Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERADABAN BANGSA ARAB SEBELUM KEDATANGAN ISLAM


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam
Dosen Pengampu:
Moh. Mashudi, M.Pd. I

Disusun oleh :
1. Isma’il Hasan Shobari (12201183388)
2. Ilma Rohmatul Azizah (12201193104)
3. Mohammad Dzulkifli A. (12201193131)
4. Alfista Yulian Sari (12201193323)

KELAS 6F
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG
MARET 2022

1
NAMA: ALFISTA YULIAN SARI
NIM: 12201193323
A. Kepercayaan Masyarakat Makkah Sebelum Islam
Menurut K.H. Moenawar Chalil bahwa, di antara kepercayaan yang dianut
masyarakat Makkah sebelum datangnya Islam antara lain adalah, “Menyembah
malaikat, menyembah jin, ruh, dan hantu, menyembah bintang-bintang, menyembah
berhala, dan agama Yahudi dan Nasrani”.1 Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Menyembah Malaikat
Salah satu kepercayaan yang dianut masyarakat Makkah sebelum
datangnya Islam, ialah mereka menyembah dan menuhankan para malaikat.
Mereka menganggap bahwa para malaikat itu, sebagai wakil Tuhan untuk
memberikan segala sesuatu yang diminta atau dihajatkan oleh manusia. Bahkan
ada juga di antara mereka yang menuhankan malaikat dan menganggap bahwa
para malaikat itu anak-anak perempuan (putri-putri Allah).2
2. Menyembah Jin, Ruh, dan Hantu
Selanjutnya, di antara mereka ada yang memandang bahwa jin-jin dan ruh
para leluhur yang telah meninggal dunia itu mempunyai hubungan langsung atau
hubungan keturunan dengan para malaikat, sehingga dengan sendirinya mereka
mempunyai hubungan keturunan juga kepada Tuhan. Karena itulah, mereka lalu
menuhankan dan menyembah jin-jin, ruh-ruh, dan hantu-hantu. Kaitanya dengan
itu, ada diantara mereka yang menghormati atau memuliakan beberapa tempat
yang mereka pandang tempat jin, diantaranya ada satu tempat yang terkenal
bernama Darahim. Mereka selalu mengadakan kurban, menyembelih binatang
ditempat itu agar terhindar dari bencana yang didatangkan olehnya.3
3. Menyembah Bintang-bintang
Selain kepercayaan yang dianut masyarakat Makkah sebelum datangnya
Islam ialah dengan cara menyembah bintang-bintang, sebagaimana yang
diungkapkan oleh K.H. Moenawar Chalil adalah sebagian diantara bangsa Arab
di daerah Arab ada yang menyembah bintang-bintang, yang dimaksud dengan
bintang-bintang adalah matahari, bulan, dan bintang-bintang yang gemerlapan

1
K.H. Moenawar Chalil, Kelengkapn Tarikh Nabi Muhammad Saw, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001) h. 22.
2
Ibid., h. 23.
3
Ibid., h. 24.

2
cahayanya, yang bertaburan dan beribu-ribu banyaknya itu. Mereka menyembah
bintang-bintang karena mengaggap bahwa bintang-bintang itu diberi kekuasaan
oleh tuhan untuk mengatur alam yang luas ini. Sebab itu, sudah sepatutnya
bintang-bintang itu dihormati, dimuliakan dan disembah karena bintang-bintang
itu pun menyembah Tuhan. Demikianlah kepercayaan mareka sehingga mereka
langsung menyembah bintang-bintang.4
4. Menyembah Berhala
Sebagian dari bangsa Arab di daerah ketika itu ada yang menyembah
berhala-berhala atau arca-arca yang terbuat dari logam-logam atau dibuat dari
kayu dan batu. Sepanjang riwayat, penyebab di antara mereka hingga menyembah
berhala atau arca adalah karena sebagian besar dari mereka terlalu memuliakan
Masjidil Haram dan haji pimpinan (syariat) Nabi Ibrahim, mereka kembali
dengan membawa batu-batu yang ada di sana ke negeri mereka masing-masing.
Kemudian batu-batu yang di bawanya itu di mana saja mereka berhenti lalu
ditaruhnya di tempat yang istimewa, lalu batu-batu itu mereka kelilingi oleh
mereka sebagaimana biasa mereka thawaf mengelilingi Ka’bah, mereka
mengerjakan demikian itu dengan tujuan hendak mengambil berkah, akibat
sangat cinta dan menghormati Ka’bah. Padahal mereka baru saja kembali dari
tanah suci, dari Ka’bah, serta baru mengerjakan haji dan umrah menurut agama
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kemudian, lama kelamaan, tertariklah mereka
untuk menyembah batu-batu dan berhala-berhala itu, dan mereka lupa akan
petunjuk agama nabi dan Nabi Ismail yang sebenarnya.5
5. Agama Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
Kepercayaan Politheisme inilah yang tersebar luas di seluruh
Semenanjung Arabia, namun agama lain dapat hidup disamping kepercayaan
yang ada ialah agama Yahudi yang dianut oleh bangsa Yahudi yang ajarannya
memang cocok dengan watak bangsa itu. Menurut Thomas Arnold sebagaimana
yang dikutip oleh K.H. Moenawar Chalil menyatakan bahwa, Agama ini mulai
masuk ke Semenanjung Arabia dikala bangsa itu mendapat penindasan dari
pemerintahan Romawi, terutama di pemerintahan Kaisar Hadnan.6

4
Ibid., h. 22.
5
Ibid., h. 22-23.
6
Ibid., h. 17.

3
Orang Yahudi hidup berpencar-pencar diseluruh semenanjung Arabia,
seperti dikota Yasrib, Tina, Fadaq, Khaibar dan lainnya. Mereka menetap di kota
itu sudah sekian generasi. Kegiatan mereka seperti berniaga dan ada pula yang
membungakan uang (riba’). Dengan perniagaan inilah orang Yahudi bergaul
dengan orang Arab, dan ada pula yang menikahi wanita Arab tersebut namun
jumlahnya hanya sedikit.7
Orang Arab telah mendengar dari orang Yahudi tentang Nabi Musa yang
sangat keras menentang bangsanya yang menyembah patung emas atau anak sapi
yang bertentangan dengan keyakinan tauhid mereka juga mengetahui tentang
adanya hari kebangkitan dan hari dimana manusia seluruhnya berkumpul di
Padang Mashyar, tentang adanya syurga dan neraka. Dan tentang adanya alam
yang tidak dapat dijangkau oleh pengelihatan mata yang dahulunya belum pernah
mereka dengar, karena sebagian besar orang Arab tidak mempercayai adanya hari
akhir. Karena piciknya pikiran mereka belum mampu memikirkan yang lebih
jauh, belum mampu memikirkan adanya alam yang lain, sebagaimana
kepercayaan orang Mesir Kuno. Maka sesudah mereka bergaul dengan orang
Yahudi barulah pikiran mereka terbuka dan bertambah luas, itupun sudah melalui
waktu yang cukup lama.

DAFTAR RUJUKAN
Chalil, Moenawar. 2001. Kelengkapn Tarikh Nabi Muhammad Saw. Jakarta:
Gema Insani Press.
Atha, Muhammad Mustafa. 1982. Sejarah Dakwah Islam. Surabaya: PT. Bina
Ilmu.

NAMA: ILMA ROHMATUL AZIZAH


NIM: 12201193104
B. Kondisi Sosial Masyarakaat Makkah Sebelum Islam
Kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya islam dikenal dengan sebutan
jahiliyah. Kata jahiliyah artinya adalah kebodohan, dalam Al-Qur’an jahiliyah
dimaknai sebagai bentuk penyebutan bagi siapa saja yang tidak mengetahui hakikat
tuhan atau tidak mau mengikuti apa yang diturunkan Allah Swt. Maka jahiliyah

7
Muhammad Mustafa Atha, Sejarah Dakwah Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982), h. 17.

4
berlaku bukan hanya bagi bangsa Arab saja, melainkan bagi siapapun yang tidak
mengikuti aturan Allah Swt. Ada tiga kelompok dalam masyarakat jahiliyyah.
1. Masyarakat pagan yang nomaden (berpindah-pindah). Mereka adalah kelompok
yang kaya dan mempunyai tradisi yang beragam. Tradisi mereka yang nomaden
masih memberikan ruang untuk mencari agama yang memberikan solusi terhadap
kebutuhan pokok sehari-hari.
2. Masyarakat pagan yang menetap. Mereka lebih religius dibandingkan dengan
masyarakat pagan yang nomaden. Dari segi keyakian, mereka dikenal sebagai
penyembah berhala.
3. Masyarakat yang ingin meyakini adanya tuhan, tetapi mereka tidak menafikan
keberadaan kelompok lain.
Kultur yang berkembang pada masyarakat Arab pada umumnya dalah kultur
klenik yang dikenal dengan ilmu pengetahuan dan falsafahnya. Bahasa merupakan hal
penting dalam pembentukan kebudayaan masyarakat makkah sebelum islam. Selain
itu, syair mempunyai kekuatan tersendiri sebagai cara mengekpresikan perasaan
mereka.8 Dalam hal bersyair, pada masa jahiliyah masyarakat Arab sangat gemar
terhadap syair. Syair mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting
sebelum datangnya Islam. Syair dijadikan sebagai sarana komunikasi yang paling
banyak berperan, baik dimasa damai maupun dimasa berperang. Pada umumnya
mereka menggunakan syair sebagai alat untuk membanggakan keunggulan-
keunggulan yang mereka miliki. Karya-karya ahli syair dibacakan di tengah-tengah
khalayak ramai seperti pasar Ukaz dan sebagainya.9
Dari segi pemukiman, masyarakat Arab diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
penduduk pedalaman (Badw) dan penduduk kota (hadhar). Penduduk badui yang
menempati daerah padang pasir gersang terbiasa berpindah-pindah untuk mencari
sumber air dan padang rumput. Karena nomaden, mereka jarang bercocok tanam
ataupun membuat kerajinan.10 Kaum Badui hidup secara sederhana dan membatasi
kebutuhannya hanya pada hal makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebiasaan. Kaum
Badui sebagai penduduk gurun pasir yang tandus, menjadikan mereka orang-orang
yang kuat dan pemberani. Mereka ini mempunyai keteguhan jiwa sebagai sifatnya dan

8
Abu Achmadi, Sugarso, Sejarah Kembudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas X, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2019), hal. 5-6
9
Muh. Chamdillah, Sejarah Kebudayaan Islam MTs Kelas VII, (jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2020), hal. 9
10
Achamad Choirul Rofiq, Cara Mudah Memahami Sejarah Islam, (Yogyakarta:Ircisod, 2019), hal. 65

5
keberanian menjadi tabiatnya. Selain itu, mereka juga mempunyai prinsip kebebasan
yang besar dan sangat setia dengan kabilahnya. Dengan keadaan geografi ekstrim dan
tandus, tidak cukup mendukung Kaum Badui untuk menciptakan peradaban yang
stabil. Karenanya orang-orang Badui biasa dikenal musuhnya sebagai kaum yang
keras dan kejam. penduduk gurun pasir mempunyai sisi pergaulan sosial yang baik.
Orang Badui lebih mudah menjadi baik daripada penduduk negeri (menetap). orang-
orang Badui dikenal mempunyai sikap ramah-tamah, ketabahan, kewibawaan laki-laki
yang dipandang sebagai nilai kekabilahan yang tinggi., mereka juga dikenal setia
kepada kawan, mampu menepati janji, dan mempunyai tabiat yang jujur dan lugas.
Menurut orang-orang Badui perbuatan dusta adalah perbuatan yang hina bagi mereka.
Selain itu, mereka juga penduduk yang tidak bisa menyia-nyiakan tamunya, karena
mereka masih berpegang teguh pada rasa kehormatan sosial yang tinggi.11
Sebaliknya, keadaan yang berbeda dialami penduduk perkotaan yang hidup
secara menetap di daerah-daerah yang subur, misalnya wilayah Arab Utara, Arab
Selatan, dan Hijaz. Penduduk kota sering melakukan interaksi sosial, politik,
ekonomi, dan budaya dengan bangsa luar untuk memperluas jaringan dan kerja sama
bilateral. Kerja sama penduduk negeri dengan orang luar ternyata telah memberikan
dampak budaya bagi masyarakatnya. Interaksi sosial yang telah terjadi, membuat
adanya percampuran budaya bersifat akulturatif ataupun asimilatif. Percampuran
budaya ini berakibat pada perubahan bahasa, budaya, perilaku sosial, dan keturunan
penduduk negeri. Semua hal itu sudah tidak murni lagi, akibat percampuran budaya
dan perkawinan yang terjadi. Dibalik keadaan itu semua, penduduk negeri adalah
golongan masyarakat yang telah melewati taraf nomaden menuju tahap
pengembangan peradaban yang lebih maju. Sistem sosial dalam kehidupan mereka
pun sudah teratur dengan bentuk struktural organik, di mana pembagian kerja atau
spesialisasi sudah terjadi yang mencakup individu, kelompok, struktur, atau lembaga.
Akibat dari pembagian kerja ini, membuat masyarakat dengan tipe solidaritas organik
mempunyai nurani kolektif yang jauh berkurang dibandingkan masyarakat dengan
solidaritas mekanik. Namun masyarakat organik masih mempunyai nurani kolektif
meskipun dalam bentuk lebih lemah, karena adanya perbedaan-perbedaan individu
atau kelompok yang banyak.12

11
Muhamad Yusrul Hana, Perubahan Sosial Masyarakat di Jazirah Arab: Transformasi Kultural
Ashabiyah dalam Menunjang Kekuasaan Nabi Muhammad, Al Izzah, Vol 15, No. 2, 2020, hal. 120
12
Ibid., hal. 121

6
Dalam struktur stratifikasi sosial, posisi tertinggi masyarakat Arab diduduki
oleh pemimpin pemerintah atau kepala suku, satatus terendah biasanya dilekatkan
pada kaum budak sebagai akibat negatif dari peperangan yang terjadi di antara
masyarakat arab. Selain menimbulkan perbudakan, peperangan juga mengakibatkan
perempuan dalam status rendah. Dalam masalah pernikahan, dijumpai poligami yang
tidak ada batasannya, poliandri oleh kaum perempuan, pernikahan istibdha’ (suami
memperbolehkan istrinya dihamili pria lain agar mendapatkan anak yang berkualitas
baik), pernikahan suami terhadap janda ayahnya, hak talak di tangan suami secara
mutlak, serta perzinaan. Namun disamping kebiasaan buruk tersebut, ternyata
masyarakat Arab memeiliki karakter positif yang layak diapresiasi diantaranya
kedermawanan, keberanian, kewibawaan, dan kesetiaan.13
Masyarakat Jahiliyyah membuat keberpihakan pada kelompok tertentu
sehingga mereka disebut memiliki karakter rasial, feodal dan patriarkhis.
1. Karakter Rasial
Sifat rasial yang terdapat pada masyarakat Jahiliyyah bisa ditunjukkan dengan
adanya perasaan kebangsaan yang berlebihan (ultra nasionalisme) dan kesukuan
('ashabiyyah) serta adanya pembelaan terhadap orang-orang yang berada dalam
komunitas kesukuan (qabilah) yang sama. Orang-orang Arab pra-Islam memiliki
perasaan kebangsaan yang luar biasa (ultra nasionalisme). Mereka menganggap diri
mereka sebagai bangsa yang mulia dan menganggap bangsa lain memiliki derajat di
bawahnya. Dalam pergaulan antar kelompok, orang Arab pra-Islam selalu membela
anggota kelompok dan kepentingan kelompoknya. Seseorang akan selalu dibela oleh
anggota se-qabilah (inner group) ketika berhadapan dengan anggota kelompok lain
(outer group), baik dalam posisi benar maupun dalam posisi salah.
2. Karakter Feodal
Karakter feodal pada masyarakat Arab pra-Islam tergambar dengan adanya
superioritas yang dimiliki oleh kaum kaya dan kaum bangsawan di atas kaum miskin
dan lemah. Kehidupan dagang yang banyak dijalani oleh orang Arab Makkah pada
waktu itu yang mengutamakan kesejahteraan materi menjadikan tumbuhnya
superioritas golongan kaya dan bangsawan di atas golongan miskin dan lemah.
Sekalipun ada nilai kebaikan (al-muru'ah) dalam masyarakat Arab pra-Islam, yaitu
bahwa salah satu kebaikan yang harus dimiliki oleh pemimpin kelompok adalah

13
Achamad Choirul Rofiq, … hal. 65

7
kedermawanan, namun masyarakat Arab praIslam mempunyai rasa kebanggaan yang
salah, yaitu menampik orang miskin, menolak memberi sedekah dan bantuan kepada
anggota masyarakat yang lemah.
3. Karakter Patriarkis
Kaum lelaki pada waktu itu memegang kekuasaan yang tinggi dalam relasi
laki-laki dengan perempuan dan diposisikan lebih tinggi di atas kaum perempuan.
Kaum perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif, tidak adil dan bahkan
dianggap sebagai biang kemelaratan dan simbol kenistaan. Dalam masyarakat
Jahiliyyah, perempuan tidak memperoleh hak warisan, bahkan dijadikan sebagai harta
warisan itu sendiri. Sikap orang Jahiliyyah dalam menanggapi kelahiran anak
perempuannya ialah dianggap sebagai aib, sangat memalukan, menurunkan harga diri
orang tua dan keluarga, sehingga anak perempuan tersebut kalau perlu dibunuh.14

Sebenarnya bangsa Arab memiliki karakter positif seperti pemberani punya


semangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam,
mempunyai ketahan fisik, kekuatan daya ingat, hormat akan harga diri dan martabat,
masyarakat yang cinta kebebasan, loyal pada pimpinan, pola hidup yang sederhana,
ramah, dan sebagainya.
Diantara semua karakter positif masyarakat Arab ini tertutup dengan
kebodohan mereka dalam hal bertauhid dan berahlak. Adapun kebiasaan-kebiasaan
buruk mereka adalah minum minuman khamr (arak) sampai mabuk, berjudi, berzina
dan merampok, mengundi nasib dengan anak panah dan sebagainya. Mereka
memposisikan perempuan pada posisi terendah. Karena perempuan dianggap mahluk
lemah yang tidak punya kemampuan dan kekuatan untuk membela diri. Dengan
demikian laki-laki bebas menikah dan menceraikan perempuan. Yang lebih buruk lagi
mereka mempunyai tradisi mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup saat masih
balita, karena mereka merasa malu dan terhina mempunyai anak perempuan.
Perempuan dianggap lemah tidak bisa membanggakan mereka dalam hal bekerja dan
membela kaum mereka saat mereka perang. Bahkan bagi mereka, tidak memiliki anak
lelaki merupakan seuatu bencana dan aib.15

14
Sulhani Hermawan, Hukum Islam Dan Transformasi Sosial Masyarakat Jahiliyyah (Studi Historis
Tentang Karakter Egaliter Hukum Islam), Peuradeun, Vol. 2, No. 3, 2014, hal. 84.
15
Muh. Chamdillah, … hal. 9

8
Kebiasaan mengembara membuat orang-orang Arab Makkah senang hidup
bebas tanpa aturan dan hukum yang dapat mengikat mereka sehingga mereka
menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Mereka senang hidup mengelompok yang
tergabung dalam kabilah atau suku yang sangat banyak jumlahnya. Kekuatan,
keperkasaan, keuletan dan keberanian merupakan modal utama untuk dapat bertahan
di alam gurun pasir. 16

DAFTAR RUJUKAN
Achmadi, Abu, Sugarso. 2019. Sejarah Kembudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas
X. Jakarta: Bumi Aksara.
Chamdillah, Muh. 2020. Sejarah Kebudayaan Islam MTs Kelas VII. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.
Hana, Muhamad Yusrul. 2020. Perubahan Sosial Masyarakat di Jazirah Arab:
Transformasi Kultural Ashabiyah dalam Menunjang Kekuasaan Nabi
Muhammad. Al Izzah. Vol 15 (2).
Hermawan, Sulhani. 2014. Hukum Islam Dan Transformasi Sosial Masyarakat
Jahiliyyah (Studi Historis Tentang Karakter Egaliter Hukum Islam). Peuradeun,
Vol. 2 (3).
Rofiq, Achamad Choirul. 2019. Cara Mudah Memahami Sejarah Islam. Yogyakarta:
Ircisod.
Tsuroyya, Elfa. 2020. Sejarah Kebudayaan Islam MA Kelas X, Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.

NAMA: MOHAMMAD DZULKIFLI A.


NIM: 12201193131
C. Kondisi Ekonomi Masyarakat Makkah Sebelum Islam
Bangsa Arab memiliki mata pencaharian bidang perdagangan, pertanian, dan
peternakan. Peternakan menjadi sumber kehidupan bagi Arab Badui. Mereka
berpindah-pindah menggiring ternaknya ke daerah yang sedang musim hujan atau ke
padang rumput. Mereka mengonsumsi daging dan susu dari ternaknya. Serta membuat
pakaian dari bulu domba. Jika telah terpenuhi kebutuhannya, mereka menjualnya

16
Elfa Tsuroyya, Sejarah Kebudayaan Islam MA Kelas X, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama RI, 2020), hal. 5

9
kepada orang lain. Orang kaya dikalangan mereka terlihat dari banyaknya hewan yang
dimiliki.
Selain Arab Badui, sebagian masyarakat perkotaan yang menjadikan
peternakan sebagai sumber penghidupan. Ada yang menjadi pengembala ternak milik
sendiri, ada juga yang mengembala ternak orang lain. Seperti Nabi Muhammad SAW,
ketika tinggal di suku Bani Sa’ad, beliau seorang pengembala kambing. Begitu juga
Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud dan lainnya. Adapun masyarakat perkotaan yang
tinggal didaerah subur, seperti Yaman, Thaif, Madinah, Najd, Khaibar atau yang
lainnya, mereka menggantungkan sumber kehidupan pada pertanian. Selain pertanian,
mayoritas mereka memilih perniagaan sebagai mata pencaharian, khususnya
penduduk Makkah. Mereka memilih pusat perniagaan istimewa. Penduduk Makkah
memiliki kedudukan tersendiri dalam pandangan orang-orang Arab, yaitu mereka
penduduk Negeri Haram (Makkah). Orang-orang Arab lain tidak akan mengganggu
mereka, juga tidak akan mengganggu perniagaan mereka. Allah Swt. telah
menganugrahkan hal itu kepada mereka.17
Perdagangan adalah unsur penting dalam perekonomian masyarakat arab pra
Islam, mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan sesama
Arab,tetapi juga non Arab. Pertanian adalah salah satu pondasi penting perekonomian
bangsa Arab kala itu, sejak 200 tahun sebelum kenabian Muhammad, mereka
mengenal peralatan pertanian semi modern seperti alat bajak, cangkul, garu, dan
tongkat kayu untuk menanam.18 Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam
dimungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemudian tersebut
ditandai dengan adanya kegiatan ekspor impor yang mereka lakukan. Para pedagang
Arab Selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam datang, telah mengadakan
transaksi dengan India (Asia selatan sekarang), Negeri pantai Afrika, sejumlah negeri
teluk Persia, Asia Tengah, dan sekitarnya.19
Keluasan dalam perniagaan dan interaksinya yang luas dengan dunia luar
(terutama penduduk Syria, Mesir, Irak, Iran, Yaman, dan Ethiopia) tersebut, tidak saja
mendatangkan keuntungan materi yang besar, tetapi juga meningkatkan kadar
pengetahuan, kecerdasan, dan kearifan suku Quraisy. Tak heran bila kemudian

17
M. Yasin. Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta kementerian agama : 2014). Hlm 13-15
18
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
hlm.15
19
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.61-
62

10
mereka menjadi suku yang paling piawai dalam berniaga, baik dalam bentuk syirkah
maupun mudharabah, yang Keluasan dalam perniagaan dan interaksinya yang lulus
dengan dunia luar (terutama penduduk Syria, Mesir, Irak, Iran, Yaman, dan Ethiopia)
tersebut. Kebiasaan orang-orang Quraisy mengadakan perjalanan perdagangan ke
daerah-daerah lain. Allah SWT mengabadikan perjalanan dagang mereka sebagai
perjalanan dagang yang sangat terkenal, yaitu perjalanan musim dingin menuju
Yaman, dan sebaliknya perjalanan dagang musim panas ke Syam. Allah berfirman
dalam QS. Quraisy (106):1-4.
Dalam hal ini, komoditas utama mereka adalah kurma, gandum, zabib, dan
kismis. adapun komoditas yang mereka ambil dari Yaman dan Syam adalah kain
untuk pakaian dan tembaga (seperti bahan emas dan perak). Komoditas impor dari
Afrika Timur antara lain adalah kayu untuk bahan bangunan, bulu burung unta,
lantakan logam mulia, dan badak, dari Asia Selatan dan China berupa gading, batu
mulia, sutra, pakaian, pedang, dan rempah-rempah serta dari negara lain di Teluk
Persia mereka mengimpor intan.
Sebagai pelaku ekspor impor, Jazirah Arab memiliki pusat kota tempat
bertransaksi yaitu kota Makkah. Kota Makkah merupakan kota suci yang setiap
tahunnya dikunjungi, terutama karena disitulah terdapat bangunan suci Ka'bah. Di
Kota Makkah terdapat pusat perdagangan yaitu Pasar Ukaz yang dibuka pada bulan-
bulan tertentu, seperti Zulqo’dah, Zulhijjah, dan Muharram.
Makkah merupakan jalur persilangan ekonomi internasional, yaitu
menghubungkan Makkah ke Abysinia seterusnya menuju ke Afrika Tengah. Dari
Makkah ke Damaskus seterusnya kedaratan Eropa. Dan Makkah ke alMachin (Persia)
ke Kabul, Kashmir, Singking (Sinjian) sampai ke Zaitun dan Canton, selanjutnya
menembus daerah Melayu. Selain itu juga dari Makkah ke aden melalui laut menuju
ke India, Nusantara, hingga Canton (al - Haddad).20
Tata cara berdagang bangsa Arab yaitu21 :
a. Pengelompokan perjalanan perdagangan
Empat putra Abdi Manaf atau pemimpin dan penguasa suku Quraisy (kakek
moyang Nabi Muhammad), yang ditunjuk memimpin perjalanan besar pedagang
(khalifah) Hasyim memimpin ke Negeri Syam (Syiria), Abdus Syam memimpin

20
Arif Chasanul Muna, M.A. Modul Pemahaman Hadis-Hadis Ekonomi Secara Kontekstual. (IAIN Pekalongan
2018/2019). Hlm 5.
21
Heri sudarsono, konsep ekonomi islam (yogyakarta :ekonosia,2004), 79-82.

11
khalifah ke Negeri Habasiyyah (Ethopia), kemudian Abdul Mutholib memimpin
khalifah ke Negeri Yaman, Naufal memimpin perjalanan khlifah ke Negeri Persia.
b. Perdagangan yang dilakukan dengan cara berombongan (kafilah)
Masyarakat Arab terutama suku Quraisy dikenal sebagai pedagang tangguh,
mereka sering mengadakan perjalanan perdagangan ke luar Negeri .
c. Cara pengaturan waktu perjalanan perdagangan,
Ada dua musim perjalanan yang dilakukan oleh bangsa Quraisy yaitu musim
panas untuk perjalanan perdagangan ke Negeri Syam, dari perjalanan musim panas ke
negeri Syam diharapkan para pedagang mendapatkan kesejukan saat melakukan
perjalanan. Kemudian pada musim dingin untuk perjalanan ke Negeri yaman, dari
perjalanan musim dingin ke negeri Yaman diharapkan para pedagang mendapatkan
kehangatan saat melakukan perjalanan.
Sikap Nabi SAW terhadap sistem perdagangan sebelum Islam:
a. Tahmil (diadopsi), contoh: Syirkah
b. Taghyir (Dirubah dan direkonstruksi), contoh: gadai
c. Tahrim (diharamkan lalu dihilangkan), contoh:
- Bai ul hasar, yaitu sistem pembelian dengan cara melempar kerikil.
- Bai ul gharar, yaitu transaksi jual beli akan tetapi unsur penipuannya besar.
- Bai ul munabadzah, yaitu sistem jual beli dimana sang penjuak melempar
barang dagangannya, lalu jika mengenai seseorang orang tersebut wajib beli.
- Mulanasah, yaitu sistem jual beli dimana jika seseorang memegang dagangan
orang baik disengaja ataupun tidak dia wajib membelinya.

DAFTAR RUJUKAN
Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar)
Chasanu,l Muna Arif, M.A. 2018/2019. Modul Pemahaman Hadis-Hadis Ekonomi
Secara Kontekstual. (IAIN Pekalongan)
Musyawarah Guru PAI, 2008. Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XI MA/SMTR
Ganjil, (Sragen: CV Akik Pusaka)
Sudarsono, Heri. 2004. Konsep Ekonomi Islam (yogyakarta :ekonosia)
Yasin, M. 2014. Sejarah Kebudayaan Islam. (Jakarta kementerian agama)
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada)
12
NAMA: ISMA’IL HASAN SHOBARI
NIM: 12201183388
D. Keadaan Politik Bangsa Arab Sebelum Islam
Pada masyarakat Arab sebelum Islam secara politik dapat dibagi menjadi bua
bagian berdasarkan atas batas territorial:
1. Penduduk kota (al-hadharah) yang tinggal di kota perniagaan Jazirah Arabia, seperti
Makkah dan Madinah. Kota Makkah merupakan kota penghubung perniagaan Utara
dan Selatan. Para pedagang dengan kabilah-kabilah yang berani membeli barang
dagangan dari India dan Cina di Yaman dan menjualnya ke Syiria di Utara.
2. Penduduk pedalaman yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Cara
mereka hidup adalah nomaden, berpindah dari suatu daerah ke daerah lain, mereka
tidak mempunyai perkampungan yang tetap dan mata pencaharian yang tepat bagi
mereka adalah memelihara ternak, domba dan unta.
Sebelum ajaran Islam kembali menyinari masyarakat Arab Makkah, bangsa Arab
dipengaruhi oleh tiga kekuatan politik besar yang mempengaruhi politik Arab, yaitu
kekaisaran Nasrani Byzantium, kekaisaran Persia yang memeluk agama Zoroaster, serta
Dinasti Himyar yang berkuasa di Arab bagian selatan. Kondisi politik masyarakat Arab
sebelum Islam dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pertama, interaksi dunia Arab dengan
kekaisaran Byzantium dan Persia. Kedua, persaingan antara Yahudi dan Zoroaster.22
Kekaisaran Bizantium dan kekaiasaran Romawi Timur dengan ibu kota
Konstantinopel merupakan bekas Imperium Romawi dari masa Klasik. Pada permulaan
abad ke-7, wilayah Imperium ini telah meliputi Asia kecil, Siria, Mesir, dan sebagian
daerah Itali serta sejumlah kecil wilayah di pesisir Afrika Utara juga berada di bawah
kekuasaannya. Sedangkan kekaisaran Persia berada di bawah kekuasaan Dinasti Sasanid
(sasaniyah). Ibu kota persia adalah al-Madana’in, terletak sekitar dua puluh mil di
sebalah tenggara kota Baghdad yang sekarang. Wilayah kekuasaannya terbentang dari
Irak dan Mesopotamia hingga pedalaman timur Iran dewasa ini serta Afganistan. Bangsa
Arab terdiri beberapa suku. Mereka memiliki rasa cinta berlebihan terhadap sukunya.
Tidak jarang peperangan terjadi antar suku. Seperti perang Fujjar, perang saudara yang
terkenal karena terjadi beberapa kali. Pertama perang antara suku Kinanah dan Hawazan,
kemudian Quraisy dan Hawazan serta Kinanah dan Hawazan lagi. Peperangan Fujjar
terjadi 15 tahun sebelum Rasul Saw diutus.

22
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), hlm.47

13
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah
Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah
Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang
merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta
adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa
loyal ke kabilahnya saja. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan
politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara. 23
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur
masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis.
Sehingga pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada
anggotanya. Namun dalam bidang perdagangan, peran pemimpin suku sangat kuat. Hal
ini tercermin dalam perjanjian-perjanjian perdagangan yang pernah dibuat antara
pemimpin suku di Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamim, Ghassaniah,
Hirah, Suriah, dan Ethiopia.
Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem
keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manisdihadapan
orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjagakehormatan,
memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain,hingga tak jarang
mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungandan pujian tatkala berada
dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung
lidah setiap kabilah pada masa itu, hinggakedudukan para penyair itu sama dengan
kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.24
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah).
Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama
anggota.Shaikh dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih
memiliki hubungan famili. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat
membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban
hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku
lain.25
KESIMPULAN

23
R A. Nicholson, A Literary History of The Arabs, Cambridge: Cambridge University Press, 1997, hlm.49
24
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2008, hlm.13
25
Khoiriyah, Reorientasi Sejarah Peradaban Islam: Dari Arab Sebelum Islam hingga Dinasti- Dinasti Islam,
(Yogyakarta: Teras, 2012), hlm.4

14
Kehidupan politik dan sosial masyarakat Arab pra Islam, baik nomadikmaupun
yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Dalammenyelesaikan masalah
mereka sering menggunakan cara peperangan.Walaupun mereka mempunyai amir atau
syaikh, mereka hanya tunduk padahal peperangan, pembagian harta rampasan dan
pertempuran tertentu namuntidak tunduk untuk masalah yang lainyya.

DAFTAR RUJUKAN
Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Cetakan ke-2. Jakarta: Sinar
Grafika Offset.
Khoiriyah. 2012. Reorientasi Sejarah Peradaban Islam: Dari Arab Sebelum Islamhingga
Dinasti-Dinasti Islam. Yogyakarta: Teras.
R A, Nicholson. 1997. A Literary History of The Arabs. Cambridge : Cambridge
University Perss
Yatim Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

15

Anda mungkin juga menyukai