Ketua KPK Agus Rahardjo menuturkan, kronologi OTT dalam kasus suap ini berawal dari
penyelidikan KPK atas laporan masyarakat atas dugaan terjadinya tindak pidana korupsi.Pada sekitar Maret
2017, KPK memeriksa laporan keuangan Kemendes PDTT Tahun Anggaran 2016. KPK yang melakukan
penyelidikan kemudian melakukan operasi OTT di kantor BPK RI di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta,
pada Jumat (26/5/2017) sekitar pukul 15.00 WIB.Dari kantor BPK, lanjut Agus, KPK sempat mengamankan
enam orang, yakni pejabat Eselon I BPK Rochmadi Saptogiri (RS), Auditor BPK Ali Sadli (ALS), pejabat
eselon III Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo (JBP), sekretaris RS, sopir JBP, dan satu orang satpam. KPK
kemudian melakukan penggeledahan di sejumlah ruangan di kantor BPK."Untuk kepentingan pengamanan
barang bukti dilakukan penyegelan di sejumlah ruangan di BPK, disegel dua ruangan, yakni ruangan ALS dan
RS," kata Agus, dalam jumpa pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (27/5/2017).
Di ruang Ali Sadli, KPK menemukan uang Rp 40 juta yang diduga merupakan bagian dari
total commitment fee Rp 240 juta untuk suap bagi pejabat BPK. Uang Rp 40 juta ini merupakan pemberian
tahap kedua ketika tahap pertama Rp 200 juta diduga telah diserahkan pada awal Mei 2017.
KPK kemudian menggeledah ruangan milik Rochmadi Saptogiri, dan ditemukan uang Rp 1,145 miliar dan
3.000 dollar AS atau setara dengan 39,8 juta di dalan brankas.KPK sedang mempelajari uang di ruangan
Rochmadi Saptogiri tersebut terkait kasus dugaan suap yang sedang ditangani ini atau bukan. Setelah
mengamankan enam orang dan melakukan penggeledahan di kantor BPK RI, KPK pada hari yang sama sekitar
pukul 16.20 WIB, mendatangi kantor Kemendes PDTT di Jalan TMP Kalibata, Jakarta Selatan.
"Di sini KPK mengamankan satu orang (inisial) SUG, yaitu Irjen Kemendes PDTT," ujar Agus.
Di Kemendes PDTT, lanjut Agus, KPK menyegel empat ruangan, di antaranya ruangan Sugito dan
ruangan Jarot Budi Prabowo.Setelah melakukan rangkaian penangkapan dan penggeledahan, dari hasil gelar
perkara KPK meningkatkan status perkara kasus ini menjadi penyidikan. Dari total tujuh orang yang
diamankan, empat di antaranya menjadi tersangka. Mereka yang menjadi tersangka, yakni Sugito, Jarot Budi
Prabowo, Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli.Sementara sekretaris Rochmadi Saptogiri, sopir Jarot Budi
Prabowo, dan satu orang satpam berstatus saksi.KPK menyimpulkan adanya dugaan tidak pidana korupsi
penerimaan hadiah atau janji terkait dengan pemeriksaan BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT
tahun anggaran 2016.KPK menemukan dugaan korupsi dalam bentuk suap terkait pemberian opini wajar tanpa
pengecualian (WTP) oleh BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tersebut.
Sebagai pihak pemberi suap, Sugito dan Jarot dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b
atau pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 KUHP Juncto Pasal 55
ayat 1 ke 1 KUHP.Sementara Rochmadi dan Ali, sebagai pihak penerima suap disangkakan dengan Pasal 12
huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 KUHP
Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Analisis Pelanggaran Kode Etik Auditor atas Kasus di atas:


Auditor BPKP merupakan auditor pemerintah yang merupakan akuntan, anggota Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI), yang dalam keadaan tertentu melakukan audit atas entitas yang menerbitkan laporan keuangan yang
disusun berdasarkan prinsip auntansi yang berlaku umum (BUMN/BUMD) sebagaimana diatur dalam
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Karena itu auditor pemerintah tersebut wajib pula
mengetahui dan menaati Kode Etik Akuntan Indonesia dan Standar Audit sebagai mana diatur dalam Standar
Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI.
Kasus diatas menunjukan adanya pelanggaran kode etik oleh seorang auditor dalam kasus suap kepada auditor
dalam pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes
PDTT tahun anggaran 2016. Adapun prinsip etika profesional auditor:
1. Tanggung jawab Profesi : Dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional, setiap anggota
harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang
dilaksanakannya.
2. Kepentingan Publik : Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan
kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atau profesionalisme.
3. Integritas : Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi
tanggungjawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
4. Objektivitas : Setiap anggota harus menjaga objektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam
pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5. Kompetensi dan Kehati – hatian Profesional : Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya
dengan kehati – hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan
pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau
pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik,
legislasi dan teknik yang palng mutakhir.
6. Kerahasiaan : Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan
jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali
bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7. Perilaku Profesional : Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik
dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8. Standar Teknis : Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan
standar profesional yang relevan.
Dari uraian penjelasan kode etik diatas kasus tersebut tergolong dalam pelanggaran kode etik prinsip
Tanggungjawab Profesi, integritas, objektivitas, perilaku profesional. Hal ini menunjukan bahwa auditor
tersebut tidak bekerja secara prinsip kode etik seorang auditor, sehingga terjadinya penyimpangan yang
melanggar hukum.
Penegakan disiplin atas pelanggaran kode etik profesi adalah suatu tindakan positif agar ketentuan tersebut
dipatuhi secara konsisten. Itulah sebabnya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor
PER/04/M.PAN/03/2008 tanggal 31 Maret 2008 meneapkan kebijakan atas pelanggaran kode etik APIP
(Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) ini, antara lain:
Tindakan yang tidak sesuai dengan kode etik tidak dapat diberi toleransi, meskipun dengan alasan tindakan
tersebut dilakukan demi kepentingan organisasi atau diperintahkan oleh pejabat yang lebih tinggi. Auditor
tidak diperbolehkan untuk melakukan atau memaksa karyawan lain melakukan tindakan melawan hukum atau
tidak etis. Pimpinan APIP harus melaporkan pelanggaran kode etik oleh auditor kepada pimpinan organisasi.
Pemeriksaan, investigasi, dan pelaporan pelanggaran kode etik ditangani oleh Badan Kehormatan Profesiyang
terdiri dari pimpinan APIP dengan anggota yang berjumlah ganjil dan disesuaikan dengan kebutuhan. Anggota
Badan Kehormatan profesi diangkat dan diberhentikan oleh APIP.
Auditor APIP yang terbukti melanggar kode etik akan dikenakan sanksi oleh pimpinan APIP atas rekomendasi
dari Badan Kehormatan Profesi. Bentuk – bentuk sanksi yang direkomendasikan oleh badab kehormatan
profesi, yakni:
1. Teguran tertulis
2. Usulan pemberhentian dari tim audit
3. Tidak diberi penugasan audit selama jangka waktu tertentu
4. Pengenaan sanksi terhadap pelanggaran kode etik oleh pimpinan APIP dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang – undangan yang berlaku.

2. Kasus SNP Finance (2017 - 2018)

 Sun Prima Nusantara Pembiayaan (SNP) Finance merupakan perusahaan multi finance, anak


perusahaan dari grup bisnis Columbia. Siapa yang tak kenal Columbia? Tentunya Anda
mengetahui, Columbia adalah perusahaan retail yang menjual produk perabotan rumah tangga
seperti alat-alat elektronik dan furnitur. Dalam menjual produknya, Columbia memberikan opsi
pembelian dengan cara tunai atau kredit cicilan kepada customernya. Nah, SNP Finance inilah
yang menjadi partner Columbia dalam memfasilitasi kredit dan cicilan bagi customer Columbia.
Columbia sendiri mempunyai jumlah outlet yang sangat banyak, tersebar hampir di seluruh
wilayah Indonesia, melihat kondisi seperti itu, tentu SNP Finance harus memiliki modal kerja
(working capital) dalam jumlah yang besar untuk menutup kredit para customer Columbia.

   Lalu dari mana SNP Finance memperoleh dana untuk mencukupi modal kerja yang
dibutuhkan? SNP Finance menghimpun dana melalui pinjaman Bank. Kredit yang diberikan
bank kepada SNP Finance terdiri dari dua jalur, yang pertama melalui joint financing, dimana
beberapa bank bergabung dan memberikan pinjaman, dan yang kedua adalah secara langsung,
dari sebuah bank kepada SNP Finance. Bank Mandiri tercatat sebagai pemberi pijaman terbesar
kepada SNP Finance. Bank-bank yang memberikan pinjaman tersebut adalah kreditor, mereka
punya kepentingan untuk mengetahui bagaimana dana yang mereka pinjamakan ke SNP Finance.
Apakah dana tersebut dikelola dengan benar, karena tentunya bank juga mengharapkan
keuntungan berupa bunga/interest, dan pengembalian pokok pinjaman. Dalam hal ini bank
bergantung pada informasi keuangan yang tertuang dalam laporan keuangan yang dibuat oleh
manajemen SNP Finance. Untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang disusun tersebut
terbebas dari kesalahan atau manipulasi, maka laporan keuangan tersebut diaudit. SNP Finance
menggunakan jasa Kantor Akuntan Publik (KAP) Deloitte Indonesia yang merupakan salah satu
Kantor Akuntan Publik (KAP) asing elit (disebut the Big Four) untuk mengaudit laporan
keuangannya.

Kegagalan Bisnis dan Manipulasi oleh SNP Finance


   Pada dasarnya perjanjian utang piutang antara SNP Finance dengan para kreditornya (bank)
tersebut adalah kerjasama yang sifatnya mutualistik. SNP Finance membutuhkan dana, bank juga
butuh menyalurkan kredit. Namun dalam perjalanan waktu, ternyata bisnis retail Columbia yang
merupakan induk dari SNP Finance mengalami kemunduran. Apa penyebabnya? Kita bisa
melihat bahwa perilaku pembelian customer telah berubah, konsumen saat ini tidak lagi belanja
produk furniture dan elektronik dengan datang ke toko, melainkan mereka lebih suka membeli
secara online melalui perangkat gadgetnya. Mulai dari survey harga, survey spesifikasi produk,
sampai dengan pembelian, semua dilakukan secara online. Bahkan para online shop tersebut juga
memberikan fasilitas kredit tanpa bunga (bunga 0%) untuk tenor yang bahkan sampai 12 bulan.
Kondisi perubahan perilaku pembelian customer inilah yang memukul pangsa pasar dari
Columbia, dan tentunya juga berdampak pada SNP Finance. Buntutnya adalah kredit SNP
Finance kepada para bank – bank/krediturnya tersebut menjadi bermasalah, dalam istilah
keuangan disebut Non Performing Loan (NPL).
   Apa yang dilakukan SNP Finance untuk mengatasi utangnya kepada bank tersebut? SNP
finance membuka keran pendanaan baru melalui penjualan surat utang jangka menengah, disebut
dengan MTN (Medium Term Notes). MTN ini sifatnya hampir mirip dengan obligasi, hanya saja
jangka waktunya adalah menengah, sedangkan obligasi jangka waktunya panjang. MTN ini
diperingkat oleh Pefindo (Pemeringkat Efek Indonesia) dan kembali lagi bahwa Pefindo juga
memberikan peringkat salah satunya adalah berdasarkan laporan keuangan SNP Finance yang
diaudit oleh Deloitte. Awalnya peringkat efek SNP Finance sejak Desember 2015 – 2017 adalah
A-, bahkan kemudian naik menjadi A di Maret 2018. Namun tidak lama kemudian, di bulan Mei
2018 ketika kasus ini mulai terkuak, perikat efek SNP Finance turun menjadi CCC bahkan di
bulan yang sama tersebut turun lagi menjadi SD (Selective Default). Default dalam bahasa
sederhananya adalah gagal bayar. Berikutnya SNP Finance mengajukan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), sebesar kurang lebih Rp 4,07 Trilyun yang terdiri dari kredit
perbankan 2,22 Trilyun dan MTN 1,85 Trilyun. Mengapa debitur dan pemegang MTN mau
percaya dan menyalurkan kredit kepada SNP Finance? Karena awalnya pembayaran dari SNP
Finance lancar, dan para kreditur tersebut juga menganalisis kesehatan keuangan SNP Finance
melalui laporan keuangannya, yang diaudit oleh kantor akuntan publik ternama, yaitu Deloitte.
Namun ternyata terjadi pemalsuan data dan manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh
manajemen SNP Finance. Diantaranya adalah membuat piutang fiktif melalui penjualan fiktif.
Piutang itulah yang dijaminkan kepada para krediturnya, sebagai alasan bahwa nanti ketika
piutang tersebut ditagih uangnya akan digunakan untuk membayar utang kepada kreditor. Untuk
mendukung aksinya tersebut, SNP Finance memberikan dokumen fiktif yang berisi data
customer Columbia. Sangat disayangkan bahwa Deloitte sebagai auditornya gagal mendeteksi
adanya skema kecurangan pada laporan keuangan SNP Finance tersebut. Deloitte malah
memberikan opini wajar tanpa pengecualian pada laporan keuangan SNP Finance.
Sanksi atas Kecurangan Laporan Keuangan
   Untuk manajemen dari SNP Finance sendiri saat ini kasusnya telah ditangani oleh Bareskrim
Polri. Mereka diduga melanggar pasal berlapis, yaitu KUHP 362 tentang pemalsuan surat,
KUHP 362 tentang penggelapan dan KUHP 378 tentang penipuan. Sementara apa sanksi untuk
Deloitte sebagai auditornya? Sanksi kepada Deloitte diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), melalui siaran pers tertanggal 1 Oktober 2018, OJK memberikan sanksi kepada Akuntan
Publik (AP) Marlina dan AP Merliyana Syamsul, keduanya dari KAP Satrio Bing Eni dan rekan
(pemegang afiliasi Deloitte di Indonesia), dan juga KAP Satrio Bing Eny dan rekan sendiri.
Sanksi yang diberikan adalah pembatalan hasil audit terhadap kliennya yaitu SNP Finance dan
pelarangan untuk mengaudit sektor perbankan, pasar modal dan Industri Keuangan Non Bank
(IKNB).

  Apa yang menjadi dasar dari OJK untuk pemberian sanksi tersebut? Bahwa AP Marlinna, AP
Merliyana Syamsul dan Deloitte telah melakukan pelanggaran berat yaitu melanggar POJK
Nomor 13/POJK.03/2017 tentang Penggunaan Jasa Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik.
Pertimbangannya antara lain adalah sebagai berikut:

1. Telah memberikan opini yang tidak mencerminkan kondisi keuangan yang


sebenarnya
2. Besarnya kerugian terhadap industri jasa keuangan dan masyarakat yang ditimbulkan
atas opini kedua AP tersebut atas Laporan Keuangan Tahunan Audit (LKTA) SNP
Finance
3. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan akibat dari
kualitas penyajian oleh akuntan publik.

Auditor di Pusaran Kecurangan Laporan Keuangan


   Apa yang seharusnya dilakukan oleh Deloitte? Apa yang menjadi kewajiban bagi auditor?
Dalam hal ini seharusnya auditor mengetahui betapa pentingnya laporan keuangan yang diaudit.
Auditor mengetahui persis siapa saja yang menjadi para pengguna utama (primary
beneficiary) dari laporan keuangan yang diaudit tersebut, pihak – pihak yang akan melakukan
pengambilan keputusan dari laporan keuangan tersebut. Apalagi bukan setahun dua tahun
Deloitte mengaudit SNP Finance, tetapi dalam kurun waktu yang cukup lama. Deloitte yang
merupakan KAP big four melakukan kelalaian (negligence), yaitu dengan kurang menerapkan
prinsip kehati – hatian (professional skepticism) dalam mengaudit kliennya tersebut. Ketika
terjadi peningkatan hutang dan hutang yang menjadi non performing loan, harusnya ini sudah
menjadi lampu kuning bagi Deloitte untuk memberikan opini going concern atas laporan
keuangan SNP Finance. Opini going concern adalah informasi tambahan yang diberikan auditor
di paragraph penjelas dalam laporan auditor independen yang berfungsi untuk menyatakan
bahwa perusahaan dalam kondisi beresiko mengalami kebangkrutan. Dengan adanya opini
tersebut, akan menjadi warning bagi para kreditornya untuk berhati – hati dalam menyalurkan
pinjaman. Selain itu dengan adanya kondisi kesulitan keuangan yang dialami oleh SNP Finance,
seharusnya Deloitte juga mengetahui bahwa hal ini menjadi faktor tekanan/pressure bagi
perusahaan untuk melakukan kecurangan/fraud, yaitu dengan memanipulasi laporan keuangan
agar tampak baik. Deloitte seharusnya mengkategorikan kliennya tersebut sebagai high risk, atau
beresiko tinggi melakukan fraud. Dengan adanya kondisi high risk tersebut, mengacu pada
standar audit yang dikeluarkan oleh International Standard on Auditing (ISA) no 330 tentang
respon auditor terhadap resiko kecurangan klien, Deloitte seharusnya menambah porsi pengujian
substantive pada test of details, seperti menambah sampel untuk konfirmasi piutang pelanggan.
Sehingga dari prosedur audit tersebut akan terungkap apabila ternyata banyak piutang fiktif yang
sengaja dibuat oleh kliennya.
   Kasus SNP Finance dan Deloitte ini hendaknya menjadi pelajaran bagi para pelaku bisnis dan
auditor. Pelaku bisnis yang ingin melakukan kecurangan, atau manipulasi laporan keuangan juga
berpikir dua kali, karena saat ini OJK telah bersikap kritis untuk menyelidiki kasus kecurangan
manajemen (white collar crime). Auditor dan Kantor Akuntan Publik juga harus berhati-hati
dalam memberikan opini audit, jangan sampai opini yang diberikan menjadi menyesatkan bagi
para pengguna laporan keuangan, sehingga dampaknya jadi mengakibatkan kerugian material
dalam jumlah besar.

Anda mungkin juga menyukai