Anda di halaman 1dari 13

Kelompok 5 :

1. Stevanus Reysover Bobby S (2087057)


2. Vianica Herman (2087013)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR_TAHUN 20_

TENTANG

LARANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Menimbang: a. bahwa setiap warga negara berhak

mendapatkan rasa aman dan bebas dari

segala bentuk kekerasan sesuai dengan

falsafah Pancasila dan Undang-Undang Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa segala bentuk kekerasan, terutama


kekerasan dalam rumah tangga, merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi

c. bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga,


yang kebanyakan adalah perempuan, harus
mendapat perlindungan dari negara dan/atau
masyarakat agar terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan,penyiksaan,
atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan;

d. bahwa dalam kenyataannya kasus kekerasan


dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan
sistem hukum di Indonesia belum menjamin
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam
rumah tangga;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal
28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang -
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 20011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia 4419);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Memutuskan:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu

Pengertian

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap


seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Larangan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah Upaya yang
diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
4. Larangan adalah aturan yang mengatur seseorang tidak melakukan
Kekekrasan dalam rumah tangga
5. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
6. Korban adalah setiap orang yang mengalami peristiwa Kekerasan
dalam rumah tangga.
7. Saksi adalah setiap orang yang memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan tentang tindak pidana Kekerasan dalam rumah
tangga yang ia alami, lihat atau dengar sendiri atau dengar dari
Korban.
8. Keluarga adalah orang yang memiliki hubungan darah dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah, dan garis menyamping sampai derajat
ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau memiliki
hubungan perwalian atau pemeliharaan.
9. Hak Korban adalah hak atas Penanganan, perlindungan, dan
pemulihan yang didapatkan, digunakan dan dinikmati oleh Korban,
dengan tujuan mengubah kondisi Korban yang lebih baik,
bermartabat dan sejahtera, yang berpusat pada kebutuhan dan
kepentingan Korban yang multidimensi, berkelanjutan dan
partisipatif
10. Penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk
menindaklanjuti adanya peristiwa Kekerasan dalam rumah tangga.
11. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk
memberikan rasa aman kepada Korban, Keluarga Korban, dan/atau
Saksi.
12. Pemulihan adalah upaya mendukung Korban KDRT untuk
menghadapi proses hukum dan/atau mengupayakan kesejahteraan
dan kehidupan yang bermartabat dengan berlandaskan prinsip
pemenuhan hak Korban.
13. Pelayanan Terpadu adalah penyelenggaraan layanan yang
terintegrasi, multi aspek, lintas fungsi dan sektor bagi Korban
Kekerasan Seksual.
14. Pejabat Publik adalah seseorang yang menjalankan fungsinya
untuk dan atas nama negara dan/atau seseorang yang bekerja pada
lembaga pemerintahan.
15. Ganti Kerugian adalah pembayaran ganti kerugian materil
dan/atau immaterial kepada Korban yang menjadi tanggung jawab
pelaku yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan
berdasarkan kerugian yang diderita Korban atau ahli warisnya.
16. Rehabilitasi Khusus adalah upaya yang dilakukan untuk
mengubah pola pikir, cara pandang, dan perilaku seksual terpidana
dan mencegah keberulangan KDRT oleh terpidana yang mencakup
penyediaan jasa pendidikan, medis, psikologis, psikiatris dan/atau
sosial oleh Negara.
17. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu Wakil
Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
18. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Bagian Kedua

Maksud dan Tujuan

Pasal 2

Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dimaksudkan untuk:

Guna menjalankan amanat Pancasila dalam UUD 1945, Negara


berkewajiban untuk melindungi setiap warga negara dari segala bentuk
pelecehan, kekerasan, diskriminasi dan perlakuan yang tidak manusiawi
lainnya, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya pelanggaran
HAM. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual,
merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus oleh
Negara.
Paragraf 2

Tujuan

Pasal 3

Undang-Undang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bertujuan


untuk:

Upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan sekaligus


penanganan, pemulihan, dan perlindungan terhadap korban, mutlak
harus tersedia dalam kualitas yang memadai. Pelaksanaannya bertumpu
pada kesigapan dan kecakapan petugas dan lembaga pengada layanan
korban, serta kecakapan dan keahlian aparatur penegak hukum dalam
penanganan kasus KDRT. Proses penanganan, perlindungan, dan
pemulihan korban harus menghindari terjadinya viktimisasi berulang
dan kriminalisasi kepada korban. Proses peradilan pidana diharapkan
tidak hanya memberikan putusan yang adil bagi korban, tetapi proses
peradilan yang dilalui korban juga harus mampu memperkuat
pemulihan korban serta memastikan pelaku tidak melakukan tindakan
serupa kembali di kemudian hari.

Bagian Ketiga

Asas

Pasal 4

Undang-Undang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


diselenggarakan berdasarkan asas:

a. Asas Kemanusiaan;
b. Asas Pengayoman;
c. Asas Kenusantaraan
d. Asas Bhinneka Tunggal Ika;
e. Asas Keadilan;
f. Asas Kekeluargaan;
g. Ketertiban dan Kepastian Hukum;
h. Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum.

Bagian Keempat

Ruang Lingkup

Pasal 5

Ruang lingkup undang-undang ini, meliputi:

a. Pencegahan
b. Penanganan
c. Perlindungan
d. Pemulihan
e. Penindakan
f. Ketentuan Peralihan

BAB II

Pencegahan

Pasal 6

Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam


rumah tangga.

Pasal 7

Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,


Pemerintah :
a. merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga;
b. menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga;
c. menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga; dan
d. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu
kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan
akreditasi pelayanan yang sensitif gender.

BAB III
Penanganan

Pasal 8

Hak korban atas penanganan yang didapatkan sejak melakukan pelaporan


baik itu di kepolisian maupun di lembaga pengada layanan, meliputi:

a. Hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan,


perlindungan, dan pemulihan;
b. Hak mendapatkan dokumen hasil penanganan;
c. Hak atas pendampingan dan bantuan hukum;
d. Hak atas pendampingan psikologis;
e. Hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan dan
perawatan medis; dan
f. Hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus
korban.

Pasal 9
Daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat
melakukan upaya :
a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan
pembimbing rohani;
c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama
program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses
oleh korban; dan
d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan
teman korban.

BAB IV

Perlindungan

Pasal 10

(1) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah
tangga,kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara
pada korban.
(2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau
ditangani.
(3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
BAB V

Penindakan

Pasal 11

Pidana pokok bagi orang yang melakukan Kekerasan fisik adalah:

a. Pidana pokok penjara dan pidana tambahan pembinaan khusus bagi


orang yang melakukan kekerasan fisik.
b. Pemberatan pidana penjara diberlakukan secara berjenjang pada
kekerasan fisik bilamana:
(1) Dilakukan dengan ancaman kepada korban;
(2) Dilakukan lebih dari satu kali oleh pelaku atau dilakukan terhadap
lebih dari satu korban;
(3) Dilakukan apabila mengakibatkan kegoncangan jiwa yang hebat pada
korban;
(4) Dilakukan apabila mengakibatkan luka berat pada korban;
(5) Dilakukan oleh orang tua atau keluarga;
(6) Dilakukan oleh orang yang yang berperan, bertugas atau bertangung
jawab memelihara, mengawasi, membina dalam lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan, lembaga sosial, tepat penitipan anak, atau
tempat lain dimana anak berada dan seharusnya terlindungi
keamanannya;
(7) Dilakukan oleh orang yang merupakan atasan atau majikan atau
orang yang memiliki posisi sebagai tokoh masyarakat, tokoh agama
dan tokoh adat atau pejabat;
Pasal 12

Pidana Pokok bagi orang yang melakukan kekerasan Psikis

a. Pidana pokok penjara dan pidana tambahan pembinaan


khusus bagi orang yang melakukan kekerasan psikis.
b. Pemberatan pidana penjara diberlakukan secara berjenjang
pada kekerasan fisik bilamana:
(1) (Dilakukan dengan ancaman kepada korban;
(2) Dilakukan lebih dari satu kali oleh pelaku atau dilakukan
terhadap lebih dari satu korban;
(3) Dilakukan apabila mengakibatkan kegoncangan jiwa yang
hebat pada korban;
(4) Dilakukan apabila mengakibatkan luka mental berat pada
korban;
(5) Dilakukan oleh orang tua atau keluarga;
(6) Dilakukan oleh orang yang yang berperan, bertugas atau
bertangung jawab memelihara, mengawasi, membina dalam
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga sosial, tepat
penitipan anak, atau tempat lain dimana anak berada dan
seharusnya terlindungi keamanannya;
(7) Dilakukan oleh orang yang merupakan atasan atau majikan
atau orang yang memiliki posisi sebagai tokoh masyarakat,
tokoh agama dan tokoh adat atau pejabat;

Pasal 13

Pidana Pokok bagi orang yang melakukan kekerasan seksual

a. Pidana pokok penjara dan pidana tambahan pembinaan khusus bagi


orang yang melakukan kekerasan seksual.
b. Pemberatan pidana penjara diberlakukan secara berjenjang pada
kekerasan fisik bilamana:
(1) Dilakukan dengan ancaman kepada korban;
(2) Dilakukan lebih dari satu kali oleh pelaku atau dilakukan terhadap
lebih dari satu korban;
(3) Dilakukan apabila mengakibatkan kegoncangan jiwa yang hebat pada
korban;
(4) Dilakukan apabila mengakibatkan luka mental dan trauma berat
pada korban;
(5) Dilakukan oleh orang tua atau keluarga;
(6) Dilakukan oleh orang yang yang berperan, bertugas atau bertangung
jawab memelihara, mengawasi, membina dalam lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan, lembaga sosial, tepat penitipan anak, atau
tempat lain dimana anak berada dan seharusnya terlindungi
keamanannya;
(7) Dilakukan oleh orang yang merupakan atasan atau majikan atau
orang yang memiliki posisi sebagai tokoh masyarakat, tokoh agama
dan tokoh adat atau pejabat;

BAB VI

Ketentuan peralihan

(1) Sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011


tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka
RUUTentang Larangan Kekerasan Dalam rumah ini memuat
ketentuan peralihan yang berguna untuk membuat adanya peralihan
yang terencana dengan baik antara kondisi sebelum dan sesudah
adanya undang-undang ini. Adapun pembangunan sistem dan
aparatur pelaksana undang-undang ini diperkirakan memerlukan
waktu selama 3 (tiga) tahun.
(2) Untuk itu, dalam ketentuan peralihan RUU ini dirumuskan bahwa
pada saat Undang-Undang ini berlaku, perkara tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga yang masih dalam proses
penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di
sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undangundang yang
mengaturnya. Unit rehabilitasi khusus wajib dibentuk dalam waktu 3
(tiga) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.

BAB VII

Ketentuan Penutup

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, RUU Penghapusan


Kekerasan Seksual memuat pula berbagai ketentuan untuk memastikan
terlaksananya RUU ini. Untuk itu, dalam ketentuan penutup diatur bahwa
peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini harus
diterbitkan selambat-lambatnya dalam 2 (dua) tahun setelah Undang-
Undang ini berlaku. Selanjutnya diatur pula bahwa ketentuan terkait
kekerasan dala, rumah tangga yang diatur dalam Undang-Undang lain
dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang
ini. Untuk menegaskan bahwa materi muatan yang diatur dalam RUU
Tentang Larangan Kekerasan dalam rumah tangga tidak tumpang tindih
dengan peraturan perundang-undangan lainnya, RUU ini menyatakan
bahwa ketentuan mengenai kekerasan seksual yang diatur dalam Undang-
Undang lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam
Undang-Undang ini. Terakhir, dimuat pasal penutup yang memuat tanggal
keberlakuan undangundang ini, yaitu sejak tanggal diundangkan.

Anda mungkin juga menyukai