Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut perseroan)

merupakan badan hukum (legal entity) yang memiliki sifat dan ciri kualitas

yang berbeda dari bentuk usaha lain. Salah satu ciri yang membedakan

perseroan dengan badan usaha lainnya dapat dilihat dari doctrine of

separate legal personality yang intinya menjelaskan bahwa terdapat

pemisahan kekayaan antara pemilik atau pemodal (pemegang saham)

dengan kekayaan badan hukum itu sendiri.1

Pendirian Perseroan Terbatas (PT) dilakukan melalui penyertaan

modal (inbreng) dari para persero atau pemegang saham. Pendirian

suatu perseroan pada dasarnya dibentuk atas modal yang disetorkan oleh

para pendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang

mendefinisikan bahwa perseroan merupakan persekutuan modal, didirikan

berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar

yang seluruhnya terbagi dalam saham. Lebih lanjut, Pasal 32 Juncto

Pasal 33 UUPT menentukan bahwa modal perseroan terdiri dari modal

dasar, modal disetor dan modal ditempatkan.2

1
Ahmad Yani dan Widjaya Gunawan, 2008, Seri Hukum Bisnis Perseroan
Terbatas, Raja Grafindo Persada, Jakarta:, 2008, hlm. 7.
2
Widya Harnisa, Nyulistiowati Suryanti, dan Betty Rubiati, 2018, Status Hak Atas
Tanah Yang Dijadikan Modal Perseroan Terbatas Tanpa Pendaftaran Peralihan Hak
Atas Tanah, Acta Diurnal: Jurnal Hukum Kenotariatan dan Ke-PPAT-an Universitas
Padjajaran, Bandung, hlm. 176.

1
Dalam mengembangkan usahanya, perseroan dapat menambah

modal dengan cara melakukan penyetoran atas modal saham.

Penyetoran tersebut tak hanya dapat dilakukan dalam bentuk uang,

melainkan juga dalam bentuk lain. Hal tersebut dimungkinkan dengan

adanya ketentuan Pasal 34 UUPT yang menentukan bahwa penyetoran

atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam

bentuk lain. Dalam hal penyetoran dilakukan dalam bentuk lainnya maka

penilaian setoran modal atas saham ditentukan berdasarkan nilai wajar

yang ditetapkan sesuai dengan dengan harga pasar atau ahli yang tidak

terafiliasi dengan perseroan.

Nilai wajar setoran modal saham ditentukan sesuai dengan nilai

pasar (market value) atas barang modal yang dimasukkan sebagai

setoran saham. Jika nilai pasar tidak tersedia, nilai wajar ditentukan

berdasarkan teknik penilaian yang paling sesuai dengan karakteristik

setoran, berdasarkan informasi yang relevan dan terbaik. 3

Penyetoran saham yang dilakukan dalam bentuk lain, terutama

tanah, dalam pelaksanaannya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang

berlaku, salah satunya ketentuan mengenai peralihan hak atas tanah.

Peralihan hak atas tanah harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan

setempat untuk dilakukan balik nama yang berdasarkan pada akta

pemasukan ke dalam perusahaan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) yang berwenang.

3
M. Yahya Harahap, 2013, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm. 239.

2
Pendaftaran tanah tersebut bermaksud untuk menjamin kepastian

hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor

Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Juncto

Pasal 3 Huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah yang menentukan bahwa salah satu tujuannya

dilakukan pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian hukum dan

perlindungan hukum kepada hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah

susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat

membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 Tentang Pendaftaran Tanah menentukan bahwa kepada pemegang

hak atas tanah yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.

Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan,

tanah milik atas satuan rumah susun, tanah wakaf dan hak tanggungan

yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang

bersangkutan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Angka 21

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah.

Mengenai permasalahan inbreng dalam bentuk lainnya seperti tanah

terjadi pada suatu pembentukan perseroan yaitu PT. Kaltim Kariangau

Terminal. Perseroan tersebut bergerak di bidang jasa kepelabuhanan

didirikan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang diwakili oleh

perusahaan daerah PT. Melati Bhakti Satya dan PT. Pelabuhan Indonesia

3
IV (Persero). Dalam hal ini PT. Pelabuhan Indonesia IV (Persero) dan PT.

Melati Bhakti Satya sepakat berdasarkan Akta Perjanjian Nomor 17 Tahun

2008 untuk mendirikan perusahaan patungan yang modalnya sebesar Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah) terbagi atas 1.000 (seribu) lembar

saham.

Sementara telah disetor sebesar Rp 125.000.000,00 (seratus dua

puluh lima juta Rupiah) atau seperempat dari modal dasar yang terbagi

atas 250 (dua ratus lima puluh) lembar saham. Pembagian dilakukan

antara PT. Melati Bhakti Satya sebesar Rp 62.500.000,00 (enam puluh

dua juta lima ratus ribu Rupiah) dan PT. Pelabuhan Indonesia IV (Persero)

sebesar Rp 62.500.000,00 (enam puluh dua juta lima ratus ribu Rupiah)

dari modal disetor.4

Selain dari penyetoran modal dalam bentuk uang, inbreng juga

dilakukan dalam bentuk lainnya sebagaimana yang diatur pada Pasal 34

UUPT. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang

diwakili PT. Melati Bhakti Satya berdasarkan Perjanjian Kerjasama Nomor

2 Tahun 2014 menyetorkan tanah seluas 72,5 Ha (tujuh puluh dua koma

lima hektar) sebagai tambahan penyertaan modal pada PT. Kaltim

Kariangau Terminal, akan tetapi sampai saat ini belum juga disetorkan.

Hal tersebut menimbulkan permasalahan terlebih saat ini PT. Kaltim

Kariangau Terminal telah beroperasi lebih dari 5 tahun dan belum

4
Maulana and Partners Law Firm, 2017, Opini Hukum Mengenai Penyertaan
Modal Inbreng dalam Pengelolaan Lahan di Provinsi Kalimantan Timur, Jakarta, hlm. 3-4.

4
memeroleh inbreng lahan tersebut sepenuhnya dari Pemerintah Provinsi

Kalimantan Timur.

Berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur Nomor

87 Tahun 2016 tentang Pemenuhan Penyertaan Modal Pada Perusahaan

Daerah Melati Bhakti Satya bahwa lahan seluas 72,5 Ha (tujuh puluh dua

koma lima hektar) tersebut merupakan bentuk penyertaan modal

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur kepada PT. Melati Bhakti Satya

yang akan digunakan juga untuk penyertaan modal pada PT. Kaltim

Kariangau Terminal yang seharusnya setelah perhitungan aset (appraisal)

telah disetor ke dalam perseroan sebagaimana yang telah diperjanjikan.

Lahan yang dijadikan inbreng tersebut berdasarkan Akta Perjanjian

Nomor 2 Tahun 2014 bertujuan agar PT. Kaltim Kariangau Terminal dapat

menggunakannya untuk keperluan jasa kepelabuhanan dengan alas Hak

Guna Bangunan (HGB), sedangkan PT. Melati Bhakti Satya akan memiliki

Hak Pengelolaan Lahan (HPL) berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi

Kalimantan Timur Nomor 87 Tahun 2016. Sampai saat ini PT. Kaltim

Kariangau Terminal menggunakan lahan tersebut sebagai lahan bongkar

muat dengan status sewa atau dengan kata lain setiap bulannya

perusahaan membayar sewa kepada PT. Melati Bhakti Satya setiap

tahunnya untuk menggunakan lahan yang seharusnya telah diinbrengkan.

Selain itu pemindahan aset lahan tersebut juga sulit karena aset

tersebut dijadikan penyertaan modal Pemerintah Provinsi Kalimantan

Timur kepada PT. Melati Bhakti Satya untuk memenuhi ketentuan

5
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 18 Tahun 2008

tentang Penyertaan Modal Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Pada

Perusahaan Daerah Melati Bhakti Satya Provinsi Kalimantan Timur.

Peraturan Daerah tersebut menetapkan modal dasar PT. Melati Bhakti

Satya sebesar Rp 3.000.000.000.000,00 (tiga triliun Rupiah).

Masalah inbreng lahan hak pengelolaan yang statusnya masih

belum jelas membuat operasional kepelabuhanan di PT. Kaltim Kariangau

Terminal terganggu. Hal tersebut diakibatkan beban sewa lahan yang

masih ditanggung korporasi yang seharusnya biaya sewa bisa digunakan

untuk sektor lain seperti pengadaan alat-alat operasional. Sebagai

pemegang saham PT. Melati Bhakti Satya juga tetap memperoleh deviden

dari PT. Kaltim Kariangau Terminal sehingga PT. Pelabuhan Indonesia IV

(Persero) merasa keberatan. Hal tersebut diakibatkan selama ini selain

inbreng lahan yang belum dimasukkan ke dalam perseroan PT.

Pelabuhan Indonesia IV (Persero) juga memasukkan modal yang lebih

banyak termasuk untuk membayar sewa lahan tersebut. 5

Dilihat dari fakta-fakta tersebut yang menimbulkan pertanyaan

apakah terjadi wanprestasi dalam pembentukan ataupun upaya inbreng

lahan yang belum terselesaikan. Jika terjadi wanprestasi, maka PT. Kaltim

Kariangau Terminal dapat mengambil langkah untuk memperoleh inbreng

lahan.

Dari hal tersebut membuat status lahan Hak Pengelolaan yang

menjadi inbreng menjadi tidak jelas, sehingga membuat terjadinya


5
Ibid., hlm. 6.

6
kekosongan hukum dari Tahun 2012 hingga hari ini bagi PT. Kaltim

Kariangau Terminal untuk menentukan status lahan serta pemegang

saham.

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis menarik

beberapa rumusan masalah, yaitu:

1. Apakah Hak Pengelolaan yang dimiliki oleh PT. Melati Bhakti

Satya dapat dijadikan inbreng dalam pendirian PT. Kaltim

Kariangau Terminal?

2. Apakah PT. Melati Bhakti Satya dapat dibenarkan atas perjanjian

sewa menyewa lahan yang telah dijadikan inbreng pada PT.

Kaltim Kariangau Terminal?

C. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka penulis menarik

beberapa tujuan penelitian, yaitu:

1. Mengetahui status lahan hak pengelolaan PT. Melati Bhakti

Satya sebagai penyertaan modal yang telah dimasukkan pada

PT. Kaltim Kariangau Terminal; dan

2. Mengetahui keabsahan perjanjian sewa meyewa lahan yang

dilakukan oleh PT. Melati Bhakti Satya terhadap PT. Kaltim

Kariangau Terminal atas lahan yang telah dijadikan inbreng.

7
D. Manfaat Penilitian.

Penelitian ini dilakukan dengan harapan mampu memberikan

manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis:

1. Manfaat Teoritis,

Dalam hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan

pemahaman kepada mahasiswa pada khususnya dan

masyarakat luas pada umumnya, terkait penyertaan modal

(inbreng) dalam bentuk penggunaan lahan hak pengelolaan pada

perseroan terbatas.

2. Manfaat Praktis,

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana

baru, sekaligus memberikan pemahaman yang lebih mendalam

mengenai inbreng dalam bentuk hak pengelolaan.

E. Kegunaan Penelitian.

Adapun kegunaan penelitian adalah:

1. Sebagai bahan untuk memperdalam pengetahuan mengenai

inbreng dalam bentuk hak pengelolaan tanah ke dalam perseroan

terbatas, yang mana seperti yang diketahui hak pengelolaan

biasanya tidak dijadikan inbreng;

2. Sebagai sumbangan pemikiran atas permasalahan yang sering

terjadi dalam perseroan terbatas, yaitu penggunaan lahan yang

telah dimasukkan sebagai modal perseroan sebagai objek sewa.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perseroan Terbatas.

1. Pengertian Perseroan Terbatas.

Perseroan Terbatas (PT) bukanlah merupakan suatu bentuk badan

usaha yang tiba-tiba ada, melainkan merupakan hasil dari perencanaan,

kreasi maupun tindakan yang dilakukan pendiri yang dilanjutkan dengan

tindakan untuk mengawasi dan atau menjalankan perusahaan setelah

perseroan terbatas memeroleh status sebagai badan hukum. 6

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) disebutkan dengan jelas

definisi dari Perseroan Terbatas (PT) adalah.

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan


hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

PT merupakan perusahaan yang modalnya terdiri dari saham-saham

dan tanggung jawab dari sekutu pemegang saham terbatas, yang sesuai

dengan jumlah saham yang dimilikinya. Istilah perseroan pada PT

menunjuk pada cara penentuan modal pada badan hukum itu yang terdiri

dari sero-sero atau saham-saham dan istilah terbatas menunjukkan pada

batas tanggung jawab para persero (pemegang saham) yang dimiliki,

yaitu hanya terbatas pada jumlah nilai nominal dari semua saham-saham
6
Tri Budiyono, 2011, Hukum Perusahaan: Telaah Yuridis Terhadap Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Griya Media, Salatiga, hlm.
35.

9
yang dimiliki. Bentuk badan hukum ini, sebagaimana ditetapkan dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) bernama "Naamloze

Vennootschap" atau disingkat NV.7

2. Syarat Pendirian Perseroan Terbatas.

Terkait dengan pendirian PT berdasarkan UUPT terdapat syarat-

syarat pendirian PT secara formal antara lain adalah sebagai berikut:

1) Pendiri minimal 2 (dua) orang atau lebih (Pasal 7 Ayat (1));

2) Akta Notaris yang berbahasa Indonesia (Pasal 7 Ayat (1));

3) Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham, kecuali

dalam rangka peleburan (Pasal 7 Ayat (2) dan Ayat (3));

4) Akta pendirian harus disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia dan diumumkan dalam Berita Negara Republik

Indonesia (Pasal 7 Ayat (4));

5) Modal dasar minimal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah)

dan modal disetor minimal 25% (dua puluh lima per seratus) dari

modal dasar (Pasal 32 dan Pasal 33); dan

6) Minimal 1 (satu) orang direktur dan 1 (satu) orang komisaris

(Pasal 92 Ayat (3) dan Pasal 108 Ayat (3)).

Selain syarat formiil, terdapat syarat materiil yang berupa

kelengkapan dokumen yang harus disampaikan kepada Notaris pada saat

penandatanganan akta pendirian, adapun dokumen dokumen tersebut

antara lain:

1) Pesan nama PT (Pasal 8 dan Pasal 15 UUPT);


7
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 21.

10
2) Alamat lengkap kantor PT yang dibuktikan dengan surat

keterangan domisili PT (Pasal 8 dan Pasal 15 UUPT);

3) Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)

Pengurus (Pasal 8 Ayat (2));

4) Fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Pengurus (Pasal 2

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan

Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan;

5) Modal Perseroan (Pasal 8 dan Pasal 15 UUPT)

6) Saham perseroan (Pasal 8 dan Pasal 15 UUPT);

7) Susunan pengurus PT (Pasal 8 dan Pasal 15 UUPT); dan

8) Bidang Usaha PT (Pasal 8 dan Pasal 15 UUPT).

3. Karakteristik Perseroan Terbatas.

Perseroan terbatas merupakan badan hukum (legal entity), yaitu

badan hukum mandiri (persona standi in judicio) yang memiliki sifat dan

ciri kualitas yang berbeda dari bentuk usaha lain, yang dikenal sebagai

karakteristik suatu perseroan yaitu sebagai berikut: 8

1) Sebagai asosiasi modal;

2) Kekayaan dan utang PT adalah terpisah dari kekayaan dan

utang pemegang saham;

3) Bertanggung jawab hanya pada apa yang disetorkan, atau

tanggung jawab terbatas (limited liability);


8
Chatamarrasjid, 2000, Menyikapi Tabir Perseroan Terbatas (Piercing The
Corporate Veil): Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.
142-143.

11
4) Tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan Terbatas (PT)

melebihi nilai saham yang telah diambilnya;

5) Tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang

dibuat atas nama Perseroan;

6) Adanya pemisahan fungsi antara pemegang saham dan

pengurus atau Direksi;

7) Memiliki Komisaris yang berfungsi sebagai pengawas;

8) Kekuasaan tertinggi berada pada Rapat Umum Pemegang

Saham (RUPS).

Perseroan Terbatas atau naamloze vennoontschap adalah sesuatu

perseroan yang modalnya terbagi atas suatu jumlah surat andil atau sero,

yang lazimnya disediakan untuk orang yang hendaknya turut. Perkataan

terbatas ditujukan pada tanggung jawab atau risiko dari para persero atau

pemegang andil, yang hanya terbatas pada harga surat andil atau sero

yang mereka ambil.9

Agus Budiarto berpendapat bahwa PT adalah suatu badan usaha

yang memunyai unsur-unsur:10

1) Adanya kekayaan yang terpisah;

2) Adanya pemegang saham;

3) Adanya pengurus.

9
Subekti, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, hlm. 202-
203.
10
Agus Budiarto, 2002, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri
Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 26.

12
Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut dapatlah disimpulkan

bahwa

unsur-unsur PT adalah sebagai berikut:

1) Perseroan Terbatas adalah Badan Hukum;

2) Selalu menjalankan perusahaan;

3) Didirikan dengan suatu perbuatan hukum oleh beberapa orang;

4) Modal terdiri atas atau dibagi dalam saham-saham;

5) Para persero bertanggung jawab terbatas;

6) Adanya pengurus.

4. Modal Perseroan Terbatas.

Secara umum struktur permodalan PT di Indonesia adalah sebagai

berikut :

1) Modal Dasar.

Dalam anggaran dasar PT akan dicantumkan modal dasar yang

menggambarkan estimasi modal yang akan dikeluarkan oleh

perusahaan. Modal dasar ini dibagi dalam sejumlah saham

dengan nilai nominal tertentu. Semakin kecil nilai nominal lembar

saham akan semakin banyak lembar saham yang harus

dikeluarkan oleh perseroan. Modal dasar perseoran ini

ditetapkan oleh pemerintah dengan jumlah minimal Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) sebagaimana diatur pada

Pasal 32 Ayat (1) UUPT.

2) Modal ditempatkan.

13
Berdasarkan Pasal 33 Ayat (1) UUPT modal yang ditempatkan

ke dalam peseroan haruslah berjumlah minimal 25% (dua puluh

lima per seratus) dari modal dasar. Apabila modal yang

ditempatkan kurang dari batas minimal yang ditetapkan maka

perseroan tidak akan diakui atau disahkan oleh pemerintah dan

keberadaannya tidak dianggap sebagai PT tetapi akan tunduk

pada ketentuan perusahaan persekutuan. Jika sudah demikian,

antara harta pribadi dan harta perusahaan tidak akan terpisah

dan para pemilik perusahaan memunyai kewajiban untuk

menyelesaikan segala kewajibannya.

3) Modal disetor.

Semua pendiri PT bertanggung jawab terhadap seluruh modal

ditempatkan, akan tetapi tidak harus setoran ke dalam

perusahaan dilakukan pada saat perusahaan baru beroperasi.

Ada batas kontribusi minimal besarnya uang yang harus disetor

ke dalam perusahaan dan setiap negara memunyai kebijakan

sendiri. Berdasarkan Pasal 33 Ayat (1) UUPT modal yang disetor

ke perseroan haruslah berjumlah minimal 25% (dua puluh lima

per seratus) dari modal dasar.

5. Pemasukan Modal (Inbreng) Perseroan Terbatas.

Kewajiban para pendiri PT dalam menyetor modal ke dalam

perseroan dimaksudkan supaya perseroan memiliki modal dasar dalam

14
melakukan kegiatan perseroan dalam rangka mencapai tujuan perseroan

dalam upaya mendapat keuntungan. Tanpa adanya modal dasar

perseroan, maka jelas perseroan tidak dapat menjalankan kegiatannya

untuk mencari keuntungan.

Modal yang disetor ke dalam pendirian PT merupakan pembayaran

atas saham yang diambil pendiri perseroan. Pasal 1619 Ayat (2) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa para sekutu perdata

wajib memasukkan ke dalam kas persekutuan yang didirikan tersebut.

Pemasukan (inbreng, contribution) itu dapat berupa:11

1) Uang;

2) Benda-benda atau barang-barang apa saja yang layak bagi

pemasukan, seperti kendaraan bermotor dan alat operasional

kantor, tanah dan/atau bangunan; dan/atau

3) Keahlian atau tenaga kerja, baik fisik maupun pikiran.

Perseroan harus memunyai harta kekayaan tersendiri yang terpisah

dari harta kekayaan para pendiri perseroan, para pemegang saham

perseroan serta para pengurus perseroan dan didapat dari pemasukan

para pendiri perseroan (pemegang saham). Harta kekayaan ini sengaja

diadakan dan memang diperlukan sebagai alat untuk mengejar tujuan

perseroan dalam hubungan hukumnya di masyarakat atau dengan pihak

ketiga.

11
Abdul Muis, 2006, Hukum Persekutuan dan Perseroan, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 53-54.

15
Harta kekayaan itu menjadi jaminan perikatan yang telah dibuat oleh

perseroan dengan pihak ketiga. Dengan demikian bila dikemudian hari

timbul tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi oleh perseroan, maka

pertanggungjawaban yang timbul tersebut semata-mata dibebankan pada

harta yang terkumpul dalam perseroan tersebut. 12

Secara umum penyetoran setiap bagian dari modal saham yang

diambil bagiannya dilakukan dengan uang tunai, tetapi dalam Pasal 34

Ayat (1) UUPT terdapat ketentuan bahwa penyetoran atas modal saham

dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya.

Berdasarkan penjelasan pasal ini, pada umumnya penyetoran modal

adalah dalam bentuk uang.

Tidak ditutup kemungkinan penyetoran modal dalam bentuk lain,

baik berupa benda atau barang yang dapat dinilai dengan uang dan yang

secara nyata diterima oleh perseroan. Penyetoran modal dalam bentuk

lain selain uang harus disertai rincian yang menerangkan nilai atau harga,

jenis atau macam, status, tempat kedudukan, dan lain-lain yang dianggap

perlu demi kejelasan mengenai penyetoran tersebut. Hal ini dilakukan

semata-mata dengan tujuan untuk memberikan modal (harta kekayaan)

pada perseroan dan memisahkannya dari harta kekayaan pribadi masing-

masing para pendiri perseroan. Bentuk penyetoran modal bentuk lain,

biasa disebut pemasukan barang atau inbreng.13

12
Abdul R. Saliman, Hermansyah dan Ahmad Jalis, 2005, Hukum Bisnis untuk
Perusahaan (Edisi Ke-2), Kencana, Jakarta, hlm. 96-97.
13
Tri Budiyono, Op. Cit., hlm. 79-80.

16
Pemberian saham sebesar imbalan pemasukan (inbreng) berupa

tanah dan/atau bangunan harus ada penilaian terhadap tanah dan/atau

bangunan itu terlebih dahulu untuk dikaitkan dengan nilai nominal saham.

Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain,

penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang

ditetapkan sesuai dengan harga pasar berdasar penilaian oleh ahli penilai

(appraisal) yang tidak terafiliasi dengan perseroan. Nilai wajar setoran

modal saham ditentukan sesuai dengan nilai pasar (market value) atas

barang modal yang dimasukkan sebagai setoran saham. Jika nilai pasar

tidak tersedia, nilai wajar ditentukan berdasarkan teknik penilaian yang

paling sesuai dengan karakteristik setoran, berdasarkan informasi yang

relevan dan terbaik.14

Proses penilaian untuk mendapatkan nilai pasar yang sebenarnya

umumnya tidak dapat dilakukan oleh semua orang, karena memerlukan

pengetahuan dan pengalaman tentang tanah, bangunan dan metode

penilaian. Karena itu untuk menentukan nilai pasar tanah dan/atau

bangunan biasanya dimintakan bantuan jasa penilai atau ahli independen

yang tidak terafiliasi dengan perseroan yang akan melakukan penilaian.

Yang dimaksud dengan ahli yang tidak terafiliasi adalah ahli yang tidak

memunyai:15

1) Hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai

derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal dengan


14
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 239.
15
Jamin Ginting, 2007, Hukum Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 tahun 2007),
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 57-58.

17
pegawai, anggota direksi, dewan komisaris, atau pemegang

saham dari perseroan;

2) Hubungan dengan perseroan karena adanya kesamaan satu

atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris;

3) Hubungan pengendalian dengan Perseroan baik langsung

maupun tidak langsung;

4) Saham dalam Perseroan sebesar 20% (dua puluh per seratus)

atau lebih.

Para pendiri perseroan juga harus setuju terlebih dahulu secara

bersama-sama atas taksiran penilaian oleh ahli penilai (appraisal) atas

penyetoran modal saham yang dilakukan dalam bentuk lain berupa tanah

dan/atau bangunan yang disetorkan tersebut. Persetujuan para pendiri

perseroan secara bersama-sama atas taksiran penilaian oleh ahli penilai

(appraisal) atas penyetoran modal saham dalam bentuk lain berupa tanah

dan/atau bangunan tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis baik dalam

bentuk akta otentik maupun akta dibawah tangan yang bermaterai cukup

dan ditandatangani oleh para pendiri perseroan sebagai bentuk

persetujuan mereka atas taksiran penilaian oleh ahli penilai (appraisal).

Penyetoran modal dalam bentuk benda tidak bergerak yakni tanah

dan/atau bangunan sebagaimana yang diatur pada Pasal 34 Ayat (3)

UUPT harus diumumkan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih, dalam

jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian Perseroan

ditandatangani atau setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

18
memutuskan penyetoran modal tersebut. Maksud diumumkannya

penyetoran modal dalam bentuk benda tidak bergerak dalam surat kabar,

adalah agar diketahui umum dan memberikan kesempatan kepada pihak

yang berkepentingan untuk dapat mengajukan keberatan atas penyerahan

benda tersebut sebagai setoran modal saham, misalnya ternyata diketahui

benda tersebut bukan milik penyetor tetapi milik pihak ketiga. 16

Setelah perseroan mendapatkan status badan hukum dari Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia, harus diadakan Rapat Umum Pemegang

Saham (RUPS) pertama perseroan, yang secara tegas menyatakan

menerima penyetoran modal berupa tanah dan/atau bangunan sebagai

pembayaran atas saham yang diambil pendiri perseroan. RUPS pertama

perseroan tersebut harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling

lambat 60 (enam puluh) hari setelah perseroan memeroleh status badan

hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan dan penandatanganan

Akta Pemasukan ke dalam perusahaan di hadapan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) setempat yang daerah kerjanya meliputi letak lokasi tanah

dan/atau bangunan yang disetorkan, yang mana didahului terlebih dahulu

dengan pembayaran Pajak dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB). Setelah itu terakhir mendaftarkan peralihan haknya

(balik nama) pada kantor pertanahan setempat yang berwenang. PPAT

wajib menyampaikan akta PPAT berupa Akta Pemasukan ke dalam

16
Sujud Margono, 2008, Hukum Perusahaan Indonesia: Catatan atas Undang-
Undang Perseroan Terbatas, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, hlm. 42.

19
perusahaan dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan

pendaftaran peralihan hak yang bersangkutan kepada kantor pertanahan,

selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya Akta

pemasukan ke dalam Perusahaan yang bersangkutan. 17

B. Hak Pengelolaan Tanah.

1. Pengertian Hak Pengelolaan Tanah.

Hak Atas Tanah bersumber dari hak menguasai negara atas tanah.

Hak atas tanah diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Dasar-Dasar Pokok Agraria (UUPA), yaitu atas dasar

hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas

permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan

dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersamasama dengan

orang-orang lain serta badan-badan hukum.

Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada

pemegang hak untuk menggunakan dan atau mengambil manfaat dari

tanah yang menjadi haknya. Kata menggunakan mengandung pengertian

bahwa hak atas tanah untuk kepentingan mendirikan bangunan,

sedangkan kata mengambil manfaat mengandung pengertian bahwa hak

atas tanah untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakan, dan

perkebunan.18

17
Pasal 40 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, LN. Nomor 59, TLN. Nomor 3696.
18
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media,
Jakarta, hlm. 82.

20
Hak Atas Tanah yang disebutkan dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA

dijabarkan macamnya dalam Pasal 16 Ayat (1) dan Pasal 53 Ayat (1)

UUPA. Pasal 16 Ayat (1) UUPA menetapkan macam-macam hak atas

tanah, yaitu:

1) Hak Milik;

2) Hak Guna Usaha;

3) Hak Guna Bangunan;

4) Hak Pakai;

5) Hak Sewa untuk Bangunan;

6) Hak Membuka Tanah;

7) Hak Memungut Hasil Hutan;

8) Hak Atas Tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 53 Ayat (1) UUPA menetapkan macam-macam hak atas tanah

yang bersifat sementara, yaitu:

1) Hak Gadai;

2) Hak Usaha Bagi Hasil;

3) Hak Menumpang;

4) Hak Sewa Tanah Pertanian.

Dalam realita terdapat Hak Pengelolaan (HPL) yang muncul sejak

tahun 1965 melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965

tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan

21
Kebijaksanaan Selanjutnya. Maria S.W. Sumrdjono menyatakan bahwa

dalam praktik terdapat berbagai jenis Hak Pengelolaan, yakni: 19

1) HPL Pelabuhan;

2) HPL Otorita;

3) HPL Perumahan;

4) HPL Pemerintah Daerah;

5) HPL Transmigrasi;

6) HPL Instansi Pemerintah;

7) HPL Industri/Pertanian/Pariwisata/Perkeretaapian.

Secara tersurat, UUPA tidak menyebut Hak Pengelolaan, tetapi

hanya menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2

UUPA, yaitu:

Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang


atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan
keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan (garis
bawah penulis) kepada suatu badan penguasa (Departemen, Jawatan,
atau Daerah Swatantra) untuk digunakan bagi pelaksanaan tugasnya
masing-masing.20

Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa dalam UUPA, Hak

Pengelolaan tidak disebutkan secara eksplisit, baik dalam diktum, batang

tubuh maupun penjelasannya.21 Namun demikian, dalam praktik,

keberadaan Hak Pengelolaan berikut landasan hukum telah berkembang

19
Maria S.W. Sumardjono, 2007, Hak Pengelolaan: Perkembangan, Regulasi, dan
Implementasinya, Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, hlm. 29.
20
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, LN. Nomor 104, TLN. Nomor 2043.
21
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit., hlm. 10.

22
sedemikian rupa dengan berbagai ekses dan permasalahannya. A.P.

Parlindungan menyatakan bahwa istilah Hak Pengelolaan diambil dari

Bahasa Belanda, yaitu beheersrecht, yang diterjemahkan menjadi Hak

Penguasaan.22 Sependapat dengan A.P. Parlindungan, Supriadi

menyatakan bahwa perkataan Hak Pengelolaan sebenarnya berasal dari

terjemahan Bahasa Belanda yang berasal dari kata Beheersrecht berarti

Hak Penguasaan. Hak Penguasaan diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 8 Tahun 1953 tentang Hak Penguasaan Atas Tanah-tanah

Negara.23

Istilah Hak Pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkan

Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan

Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan

Selanjutnya. Dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965

ditetapkan konversi hak penguasaan atas tanah-tanah negara, yaitu:

Pasal 1
Jika hak penguasaan atas tanah negara yang diberikan kepada
Departemen-departemen, Direktorat-direktorat, dan Daerah-daerah
Swatantra dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu
sendiri dikonversi menjadi Hak Pakai.
Pasal 2
Jika hak penguasaan atas tanah negara yang diberikan kepada
Departemen-departemen, Direktorat-direktorat, dan Daerah-daerah
Swatantra, selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi
itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu
hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan atas tanah negara
tersebut dikonversi menjadi Hak Pengelolaan.

22
A.P. Parlindungan, 1994, Hak Pengelolaan Menurut Sistem Undang-Undang
Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, hlm. 6.
23
Supriadi, 2007, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 148.

23
Pengertian Hak Pengelolaan dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 2

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yaitu hak menguasai

Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada

pemegangnya.

Dari pengertian Hak Pengelolaan di atas menunjukkan bahwa Hak

Pengelolaan merupakan hak menguasai Negara atas tanah sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 2 UUPA, bukan hak atas tanah sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 4, Pasal 16 Ayat (1), dan Pasal 53 UUPA. Hak

Pengelolaan bukan murni hak menguasai negara atas tanah, melainkan

pelimpahan dari hak menguasai negara atas tanah. Pihak-pihak yang

dapat memunyai Hak Pengelolaan disebut subjek Hak Pengelolaan.

Menurut Sudikno Mertokusumo, subjek hukum adalah segala sesuatu

yang dapat memeroleh hak dan kewajiban dari hukum. Ada 2 (dua)

macam subjek hukum yaitu orang dan badan hukum. 24

2. Penerima Hak Pengelolaan Tanah.

Menurut Irawan Soerodjo melalui penjabaran peraturan perundang-

undangan Hak Pengelolaan dapat diberikan kepada: 25

1) Perusahaan Pembangunan Perumahan yang seluruh modalnya

berasal dari Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah;

24
Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 67.
25
Irawan Soerodjo, 2014, Hukum Pertanahan: Hak Pengelolaan Lahan
(Eksistensi, Pengaturan dan Praktik), Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 30-35.

24
2) Industrial Estate yang seluruh modalnya dari Pemerintah yang

berbentuk Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan

Perseroan (Persero), dan dari Pemerintah Daerah yang

berbentuk Perusahaan Daerah (PD) seperti yang diatur pada

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1997 tentang

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Karena Pemberian Hak Pengelolaan;

3) Penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga

Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Tingkat I

(Provinsi), Pemerintah Daerah Tingkat II (Kabupaten atau Kota),

Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum (Perum)

Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas);

4) Dalam Penjelasan Pasal 2 Huruf a tentang Pengenaan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Pemberian

Hak Pengelolaan disebutkan bahwa termasuk lembaga

Pemerintah lainnya adalah Otorita Pengembangan Daerah

Industri Batam, Badan Pengelola Gelanggang Olahraga

Senayan, dan lembaga sejenis diatur dengan Keputusan

Presiden;

5) Pasal 67 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999

tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah

Negara dan Hak Pengelolaan mengatur mengenai badan-badan

25
hukum yang dapat diberikan Hak Pengelolaan, adalah: (1)

Instansi Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah; (2) Badan

Usaha Milik Negara (BUMN); (3) Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD); (4) PT Persero; (5) Badan Otorita; (6) Badan-badan

hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Semula Hak Pengelolaan diberikan kepada Departemen, Direktorat,

Daerah Swatantra (Pemerintah Daerah), Perusahaan Pembangunan

Perumahan, dan Industrial Estate. Dalam perkembangannya, dengan

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak

Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan menjadi lebih jelas siapa saja

yang dapat memunyai tanah Hak Pengelolaan. Hanya saja dalam

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 9 Tahun 1999 terbuka kemungkinan badan hukum Pemerintah

lainnya dapat memunyai tanah Hak Pengelolaan asalkan ditetapkan oleh

Pemerintah. Badan hukum Pemerintah ini dapat memunyai tanah Hak

Pengelolaan dengan syarat tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan

pengelolaan tanah.

Pihak-pihak yang dapat menjadi subjek atau pemegang Hak

Pengelolaan dikemukakan oleh Eman Ramelan yaitu subjek atau

pemegang Hak Pengelolaan adalah sebatas pada badan hukum

Pemerintah baik yang bergerak dalam pelayanan publik (pemerintahan)

atau yang bergerak dalam bidang bisnis, seperti Badan Usaha Milik

26
Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, PT. Persero, badan hukum swasta

tidak mendapatkan peluang untuk berperan sebagai subjek atau

pemegang Hak Pengelolaan.26

Hak Pengelolaan tidak diberikan kepada perseorangan baik warga

Negara Indonesia maupun orang asing yang berkedudukan di Indonesia,

badan usaha swasta baik badan hukum yang didirikan menurut Hukum

Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang

memunyai perwakilan di Indonesia, perwakilan negara asing, perwakilan

badan internasional, badan keagamaan dan badan sosial. Syarat bagi

badan hukum untuk dapat memunyai tanah Hak Pengelolaan adalah

badan hukum yang memunyai tugas pokok dan fungsinya berkaitan

dengan pengelolaan tanah.

Tanah Hak Pengelolaan yang dikuasai oleh pemegang haknya dapat

dipergunakan untuk keperluan pelaksanaan tugas atau usahanya, juga

dapat diserahkan kepada pihak ketiga atas persetujuan dari pemegang

Hak Pengelolaan. Boedi Harsono menyatakan bahwa pemegang Hak

Pengelolaan memang memunyai kewenangan untuk menggunakan tanah

yang menjadi haknya bagi keperluan usahanya. Tetapi itu bukan tujuan

pemberian hak tersebut kepadanya. Tujuan utamanya adalah tanah yang

bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang

memerlukannya.27

26
Eman Ramelan, 2002, Hak Pengelolaan Setelah Berlakunya Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, Yuridika Vol.
15 Nomor 3 Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 196.
27
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria: Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm. 280.

27
3. Kedudukan Hak Pengelolaan Tanah.

Para pakar Hukum Tanah memunyai perbedaan mengenai

kedudukan Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional. Ada pakar

yang berpendapat bahwa Hak Pengelolaan merupakan hak menguasai

negara atas tanah, sebaliknya ada yang berpendapat bahwa Hak

Pengelolaan merupakan hak atas tanah. Pendapat tersebut dibagi

menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:

1) Hak Pengelolaan merupakan Hak Menguasai Negara Atas

Tanah.

Boedi Harsono menyatakan bahwa Hak Pengelolaan dalam

sistematika hak penguasaan atas tanah tidak dimasukkan dalam

golongan hak-hak atas tanah, melainkan merupakan gempilan

hak menguasai negara atas tanah.28 Sependapat dengan Boedi

Harsono, Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa Hak

Pengelolaan merupakan bagian dari hak menguasai negara

yang (sebagian) kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang

Hak Pengelolaan. Oleh karena itu Hak Pengelolaan itu

merupakan fungsi atau kewenangan publik sebagai hak

menguasai negara dan tidak tepat disamakan dengan hak

sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA karena hak atas

tanah hanya menyangkut aspek keperdataan. 29

2) Hak Pengelolaan merupakan Hak Atas Tanah.


28
Ibid.
29
Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya, Kompas, Jakarta, hlm. 204

28
A.P. Parlindungan menyatakan bahwa Hak Pengelolaan adalah

suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada istilahnya

dalam UUPA dan khusus hak ini demikian pula luasnya terdapat

di luar ketentuan UUPA.30 Sependapat dengan A.P.

Parlindungan, Effendi Perangin menyatakan bahwa Hak

Pengelolaan termasuk hak atas tanah yang didaftarkan menurut

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang

Pendaftaran Tanah.31 Hak menguasai negara menurut Winahyu

Erwiningsih harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban

Negara sebagai pemilik (domein) yang bersifat publiekrechtelijk,

bukan sebagai eigenaar yang bersifat privaatrechtelijk. Makna

dari pemahaman tersebut adalah Negara memiliki kewenangan

sebagai pengatur, perencanaan, pelaksanaan, dan sekaligus

sebagai pengawasan pengelolaan, penggunaan, dan

pemanfaatan sumber daya alam nasional.32

Hak menguasai negara atas tanah berisikan wewenang yang

ditetapkan dalam Pasal 2 Ayat (2) UUPA, yaitu:

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;

2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;


30
A.P. Parlindungan, Op. Cit., hlm. 1.
31
Effendi Perangin, 1995, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 312.
32
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 101.

29
3) Menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai

bumi, air, dan ruang angkasa.

Pasal 4 Ayat (1) UUPA menegaskan bahwa hak atas tanah

bersumber dari hak menguasai negara atas tanah, yang dapat diberikan

kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendirisendiri maupun

bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Lebih

lanjut Pasal 4 Ayat (2) UUPA mengatur wewenang dalam hak atas tanah

yaitu mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh

bumi dan air dan ruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk

kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu

dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain

yang lebih tinggi. Wewenang dalam hal atas tanah berupa menggunakan

tanah untuk keperluan mendirikan bangunan, atau bukan mendirikan

bangunan, menggunakan tubuh bumi misalnya penggunaan ruang bawah

tanah, diambil sumber airnya, penggunaan ruang di atas tanah, misalnya

di atas tanah didirikan pemancar.33

Dalam peraturan perundang-undangan terdapat perbedaan

kedudukan Hak Pengelolaan dalam Hukum Tanah Nasional, yaitu:

1) Hak Pengelolaan merupakan Hak Menguasai Negara Atas

Tanah. Dalam Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

33
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Prenada
Media, Jakarta, hlm. 48.

30
Bangunan, Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40

Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,

dan Hak Pakai Atas Tanah, Pasal 1 Angka 4 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 tentang

Pengenaan Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan Karena

Pemberian Hak Pengelolaan, Pasal 1 Angka 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar, Pasal 1 Angka 3 Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 4 Tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan Uang

Pemasukan Dalam Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Pasal 1

Angka 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999

tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah

Negara dan Hak Pengelolaan, serta Pasal 1 angka 3 Peraturan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak

Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu

ditetapkan bahwa Hak Pengelolaan adalah menguasai negara

atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian

dilimpahkan kepada pemegang haknya.

2) Hak Pengelolaan disejajarkan dengan Hak Atas Tanah.

31
Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

tentang Rumah Susun, Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar, dan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun

1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas

Tanah Negara dan Hak Pengelolaan ditetapkan bahwa Hak

Pengelolaan disejajarkan dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.

Dari uraian peraturan perundang-undangan tersebut di atas

menunjukkan adanya ketidaksinkronan kedudukan Hak Pengelolaan. Di

satu pihak, ada peraturan perundang-undangan yang mendudukkan Hak

Pengelolaan merupakan hak menguasai Negara atas tanah. Di lain pihak,

ada peraturan perundang-undangan yang mendudukkan Hak

Pengelolaan disejajarkan dengan hak atas tanah.

Untuk mendapatkan jawaban mengenai kedudukan Hak Pengelolaan

dalam Hukum Tanah Nasional dapat dianalisis melalui pengertian, sifat,

dan wewenang hak menguasai negara atas tanah, hak atas tanah, dan

Hak Pengelolaan. Dalam beberapa peraturan perundang-undangan

dinyatakan bahwa Hak Pengelolaan adalah hak menguasai Negara atas

tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada

pemegang haknya.

32
4. Pemberian Hak Pengelolaan Tanah.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya Hak Pengelolaan

merupakan gempilan dari hak menguasai negara yang kewenangan

pelaksanaan tugasnya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.

Hak pengelolaan hanya dapat berdiri di atas tanah negara. Tanah negara

adalah tanah yang dikuasai oleh negara yang tidak dipunyai dengan

sesuatu hak diatasnya atau hak atas tanah.

Menurut Maria S.W Sumardjono, ruang lingkup tanah negara

meliputi:34

1) Tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya;

2) Tanah-tanah yang berakhir jangka waktunya dan tidak

diperpanjang lagi;

3) Tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli

waris;

4) Tanah-tanah yang diterlantarkan;

5) Tanah-tanah yang diambil alih untuk kepentingan umum sesuai

dengan tata cara pencabutan hak atas tanah yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan

Hak-Hak Atas Tanah dan Benda Yang Ada Di Atasnya dan

pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur dalam

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 yang telah diubah

dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Juncto

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan


34
Maria S.W. Soemardjo, Op. Cit., hlm. 16.

33
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum.

Hak Pengelolaan yang diberikan dapat terjadi karena dua hal yaitu: 35

1) Melalui konversi; atau

2) Melalui Penetapan Pemerintah.

Yang dimaksud dengan melalui proses konversi adalah perubahan

status hak atas tanah sebagai akibat berlakunya peraturan perundang-

undangan di bidang agraria.36 Sedangkan Menurut A.P Parlindungan,

yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas tanah

yang pernah tunduk kepada sistem hukum yang lama yaitu hak-hak atas

tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan tanah-tanah

yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak atas

tanah menurut UUPA.37

Ketentuan yang mengatur tentang konversi tanah negara menjadi

Hak Pengelolaan adalah Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965

tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan

Kebijaksanaan Selanjutnya yaitu Hak Penguasaan (beheer) yang

diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953

tentang Hak Penguasaan Atas Tanah-tanah Negara yang kemudian

dikonversi menjadi Hak Pengelolaan, konversi itu ditujukan pada tanah-

tanah yang secara nyata/riil dikuasai oleh instansi pemerintah, jawatan

35
Irawan Soerodjo, Op. Cit., hlm. 20.
36
Urip Santoso, Op. Cit., hlm. 113.
37
Irawan Soerodjo, Op. Cit., hlm. 22.

34
dan daerah swantantra yang diberikan dengan hak penguasaan atas

tanah negara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953. 38

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Pasal 2 ditentukan

penguasaan tanah negara diserahkan kepada instansi pemerintah

(kementerian), jawatan, atau daerah Swatantra. Kemudian dengan

terbitnya Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 maka status hak

penguasaan atas tanah negara dikonversi menjadi Hak pakai jika

dipergunakan oleh instansi itu sendiri dan Hak Pengelolaan dipergunakan

selain untuk instansi itu sendiri juga dapat diserahkan sebagian haknya

kepada pihak ketiga.

Perolehan Hak Pengelolaan melalui konversi ini bukan berarti secara

yuridis Hak Pengelolaan itu diakui, Untuk mendapatkan pengakuan status

Hak Pengelolaan, Pemegang Hak Pengelolaan dalam hal ini instansi

pemerintah, jawatan atau daerah swatantra wajib mendaftarkan Hak

Pengelolaan tersebut ke kantor pertanahan setempat. 39

5. Karakteristik Hak Pengelolaan Tanah.

Dari aspek sifat-sifat dalam hak atas tanah juga dimiliki oleh Hak

Pengelolaan, yaitu:40

1) Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai

Atas Tanah terdapat hak atas tanah yang bersifat right to use

tidak right of disposal. Hak atas tanah ini adalah Hak Pakai yang
38
Urip Santoso, Op. Cit., hlm. 114.
39
Ibid.
40
Irawan Soerodjo, Op. Cit., hlm. 19.

35
haknya hanya mempergunakan tanah untuk kepentingan

pelaksanaan tugas atau usahanya, tidak dapat dialihkan dalam

bentuk apapun dan tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan

dibebani Hak Tanggungan. Hak atas tanah ini adalah Hak Pakai

yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga Pemerintah Non

Departemen, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota,

Perwakilan Negara Asing, Perwakilan Badan Internasional, dan

badan keagamaan dan badan sosial.

2) Hak atas tanah dapat dilepaskan atau diserahkan oleh

pemegang haknya untuk kepentingan umum atau kepentingan

pihak lain dengan atau tanpa pemberian ganti kerugian. Hak

Pengelolaan pun juga dapat dilepaskan atau diserahkan oleh

pemegang haknya untuk kepentingan umum atau kepentingan

pihak lain dengan atau tanpa pemberian ganti kerugian;

3) Hak atas tanah dapat hapus karena diterlantarkan oleh

pemegang haknya yang diatur dalam UUPA dan Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Hak Pengelolaan pun juga

dapat hapus karena diterlantarkan oleh pemegang haknya yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998, yang

dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Pemerintah Nomor

11 Tahun 2010.

Berdasarkan pengertian, sifat, dan wewenang dalam Hak

Pengelolaan dapat disimpulkan bahwa Hak Pengelolaan dapat

36
dikategorikan sebagai hak atas tanah yang bersifat right to use tidak right

of disposal. Kalau Hak Pengelolaan dikategorikan sebagai hak atas tanah,

maka pengaturan Hak Pengelolaan yang selama ini diatur dengan

Peraturan Menteri Agraria, Peraturan Menteri Dalam Negeri atau

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ditinjau

kembali dalam bentuk Undang-undang sebagai pelaksanaan dari

ketentuan Pasal 16 Ayat (1) Huruf h UUPA.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan

ditemukan ciri-ciri Hak Pengelolaan, yaitu:41

1) Berdasarkan sifat dan kewenangannya, Hak Pengelolaan

merupakan hak atas tanah yang bersifat right to use tidak right of

disposal;

2) Hak Pengelolaan hanya dapat dipunyai oleh badan hukum

Pemerintah yang memunyai tugas pokok dan fungsinya

berkaitan dengan pengelolaan tanah;

3) Tanah Hak Pengelolaan dipergunakan untuk kepentingan

mendirikan bangunan;

4) Hak Pengelolaan terjadi melalui penegasan konversi atas hak

penguasaan atas tanah Negara dan pemberian hak atas tanah

negara;

5) Hak Pengelolaan wajib didaftarkan oleh pemegang haknya ke

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk diterbitkan sertipikat

sebagai tanda bukti haknya;


41
Ibid.¸ hlm. 19.

37
6) Kewenangan dalam Hak Pengelolaan ada yang beraspek publik

dan beraspek privat;

7) Kewenangan dalam Hak Pengelolaan ada yang bersifat internal

dan bersifat eksternal;

8) Tanah Hak Pengelolaan dapat dipergunakan sendiri oleh

pemegang haknya dan dapat dipergunakan oleh pihak lain atas

persetujuannya;

9) Pemegang Hak Pengelolaan berwenang merencanakan

peruntukan dan penggunaan tanahnya;

10) Pemegang Hak Pengelolaan berwenang mempergunakan

tanahnya untuk keperluan pelaksanaan tugas atau usahanya;

11) Pemegang Hak Pengelolaan berwenang menyerahkan bagian-

bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dan atau

bekerja sama dengan pihak ketiga;

12) Tanah Hak Pengelolaan tidak berjangka waktu tertentu, artinya

berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk pelaksanaan tugas

atau usahanya;

13) Tanah Hak Pengelolaan tidak dapat dialihkan dalam bentuk

apapun kepada pihak lain;

14) Tanah Hak Pengelolaan tidak dapat dijadikan jaminan utang

dengan dibebani Hak Tanggungan;

38
15) Batas maksimal tanah Hak Pengelolaan yang dapat dikuasai

oleh pemegang haknya ditetapkan oleh Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia;

16) Tanah Hak Pengelolaan dapat diterbitkan Hak Guna Bangunan,

Hak Pakai, atau Hak Milik;

17) Pemegang Hak Pengelolaan dapat melepaskan haknya untuk

kepentingan pihak lain;

18) Tanah Hak Pengelolaan yang tidak dipergunakan untuk

kepentingan pelaksanaan tugas atau usahanya dapat ditetapkan

sebagai tanah terlantar.

39
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian.

Penelitian ini menggunakan penelitian normatif, yaitu penelitian

hukum yang meletakkan hukum sebagai sistem norma. 42 Sistem norma

yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan

perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dengan pengertian

penelitian yang dilakukan dengan menganalisis substansi Peraturan

Perundang-undangan atas pokok permasalahan mengenai penyertaan

modal (inbreng) berupa penggunaan lahan hak pengelolaan terhadap

perseroan terbatas.

B. Pendekatan Penelitian.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan

tipe penelitian yang diambil penulis. Oleh karena itu pendekatan yang

digunakan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan konsep (conceptual approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut


42
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 53..

40
paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, sedangkan pendekatan

konsep (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. 43

Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach) dilakukan dengan

menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang

bersangkutan dengan isu hukum yang tengah dikaji. Diantaranya

pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan ini dilakukan

dengan cara melihat dari pandangan pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang mengenai inbreng berupa tanah pada Perseroan Terbatas.

C. Bahan Hukum.

Bahan hukum yang digunakan untuk keperluan penelitian yang

bersifat normatif dalam penelitian ini adalah:

1) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif berupa peraturan perundang-undangan. 44 Bahan

hukum yang penulis gunakan di dalam penulisan ini yakni KUH

Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar-

Dasar Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961

tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda Yang Ada

Di Atasnya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953

tentang Hak Penguasaan Atas Tanah-tanah Negara, Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

43
Ibid., hlm. 93.
44
Ibid., hlm. 141.

41
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan

Pemerintah Nomor 36 Tahun 1997 tentang Pengenaan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Pemberian

Hak Pengelolaan, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 11

Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah

Terlantar, serta akta perjanjian yang terkait dengan penilitian ini.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang mendukung

bahan hukum primer yang diperoleh melalui studi kepustakaan,

buku literatur hukum atau bahan hukum tertulis lainnya. 45 Bahan

hukum sekunder dalam hal ini ialah doktrin-doktrin diperoleh dari

buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini dan bacaan-

bacaan lain yang berhubungan dengan penelitian yang mana

bertujuan untuk menunjang bahan hukum primer.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan

identifikasi peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan

sistematisasi bahan hukum sesuai permasalahan penelitian. Karena itu

teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan studi kepustakaan.

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, menelaah,

mencatat membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya

45
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 151.

42
dengan penyertaan modal (inbreng) perseroan dalam bentuk penggunaan

lahan hak pengelolaan. 

E. Analisis Bahan Hukum.

Bahan-bahan yang telah diperoleh, baik berupa bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder, akan dianalisis dengan metode analisis

deskriptif secara kualitatif, yaitu dengan cara menganalisis bahan-bahan

hukum kemudian dirangkai secara sistematis yang selanjutnya akan

memberikan gambaran atau pemaparan atas penelitian sebagaimana

penelitian telah dilakukan yakni terkait Penggunaan Lahan Hak

Pengelolaan oleh PT. Melati Bhakti Satya sebagai bentuk penyertaan

modal (inbreng) pada PT. Kaltim Kariangau Terminal.

43
DAFTAR PUSTAKA

A.P. Parlindungan. 1994. Hak Pengelolaan Menurut Sistem Undang-


Undang Pokok Agraria. Bandung: Mandar Maju.

Abdul Muis. 2006. Hukum Persekutuan dan Perseroan. Medan: Fakultas


Hukum Universitas Sumatera Utara.

Abdul R. Saliman. Hermansyah dan Ahmad Jalis. 2005. Hukum Bisnis


untuk Perusahaan (Edisi Ke-2). Jakarta: Kencana.

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung:


Citra Adity Bakti.

Agus Budiarto. 2002. Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri


Perseroan Terbatas. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Ahmad Yani dan Widjaya Gunawan . 2008. Seri Hukum Bisnis Perseroan
Terbatas. Raja Grafindo Persada. Jakarta:. 2008. hlm. 7.

Boedi Harsono. 2007. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria: Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta:
Djambatan.

Chatamarrasjid. 2000. Menyikapi Tabir Perseroan Terbatas (Piercing The


Corporate Veil) Kapita Selekta Hukum Perusahaan. Bandung: Citra
Aditya Bakti.

Effendi Perangin. 1995. Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari


Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: Rajawali.

Eman Ramelan. 2002. Hak Pengelolaan Setelah Berlakunya Peraturan


Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
9 Tahun 1999. Surabaya: Yuridika Vol. 15 Nomor 3 Fakultas Hukum
Universitas Airlangga.

Irawan Soerodjo. 2014. Hukum Pertanahan: Hak Pengelolaan Lahan


(Eksistensi. Pengaturan dan Praktik). Yogyakarta: Laksbang
Mediatama.

44
Jamin Ginting. 2007. Hukum Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 tahun
2007). Bandung: Citra Aditya Bakti.

M. Yahya Harahap. 2013. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar


Grafika.

Maria S.W. Sumardjono. 2007. Hak Pengelolaan: Perkembangan.


Regulasi. dan Implementasinya. Yogyakarta: Jurnal Mimbar Hukum
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Maria S.W. Sumardjono. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi


Sosial dan Budaya. Jakarta: Kompas.

Maulana and Partners Law Firm. 2017. Opini Hukum Mengenai


Penyertaan Modal Inbreng dalam Pengelolaan Lahan di Provinsi
Kalimantan Timur. Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

Subekti. 1987. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa.

Sudikno Mertokusumo. 2008. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar.


Yogyakarta: Liberty.

Sujud Margono. 2008. Hukum Perusahaan Indonesia: Catatan atas


Undang-Undang Perseroan Terbatas. Jakarta: Novindo Pustaka
Mandiri.

Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.

Tri Budiyono. 2011. Hukum Perusahaan: Telaah Yuridis Terhadap


Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas. Salatiga: Griya Media.

Urip Santoso. 2010. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta:
Prenada Media.

Urip Santoso. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta:
Prenada Media.

Widya Harnisa. Nyulistiowati Suryanti. dan Betty Rubiati. 2018. Status Hak
Atas Tanah Yang Dijadikan Modal Perseroan Terbatas Tanpa
Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah. Bandung: Acta Diurnal
Jurnal Hukum Kenotariatan dan Ke-PPAT-an Universitas Padjajaran.

45
Winahyu Erwiningsih. 2009. Hak Menguasai Negara Atas Tanah.
Yogyakarta: Total Media Universitas Islam Indonesia.

46

Anda mungkin juga menyukai