Anda di halaman 1dari 2

PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFI Finance) menyatakan bahwa persoalan gadai saham

perusahaan dengan PT Aryaputra Teguharta (APT) dan PT Ongko Multicorpora (OM) telah
selesai pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) perseroan di 2000.
Aryaputra Teguharta dan Ongko Multicorpora sebagai pemegang saham pada saat itu telah
menyetujui pengalihan gadai saham tersebut sebagai bagian dari penyelesaian utang anak-
anak perusahaan Ongko Group kepada BFI Finance.
Keputusan RUPSLB tersebut diperkuat oleh putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) BFI Finance di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 2000.
Kuasa Hukum BFI Finance Anthony L.P. Hutapea menjelaskan, pengalihan gadai saham BFI
Finance milik Aryaputra Teguharta dan Ongko Multicorpora pada 2001 dilakukan secara
transparan dan terbuka sebagaimana mekanisme yang berlaku bagi perusahaan publik.
Aryaputra Teguharta dan Ongko Multicorpora selaku pemegang saham BFI pada waktu itu
menyerahkan lebih dari 210 juta saham yang dimiliki di BFI, termasuk atas nama Aryaputra
Teguharta sejumlah 111.804.762 lembar saham, sebagai jaminan secara gadai atas utang
Ongko Group.
"Eksekusi atas gadai saham ini dilakukan karena Ongko Grup tidak dapat melakukan
pelunasan utang ke BFI Finance. Setelah pengalihan saham, BFI Finance membebaskan
utang grup Ongko yang bernilai lebih dari USD 100 juta belum termasuk bunga.
Sejak pelaksanaan PKPU pada tahun 2001, Aryaputra Teguharta dan Ongko Multicorpora
sudah tidak tercatat lagi sebagai pemegang saham di BFI Finance. Hal tersebut sudah
dilaporkan dan tercatat di otoritas bursa.
Itu sebabnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai penetapan No 079/2007/EKS tanggal 10
Oktober 2007 menyatakan bahwa Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung
(MA) No 240 tahun 2006 tidak dapat dilaksanakan (non executable).
Menurut Anthony sesuai PK No 240 itu, MA tidak membatalkan pengalihan saham-saham
APT oleh BFI Finance kepada kreditor berdasarkan Share Sale and Purchase Agremeent.
Artinya, pengalihan gadai saham tetap sah dan berlaku, karena memang sudah sesuai dengan
aturan korporasi yaitu pengambilan keputusan tertinggi melalui RUPSLB di tahun 2000.
Terkait adanya saham yang dialihkan kepada kayaran dan manajemen, ini merupakan bagian
dari program Employee Stock Option Plan (ESOP) yang sudah dilaporkan kepada pemegang
saham, termasuk kepada Aryaputra Teguharta dan Ongko Multicorpora sebelum dilakukan
RUPSLB tahun 2000. Anthony menambahkan, dalam RUPSLB tersebut APT dan OM juga
hadir dan menyetujui pelaksanaan program ESOP itu. Jadi tidak benar manajemen melakukan
fraud seperti yang dituduhkan. Semua keputusan perusahaan ini telah melalui proses yang
terbuka dan dilaporkan dalam keterbukaan informasi di bursa efek.
"Saham APT di BFI sudah tidak ada dan hal itu juga dikonfirmasi sesuai surat KSEI ke ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada 26 Januari 2018, ketua PN Jakarta Pusat kembali
menegaskan bahwa PK No 240 itu tidak bisa dilaksanakan," ungkap Anthony.
Sudjono selaku Corporate Secretary BFI menambahkan, sebagai perusahaan publik, BFI
Finance selalu menjalankan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Berkat kepercayaan
investor, nasabah dan masyarakat, BFI Finance dapat terus tumbuh dan berkembang dengan
fundamental bisnis yang semakin kokoh sebagaimana tercermin dari kinerja bisnis dan
keuangan hingga saat ini.
"BFI senantiasa menjalankan ketentuan dan mekanisme hukum yang berlaku. Bisnis kami
terus berkembang karena manajemen tidak pernah berkompromi dalam pelaksanaan Good
Corporate Governance (GCG)."
Sebelumnya, Aryaputra Teguharta terus berjuang melalui lembaga-lembaga peradilan untuk
mendapatkan hak saham sebesar 32,32 persen di PT BFI Finance Indonesia Tbk.
Hal itu diperkuat oleh pernyataan dari Hutabarat Halim dan Rekan Lawyers (HHR Lawyers)
selaku kuasa hukum PT APT, yang menegaskan bahwa perseroan adalah pemilik sah 32,32
persen saham BFI Finance.
Pheo Hutabarat dari HHR Lawyers mengungkapkan, saham milik PT APT secara ilegal
ditransfer dari PT BFI Finance kepada pihak ketiga pada 2001. Kliennya pun keberatan
terhadap Peninjauan Kembali (PK) kedua yang dilayangkan PT BFI Finance kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 20 November 2017.
"APT sebagai pemilik sah saham PT BFI keberatan dengan PK kedua itu. Artinya, ada
penegasan pemilikan saham, padahal hukum sudah stop sejak 2007."
Pada akhir Maret 2018, Bloomberg melaporkan bahwa total nilai saham BFI Finance
mencapai USD 1 miliar. Itu berarti, sebesar 32,32 persen saham yang PT APT miliki di sana
setara dengan USD 300 juta, atau Rp 4 triliun.
Lebih lanjut, Pheo mengecam tindakan BFI Finance, yang juga mengajukan PK 2. Padahal
menurutnya, mengutip acuan aturan hukum, sang lawan tidak punya wewenang membuat PK
jika APT sudah melakukannya.
Nilai hukum sebuah kepemilikan saham itu bersifat tetap, sehingga APT masih berhak
meminta kepastian sebagai pemegang saham yang sah di PT BFI Finance. Jika masih tidak
diakui, itu akan melanggar hukum.

Anda mungkin juga menyukai