Anda di halaman 1dari 16

1 ASPEK SOSIOBUDAYA BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU KESEHATAN Oleh : Yetti Wira Citerawati

SY 1. Pengertian Kebudayaan Secara sederhana kebuadayaan dapat diartikan sebagai hasil dari cipta,
karsa, dan rasa. Sebenarnya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Koentjaraningrat (2002)
mendefinisikan kebudayaan adalah seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh
tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan
masyarakat. Asalkan sesuatu yang dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa
dikategorikan sebagai budaya. Taylor dalam bukunya Primitive Culture, memberikan definisi
kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, dan kemampuan kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain serta
kebiasaankebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Herskovits,
Budaya sebagai hasil karya manusia sebagai bagian dari lingkungannya (culture is the human-made
part of the environment). Artinya segala sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan manusia, baik
hasil itu abstrak maupun nyata, asalkan merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun sosial, maka bisa disebut budaya. 2. Unsur Kebudayaan Koentjaraningrat
(2002) membagi budaya menjadi 7 unsur : yakni sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup
dan sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara
keseluruhan. 3. Manfaat Bagi Petugas Kesehatan Mempelajari Kebudayaan a. Didalam semua religi
atau agama, ada kepercayaan tertentu yang berkaitan dengan kesehatan, gizi, dll. Misal : orang yang
beragama Islam : tidak makan babi, sehingga dalam 2 rangka memperbaiki status gizi, seorang
petugas kesehatan dapat menganjurkan makanan lain yang bergizi yang tidak bertentangan dengan
agamanya. b. Dengan mempelajari organisasi masyarakat, maka petugas kesehatan akan
mengetahui organisasi apa saja yang ada di masyarakat, kelompok mana yang berkuasa, kelompok
mana yang menjadi panutan, dan tokoh mana yang disegani. Sehingga dapat dijadikan strategi
pendekatan yang lebih tepat dalam upaya mengubah perilaku kesehatan masyarakat. c. Petugas
kesehatan juga perlu mengetahui pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Dengan mengetahui
pengetahuan masyarakat maka petugas kesehatan akan mengetahui mana yang perlu ditingkatkan,
diubah dan pengetahuan mana yang perlu dilestarikan dalam memperbaiki status kesehatan. d.
Petugas kesehatan juga perlu mempelajari bahasa lokal agar lebih mudah berkomunikasi,
menambah rasa kedekatan, rasa kepemilikan bersama dan rasa persaudaraan. e. Selain itu perlu
juga mempelajari tentang kesenian dimasyarakat setempat. Karena petugas kesehatan dapat
memanfaatkan kesenian yang ada dimasyarakat untuk menyampaikan pesan kesehatan. f. Sistem
mata pencaharian juga perlu dipelajari karena sistem mata pencaharian ada kaitannya dengan pola
penyakit yang diderita oleh masyarakat tersebut. g. Teknologi dan peralatan masyarakat setempat .
Masyarakat akan lebih mudah menerima pesan yang disampaikan petugas jika petugas
menggunakan teknologi dan peralatan yang dikenal masyarakat. 4. Aspek Sosial yang Mempengaruhi
Status Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Ada beberapa aspek sosial yang mempengaruhi status
kesehatan antara lain adalah : a. Umur Jika dilihat dari golongan umur maka ada perbedaan pola
penyakit berdasarkan golongan umur. Misalnya balita lebiha banyak menderita penyakit infeksi,
sedangkan golongan usila lebih banyak menderita penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit
jantung koroner, kanker, dan lain-lain. 3 b. Jenis Kelamin Perbedaan jenis kelamin akan
menghasilkan penyakit yang berbeda pula. Misalnya dikalangan wanita lebih banyak menderita
kanker payudara, sedangkan laki-laki banyak menderita kanker prostat. c. Pekerjaan Ada hubungan
antara jenis pekerjaan dengan pola penyakit. Misalnya dikalangan petani banyak yang menderita
penyakit cacing akibat kerja yang banyak dilakukan disawah dengan lingkungan yang banyak cacing.
Sebaliknya buruh yang bekerja diindustri , misal dipabrik tekstil banyak yang menderita penyakit
saluran pernapasan karena banyak terpapar dengan debu. d. Sosial Ekonomi Keadaan sosial ekonomi
juga berpengaruh pada pola penyakit. Misalnya penderita obesitas lebih banyak ditemukan pada
golongan masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi, dan sebaliknya malnutrisi lebih banyak
ditemukan dikalangan masyarakat yang status ekonominya rendah. Menurut H.Ray Elling (1970) ada
2 faktor sosial yang berpengaruh pada perilaku kesehatan : 1. Self concept Self concept kita
ditentukan oleh tingkatan kepuasan atau ketidakpuasan yang kita rasakan terhadap diri kita sendiri,
terutama bagaimana kita ingin memperlihatkan diri kita kepada orang lain. Apabila orang lain
melihat kita positip dan menerima apa yang kita lakukan, kita akan meneruska perilaku kita, begitu
pula sebaliknya. 2. Image kelompok Image seorang individu sangat dipengaruhi oleh image
kelompok. Sebagai contoh, anak seorang dokter akan terpapar oleh organisasi kedokteran dan
orang-orang dengan pendidikan tinggi, sedangkan anak buruh atau petani tidak terpapar dengan
lingkungan medis, dan besar kemungkinan juga tidak bercita-cita untuk menjadi dokter. 4 5. Aspek
Budaya yang Mempengaruhi Status Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Menurut G.M. Foster (1973) ,
aspek budaya dapat mempengaruhi kesehatan al : a. Pengaruh tradisi Ada beberapa tradisi didalam
masyarakat yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat. b. Sikap fatalistis Hal
lain adalah sikap fatalistis yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan. Contoh : Beberapa anggota
masyarakat dikalangan kelompok tertentu (fanatik) yang beragama islam percaya bahwa anak
adalah titipan Tuhan, dan sakit atau mati adalah takdir , sehingga masyarakat kurang berusaha untuk
segera mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit. c. Sikap ethnosentris Sikap yang
memandang kebudayaan sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain.
d. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya Contoh : Dalam upaya perbaikan gizi, disuatu daerah
pedesaan tertentu, menolak untuk makan daun singkong, walaupun mereka tahu kandungan
vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata masyarakat bernaggapan daun singkong hanya pantas
untuk makanan kambing, dan mereka menolaknya karena status mereka tidak dapat disamakan
dengan kambing. e. Pengaruh norma Contoh : upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan
bayi banyak mengalami hambatan karena ada norma yang melarang hubungan antara dokter yang
memberikan pelayanan dengan bumil sebagai pengguna pelayanan. f. Pengaruh nilai Nilai yang
berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Contoh : masyarakat
memandang lebih bergengsi beras putih daipada beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa
vitamin B1 lebih tinggi diberas merah daripada diberas putih. 5 g. Pengaruh unsur budaya yang
dipelajari pada tingkat awal dari proses sosialisasi terhadap perilaku kesehatan. Kebiasaan yang
ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap kebiasaan pada seseorang ketika ia dewasa.
Misalnya saja, manusia yang biasa makan nasi sejak kecil, akan sulit diubah kebiasaan makannya
setelah dewasa. h. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan Apabila seorang
petugas kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan masyarakat, maka yang harus
dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan perubahan, menganalisis faktor-
faktor yang terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan berusaha untuk memprediksi tentang apa
yang akan terjadi dengan perubahan tersebut. 6. Perubahan Sosial Budaya Menurut
Koentjaraningrat, bahwa perubahan budaya yg tjd di masy dpt dibedakan kedalam beberapa
bentuk : a. Perubahan yg tjd secara lambat dan cepat b. Perubahan yang pengaruhnya kecil dan
besar c. Perubahan yang direncanakan dan yg tdk direncanakan 7. Makanan Dan Budaya 7.1 Definisi
Makanan Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau
unsurunsur/ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila
dimasukkan dalam tubuh. 7.2 Kebudayaan Menentukan Makanan Sebagai suatu konsep budaya,
makanan (food) bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan kualitas-kualitas biokimia yang
dapat dipakai oleh organisma termasuk manusia untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi
makanan sebagai sesuatu yang akan dimakan, diperlukan pengesahan budaya. Lewat konsep-konsep
budaya itulah 6 sejumlah makanan yang menurut ilmu gizi sangat bermanfaat untuk dikonsumsi,
tetapi dalam prakteknya bisa jadi justru dihindari. Contoh : 1. Adanya pantangan bayi dan anak tidak
diberikan daging, ikan, telur, dan makanan yang dimasak dengan santan dan kelapa parut sebab
dipercaya akan menyebabkan cacingan, sakit perut, dan sakit mata . 2. Bagi gadis dilarang makan
buah: pepaya, nanas dan jenis pisang tertentu (yang dianggap tabu) karena ada hubungan yang erat
dengan siklus masa haid, hubungan kelamin dan reproduksi . Jadi, dapat kita pahami bahwa adanya
masalah gizi di Indonnesia bukan hanya karena masalah sosek, tapi juga karena alasan-alasan
budaya, di mana ada ketersediaan makanan tetapi terpaksa tidak dikonsumsi karena kepercayaan
atau ketidaklaziman atau karena larangan agama 7.3 Istilan Makanan “Food Versus Nutrimen”
Masalah aktivitas makan tidak semata-mata sebagai aktivitas fisik manusia untuk pemenuhan
naluriahnya seperti lapar, tetapi juga di dalamnya dilekati oleh pengetahuan budaya. Lewat
pengetahuan budaya itu, masyarakat manusia mengkategorikan makanan ke dalam dua istilah yaitu
nutrimen (nutriment) dan makanan (food).  Nutriment adalah suatu konsep biokimia, suatu zat
yang mampu untuk memelihara dan menjaga kesehatan organisme yang menelannya, terlepas dari
apakah makanan itu diperbolehkan atau dilarang dalam kaitannya dengan budaya.  Food adalah
suatu konsep budaya. Sebagai konsep budaya, maka di dalamnya terdapat penjelasan budaya
mengenai kategori (bahan) makanan anjuran lawan makanan tabu (larangan); makanan prestise
lawan makanan rendah; makanan dingin lawan makanan panas, dan sebagainya. Sebagai suatu
konsep budaya, makanan (food) bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan kualitas-
kualitas biokimia yang dapat dipakai oleh organisma termasuk manusia untuk mempertahankan
hidupnya. Akan tetapi makanan sebagai sesuatu yang akan dimakan, diperlukan pengesahan budaya.
7  Jellife & Bennet 1962 menyatakan : “Manusia dimana saja, bahkan dalam keadaan sukar
sekalipun, hanya makan sebagian dari bahan-bahan yang sebenarnya dapat dimakan dan tersedia”.
7.4 Klasifikasi Makanan Variasi klasifikasi makanan antara lain :  Menurut prestise – status 
Pertemuan sosial  Usia  Keadaan sehat – sakit  Nilai simbolik – ritual 7.5 Peranan Simbolik
Makanan a) Sebagai ungkapan ikatan sosial Misal :  Menawarkan makanan sebagai simbolis
ungkapan persahabatan, perhatian, kasih sayang  Tidak memberi makanan sebagai ungkapan
simbolis permusuhan, kemarahan b) Sebagai ungkapan kesetiakawanan kelompok Misal : makan
bersama, berkumpul dimeja besar melambangkan keakraban keluarga c) Makanan dan stress Misal :
terpenuhinya makanan kesukaan – kebiasaan membuat dirinya tenang. d) Simbolisme makanan
dalam bahasa Kualitas makanan digunakan untuk menggambarkan kualitas manusia. Misal : wajah
susu madu diartikan sebagai seseorang dengan wajah kuning langsat . 8 7.6 Pembatasan Budaya
Terhadap Kecukupan Gizi 1. Kegagalan melihat hubungan antara makanan dan kesehatan. Adalah
kesenjangan yang besar dalam pemahaman tentang bagaimana makanan itu dapat digunakan
sebaik-baiknya untuk kesehatan, misal :  Susunan hidangan yang cenderung ditafsirkan berdasar
kuantitasnya tanpa memperhatikan kualitas.  Kepercayaan / tabu terhadap makanan yang tidak
menguntungkan kesehatan bila tabu tersebut diterapkan. 2. Kegagalan untuk mengenali kebutuhan
gizi pada anak-anak.  Kegagalan budaya masyarakat memahami bahwa anak-anak memerlukan
makanan khusus.  Kepercayaan/tabu terhadap makanan yang merugikan anak-anak. 
Ketidaktahuan gizi / kecukupan gizi anak. PUSTAKA PERSAGI. 2010. Penuntun Konseling Gizi. PT.
Abadi, Jakarta. Soekidjo Notoadmodjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta.
Jakarta

PENGERTIAN BUDAYA
 Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan
akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
bertani.Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai"kultur"dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan
sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
 Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
 Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.
Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
 Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.
 Menurut konsep budaya Leinenger, karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Budaya merupakan pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak ada dua budaya yang
sama persis.
2. Budaya bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya itu diturunkan kepada generasi
berikutnya sehingga mengalami perubahan.
3. Budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan manusianya sendiri tanpa disadari.
 Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu
sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

 Beberapa pendapat ahli yang mengemukakan komponen atau unsur kebudayaan antara lain
sebagai berikut.
a. Melville J. Herskovits (2007) menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
1. alat-alat teknologi
2. sistem ekonomi
3. keluarga
4. kekuasaan politik

b. Bronislaw Malinowski (2007) mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:


1. sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
2. organisasi ekonomi
3. alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah
lembaga pendidikan utama)
4. organisasi kekuatan (politik)

WUJUD DAN KOMPONEN BUDAYA

a.Wujud Budaya
 MenurutD. Oneil(2006), wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan
artefak.
1. Gagasan (Wujud ideal)
 Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau
disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga
masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka
lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis
warga masyarakat tersebut.
 Contoh: Konsep manusia perlu berpakaian. Didasarkan pada rasa susila yaitu anusia malu
jika telanjang. Dari konsep diatas, didapatkan fungsi pakaian yaitu untuk melindungi tubuh dari cuaca
panas, dingin dan tantangan alam, untukmempercantik diri serta memenuhi norma agama dan etika.

2. Aktivitas (tindakan)
 Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan
manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret,
terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
 Contoh: Sebagai aplikasi dari gagasan yang dikemukakan, manifestasi pelaksanaanya
dilakukan kegiatan pabrik tekstil, penjahit, toko pakaian, peragaan busana, mencuci pakaian dan
sebagainya

3. Artefak (karya)
 Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
 Contoh: Benda hasil budayanya berupa baju seragam, baju olahraga, baju pesta dan
sebagainya
 Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa
dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan
memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

b. Komponen Budaya
 Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:
1. Kebudayaan material
 Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu
penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material
juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung
pencakar langit, dan mesin cuci.
2. Kebudayaan nonmaterial
 Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke
generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

 Unsur-unsur budaya
1. Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)
 Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.Teknologi menyangkut cara-cara
atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi
muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan
rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.Masyarakat kecil yang berpindah-
pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam
teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu: alat-alat
produktif, senjata, wadah, alat-alat menyalakan api, makanan, pakaian, tempat berlindung dan
perumahan, alat-alat transportasi
2. Sistem mata pencaharian hidup.
 Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah
mata pencaharian tradisional saja, di antaranya: berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam di
ladang, menangkap ikan

3. Sistem kekerabatan dan organisasi social


 Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. M. Fortes
mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapatdipergunakan untuk
menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit
sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan.
Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek,
nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok
kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan
paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti
keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.Sementara itu, organisasi
sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam
pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia
membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai
sendiri.

4. Bahasa.
 Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling
berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan
tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui
bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat,
dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.Bahasa memiliki
beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara
umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi
dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan
dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuna, dan untuk
mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

5. Kesenian
 Karya seni dari peradaban Mesir kuno.Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika)
yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun
telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak
kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

6. Sistem kepercayaan
 Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai
dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan,
muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga
mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara
individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem
kepercayaan kepada penguasa alam semesta.

BUDAYA KESEHATAN INDONESIA


 Indonesia sebagai Negara agraris, sebagian besar penduduknya bermukim di daerah
pedesaan dengan tingkat pendidikan mayoritas sekolah dasar dan belum memiliki budaya hidup
sehat. Hidup sehat adalah hidup bersih dan disiplin sedangkan kebersihan dan kedisiplinan itu sendiri
belum menjadi budaya sehari-hari. Budaya memeriksakan secara dini kesehatan anggota keluarga
belum tampak. Hal ini terlihat dari banyaknya klien yang datang ke pelayanan kesehatan untuk
memeriksakan keadaan kesehatan sebagai tindakan kuratif belum didukung sepenuhnya oleh upaya
promotif dan preventif, misalnya gerakan 3M pada pencegahan demam berdarah belum terdengar
gaungnya jika belum mendekati musim hujan atau sudah ada yang terkena demam berdarah.
 Menanamkan budaya hidup sehat harus sejak dini dengan melibatkan pranata yang ada di
masyarakat, seperti posyandu atau sekolah. Posyandu yang ada di komunitas seharusnya
diberdayakan untuk menanamkan perilaku hidup bersih,sehat, dan berbudaya pada anak.
 Di dalam masyarakat sederhana, kebiasaan hidup dan adatistiadat dibentuk untuk
mempertahankan hidup diri sendiri, dan kelangsungan hidup suku mereka. Berbagai kebiasaan
dikaitkan dengan kehamilan, kelahiran, pemberian makanan bayi, yang bertujuan supaya reproduksi
berhasil, ibu dan bayi selamat. Dari sudut pandangan modern, tidak semua kebiasaan itu baik. Ada
beberapa yang kenyataannya malah merugikan. Kebiasaan menyusukan bayi yang lama pada
beberapa masyarakat, merupakan contoh baik kebiasaan yang bertujuan melindungi bayi. Tetapi bila
air susu ibu sedikit, atau pada ibu-ibu lanjut usia, tradisi budaya ini dapat menimbulkan masalah
tersendiri. Dia berusaha menyusui bayinya, dan gagal. Bila mereka tidak mengetahui nutrisi mana
yang dibutuhkan bayi (biasanya demikian), bayi dapat mengalami malnutrisi dan mudah terserang
infeksi.
 Menjadi sakit memang tidak diharapkan oleh semua orang apalagi penyakit-penyakit yang
berat dan fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana penyakit itu dapat
menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari sikap mereka terhadap penyakit itu sendiri. Ada
kebiasaan dimana setiap orang sakit diisolasi dan dibiarkan saja. Kebiasaan ini mungkin dapat
mencegah penularan dari penyakit-penyakit infeksi seperti cacar atau TBC. Bentuk pengobatan yang
diberikan biasanya hanya berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang bagaimana penyakit itu
timbul. Kalau mereka anggap penyakit itu disebabkan oleh hal-hal yang supernatural atau magis,
maka digunakan pengobatan secara tradisional. Pengobatan modern dipilih bila mereka duga
penyebabnya faktor alamiah. Ini dapat merupakan sumber konflik bagi tenaga kesehatan, bila
ternyata pengobatan yang mereka pilih berlawanan dengan pemikiran secara medis. Di dalam
masyarakt industri modern, iatrogenic disease merupakan problema. Budaya modern menuntut
merawat penderita di rumah sakit, padahal rumah sakit itulah tempat ideal bagi penyebaran kuman-
kuman yang telah resisten terhadap antibiotika.

KEPERAWATAN TRANSKULTURAL
 Keperawatan transkultural adalah suatu pelayanan keperawatan yang berfokus pada analisa
dan studi perbandingan tentang perbedaan budaya (Leinenger, 1987). Keperawatan transkultural
merupakan ilmu dan kiat yang humanis, yamh difokuskan pada perilaku individu atau kelompok, serta
proses untuk mempertahankan atau meningkatkan perilaku sehat atau perilaku sakit secara fisik dan
psikokultural sesuai latar belakang budaya ( Leininger, 1984). Pelayanan keperawatan transkultural
diberikan kepada pasien sesuai dengan latar belakang budayanya.

1. Tujuan Keperawatan Transkultural


 Tujuan pengguanaan keperawatan transkultural adalah pengembangan sains dan keilmuan
yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kebudayaan (kultur—culture) yang spesifik
dan universal (Leininger,1978). Kebudayaan yang spesifik adalah kebudayaan dengan nilai dan
norma yang spesifik yang tidak dimiliki oleh kelompok lain seperti pada suku Osing, Tengger,ataupun
Dayak. Sedangkan, kebudayaan yang universal adalah kebudayaan dengan nilai dan norma yang
diyakini dan dilakukan oleh hamper semua kebudayaan seperti budaya olahraga untuk
mempertahankan kesehatan.
 Negosiasi budaya adalah intervensi dan implementasi keperawatan untuk membantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya. Perawat membantu
klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan status
kesehatan. Misalnya, jika klien yang sedang hamil mempunyai pantangan untuk makan makanan
yang berbau amis seperti ikan, maka klien tersebut dapat mengganti ikan dengan sumber protein
nabati yang lain.
 Restrukturisasi budaya perlu dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan
klien. Perawat berupaya melakukan strukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi
tidak merokok. Seluruh perencanaan dan implementasi keperawatan dirancang sesuai latar belakang
budaya sehingga budaya dipandang sebagai rencana hidup yang lebih baik setiap saat, pola rencana
hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.

PERAN PERAWAT DALAM MENGHADAPI ANEKA BUDAYA


 Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap
seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu system. Peran perawat dipengaruhi oleh keadaan
social baik dari dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat konstan.
 Doheny (1982) mengudentifikasi beberapa elemen peran perawat professional meliputi:
1. Care giver
 Sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan, perawat dapat memberikan pelayanan
keperawatan secara langsung dan tidak langsung kepada klien, menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang meliputi : melakukan pengkajian dalam upaya mengumpulkan data dan evaluasi
yang benar, menegakkan diagnosis keperawatan berdasarkan hasil analisis data, merencanakan
intervensi keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah yang muncul dan membuat langkah atau
cara pemecahan masalah, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ada,
dan melakukan evaluasi berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukannya.
 Dalam memberikan pelayanan atau asuhan keperawatan, perawat memperhatikan individu
sebagai makhluk yang holistic dan unik.Peran utamanya adalah memberikan asuhan keperawatan
kepada klien yang meliputi intervensi atau tindakan keperawatan, observasi, pendidikan kesehatan,
dan menjalankan tindakan medis sesuai dengan pendelegasian yang diberikan.

2. Client advocate
 Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antar klien dengan tim
kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela kepentingan klien dan membantu
klien memahami semua informasi dan upeya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan
pendekatan tradisional maupun professional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat
bertindak sebagai narasumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan keputusan terhadap upaya
kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam menjalankan peran sebagai advokat, perawat harus
dapat melindungi dan memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam pelayanan keperawatan.
 Selain itu, perawat juga harus dapat mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, antara
lain :
1. Hak atas informasi ; pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan
yang berlaku di Rumah Sakit/ sarana pelayanan kesehatan tempat klien menjalani perawatan
2. Hak mendapat informasi yang meliputi antara lain; penyakit yang dideritanya, tindakan medic
apa yang hendak dilakukan, alternative lain beserta resikonya, dll

3. Counsellor
 Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien terhadap
keadaan sehat sakitnya. Adanya pula interaksi ini merupakan dasar dalam merencanakan metode
untuk meningkatkan kemampuan adaptasinya. Memberikan konseling/ bimbingan kepada klien,
keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan sesuai prioritas. Konseling diberikan kepada
individu/keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan penglaman yang lalu,
pemecahan masalah difokuskan pada masalah keperawatan, mengubah perilaku hidup kearah
perilaku hidup sehat.
4. Educator
 Sebagai pendidik klien perawat membantu klien meningkatkan kesehatannya malalui
pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medic yang diterima
sehingga klien/keluarga dapat menerima tanggung jawab terhadap hal-hal yang diketahuinya.
Sebagai pendidik, perawat juga dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada kelompok keluarga
yang beresiko tinggi, kadar kesehatan, dan lain sebagainya.

4. Collaborator
 Perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam menentukan rencan
maupun pelaksanaan asuhan keperawtan guna memenuhi kebutuhan kesehatan klien.

5. Coordinator
 Perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada, baik materi maupun
kemampuan klien secara terkoordinasi sehingga tidak ada intervensi yang terlewatkan maupun
tumpang tindih. Dalam menjalankan peran sebagai coordinator perawat dapat melakukan hal-hal
berikut:
1. Mengoordinasi seluruh pelayanan keperawatan
2. Mengatur tenaga keperawatan yang akan bertugas
3. Mengembangkan system pelayanan keperawatan
4. Memberikan informasi tentang hal-hal yang terkait dengan pelayanan keperawatan pada
sarana kesehatan

6. Change agent
 Sebagai pembaru, perawat mengadakan inovasi dalam cara berpikir, bersikap, bertingkah
laku, dan meningkatkan keterampilan klien/keluarga agar menjadi sehat. Elemen ini mencakup
perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dalam berhubungan dengan klien dan cara
memberikan keperawatan kepada klien

7. Consultan
 Elemen ini secara tidak langsung berkaitan dengan permintaan klien terhadap informasi
tentang tujuan keperawatan yang diberikan. Dengan peran ini dapat dikatakan perawat adalah
sumber informasi yang berkaitan dengan kondisi spesifik lain.
 Untuk menghadapi berbagai fenomena kebudayaan yang ada di masyarakat, maka perawat
dalam menjalankan perannya harus dapat memahami tahapan pengembangan kompetensi budaya,
yaitu:
Pertama:
1. Pahami bahwa budaya bersifat dinamis.
2. Hal ini merupakan proses kumulatif dan berkelanjutan
3. Hal ini dipelajari dan dibagi dengan orang lain.
4. Perilaku dan nilai budaya di tunjukkan oleh masyarakat
5. Budaya bersifat kreatif dan sangat bermakana dalam hidup.
6. Secara simbolis terlihat dari bahasa dan interaksi
7. Budaya menjadi acuan dalam berpikir dan bertindak

Kedua:
1. Menjadi peduli dengan budaya sendiri.
2. Proses pemikiran yang terjadi pada perawat juga terjadi pada yang lain, tetapi dalam bentuk
atau arti berbeda.
3. Bias dan nilai budaya ditafsirkan secara internal
4. Nilai budaya tidak selalu tampak kecuali jika mereka berbagi secara sosial dengan orang lain
dalam kehidupan sehari-hari.
5. Ketiga:
6. Menjadi sadar dan peduli dengan budaya orang lain trerutama klien yang diasuh oleh
perawat sendiri
7. Budaya menggambarkan keyakinan bahwa banyak ragam budaya yang ada sudah sesuai
dengan budayanya masing-masing
8. Penting untuk membangun sikap saling menghargai perbedaan budaya dan apresiasi
keamanan budaya
9. Mengembangkan kemampuan untuk bekerja dengan yang lain dalam konteks budaya, diluar
penilaian etnosentris

DAFTAR PUSTAKA

1. Effendy, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktik Dalam
Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika
2. Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana
3. Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budayanya, dengan beragam budaya ini masyarakat
Indonesia memiliki perbedaan perspektif akan suatu hal salah satunya adalah mengenai
kesehatan. Dalam ilmu Antropologi kesehatan, mempelajari tentang bagaimana budaya-budaya
masyarakat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan masyarakat itu sendiri serta cara
masyarakat menangani suatu penyakit.

Kebudayaan atau budaya itu sendiri menurut Joyomartono merupakan konsep sentral dari
Antropologi. Goodenough mengemukakan “kebudayaan adalah suatu system kognitif –suatu
system yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai- yang berada dalam pikiran
anggota-anggota individual masyarakat”.[1] Dengan demikian kebudayaan dalam suatu
masyarakat akan selalu dinamis, karena system ide, pengetahuan, dan kepercayaan serta nilai-
nilai dalam suatu masyarakat dapat berubah sesuai kebutuhan tantangan zaman. Kaitannya
dengan permasalahan kesehatan, System ide dan budaya yang mereka miliki akan berpengaruh
terhadap perilaku yang berbeda-beda dalam menjaga suatu kesehatan, serta memiliki cara-cara
yang berbeda dalam menanggapi sakit dan penyakit. Budaya bukanlah satu-satunya faktor yang
berpengaruh terhadap perilaku kesehatan seorang individu maupun masyarakat, terdapat faktor-
faktor lain yang mempengaruhi seperti; gender, pendidikan, pengalaman, dan kondisi social
maupun ekonomi.

 Konsep Sehat, dan Sakit

Kesehatan menurut World Health Organization (WHO) adalah “a state of complete physical,
mental, and social well being, and not merely the absence of desease or infirmity”.  Yang artinya:
“suatu keadaan lengkap dan baik secara fisik, mental, dan social, dan tidak semata-mata tidak
hadirnya penyakit atau kelemahan tubuh saja”.

Definisi ini umumnya digunakan oleh lembaga kesehatan, namun dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat memiliki tolok ukur sendiri melihat kondisi seseorang apakah dia dianggap sehat atau
sakit. Orang akan pergi mencari pelayanan kesehatan ketika dia merasa dirinya sakit, namun
dilain sisi terdapat seseorang yang sudah menderita penyakit tetapi dia tidak mau mencari
pelayanan kesehatan karena merasa diriya baik-baik saja. Sebagai contoh, seorang karyawan
suatu perusahaan yang terkena flu, dia akan segera mencari layanan kesehatan agar flunya
sembuh dan tidak mengganggu aktivitas dia bekerja di kantornya, namun bagi petani yang tinggal
di desa, ketika ia terkena flu dia tidak segera mencari solusi untuk mengobati flunya tersebut,
karena petani ini menganggap flu adalah suatu hal yang wajar mengenai seseorang jika sedang
terjadi pergantian musim, selagi si petani masih bisa bekerja dan pergi ke sawah maka dia merasa
dirinya dalam keadaan sehat. Persepsi seseorang mengenai kondisi kesehatannya dipengaruhi oleh
lingkungan social dan budayanya. Keadaan demikian juga dipengaruhi instink, pengalaman, dan
apa yang mereka pelajari dari anggota masyarakat lingkungan sekitar mereka.

Sakit bagi masyarakat Jawa lebih terkait dengan permasalahan fungsional-disfungsional dalam
peran aktivitas social, selanjutnya Arnold Van Gennep mengemukakan dimana terdapat ritus
peralihan dalam kehidupan individu. Sakit diare pada balita dalam masyarakat Jawa dianggap
sebagai suatu pertanda akan adanya perubahan dalam diri balita tersebut, seperti menambah
ketrampilan (akal-akal), ketrampilan berbicara, ketrampilan berlari (ngenteng-ngentengi), dll. Ada
beberapa jenis penyakit yang tidak dianggap sakit oleh masyarakat Jawa, seperti: masuk
angin, pilek/ umbelen (flu), sakit gigi, mumet, gudigen,  yang kesemuanya itu merupakan bagian
dari dunia anak-anak yang dianggap wajar.

 System Medis Sebagai Strategi Adaptasi Sosial-Budaya

Strategi adaptasi social budaya melahirkan system-sistem medis, tingkahlaku, bentuk-bentuk


kepercayaan yang berdasarkan budaya, yang timbul sebagai respon terhadap ancaman-ancaman
yang disebabkan oleh penyakit. Sifat adaptif dari suatu system medis Nampak jelas dari definisi
Dunn yang baru: “pola-pola dari pranata-pranata social dan tradisi-tradisi budaya yang
menyangkut perilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan, meskipun hasil dari
tingkahlaku tersebut belum tentu menghasilkan kesehatan yang baik”.

Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa system medis merupakan hasil dari adanya gagasan
yang melekat dalam diri masyarakat untuk merespon suatu penyakit, mereka menggunakan
berbagai cara untuk menghilangkan sebuah penyakit yang diderita seseorang. Seperti dalam salah
satu suku di Kalimantan yang ketika salah satu anggota suku terkena suatu penyakit misalnya
“stroke” dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya, maka keluarga dan warga sekitar akan
melakukan suatu upacara penyembuhan penyakit. Upacara ini dilakukan karena mereka
menganggap si pasien yang tidak bisa menggerakan anggota tubuhnya (stroke) adalah karena ada
sebagian jiwa dalam dirinya yang hilang, dan untuk memanggil jiwa itu kembali kepada si pasien
maka perlu dilakukan upacara pemanggilan jiwa tersebut. Upacara ini melibatkan banyak orang
dan banyak sesaji, untuk memanggil jiwa yang hilang mereka akan melakukan tarian-tarian
khusus untuk memanggil roh-roh nenek moyang dan meminta restu. Sejatinya meskipun secara
medis modern upacara ini tidak menyembuhkan pasien secara total, tetapi dalam suatu komunitas
tersebut sudah menunjukan adanya solidaritas, serta upacara yang dilakukan memberikan
dampak bagi kondisi psikis si pasien, setidaknya ia merasa lebih nyaman setelah diadakan upacara
penyembuhan penyakitnya.

Secara singkat, system medis adalah mencakup semua kepercayaan tentang usaha meningkatkan
kesehatan, dan tindakan serta pengetahuan ilmiah maupun ketrampilan anggota-anggota
kelompok yang mendukung system tersebut. Kita semua dapat melihat bagaimana suatu
masyarakat menciptakan suatu strategi untuk menghadapi penyakit. Dalam usahanya untuk
menanggulangi penyakit, manusia mengembangkan suatu kompleks yang luas dari pengetahuan,
kepercayaan, teknik, adat-istiadat, ideology dan lambing-lambang yang saling berkaitan dan
membentuk suatu system yang saling menguatkan dan saling membantu. Kompleks yang luas
tersebut dan hal-hal yang lain membentuk suatu system medis.[2]

Sesuai pengertian dari Foster dan Anderson, merinci suatu system medis dalam dua bagian, (1)
Sistem Teori Penyakit, dan (2) Sistem Perawatan Kesehatan.

System teori penyakit meliputi kepercayaan-kepercayaan mengenai ciri-ciri sehat, sebab-sebab


sakit, serta pengobatan dan teknik penyembuhan lain yang digunakan oleh para dokter , Sistem-
sistem teori penyakit berkenaan dengan kausalitas, penjelasan yang diberikan penduduk
mengenai hilangnya kesehatan, dan penjelasan mengenai pelanggaran tabu, mengenai kehilangan
jiwa orang, mengenai gangguan keseimbangan unsur panas dingin dalam tubuh atau kegagalan
sistem imun terhadap virus. Dengan demikian, suatu sistem teori penyakit merupakan suatu
sistem ide konseptual, suatu konstruk intelektual, bagian dari orientasi kognitif anggota-anggota
kelompok tersebut.

System teori penyakit menjelaskan kepada kita bagaimana suatu kelompok memaknai sakit,
terdapat suatu kelompok masyarakat yang percaya ketika seseorang sakit itu dikarenakan orang
tersebut telah melanggar tabu, misalnya menebang pohon besar dihutan yang mengakibatkan
penghuni pohon marah dan mengganggu orang tersebut, sehingga orang tersebut jatuh sakit.
Kelompok masyarakat yang masih mempercayai adanya gangguan makhluk halus yang
menyebabkan seseorang sakit memberikan dampak konservatif untuk lingkungan, dimana pada
akhirnya suatu anggota kelompok tidak dengan semena-mena menebang pohon dihutan. Dengan
system teori penyakit maka selanjutkan dilakukan System perawatan kesehatan. Sistem
perawatan kesehatan memperhatikan cara-cara yang dilakukan oleh berbagai masyarakat untuk
merawat orang sakit dan untuk memanfaatkan pengetahuan tentang penyakit untuk menolong
pasien. Suatu sistem perawatan kesehatan merefleksikan sistem penyebab penyakit, dengan ini
dapat menentukan keputusan yang diambil dan tindakan yang diambil dalam menangani pasien.
Dengan adanya teori penyakit dapat membantu masyarakat untuk menentukan perawatan
kesehatan mereka, ketika seseorang terkena penyakit dari gangguan makhluk halus maka mereka
dapat memutuskan system perawatan kesehatan dengan cara melakukan upacara penyembuhan
serta pemberian sesaji kepada makhluk halus. Namun, untuk masyarakat modern ketika
pemikiran mereka tentang penyakit dikatakan lebuh realistis, mereka juga akan mencari layanan
kesehatan sesuai dengan pemahaman mereka.

System medis tradisional secara khusus terbagi menjadi dua tipe berdasarkan system etiologi
penyakit, yang pertama yaitu system medis personalistik dimana dalam system medis ini
masyarakat percaya bahwa penyakit datang dari agen-agen personal yang aktif, seperti makhluk
supranatural (makhluk gaib), makhluk bukan manusia (hantu, ruh leluhur, roh jahat), maupun
makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung) dimana orang sakit adalah korban dari adanya
agen-agen aktif tersebut. Kemudian, system medis naturalistic dimana penyakit (illness)
dijelaskan dengan istilah sistemik pribadi, mengakui adanya system keseimbangan dalam tubuh,
seperti panas, dingin, cairan tubuh, yin dan yang, berada dalam keadaan yang seimbang menurut
usia dan lingkungannya. Apabila keseimbangan terganggu maka akan menyebabkan suatu
penyakit.

Menurut Fred Dunn (1976) secara geografis dan setting budaya, system medis dapat
dikelompokan dalam tiga gabungan: (1) system medis local, suatu kategori yang dapat
mengelompokkan sebagian besar system medis “primitive” atau “folk medicine”; (2) system medis
regional, seperti system medis Ayurveda, Yunani, dan Cina; (3) dan system medis cosmopolitan
(universal, system medis modern, ilmiah).
System medis local, system medis ini umumnya hanya berkembang pada daerah tertentu atau
secara local. Umumnya pengobatan ini dilakukan oleh seorang dukun, dengan menggunakan
diagnose terhadap pasien guna menentukan pengobatan yang tepat, diagnose dilakukang dengan
kombinasi metode petungan (numerology), meditasi serta analisa. Obat yang diberikan juga tidak
berbeda-beda pada setiap daerah, namun pada umumnya adalah berupa ramuan dari tumbuh-
tumbuhan atau biasanya jika orang Jawa menyebutnya dengan sebutan Jamu, serta adapula
pengobatan mekanis dengan memijat, menggosok-gosok kulit, memulihkan letak tulang, dengan
disertai mantra. Pada msyarakat Trobrian menurut Malinowski, mantra merupakan bagian yang
paling essensial, sementara pada masyarakat Jawa menurut Geerts justru aspek keadaan pemberi
obat dianggap sebagai elemen yang essensial.

Selanjutnya adalah system medis regional, pemunculan system kesehatan regional menurut Mayer
(1991) kira-kira dalam masa yang sama yaitu berabad-abad sebelum masehi. Tokoh legendaries
yang dianggap sebagai pendiri adalah Hippocrates di Yunani, Kaisar Kuning di Cina, dan Caraka
atau susruta di India. System medis ini berbeda dengan system medis local karena didasari dari
bahan tertulis, kesamaan dari ketiga nya adalah mengakui keseimbangan, sehat terjadi apabila
unsure-unsur yang tetap dalam tubuh humoral dalam keadaan seimbang, menurut usia dan
kondisi lingkungan. Apabila keseimbangan ini terganggu akan memunculkan sebuah penyakit.[3]

System medis Yunani juga dikenal dengan system “Patologi Humoral”, yang mana tercatat dalam
sejarah tradisi Yunani oleh Hippocrates, Patologi humoral berdasarkan atas konsep humor (cairan)
dalam tubuh manusia. Akarnya ditemukan dalam teori yunani mengenai empat unsure (tanah, air,
udara, dan api) yang telah dikenal sejak abad ke-6 SM, Dalam patologi homoral Amerika Latin
masakini, penyakit dianggap karena masuknya panas dan dingin yang berlebihan. Kadang-kadang,
suhu aktual juga dianggap sebagai penyebab. Seperti halnya penjelasan seorang wanita bahwa ia
menderita kejang karena kelalaiannya mencuci tangannya di air dingin, padahal sebelumnya
tangannya panas karena menyetrika pakaian. Dalam teori penyakit yang disebabkan oleh panas
diobati dengan sesuatu yang dingin, juga dengan tindakan2 yang dapat mendinginkan. Umumnya,
sebagian besar pengobatan merupakan campuran dari sejumlah unsur dimana ditekankan
keseimbangan panas dan dingin.

Kemudian system pengobatan Ayurveda dari India, Di India pada masa ini, banyak makanan
dianggap mempunyai kualitas memanaskan atau mendinginkan, dan seperti dalam patologi
humoral, kombinasi yang tepat dari macam-macam makanan dan ramuan-ramuan dapat
memulihkan keseimbangan tubuh yang terganggu. Kepercayaan ini berasal dari pengobatan
Ayurveda India, suatu sistem pengobatan pribumi yang pertamakali muncul dalam tulisan-tulisan
veda pada tahap awal di abad pertama sebelum masehi. Menurut teori Ayurveda, alam semesta
terdiri dari empat unsur yang sama seperti yang dikenal oleh orang Yunani (bumi, api, air, udara)
ditambah unsur kelima yaitu Ether. Pengaturan kelima unsur tersebut dalam tubuh, dimana
masing-masing unsur memiliki lima bentuk “halus” dan lima bentuk “material”, merupakan
mikrokosmos dari alam semesta. Tubuh manusia juga memiliki tiga humor dosha (tridosha) :
flegma, empedu/cairan pada empedu, serta angin/ gas dalam saluran pencernaan, keadaan sehat
terjadi apabila satu atau lebih dosha tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Pengobatan tradisional cina mewakili kasus khusus tentang konsep sentral dalam kosmologi Cina,
“pasangan kekuatan yin dan yang, dimana interaksi mereka yang terus menerus berada dibalik
seluruh gejala alam,termasuk pembentukan dan berfungsinya tubuh manusia” ( Crozier 1968:17),
Hubungan antara tubuh manusia, kesehatan, dan alam semesta juga ditemukan dalam
keselarasan antara jumlah hari dalam setahun dengan 365 obat-obatan yang berasal dari
farmakopea masalalu yang kini masih bertahan ( Crozier 1968:20) dan dengan 365 titik pada
permukaan tubuh yang dikenal untuk penusukan jarum-jarum akupuntur (veith, 1972:62).[4]

Kesehatan merupakan aspek penting yang harus dimiliki seseorang untuk melangsungkah
kehidupan sehari-hari, dengan banyaknya sosialisasi mengenai pola hidup sehat, banyaknya
model pelayanan medis, seharusnya tidak ada lagi alasan bagi seseorang untuk tidak hidup sehat.
Karena dengan kondisi sehat secara fisik, psikis, dan social, seseorang dapat beradaptasi dengan
baik di lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan social.

Demikian penjelasan mengenai bagaimana kebudayaan berpengaruh terhadap kesehatan dan


model pengobatan penyakit yang dapat saya sampaikan.

Hubungan Aspek Sosial Budaya Dan Kesehatan


Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sansekerta) buddhayah yang merupakan bentuk
jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang
bersangkutan dengan budi atau akal”. Menurut E.B Tylor mendefinisikan kebudayaan
adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semuanya
yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan
terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya
mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak (Soekanto,
2006).

Setiap manusia mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Koentjaraningrat (2005)


mengemukakan bahwa kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud, yaitu : wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan peraturan-
peraturan, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat, dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia.

Goodenough dalam Dumatubun (2002) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu


sistem kognitif yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam
pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada dalam
“tatanan kenyataan yang ideasional”, merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-
anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan,
perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam
masyarakat, dan digunakan sebagai pedoman bagi anggota-anggota masyarakat untuk
berperilaku sosial yang baik/pantas dan sebagai penafsiran bagi perilaku orang-orang lain.

Manusia dalam menghadapi lingkungan senantiasa menggunakan berbagai model tingkah


laku yang selektif (selected behaviour) sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Pola
perilaku tersebut didasarkan pada sistem kebudayaan yang diperoleh dan dikembangkan
serta diwariskan secara turun temurun.

Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan dan pemakaian


kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Pewarisan budaya
bersifat vertikal artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi
berikutnya untuk digunakan, dan selanjutnya diteruskan kepada generasi yang akan datang.

Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi atau
pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu
dengan sistem nilai, norma, adat, dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses
enkulturasi dimulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak, bermula dilingkungan keluarga,
teman sepermainan, dan masyarakat luas (Herimanto dan Winarno, 2008).

Dalam melakukan tindakan pada suatu interaksi sosial, seseorang dipandu nilai-nilai. Nilai-
nilai tersebut adalah prinsip-prinsip yang berlaku pada suatu masyarakat tentang apa yang
baik, apa yang benar dan apa yang berharga yang harusnya dimiliki dan dicapai oleh warga
masyarakat. Sistem nilai mencakup konsep-konsep abstrak tentang apa yang dianggap
baik, dan apa yang dianggap buruk dan itulah sesungguhnya inti dari suatu kebudayaan
(Badrujaman, 2008).

Nilai sebagai keyakinan yang pantas dan benar bagi diri dan orang lain dalam lingkungan
kebudayaan tertentu diharapkan dijalankan bagi semua warganya termasuk generasi
selanjutnya. Pandangan tentang pengertian nilai menurut Bambang Daroeso, nilai adalah
suatu kualitas atau penghargaan terhadap sesuatu, yang menjadi dasar penentu tingkah
laku seseorang (Herimanto dan Winarno, 2008). Perwujudan dari nilai yang bersifat abstrak
menjadi suatu pola perilaku senyatanya dan perilaku dibenarkan, disebut norma (norm),
norma sebagai perilaku nyata (empirik) yang bersifat objektif, dapat diamati, dan telah
terpolakan dalam masyarakat. Norma merupakan tatanan yang menuntut individu harus
berperilaku tertentu (Polak, 1991; Giddens, 1995, Hamzah, 2000).

Khusus dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan dinamakan pula struktur
normatif atau menurut istilah Ralp Linton designs for living (garis-garis atau petunjuk dalam
hidup). Artinya kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku atau blue print
of behaviour yang merupakan peraturan-peraturan mengenai apa yang seharusnya
dilakukan, apa yang dilarang, dan lain sebagainya.

Konsep sehat dilihat dari segi sosial, yaitu berkaitan dengan kesehatan pada tingkat
individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi, serta budaya yang
melingkupi individu tersebut. Untuk sebuah kesehatan masyarakat menciptakan sebuah
strategi adaptasi baru dalam menghadapi penyakit. Strategi yang memaksa manusia untuk
menaruh perhatian utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usahanya
untuk menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan “suatu kompleks luas dari
pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai, idiologi, sikap, adat-
istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan dan membentuk
suatu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu (Anderson, 1980, dalam
Badrujaman, 2008).

Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Sistem budaya,
berarti mewujudkan perilaku sebagai suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat, yang
diwujudkan dalam sistem sosial. Berbicara tentang konsep perilaku, hal ini berarti
merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku kesehatan seseorang
sangat berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan
sosialnya, berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial)
berdasarkan kebudayaan masing-masing (Dumatubun, 2002). Selain dengan pengamalan
perilaku dalam konteks budaya, pengamalan perilaku setiap individu sangat erat kaitannya
dengan “belief, kepercayaan” sebagai bagian nilai budaya masyarakat bersangkutan
(Ngatimin, 2005)

Nilai-nilai sosial budaya memiliki arti penting bagi manusia dan masyarakat penganutnya.
Didalamnya tercakup segala sesuatu yang mengatur hidup mereka termasuk tatacara
mencari pengobatan bila sakit. Kekurangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan
disertai pengalaman hidup sehari-hari yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya membuat mereka mencari pemecahan timbulnya penyakit, penyebaran dan cara
pengobatan menuju ke arah percaya akan adanya pengaruh roh halus dan tahyul.

Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah laku
yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian
dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan nilai
sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan atau
kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau
pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma
kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur,
dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam
memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit
maupun menyembuhkan diri dari penyakit (Kalangi, 1994). Oleh karena itu dalam
memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat dalam hubungannya dengan
kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-individunya.

Daftar Bacaan :

Badrujaman Aip, 2008, Sosiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Trans Info Media, Jakarta
Dumatubun, A E, 2002, Kebudayaan Kesehatan Orang Papua Dalam Perspektif Antropologi
Kesehatan, Jurnal Antropologi Papua Vol 1 No.1.
Hamzah Asiah, 2000. Pola Asuh Anak pada Etnik Mandar, Studi Budaya Lokal Dengan
Pendekatan Etnometodologi, Interaksi Simbolik, Dan Analogi Model Kasper Pada
Pengasuhan Anak, Disertasi, 2000
Herimanto dan Winarno, 2008, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Bumi Aksara, Jakarta.
Kalangi Nico S, 2004, Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan Kesehatan
Primer Melalui Pendekatan Sosial Budaya, Megapoin, Jakarta.
Koentjaraningrat, 2005, Pengantar Antropologi I, Rineka Cipta, Jakarta
Ngatimin Rusli, 2005, Ilmu Perilaku Kesehatan, Yayasan PK-3, Makassar.
Soekanto Soerjono, 2006, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.

[1] Joyomartono, Mulyono. 2010. Pengantar Antropologi Kesehatan. Semarang: Unnes Press


( Hal.7)

[2] Foster and Anderson. 1978. Antropologi Kesehatan. UI Press (hal.44)

[3] Joyomartono, Mulyono. 2010. Pengantar Antropologi Kesehatan. Semarang: Unnes Press


(Hal.55)

[4] Foster and Anderson. 1978. Antropologi Kesehatan. UI Press

Anda mungkin juga menyukai