Anda di halaman 1dari 28

BAB II

KONSEP DAKWAH DAN METODE DAKWAH SECARA UMUM

A. Sejarah Dakwah

1. Kepercayaan Musyrik (Politheisme)

Masyarakat Makkah sebelum datangnya Islam adalah penganut ajaran yang

dibawa oleh Nabi Ibrahim as sebab jazirah Arab pada masa sebelum Nabi

Muhammad Saw sudah pernah kedatangan dakwah dari para nabi utusan Allah.

Diantaranya ialah Nabi Ibrahim dan Ismail as, namun sebab kejahilan mereka dalam

beragama, akhirnya mereka mengubah ajaran tauhid, yang dibawa Nabi Ibrahim

tersebut dengan ajaran-ajaran syirik, seperti menyembah patung, matahari, kayu dan

lain sebagainya.

Menurut K.H. Moenawar Chalil bahwa, di antara kepercayaan yang dianut

masyarakat Makkah sebelum datangnya Islam antara lain adalah, “Menyembah

malaikat, menyembah jin, ruh, dan hantu, menyembah bintang-bintang, menyembah

berhala, dan agama Yahudi dan Nasrani”.1 Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Menyembah Malaikat

Salah satu kepercayaan yang dianut masyarakat Makkah sebelum datangnya

Islam, ialah mereka menyembah dan menuhankan para malaikat. Inilah kebiasaan

jahil dalam beragama masyarakat Makkah pada masa itu.

1
K.H. Moenawar Chalil, Kelengkapn Tarikh Nabi Muhammad Saw, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001) h. 22.

19
20

Sebagian diantara mereka ada yang menyembah dan menuhankan malaikat.


Mereka menganggap bahwa para malaikat itu, sebagai wakil Tuhan untuk
memberikan segala sesuatu yang diminta atau dihajatkan oleh manusia dan
untuk mencabut kembali pemberian itu. Oleh sebab itu, mereka selain
menyembah Tuhan, juga menyembah malaikat. Bahkan ada juga di antara
mereka yang menuhankan malaikat dan menganggap bahwa para malaikat itu
anak-anak perempuan (putri-putri Allah).2

Itulah kegiatan yang mereka lakukan dalam beragama yang terlalu

mengagung agungkan malaikat dan menganggap bahwa malaikat itu sebagai wakil

Tuhan yang dapat mengambil dan memusnahkan pemberianNya dan mereka juga

menganggap bahwa para malaikat yang mereka sembah itu adalah anak perempuan

Tuhan.

b. Menyembah Jin, Ruh, dan Hantu

Selanjutnya, di antara mereka ada yang memandang bahwa jin-jin dan ruh
para leluhur yang telah meninggal dunia itu mempunyai hubungan langsung
atau hubungan keturunan dengan para malaikat, sehingga dengan sendirinya
mereka mempunyai hubungan keturunan juga kepada Tuhan. Karena itulah,
mereka lalu menuhankan dan menyembah jin-jin, ruh-ruh, dan hantu-hantu.
Kaitanya dengan itu, ada diantara mereka yang menghormati atau memuliakan
beberapa tempat yang mereka pandang tempat jin, diantaranya ada satu tempat
yang terkenal bernama Darahim. Mereka selalu mengadakan kurban,
menyembelih binatang ditempat itu agar terhindar dari bencana yang
didatangkan olehnya.3

Sungguh ini adalah suatu syirik yang sangat besar yang dilakukan masyarakat

Makkah masa itu, sampai-sampai karena kebodohanya mereka menyembah apa yang

sesungguhnya tidak layak untuk di sembah, namun karena hati mereka sudah di

penuhi dengan kesyirikan, akhirnya mereka beranggapan apa yang mereka lakukan

adalah suatu kebenaran.


2
Ibid., h. 23.
3
Ibid., h. 24.
21

c. Menyembah Bintang-bintang

Selain kepercayaan yang dianut masyarakat Makkah sebelum datangnya

Islam ialah dengan cara menyembah bintang-bintang, sebagaimana yang diungkapkan

oleh K.H. Moenawar Chalil adalah,

Sebagian diantara bangsa Arab di daerah Arab ada yang menyembah bintang-
bintang, yang dimaksud dengan bintang-bintang adalah matahari, bulan, dan
bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, yang bertaburan dan beribu-ribu
banyaknya itu. Mereka menyembah bintang-bintang karena mengaggap bahwa
bintang-bintang itu diberi kekuasaan oleh tuhan untuk mengatur alam yang luas
ini. sebab itu, sudah sepatutnya bintang-bintang itu dihormati, dimuliakan dan
disembah karena bintang-bintang itu pun menyembah Tuhan. Demikianlah
kepercayaan mareka sehingga mereka langsung menyembah bintang-bintang.4

Mereka menyembah bintang, bulan, dan matahari ini karena beranggapan

bahwa bintang-bintang tersebut dapat mengatur dan memberikan kekuasaan terhadap

alam semesta ini. Karena itulah mereka beranggapan bahwa benda-benda tersebut

sudah seharusnya untuk dihormati dan disembah karena bintang-bintang itu pun

menyembah Tuhan.

d. Menyembah Berhala

Sebagian dari bangsa Arab di daerah ketika itu ada yang menyembah berhala-

berhala atau arca-arca yang terbuat dari logam-logam atau dibuat dari kayu dan batu.

Sepanjang riwayat, penyebab di antara mereka hingga menyembah berhala


atau arca. Karena sebagian besar dari mereka terlalu memuliakan Masjidil
Haram dan haji pimpinan (syariat) Nabi Ibrahim, mereka kembali dengan
membawa batu-batu yang ada di sana ke negeri mereka masing-masing.
Kemudian batu-batu yang di bawanya itu di mana saja mereka berhenti lalu
ditaruhnya di tempat yang istimewa, lalu batu-batu itu mereka kelilingi oleh
mereka sebagaimana biasa mereka thawaf mengelilingi Ka’bah, mereka
mengerjakan demikian itu dengan tujuan hendak mengambil berkah, akibat

4
Ibid., h. 22.
22

sangat cinta dan menghormati Ka’bah. Padahal mereka baru saja kembali dari
tanah suci, dari Ka’bah, serta baru mengerjakan haji dan umrah menurut agama
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kemudian, lama kelamaan, tertariklah mereka
untuk menyembah batu-batu dan berhala-berhala itu, dan mereka lupa akan
petunjuk agama nabi dan Nabi Ismail yang sebenarnya.5

Bila ditinjau dari kondisi Psikologis, masyarakat Makkah menyembah berhala

adalah di karenakan mereka terlalu mengagungkan dan menghormati Ka’bah,

akhirnya wujud kecintaan yang ada pada diri mereka, diaplikasikan dengan cara

menyembah berhala-berhala yang mereka bawa dari areal tanah suci Makkah, dengan

harapan agar Tuhan selalu hadir dalam kehidupan,

Kehidupan mereka masih nomaden dan sangat terbelakang dan akal mereka

belum mampu menerima konsep ketuhanan yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala

dan tidak dapat dijangkau oleh indera mereka yang mereka anggap patung-patung

tersebut adalah lambang dari Tuhan menurut pandangan mereka.

e. Agama Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)

Kepercayaan Politheisme inilah yang tersebar luas di seluruh Semenanjung

Arabia, namun agama lain dapat hidup disamping kepercayaan yang ada ialah agama

Yahudi yang dianut oleh bangsa Yahudi yang ajarannya memang cocok dengan

watak bangsa itu. Menurut Thomas Arnold sebagaimana yang dikutip oleh K.H.

Moenawar Chalil menyatakan bahwa, Agama ini mulai masuk ke Semenanjung.

Arabia dikala bangsa itu mendapat penindasan dari pemerintahan Romawi, terutama

di pemerintahan Kaisar Hadnan.6

5
Ibid., h. 22-23.
6
Ibid., h. 17.
23

Orang Yahudi hidup berpencar-pencar diseluruh semenanjung Arabia, seperti

dikota Yasrib, Tina, Fadaq, Khaibar dan lainnya. Mereka menetap di kota itu sudah

sekian generasi. Kegiatan mereka seperti berniaga dan ada pula yang membungakan

uang (riba’). Dengan perniagaan inilah orang Yahudi bergaul dengan orang Arab, dan

ada pula yang menikahi wanita Arab tersebut namun jumlahnya hanya sedikit.7

Orang Arab telah mendengar dari orang Yahudi tentang Nabi Musa yang sangat

keras menentang bangsanya yang menyembah patung emas atau anak sapi yang

bertentangan dengan keyakinan tauhid mereka juga mengetahui tentang adanya hari

kebangkitan dan hari dimana manusia seluruhnya berkumpul di Padang Mashyar,

tentang adanya syurga dan neraka. Dan tentang adanya alam yang tidak dapat

dijangkau oleh pengelihatan mata yang dahulunya belum pernah mereka dengar,

karena sebagian besar orang Arab tidak mempercayai adanya hari akhir. Sebagaimana

dijelaskan dalam al-Qur’an (S. Al-Jaatsiyah 24),

        


   
         
Artinya: Dan mereka berkata: kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan didunia
saja. Kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain
masa.

Karena piciknya pikiran mereka belum mampu memikirkan yang lebih jauh,

belum mampu memikirkan adanya alam yang lain, sebagaimana kepercayaan orang

Mesir Kuno. Maka sesudah mereka bergaul dengan orang Yahudi barulah pikiran

mereka terbuka dan bertambah luas, itupun sudah melalui waktu yang cukup lama.

7
Muhammad Mustafa Atha, Sejarah Dakwah Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982), h. 17.
24

B. Pengertian Dakwah

Dakwah berasal dari kata da’a, yad’u, da’watan (ً‫ َد ْع َو ة‬,‫ يَ ْد عُ و‬,‫ ) َد َع ا‬yang

artinya ajakan, seruan, atau mengundang. Untuk mendapatkan pengertian dakwah

yang agak lengkap, berikut kutipan pendapat, antara lain:

M. Quraish Shihab (1996) menyatakan, “Dakwah adalah seruan atau ajakan

kepada keinsafan atau usaha mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna, baik

terhadap pribadi maupun masyarakat”.8

Menurut Hamzah Ya’kub bahwa, “Dakwah adalah mengajak umat manusia

dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya”.9

Pengertian yang diungkapkan oleh Hamzah Yakub mengutamakan metode

dalam berdakwah yakni hikmah bijaksana, tidak dengan pemaksaan atau kekerasan.

Kemudian menurut pendapat Drs. Slamet Muhaimin Abda bahwa, “Dakwah

Berarti mengajak baik pada diri sendiri ataupun pada orang lain untuk berbuat baik

sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah dan RasulNya”.10

Menurut penjelasan HMS Nasrudin Latif sebagaimana yang dikutip oleh

Rafi’udin dkk adalah “Dakwah artinya setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau

tulisan yang bersifat menyeru, mengajak memanggil manusia lainnya untuk beriman

8
Kayo Khatib Pahlawan, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007), h. 26.
9
Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam, Teknik Dakwah dan Leadership, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1992), h. 13.
10
Slamet Muhaimin Abda, Prinsip-Prinsip Metodologi Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas,
1994), h. 17.
25

dan mentaati Allah SWT, sesuai dengan garis-garis aqidah dan syari’ah serta ahlak

Islamiyah”.11

Pengertian dakwah menurut Ensiklopedi Islam adalah “Setiap kegiatan yang

bersifat menyeru, mengajak, memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah

SWT sesuai dengan garis aqidah, syari’at dan akhlak Islamiyah”.12

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Dakwah berarti

penyiaran, propaganda, penyiaran agama dan pengembangannya dikalangan

masyarakat, seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengenal ajaran agama”.13

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa secara garis besar

ruang lingkup kegiatan dakwah dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) hal.

Pertama, memberikan bimbingan kearah pembinaan yang bersifat akidah,

akhlak, dan mua’amalah. Konteks ini lebih menekankan pada kedudukan manusia

sebagai hamba Allah yang harus menjadikan seluruh aktivitasnya untuk beribadah

kepadaNya.

Kedua, memberikan bimbingan kearah pembinaan yang bersifat amaliah yang

meliputi bidang-bidang ekonomi, pendidikan, rumah tangga, sosial, kesehatan,

budaya, serta politik dan hubungan bilateral, dan sebagainya dalam rangka

meningkatkan kehidupan yang harmonis guna memperoleh kemaslahatan dunia yang

11
Rafi’udin dan Maman Abdul Djaliel, Prinsip dan Dasar Strategi Dakwah, (Bandung,
Pustaka Setia), h. 24.
12
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, !
994), h. 281.
13
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2001), h. 205.
26

diridhoi Allah. Konteks ini lebih menekankan pada fungsi manusia selaku khalifah

Allah dibumi yang bertugas memakmurkan bumi dan memperbaikinya.14

Dari beberapa pengertian-pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan

bahwasanya dakwah ialah, “Kegiatan mengajak, menyeru, menghimbau dan

membimbing umat manusia dengan hikmah dan bijaksana tanpa ada paksaan sesuai

dengan garis-garis aqidah dan syari’ah serta ahlak Islamiah untuk mecapai

kebahagiaan dunia maupun akhirat.

Adapun ayat-ayat atau hadist Rasulullah yang berkaitan dengan dakwah

antara lain adalah:

a. Kata dakwah yang artinya ‘do’a’ atau ‘permohonan’ seperti terdapat dalam seperti

terdapat dalam firman surat Al-Baqarah ayat 186:

          
 
     
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

b. Kata dakwah yang artinya ‘menyeru’, seperti dalam surat Yunus ayat 25:
ª !$ #u r (#þ q ã ã ô ‰t ƒ 4 ’n <Î ) Í ‘#y Š É O»n=¡ ¡ 9 $ # “Ï ‰ö k u ‰ur `tB â ä !$ t±o „
4’n<Î) :Þ º uŽÅ À 8 Lì É)tF ó ¡•B
Artinya: Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).15

c. Kata dakwah yang artinya ‘mengajak’ seperti dalam surat Yusuf ayat 33:
14
Ibid., h. 27.
15
Ibid., h. 168.
27

t A $ s % Éb >u‘ ß `ôf Åb¡9$# =ym r & ¥’n<Î) $£ J ÏB û Ó Í_ tRq ããô‰tƒ Ïm ø ‹s 9Î) (


£ žw Î)ur ô$ ΎóÇ s? ÓÍh _tã
# $:è d y‰ø‹x . Ü =ô¹ r& £`ÍköŽs9Î) `ä .r&ur z `Ïi B tûü Î=Îg»p g ø`
Artinya: Yusuf berkata "Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi
ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu
daya mereka, tentu Aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka)
dan tentulah Aku termasuk orang-orang yang bodoh.16

d. Kata dakwah yang berarti ‘mengundang’, seperti terdapat dalam hadist yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Artinya: Dari Ibnu Umar, Apabila salah seorang kamu diundang menghadiri
walimah, maka hendaklah dia menghadirinya, (HR. Bukhari).17

Dari berbagai macam pengertian di atas dapat diformulasikan bahwa dakwah

adalah setiap proses aktivitas dalam rangka mengajak, menyeru, memanggil, dan

membimbing manusia baik perindividu maupun kelompok kepada ajaran yang lebih

dahulu diyakini dan diamalkan da’i sendiri agar mendapat kebahagiaan yang bersifat

universal baik didunia maupun di akhirat.

C. Tujuan Dakwah

Kemuliaan dari suatu usaha adalah dengan melihat cara dan tujuan yang ingin

dicapainya, betapa mulianya tugas dakwah, sehingga dakwah memiliki tujuan-tujuan

yang luhur dan bermanfaat bagi manusia. Di antara tujuan-tujuan yang luhur dari

dakwah antara lain adalah sebagai berikut:

Menurut M. Natsir tujuan Dakwah adalah,


16
Ibid., h. 190.
17
Imam Abdullah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari, terj. Achamad Sunarto, (Semarang:
CV. Asy- Syifa’, 1993), Jilid VII, h. 97.
28

1. Memanggil kita kepada syari’at, untuk memecahkan persoalan hidup


perseorangan atau persoalan rumah tangga, berjemaah bermasyarakat,
berbangsa-bersuku bangsa, bernegara-berantar negara.
2. Memanggil kita kepada fungsi hidup kita sebagai hamba Allah diatas dunia
yang terbentang luas ini, berisikan manusia berbagai jenis, bermacam pola
pendirian dan kepercayaannya, yakni fungsi sebagai syuhada, yang menjadi
pelopor dan pengawas bagi umat manusia.
3. Memanggil kita kepada tujuan hidup kita yang hakiki, yakni menyembah
Allah. Demikianlah kita mempunyai fungsi dan tujuan hidup.18

Selanjutnya tujuan dakwah yang dikemukakan oleh Asmuni Syukir antara lain:

1. Tujuan Umum Dakwah adalah mengajak umat manusia (meliputi orang


mukmin maupun musyrik) kepada jalan benar yang diridhai Allah SWT. Agar
dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat.
2. Tujuan Khusus dakwah:
a. Mengajak umat manusia yang sudah memeluk agama Islam untuk
selalu meningkatkan taqwanya kepada Allah.
b. Membina mental agama (Islam) bagi kaum yang masih muallaf.
c. Mengajak umat manusia yang belum beriman agar beriman kepada
Allah (memeluk agama Islam).
d. Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari
fitrahnya.19

Dari keterangan di atas betapa mulianya tujuan dakwah, sebab diantaranya

ialah menginginkan umat manusia itu hidup dalam keridhaan Ilahi, sungguh tidak ada

tujuan yang lebih mulia dari tujuan tugas dakwah ini, pantaslah Allah memberi kabar

gembira bagi da’i bahwa perkataan mereka adalah sebaik-baik dari perkataan.

Selanjutnya diantara tujuan dakwah sebagaimana dikemukakan oleh

Rafi’udin, S.Ag dan Drs. Maman Abdul Djaliel menyatakan, “Mengajak manusia

kejalan Tuhan, jalan yang benar, yaitu Islam. Disamping itu, dakwah juga bertujuan

18
Thahir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.
70.
19
Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 17.
29

untuk mempengaruhi cara berfikir manusia, cara merasa, cara bersikap dan bertindak,

agar manusia bertindak sesuai prinsip-prinsip Islam”.20

Di dalam Ensiklopedi Islam tujuan dakwah adalah “Mewujudkan kebahagiaan

dan kesejahteraan hidup di dunia dan diakhirat yang diridhai oleh Allah SWT, yakni

dengan menyampaikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan

kesejahteraan sesuai dengan segi atau bidangnya masing-masing”.21

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan tujuan dakwah adalah mengajak,

membimbing, mempengaruhi, guna mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan

hidup di dunia maupun akhirat dengan memiliki pola hidup sesuai dengan ajaran

Islam baik dengan cara bertindak, cara berfikir dan cara mengatasi problematika

kehidupan agar manusia bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang dapat

mendatang kesejahteraan sesuai dengan segi atau bidangnya masing-masing.

Secara sederhana tujuan utama dakwah yakni membimbing manusia selaku

hamba untuk mengikuti semua aturan sang pencipta melalui ajaran Islam. Keharusan

tersebut bukanlah suatu bentuk kedzaliman Allah namun justru bukti kebesaranNya

karena semua sistem Islam telah sesuai dengan kondisi jasmaniah dan ruhiyah

manusia.

D. Prinsip-Prinsip Dakwah

20
Rafi’udin dan Maman Abdul Djaliel, Op. Cit., h. 32.
21
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit., h, 281.
30

Perubahan masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, masyarakat

tertutup menjadi terbuka, masyarakat agraris menjadi masyarakat industri dan

seterusnya bahkan lebih dari itu, perubahan sistem kepercayaan sangat potensial

untuk terjadi. Mencermati kondisi yang demikian dakwah Islam memiliki prospek

yang cukup baik dari masyarakat yang semula terpencil dan kini tengah menuju pada

perubahan dalam berbagai aspek kehidupan akibat kebijakan pembangunan yang

mulai menyentuh kawasan mereka.

Hal terpenting disini adalah kesungguhan hati dan keyakinan da’i (subyek

dakwah) dalam mengajak orang lain (obyek dakwah) untuk mengamalkan aqidah

Islam disertai pengamalan oleh pendakwah itu sendiri. Dengan kata lain, pihak

pendakwah harus benar-benar mampu menjadi tokoh identifikasi uswatun hasanah

bagi masyarakt seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.22 Sebagai mana dalam

Al-Qur’an dijelaskan Q.s Yusuf Ayat 108 menyatakan,

          
   
    
Artinya: Katakanlah, "Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,
Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".23

Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah menyeru kepada umat

manusia, Inilah jalanku, siapa suka boleh ikut, dan siapa yang tidak mau tidak

apalah, aku akan berjalan terus diatas jalanku yang lurus.


22
Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Jakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 14.
23
Departemen Agama, Op. Cit., h. 227.
31

Ada beberapa 5 prinsip dakwah antara lain:

1. Prinsip keteladanan.
2. Penegakan kebenaran dan jalan yang lurus.
3. Berlandaskan kepada akal (logika).
4. Prinsip kontinuitas dan kelanggengan yang garis-garisnya merupakan
penunjukan Allah pelaksanaan perintah-Nya. Disampaikan secara penuh
keberanian dan keikhlasan.
5. Dilakukan oleh seorang mukmin yang berpredikat sebagai ahsanu qoulan wa
amalan dan mengandung nilai ketundukan atau kepatuhan kepada al khalik24

Dari beberapa poin prinsip dakwah diatas dapat disimpulkan, dalam

berdakwah seorang da’i harus mempunyai prinsip-prinsip yaitu, menjadi teladan yang

baik, dakwah harus berlandaskan logika, menegakakn kebenaran, prinsip kontinuitas

yang garis-garis dakwah pelaksananya adalah Allah SWT, yang dilakukan secara baik

dan ikhlas tanpa mengharap imbalan.

E. Objek Dakwah

Salah satu unsur dakwah adalah mad’u yakni manusia yang merupakan individu

atau bagian dari komunitas tertentu. Mempelajari tentang unsur ini merupakan suatu

kepercayaan dalam keberhasilan suatu dakwah.

Objek dakwah adalah manusia yang menjadi audiens yang akan diajak

kedalam Islam secara Kaffah. Mereka bersifat heterogen, baik dari sudut idiologi,

misalnya, atheis, animis, musyrik, munafik, bahkan ada juga yang muslim tetapi fasik

atau penyandang dosa dan maksiat. Dari sudut lain juga berbeda baik intelektualitas,

status sosial, kesehatan dan pendidikan dan seterusnya ada atasan, dan ada bawahan,

24
Siti Muriah, Op. Cit., h. 22.
32

ada yang berpendidikan ada yang buta huruf, ada kaya ada juga yang miskin dan lain

sebagainya. 25

Sehubungan dengan kenyataan-kenyataan diatas, maka dalam pelaksanaan

program kegiatan dakwah perlu mendapatkan konsiderasi yang tepat yaitu meliputi

hal-hal sebagai berikut:

1. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiologis,


berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar, dan kecil serta masyarakat
didaerah marginal dari kota besar.
2. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi struktur
kelembagaan, berupa masyarakat desa, pemerintahan dan keluarga.
3. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari tingkat
usia, berupa golongan anak-anak, remaja, dan orang tua.
4. Sasaran yang dilihat dari segi tingkat hidup sosial-ekonomis berupa golongan
orang kaya, menengah, miskin dan seterusnya.26

Dalam hal ini Clifford Geertz juga memberikan pengelompokan sebagaimana

yang dikutip oleh Siti Muriah yakni,

a. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat dilihat dari segi sosial


kultural berupa golongan priyayi, abangan dan santri(klasifikasi ini terutama
dapat dalam masyarakat di Jawa)
b. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi
okuposional (profesi dan pekerjaan) berupa golongan petani, pedagang,
seniman, buruh, pegawai negeri dan sebagainya.27

Bila dilihat dari kehidupan psikologis, masing-masing golongan masyarakat

tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi dan

kontekstualitas lingkungan mereka. Mengingat dakwah adalah penyampaian ajaran

agama sebagai pedoman hidup yang universal, rasional dan dinamis.kita dapati
25
Ibid., h. 32.
26
Arifin, Psikologi Dakwah, (Suatu Pengantar Studi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 3.
27
Siti Muriah, Op. Cit., h. 34.
33

bahwa dakwah al-Qur’an meengarahkan dakwah kepada semua pihak, semua

golongan dan siapa saja, sesuai dengan misi dakwah Nabi sebagai Rahmatan lil al-

amin.

Masalah strategi ditentukan oleh kondisi obyektif komunikan dan keadaan


lingkungan pada saat proses komunikasi tersebut berlangsung. Dalam kegiatan
dakwah, maka hal-hal yang mempengaruhi sampainya pesan dakwah ditentukan
oleh kondisi obyektif obyek dakwah dan kondisi lingkungannya dengan
demikian maka strategi dakwah yang tepat ditentukan oleh dua faktor tadi.
Sekedar contoh: antara orang desa dan kota tentu berbeda metode penyampaian
pesan yang dipakai. Demikian pula antara petani, pegawai, mahasiswa, sarjana,
anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, wanita, buruh, orang miskin dan orang
kaya dan lain sebagainya.28
Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa, strategi dakwah ditentukan oleh

keadaan mad’u dan lingkungannya. Misalkan, orang kota dan orang desa berbeda

cara penyampaian dakwahnya, orang desa biasanya menggunakan metode kultural,

sedangkan orang kota menggunakan metode dakwah modern. Demikian pula dakwah

terhadap golongan-golongan masyarakatnya yang menuntut da’i harus melihat

strategi yang bagaimana yang harus digunakan.

Sedangkan masalah isi atau materi pesan ditentukan oleh seberapa jauh
relevansi atau kesesuaian isi pesan tersebut dengan kondisi subyektif
komunikan, yaitu "needs" (kebutuhan) atau permasalahan mereka. Dalam
dakwah perlu diketahui kebutuhan apa yang mereka rasakan, dan seberapa jauh
pesan dakwah dapat menyantuni kebutuhan dan permasalahan tersebut.
Relevansi antara isi pesan dakwah dengan kebutuhan tersebut hendaknya
diartikan sebagai ketersantunan yang proporsional, artinya pemecahan masalah
atau pemenuhan kebutuhan yang tidak asal pemenuhan, tetapi yang dapat
mengarahkan atau lebih mendekatkan obyek dakwah pada tujuan dakwah itu
sendiri, dan bukan sebaliknya. Untuk itu maka pengolahan pesan dakwah dari
sumbernya (al-Qur'an dan Sunnah Rasul) akan sangat menentukan.29

28
Rosyad Saleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 53.
29
Ibid., h. 42.
34

Isi atau pesan dakwah disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dari

permasalahan mereka. Dalam berdakwah seorang da’i harus dapat merasakan apa

yang mereka butuhkan dan seberapa jauh isi pesan tersebut dapat menyantuni

kebutuhan dan permasalahan mereka. Materi dakwah harusnya dapat mengarahkan

atau lebih mendekatkan mad’u kepada tujuan dakwah itu sendiri. Maka dari itu materi

dakwah harus bersumber dari al-Qur’an dan hadist.

F. Pengertian Metode

Ketentuan Allah menghendaki manusia berjalan menuju kebenaran. Untuk

tujuan tersebut, pengutusan para Rasul yang ditutup oleh Rasulullah Saw. Adalah

salah satunya, barang siapa yang menerima, memegang komitmen dan mengunakan

metode-metode yang sesuai dengan ajaran agama dalam hidupnya dengan kehendak

Allah, maka akan selamat dunia akhirat.

Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu meta (melalui) dan

hodos (jalan, cara).30 Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia metode

adalah “Cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai maksud, cara kerja

yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan

yang ditentukan”.31

30
Muhammad Arifin, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 61.
31
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2001), h. 637.
35

Menurut Salahiddin Sanusi, metode berasal dari methodus yang berarti cara-

cara, prosedur atau rentetan gerak usaha tertentu untuk mencapai suatu tujuan. 32

Metode adalah cara yang tersusun dan teratur untuk mencapai tujuan.33

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode adalah, cara-cara

berfikir dan teratur, cara kerja yang bersistem dan berprosedur dalam rentetan gerak

untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan guna mencapai maksud dan tujuan.

G. Pengertian Metode Dakwah

Beberapa buku tentang dakwah memberikan keragaman tentang metode yang

digunakan dalam proses dakwah dan berbagai macam cara ataupun teori-teori tentang

metode yang efektif dan efisien dalam berdakwah.

Metode dakwah adalah suatu pendekatan yang dapat dijadikan sebagai pintu

masuk bagi da’i menuju objek dakwah (mad’u), sehingga pemikiran-pemikirannya

dapat diterima oleh objek dakwah (mad’u) secara sukarela dan penuh kesadaran. Dan

lebih signifikan lagi mereka tertarik untuk bergabung dalam barisan gerakan

dakwah.34

Menurut Wardi Bachtiar, yang dikutip oleh Nurseri Hasnah Nasution

menyatakan, istilah metode dakwah diartikan dengan cara-cara yang dipergunakan

32
Salahuddin Sanusi, Methode Diakui Dalam Islam, (Semarang: CV Ramadani, 1992), h.
111.
33
Nurseri Hasnah Nasution, Filsafat Dakwah Teori dan Praktek, (Palembang: IAIN Raden
Fatah Press, 2005), h. 159.
34
Ibid.
36

oleh seorang da’i untuk meyampaikan materi dakwah, al-Islam atau rentetan kegiatan

tertentu35

Metode ini merupakan metode rencana yang sistematis dalam menentukan

strategi dakwah, baik yang berkenaan dengan kemampuan da’i dalam berdakwah,

kesiapan penyampaian dengan bijak, maupun dalam konteks sosialisasi da’i terhadap

mad’u.

Menurut Abdul Karim Zaidan, metode dakwah adalah suatu ilmu pengetahuan

yang berhubungan dengan cara penyampaian (tabligh) dan berusaha melenyapkan

gangguan-gangguan yang akan merintangi.36 Metode dakwah adalah cara-cara

penyampaian ajaran Islam kepada individu, kelompok ataupun masyarakat supaya

ajaran itu cepat dimiliki, diyakini dan dijalankan.37

Dari berbagai pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, Metode

dakwah adalah cara-cara penyampaian dakwah yang dilakukan oleh seorang da’i

(komunikator) sehingga sasaran dakwah (mad’u) mudah memahami dan meyakini

materi dakwah.

H. Prinsip-Prinsip Metode Dakwah

Berangkat dari ruang lingkup dakwah Islamiyah yang amat luas itu maka

implementasi dakwah Rasulullah Saw dilakukan secara bertahab, pertama Rasulullah

35
Ibid.
36
Ibid., h. 160.
37
Salahuddin Sanusi, Op. Cit., h. 111.
37

berdakwah kepada kerabat terdekat, kemudian diperluas kepada kaumnya, dan

diperluas kepada penduduk Mekkah dan sekitarnya, selanjutnya dakwah meluas lagi

mencakup manusia seluruhnya.

Prinsip-prinsip metode dakwah yang harus dipenuhi dalam sosok seorang juru

dakwah adalah,

1. Seorang juru dakwah, harus menjadi teladan dalam amal shaleh.

Maka tidak dikenal padanya, selain kebaikan. Tidak populer selain

ketakwaannya dan komitmennya terhadap Islam baik akidahnya, prinsip maupun

tingkah lakunya38 sebagai mana firman Allah dalam Q.s Ash- Shaff ayat 3,

        


Artinya: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.

Masuk dalam poin ini yakni suatu masalah penting yang dikemukakan yaitu

prinsip metode yang bersifat adil, prinsip metode ini menyatakan bahwa orang yang

tidak memiliki sesuatu tidak dapat memberi sesuatu. Orang yang dapat memberi

hidayah kepada orang lain bila ia mendapat hidayah, oleh karena itu orang yang tidak

baik tidak mungkin akan memperbaiki orang lain.

2. Menempuh cara hikmah (bijaksana) terhadap orang-orang terpelajar dan

intelek, dan melakukan metode mau’idzah hasanah (nasehat yang baik)

dalak menghadapi orang awam dan orang biasa. 39

38
Musthafa Ar-Rafi’i, Potret Juru Dakwah, (Jakarta, Cv. Pustaka Al-Kautsar, 2002), h. 39.
39
Ibid., h. 41.
38

Cara hikmah tidak mungkin terwujud kecuali dengan menggunakan logika

dan daya nalar yang tinggi. Sehingga mereka mendapat kepuasan dengan argumentasi

yang kuat. Begitu pun dengan metode mau’idzah hasanah dengan cara berbicara

yang lembut, menyentuh perasaan yang delengkapi dengan keteladanan juru dakwah

itu sendiri.

3. Seorang juru dakwah harus betul-betul mengusai ilmu yang sesuai dengan

zamannya dan menguasai teori dari berbagai aliran pemikiran.40

Seorang juru dakwah harus paham dan harus betul-betul mengusai ilmu,

sehingga da’i dapat membeberkan kesalahan, penyimpangan-penyimpangan setelah

membandingkan dengan ajaran Islam.

4. Seorang juru dakwah harus lembut dalam menyampaikan nilai-nilai dan

pandangan-pandangan, lembut dalam mengingkari atau menolak

kesesatan.41

seorang juru dakwah harus lembut, santun dan sopan dalam menyeru

perbuatan makruf dan mencegah kemungkaran.

5. Dalam berdakwah harus mempunyai prinsip dan tujuan menarik manfaat

dan menghilangkan kemudharatan, menolak kebinasaan dan menegakkan

agama serta menghancurkan kekuatan lawan.42

40
Ibid.
41
Ibid., h. 42.
42
Ibid., h. 43.
39

Apabila juru dakwah dalam pelaksanaannya itu memandang tidak ada hal

yang membahayakan dan perbuatannya tersebut akan dapat mencegah kemungkaran

yang dilihatnya.

6. Harus sabar dan tabah menghadapi cobaan dan siksaan.43

Seorang juru dakwah harus mempunyai prinsip sabar dan selalu tabah

terhadap cobaan dan siksaan dalam menyebarkan dakwah Islam.

7. Mengetahui tabiat kejiwaan jamaahnya, dengan memperhatikan apa yang

mereka inginkan.44

Seorang juru dakwah harus mempunyai prinsip tahu akan watak kejiwaan

mad’unya, dengan cara melihat dan memperhatikan apa yang dikehendaki mad’u

tersebut.

8. Seorang juru dakwah harus melakukan dengan kekuatan, apabila cara

hikmah, mau’dzah hasanah dan mujadalah (debat) yang baik tidak

mempan.45

Dakwah dengan cara ini disebutkan dalam al-Qur’an al-Karim, Allah SWT

berfirman,

      


   
 
Artinya: Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang
munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah
43
Ibid., h. 46.
44
Ibid., h. 48.
45
Ibid., h. 50.
40

jahannam dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (At-


Taubah: 73)

Seorang juru dakwah harus memiliki kekuatan dalam berdakwah karena

apabila ada hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya mad’u tidak mau menerima

dakwah da’i dan menolak dengan kekerasan ataupun kekuatan. Maka da’i dapat

melawan dan memeranginya.

Inilah beberapa poin prinsip-prinsip metode dakwah yang harus dimiliki oleh

setiap juru dakwah, secara umum yang satu sama lain berkaitan dan saling menopang.

Karena seorang juru dakwah atau da’i tidak mungkin hanya melihat sebagian saja

mad’unya.

I. Bentuk-Bentuk Metode Dakwah

Kebebasan dengan segala bentuk terkhusus dalam berfikir dan kebebasan

menyatakan pendapat, menimbulkan keberanian menentang yang munkar, ataupun

yang salah. Kebebasan seorang da’i yang berani menyuruh kepada ma’ruf dan dan

melarang yang munkar adalah bersumber dari bebasnya jiwa itu sendiri. Untuk itu

apa bila kita ingin membumikan Islam itu sendiri di Indonesia saat ini maka kita

harus menjunjung tinggi asas kebebasan dalam berdakwah yang diiringi dengan

keikhlasan dan kebebasan yang bisa mendorong seorang da’i untuk mencapai target

yang lebih sempurna maka da’i tersebut harus menerapkan metode-metode dalam

dakwahnya.
41

Ada beberapa bentuk-bentuk kerangka dasar metode dakwah, yang dijelaskan

dalam Q.s an-Nahl ayat 125, yakni

a. Bil al Hikmah

Menurut Imam al-Syaukani yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, hikmah

adalah ucapan-ucapan yang benar atau menurut suatu penafsiran argumen-argumen

yang kuat dan meyakinkan.46

Para ulama telah mendifinisikan kata hikmah secara istilah yang diambil dari

pengertian bahasa tersebut antara lain:

1. Al-Hikmah, “mencapai kebenaran dengan ilmu dan akal”. Al-Hikmah dari

Allah adalah mengetahui sesuatu dan menciptakan secara sempurna dan

hikmah bagi manusia adalah mengetahui apa-apa yang diciptakan Allah dan

berbuat baik.

2. Pengertian lain, hikmah adalah mengetahui suatu yang terbaik dengan

pengetahuan yang paling baik.

3. Meletakkan sesuatu pada tempatnya.

4. Ketetapan ucapan dan perbuatan secara bersamaan.47

Dari berbagai pengertian ini, jelaslah bahwa apa yang dimaksud dengan

metode hikmah adalah metode meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan

mengeluarkan pendapat dengan logis atau masuk akal. Memiliki pengetahuan yang

46
Ali Mustafa Ya’kub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),
h. 121.
47
Rohadi Abdul Fatah, dkk, Op. Cit., h. 28.
42

baik begitupun ucapan dan perbuatannya. Dengan begitu berarti mencakup semua

teknik berdakwah.

Metode hikmah ini dapat dipergunakan untuk memanggil atau menyeru orang

yang intelektual, berilmu, berpengetahuan atau pendidikan tinggi. Dalam hal ini juru

dakwah haruslah menyampaikan materi dakwah dengan keterangan dan disampaikan

dengan cara bijaksana tanpa kesan menggurui, sehingga dakwah tersebut dapat

diterima dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Mauidzah al Hasanah

Kata mauidzah hasanah dalam istilah dakwah berarti sinonim dari nasehat,

dan nasehat memiliki format yang banyak. Antara lain,

1. Perkataan yang jelas, dengan lemah lembut. Firman Allah: “Dan berkatalah

kepada manusia dengan perkataan yang baik.

1. Isyarat lembut atau halus yang dapat dipahami.

2. Cerita, khutbah yang mengesankan, Anekdot.

3. Mengingatkan akan nikmat dengan respon yang diharapkannya adalah

syukur.

4. Janji akan kemenangan .

5. Tabah dan sabar.48

48
Ibid., h. 41.
43

Cara-cara di atas yang digunakan Rasulullah dan da’i saat ini. baik langsung

maupun tidak langsung yang dapat mengesankan dan dapat di ingat bagi sasaran

dakwah yang dapat memotivasi mad’u untuk merespon nasehat atau ajakan

pendakwah tanpa merasa terpaksa dan dipaksa untuk mengikuti ajakan tersebut.

Metode ini dipergunakan untuk meyuruh atau mendakwahi orang-orang

awam, yaitu orang yang belum dapat berfikir secara kritis atau ilmu pengetahuannya

masih rendah. Mereka pada umumnya mengikuti sesuatu tanpa pertimbangan terlebih

dahulu dan masih berpegang pada adat istiadat yang turun temurun. Kepada mereka

ini hendak disajikan materi yang mudah dipahami dan disampaikan dengan bahasa

yang sederhana sehingga mudah dimengerti.

c. Mujadalah

Sedangkan metode dakwah yang lain yakni metode berdebat (mujadalah).

Berdebat menurut bahasa berarti berdiskusi atau beradu argumen. Di sini, berarti

berusaha untuk menaklukan lawan bicara sehingga seakan ada perlawanan yang

sangat kuat terhadap lawan bicara serta usaha untuk mempertahankan argumen

dengan gigih. Secara epistimologi, berdebat sebagaimana didefinisikan para ulama

adalah

1. Usaha yang dilakukan seseorang dalam mempertahankan argumen

untuk menghadapi lawan bicaranya.

2. Cara yang berhubungan dengan pengukuhan pendapat atau

madzhab.
44

3. Membandingkan berbagai dalil atau landasan untuk mencari yang

paling tepat. 49

Melihat berbagai macam cara perdebatan ini, al-Qur’an menyarankan

perdebatan yang terbaik sehingga menjadi metode yang dianjurkan. Seperti yang

diungkapkan dalam nashnya sebagai salah satu metode berdakwah. Metode

berdakwah yang baik tersebut merupakan salah satu metode dakwah rasional adapun

bentuknya bisa berupa diskusi, tukar pandangan atau berdialog.

Metode ini digunakan untuk menyeru dan mengajak orang-orang yang masuk

golongan pertengahan, yaitu orang yang tidak terlalu tinggi atau pendidikannya, dan

tidak pula terlalu rendah. Mereka sudah dapat diajak bertukar fikiran secara baik,

dalam mencari kebenaran. Dan tidak terlalu sulit menerima dakwah yang

disampaikan kepada mereka Berdasarkan firman Allah SWT. Tiga golongan yang

dihadapi dengan tiga metode yang dapat digunakan oleh juru dakwah, yaitu sebagai

berikut:

1. Golongan cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran dan dapat berfikir kritis, cepat

dapat menangkap arti persoalan. Mereka harus dipanggil dengan hikmah, yakni

hujjah (argumentasi) yang dapat diterima dengan kekuatan akal mereka.

2. Golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis, dan

mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi. Mereka ini

dipanggil dengan mau’izah hasanah, yakni keteladanan yang baik dari juru

dakwahnya.

49
Ibid., h. 44.
45

3. Golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut, belum

dapat dicapai dengan hikmah akan tetapi tidak sesuai pula bila dilayani seperti

golongan awam. Golongan ini dihadapi dengan anjuran dan didikan yang baik yaitu

dengan ajaran-ajaran yang mereka suka membahasnya. Tetapi hanya di dalam batas

tertentu mereka tidak sanggup mengkaji lebih mendalam. Golongan manusia seperti

ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yaitu dengan bertukar tukar fikiran

guna mendorongnya supaya berfikir secara sehat, satu dan yang lainnya dengan cara

yang lebih baik.50

Dari uraian singkat tentang beberapa metode dakwah yang dilakukan oleh

Rasulullah Saw dan da’i pada saat ini, yang terpenting adalah tumbuhnya kesadaran

bahwa setiap metode dakwah harus dilakukan secara bijak dan cermat dengan

memperhatikan kondisi waktu dan tempat penerima dakwah agar penerima dakwah

atau mad’u dapat dengan bijak dan juga cermat dalam melaksanakan seruan sang

da’i.

50
Ibid., h. 46.
46

Anda mungkin juga menyukai