Pendahuluan
Pendirian Perseroan Terbatas (PT) dilakukan melalui penyertaan modal
(inbreng) dari para persero atau pemegang saham. Pendirian suatu
perseroan pada dasarnya dibentuk atas modal yang disetorkan oleh para
pendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang mendefinisikan
bahwa perseroan merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham. Lebih lanjut, Pasal 32 Juncto Pasal 33 UUPT
menentukan bahwa modal perseroan terdiri dari modal dasar, modal disetor
dan modal ditempatkan.
Penyetoran saham yang dilakukan dalam bentuk lain, terutama tanah, dalam
pelaksanaannya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku, salah
satunya ketentuan mengenai peralihan hak atas tanah. Peralihan hak atas
tanah harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat untuk dilakukan
balik nama yang berdasarkan pada akta pemasukan ke dalam perusahaan
yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang.
Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah menentukan bahwa kepada pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah. Sertifikat
merupakan surat tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah milik
atas satuan rumah susun, tanah wakaf dan hak tanggungan yang masing-
masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan,
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Angka 21 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Masalah inbreng lahan hak pengelolaan yang statusnya masih belum jelas
membuat operasional kepelabuhanan di PT. Kaltim Kariangau Terminal
terganggu. Hal tersebut diakibatkan beban sewa lahan yang masih
ditanggung korporasi yang seharusnya biaya sewa bisa digunakan untuk
sektor lain seperti pengadaan alat-alat operasional. Sebagai pemegang
saham PT. Melati Bhakti Satya juga tetap memperoleh deviden dari PT.
Kaltim Kariangau Terminal sehingga PT. Pelabuhan Indonesia IV (Persero)
merasa keberatan. Hal tersebut diakibatkan selama ini selain inbreng lahan
yang belum dimasukkan ke dalam perseroan PT. Pelabuhan Indonesia IV
(Persero) juga memasukkan modal yang lebih banyak termasuk untuk
membayar sewa lahan tersebut.
Tinjauan Pustaka
1. Perseroan Terbatas
Perseroan terbatas
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas (UUPT) disebutkan dengan jelas definisi dari
Perseroan Terbatas (PT) adalah.
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-
Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Inbreng
Secara umum penyetoran setiap bagian dari modal saham yang diambil
bagiannya dilakukan dengan uang tunai, tetapi dalam Pasal 34 Ayat (1)
UUPT terdapat ketentuan bahwa penyetoran atas modal saham dapat
dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya. Berdasarkan
penjelasan pasal ini, pada umumnya penyetoran modal adalah dalam bentuk
uang.
Penyetoran modal dalam bentuk benda tidak bergerak yakni tanah dan/atau
bangunan sebagaimana yang diatur pada Pasal 34 Ayat (3) UUPT harus
diumumkan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari setelah akta pendirian Perseroan ditandatangani atau
setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) memutuskan penyetoran
modal tersebut.
2. Hak Pengelolaan Tanah
Pengertian Hak Pengelolaan
Hak Atas Tanah yang disebutkan dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA dijabarkan
macamnya dalam Pasal 16 Ayat (1) dan Pasal 53 Ayat (1) UUPA. Pasal 16 Ayat (1)
UUPA menetapkan macam-macam hak atas tanah, yaitu:
1) Hak Milik;
2) Hak Guna Usaha;
3) Hak Guna Bangunan;
4) Hak Pakai;
5) Hak Sewa untuk Bangunan;
6) Hak Membuka Tanah;
7) Hak Memungut Hasil Hutan;
8) Hak Atas Tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 53 Ayat (1) UUPA menetapkan macam-macam hak atas tanah yang
bersifat sementara, yaitu:
1) Hak Gadai;
2) Hak Usaha Bagi Hasil;
3) Hak Menumpang;
4) Hak Sewa Tanah Pertanian.
Dalam realita terdapat Hak Pengelolaan (HPL) yang muncul sejak tahun 1965
melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan
Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Kebijaksanaan Selanjutnya.
Maria S.W. Sumrdjono menyatakan bahwa dalam praktik terdapat berbagai jenis
Hak Pengelolaan, yakni:
1) HPL Pelabuhan;
2) HPL Otorita;
3) HPL Perumahan;
4) HPL Pemerintah Daerah;
5) HPL Transmigrasi;
6) HPL Instansi Pemerintah;
7) HPL Industri/Pertanian/Pariwisata/Perkeretaapian.
Secara tersurat, UUPA tidak menyebut Hak Pengelolaan, tetapi hanya
menyebut pengelolaan dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA, yaitu:
Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan
hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau memberikannya
dalam pengelolaan (garis bawah penulis) kepada suatu badan penguasa
(Departemen, Jawatan, atau Daerah Swatantra) untuk digunakan bagi pelaksanaan
tugasnya masing-masing.
Penerima Hak Pengelolaan
Menurut Irawan Soerodjo melalui penjabaran peraturan perundang-undangan Hak
Pengelolaan dapat diberikan kepada:
1) Perusahaan Pembangunan Perumahan yang seluruh modalnya berasal
dari Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah;
2) Industrial Estate yang seluruh modalnya dari Pemerintah yang berbentuk
Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero), dan
dari Pemerintah Daerah yang berbentuk Perusahaan Daerah (PD) seperti
yang diatur pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1997
tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena
Pemberian Hak Pengelolaan;
3) Penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Pemerintah Daerah Tingkat I (Provinsi), Pemerintah Daerah
Tingkat II (Kabupaten atau Kota), Lembaga Pemerintah lainnya, dan
Perusahaan Umum (Perum) Pembangunan Perumahan Nasional
(Perumnas);
4) Dalam Penjelasan Pasal 2 Huruf a tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan
disebutkan bahwa termasuk lembaga Pemerintah lainnya adalah Otorita
Pengembangan Daerah Industri Batam, Badan Pengelola Gelanggang
Olahraga Senayan, dan lembaga sejenis diatur dengan Keputusan
Presiden;
5) Pasal 67 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
mengatur mengenai badan-badan hukum yang dapat diberikan Hak
Pengelolaan, adalah: (1) Instansi Pemerintah, termasuk Pemerintah
Daerah; (2) Badan Usaha Milik Negara (BUMN); (3) Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD); (4) PT Persero; (5) Badan Otorita; (6) Badan-badan
hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Landasan Hukum.
KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar-Dasar Pokok
Agraria, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas
Tanah dan Benda Yang Ada Di Atasnya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang
Hak Penguasaan Atas Tanah-tanah Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah,
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1997 tentang Pengenaan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Pemberian Hak Pengelolaan, Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar, serta akta perjanjian