Anda di halaman 1dari 22

Ukuran Panggul Ibu Hamil dan Pengaruhnya pada Proses Melahirkan Terbit: 17 November

2021 | Diperbarui: 26 September 2022 Ditulis oleh: Gerardus Septian Kalis | Ditinjau oleh:
dr. Aloisia Permata Sari Rusli Mengetahui ukuran panggul normal ibu hamil diperlukan untuk
mengenali ada tidaknya cephalopelvic disproportion atau panggul sempit. Simak penjelasan
mengenai ukuran panggul normal pada ibu hamil, selengkapnya di bawah ini. Perubahan
Panggul selama Kehamilan Sebelum menjelaskan mengenai ukuran panggul normal ibu
hamil, penting untuk diketahui bahwa bentuk, posisi, pergerakan sendi serta ligamennya
menyesuaikan untuk menopang bayi selama kehamilan. Perubahan ini juga membuat
persalinan lebih mudah bagi ibu dan bayi. Sementara itu, melahirkan secara normal (vaginal
birth) mengharuskan kepala bayi berada di bawah dan menghadap punggung ibu. Posisi ini
membantu bayi turun melalui panggul dan jalan lahir. Bentuk Panggul dan Proses
Melahirkan Pada dasarnya, setiap wanita memiliki bentuk panggul yang berbeda-beda.
Secara umum, ada empat jenis panggul utama pada wanita. Jenis yang Anda miliki dapat
memengaruhi mudah tidaknya melahirkan secara normal. Empat jenis panggul itu adalah: 1.
Ginekoid Ini adalah jenis panggul yang paling umum pada wanita dan umumnya dianggap
sebagai panggul wanita yang khas. Bentuk keseluruhannya bulat, tidak dalam, dan terbuka.
Panggul ini dianggap sebagai tipe panggul yang paling disukai untuk persalinan pervaginam.
Ini karena bentuknya yang lebar dan terbuka sehingga memberi bayi banyak ruang selama
persalinan. 2. Android Jenis panggul ini lebih mirip dengan panggul pria. Bentuknya lebih
sempit dari panggul ginekoid dan berbentuk seperti hati atau irisan. Bentuk panggul android
yang lebih sempit dapat mempersulit persalinan karena bayi mungkin bergerak lebih lambat
melalui jalan lahir. Beberapa wanita hamil dengan jenis ini mungkin memerlukan operasi
caesar. 3. Antropoid Pelvis antropoid sempit dan dalam. Bentuknya mirip telur tegak atau
lonjong. Bentuk panggul antropoid yang memanjang membuatnya lebih lapang dari depan
ke belakang daripada panggul android. Akan tetapi, bentuknya masih lebih sempit dari
panggul ginekoid. Beberapa wanita hamil dengan tipe panggul ini mungkin dapat melahirkan
secara normal, tetapi persalinan mungkin berlangsung lebih lama. 4. Platipeloid Pelvis
platipeloid juga disebut flat pelvis. Ini adalah tipe yang paling tidak umum. Bentuk lebar
tetapi tidak dalam dan menyerupai telur atau oval. Bentuk panggul platipeloid dapat
mempersulit persalinan pervaginam karena bayi mungkin mengalami kesulitan melewati
pintu atas panggul. Banyak wanita hamil dengan bentuk panggul ini perlu menjalani operasi
caesar. Faktor Lain yang Memengaruhi Proses Persalinan Selain bentuk panggul, faktor lain
yang dapat dapat memengaruhi apakah Anda dapat melahirkan secara normal adalah:
Posisi janin tidak normal, seperti sungsang atau melintang. Ukuran tubuh janin Kehamilan
kembar. Serviks tidak cukup melebar. Gangguan detak jantung bayi. Tali pusar melilit janin.
Terdapat masalah dengan plasenta, seperti plasenta previa. Pernah menjalani operasi
caesar di masa lalu. Ada tidaknya komplikasi selama kehamilan misalnya pre-eklampsia,
gangguan fungsi jantung, dan lainnya Ukuran Panggul Normal pada Ibu Hamil Setelah
mengetahui berbagai bentuk panggul seperti diatas, hal yang tidak kalah penting adalah
ukuran panggul saat hamil. Prosedur yang umumnya dilakukan oleh tenaga medis ini
diperlukan untuk mengetahui panggul seseorang normal atau tidak. Ukuran-ukuran panggul
yang normal adalah sebagai berikut: Distansia spinarum, jarak antara kedua spina iliaka
anterior superior 24-26 cm. Distansia cristarum, jarak antara kedua crista iliaka kanan kiri
28-30 cm. Konjugata eksterna (boudeloque) 18 -20 cm. Lingkaran panggul 80-90 cm. Saat
melakukan pengukuran distansia spinarum dan distansia cristarum, Bumil harus berbaring
terlentang dengan kedua kaki diluruskan. Sedangkan untuk pengukuran konjugata eksterna,
dilakukan dengan berbaring miring membelakangi tenaga medis dengan kedua kaki
diluruskan. Untuk pengukuran lingkar panggul dilakukan dalam posisi berdiri. Apabila Bumil
memiliki panggul yang kecil, Anda tidak perlu khawatir, diskusikan kondisi dengan dokter
spesialis kebidanan dan kandungan
Baca lebih lanjut di DokterSehat: Ukuran Panggul Ibu Hamil dan Pengaruhnya pada Proses
Melahirkan | https://doktersehat.com/ibu-dan-anak/kehamilan/ukuran-panggul-ibu-hamil-dan-
pengaruhnya-pada-proses-melahirkan/
MENGUKUR RONGGA PANGGUL
IBU HAMIL
 

Setiap janin yang akan lahir pasti melalui rongga panggul, yang terdiri dari tulang
dan bentuknya seperti lubang. Itu sebabnya, pemeriksaan atau pengukuran luas rongga
panggul selagi hamil menjadi sangat penting. Mengetahui ukuran rongga panggul ibu hamil,
bisa untuk memperkirakan, apakah janin akan lahir secara normal atau Caesar.

Pas kepala janin. Idealnya, luar ronggal panggul ibu sesuai dengan besar kepala dan badan
janin. Bila tidak, akan menghambat proses persalinan, pengaruhnya bisa pada janin
maupun ibunya.

 Bagi janin. Rongga panggul yang tidak bisa dilewati janin menimbulkan terjadinya
tekanan antara kepala janin dengan tulang panggul ibu. Padahal, setiap tekanan
pada kepala janin akan membuat aliran oksigen ke otak terganggu. Bila ini
berlangsung lama, janin terancam mengalami gangguan otak.
 Bagi ibu. Kalau besar rongga panggul Anda tidak bisa dilewati janin, Anda tidak bisa
melahirkan secara normal, sehingga harus melalui operasi Caesar.

Bisa dideteksi. Waktu tepat pemeriksaan dan pengukuran panggul (palvimetri) adalah


minggu ke-36 dengan melakukan pemeriksaan dalam. Dokter memasukkan dua jari
telunjuk dan tengah ke jalan lahir untuk mengukur diameter dan luas pintu panggul. Dokter
atau bidan menilai kapasitas panggul Anda, akan dilihat juga seberapa jauh kepala atau
bagian tubuh janin turun dalam rongga panggul. Dari sinilah bisa diperkirakan kelak janin
bisa melewati rongga panggul  Anda atau tidak. Menjelang persalinan tiba, biasanya
pemeriksa rongga diulang lagi. Biasanya, pada saat ini dilakukan juga pemeriksaan terhadap
pembukaan mulut rahim (sudah sampai pembukaan berapa), sebagai persiapan
persalinan. 
DIAGNOSIS CEPHALOPELVIC DISPROPORTION
Oleh :
dr.Saphira Evani
Share To Social Media:
  
Diagnosis cephalopelvic disproportion (CPD) sementara ini masih mengandalkan tanda
klinis saat persalinan. Pemeriksaan pelvimetri secara klinis maupun radiologi dapat
digunakan untuk membantu memprediksi CPD sebelum terjadi proses persalinan, terutama di
daerah perifer dengan fasilitas SC kurang memadai.
Belum ada pemeriksaan penunjang yang menjadi standar baku emas untuk menegakkan
diagnosis CPD. Pemeriksaan X-ray, CT scan, dan MRI pelvimetri belum terbukti secara
akurat lebih berguna daripada pemeriksaan klinis [20]
Anamnesis
Saat anamnesis dapat ditanyakan riwayat persalinan dengan makrosomia atau kontraktur
pelvis pada pasien maupun keluarga pasien. Riwayat penyakit seperti diabetes
gestasional perlu ditanyakan karena dapat mengakibatkan makrosomia.
Riwayat penyakit lain yang dapat mempengaruhi kondisi panggul seperti skoliosis, fraktur
pelvis, dan rakitis juga harus ditanyakan karena akan menjadi pertimbangan untuk dilakukan
pelvimetri radiologi. Tanyakan juga pada pasien metode persalinan sebelumnya.[1]
Pada proses  kehamilan, terutama saat usia kehamilan lanjut >36 minggu, PAP yang sempit
membuat janin tidak dapat turun, sehingga fundus uteri tetap tinggi dan ibu mengeluhkan
sesak, sulit bernapas, rasa penuh di ulu hati, dan perut yang besar membentuk abdomen
pendulum (perut gantung).

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik CPD dapat dilakukan saat antenatal atau melalui pemeriksaan panggul saat
inpartu. Pemeriksaan panggul dapat dilakukan dengan cara pelvimetri klinis baik eksternal
maupun internal.

Pemeriksaan Antropometri Antenatal

Selain ukuran panggul yang sempit, kriteria lain yang perlu dinilai pada antropometri  adalah
tinggi badan ≤145 cm, pertambahan berat badan ibu >15 kg (biasanya berhubungan dengan
ukuran janin yang besar), dan BMI ibu >30.[17]

Pelvimetri Eksternal

Pemeriksaan pelvimetri eksternal dilakukan menggunakan instrumen yang disebut Berisky


pelvimeter. Pada pelvimetri eksternal dilakukan pengukuran jarak antara krista iliaka, jarak
antara spina iliaka anterior-superior, jarak intertrokanter, jarak diagonal transversal area
Michaelis-sakrum, dan intertuberositas.

Sebuah penelitian melaporkan bahwa sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan paling tinggi
adalah jarak diagonal transversal Michaelis-sakrum (60,7%, 84,1%). Namun, positive
indicative value seluruh paremeter pelvimetri eksternal tersebut relatif rendah yakni 12,6-
35,4%.
Di daerah terpencil, di mana pelvimetri radiologi tidak tersedia, pelvimetri eksternal dapat
menjadi alternatif yang murah dan mudah digunakan untuk memprediksi
risiko distosia akibat CPD.[21,22]
Pelvimetri Internal

Pemeriksaan fisik lain untuk memprediksi CPD adalah melalui pelvimetri internal. Pelvimetri
internal dilakukan dengan cara vaginal toucher (VT)/ pemeriksaan dalam menggunakan jari
telunjuk dan tengah untuk mengevaluasi kapasitas panggul, yakni bagian pintu atas panggul
(PAP), ruang tengah panggul (RTP), dan pintu bawah panggul (PBP).
Pelvimetri internal berbeda dengan VT biasa yang rutin dikerjakan pada persalinan yang
bertujuan mengevaluasi bukaan serviks, kantong amnion, penurunan, dan posisi janin.

Menurut WHO, pelvimetri internal tidak dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada ibu
hamil yang sehat dengan kemajuan persalinan yang normal. Pelvimetri internal umumnya
dilakukan saat pasien mengalami inpartu. Pemeriksaan ini dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman pada pasien.

Pada pelvimetri internal dilakukan penilaian terhadap bentuk dan ukuran rongga dalam
pelvis. Walaupun akurasi diagnosis dengan cara ini tidak pasti (tergantung kemahiran
pemeriksa), beberapa penelitian melaporkan bahwa pelvimetri internal berguna untuk
memperkirakan CPD pada pasien nulipara saat tidak ada modalitas pemeriksaan lain
misalnya di daerah-daerah pedesaan.[23]

Hasil pelvimetri internal yang menunjukkan adanya panggul sempit antara lain pemeriksa
dapat meraba promontorium sakrum, tulang spina ischiadika yang tajam dengan diameter
interspinarum yang sempit, dinding sisi pelvis yang konvergen, sakrum yang melengkung
dan menonjol ke depan, dan arkus pubis yang sempit (<90o).
Pelvimetri internal dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran kualitatif struktur panggul
dan mengidentifikasi risiko distosia pada pasien.[4,24]

Mengukur konjugata diagonalis dilakukan dengan memasukkan dua jari (jari telunjuk dan
tengah) ke vagina dan meraba promontorium sakrum dengan jari tengah. Menggunakan jari
telunjuk raba bagian posterior simfisis pubis. Ukuran konjugata diagonalis harus lebih besar
dari 11,5 cm.
Bagian tulang PBP dapat diukur menggunakan kepalan tangan, kemudian membandingkan
dengan jarak antara tuberositas ischium yang teraba. Ukuran lebih besar dari 8 cm dianggap
normal. Lakukan perabaan spina ischiadika apakah tajam atau mendatar. Perabaan bagian
tepi pelvis menilai bentuk lurus, divergen, atau konvergen.[1]

Hasil pemeriksaan pelvimetri internal yang normal adalah :

 Bagian tepi atas tulang panggul bulat

 Konjugata diagonalis ≥12,5 cm

 Ketebalan simfisis pubis cukup, sejajar dengan sakrum

 Sakrum berongga, kelengkukngan cukup

 Dinding tepi panggul lurus

 Spina ischiadika tumpul

 Diameter interspinarum ≥10 cm

 Lebar tonjolan sakroskiatik 2,5-3 jari

 Sudut suprapubik >90 derajat (lebar 2 jari)

 Diameter antara tuberositas >8 cm (sekepalan tangan)

 Coccyx mobile
 Diameter anteroposterior PBP ≥11 cm [3]

Pemeriksaan Obstetri

Pada pemeriksaan obstetri ibu nulipara bila bagian terbawah janin tidak masuk ke PAP pada
usia kehamilan >36 minggu, perlu dicurigai adanya CPD. Pada keadaan multipara penurunan
janin biasanya terjadi saat proses persalinan dimulai.[24] Pada pemeriksaan Leopold IV,
penurunan kepala 2/5 menunjukkan proses engagement sudah terjadi dan kemungkinan CPD
setinggi PAP dapat disingkirkan.
Penurunan kepala dapat dinilai melalui pemeriksaan dalam dengan parameter spina
ischiadika dan bagian terendah janin. Station 0 berada setinggi spina ischiadika, station +4
dan +5 menunjukkan kepala sudah mencapai dasar panggul. Pada nulipara, diagnosis CPD
harus dipikirkan bila bagian terendah janin masih berada pada station yang tinggi selama kala
I dan II.[3]
Pemeriksaan dengan manuver Mueller-Hillis atau Munro-Kerr's head-fitting test dapat
dilakukan untuk menilai kesempitan PAP pada usia kehamilan yang cukup dan kepala
belum engaged. Manuver Mueller-Hillis ini dilakukan dengan mencekap bagian suboccipital
janin dari dinding abdomen ibu kemudian menekan ke arah bawah PAP. Jika tidak ada
kesempitan pada PAP maka kepala dapat memasuki panggul.[1]
Munro Kerr's head-fitting test juga menguji apakah kepala janin dapat masuk ke PAP, dengan
cara memberikan penekanan pada kepala janin menggunakan tangan kiri ke arah panggul
(bawah) dan jari telunjuk dan tengah tangan kanan di dalam vagina merasakan penurunan
kepala dan ibu jari di bagian luar simfisis pubis.
Bila kepala dapat masuk dan turun, maka kemungkinan PAP sempit dapat disingkirkan. Bila
kepala terasa overlapping ke arah simfisis (teraba oleh ibu jari) maka dapat dicurigai adanya
CPD.[3]
Tanda Klinis Intrapartum

Tanda klinis CPD yang dapat ditemukan saat intrapartum adalah kepala janin tidak kunjung
masuk PAP serta pendataran (effacement) dan dilatasi serviks yang lambat walaupun
kontraksi uterus baik.[25] American Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
dan beberapa literatur lain menyetujui bahwa diagnosis CPD baru bisa ditegakkan pada saat
inpartu/ percobaan persalinan.
Jika CPD dicurigai pada saat proses persalinan, evaluasi kembali hal-hal berikut:

 Ukuran dan bentuk panggul

 Presentasi dan posisi janin

 Ada tidaknya molase atau caput succedaneum pada kepala janin

 Aktivitas janin

 Vesika urinaria dan rektum pasien terisi atau tidak

 Kualitas dan kuantitas kontraksi uterus

 Dilatasi dan pendataran serviks

 Penurunan kepala janin terhadap bidang Hodge atau terhadap spina ischiadika
(sistem station).[3]
Jika terjadi hipoksia atau hipoglikemia pada janin, tanda yang dapat diamati adalah
penurunan denyut jantung janin (bradikardia) dan deselerasi lambat
pada cardiotocography (CTG).
Kriteria diagnosis CPD berdasarkan ACOG dan RTCOG (Royal Thai College of
Obstetricians and Gynecologists) harus memenuhi 3 kondisi di bawah ini:
 Dilatasi serviks ≥3 cm (ACOG) atau ≥4 cm (RTCOG) dan pendataran serviks 100%
(ACOG) atau 80% (RTCOG)

 Kontraksi uterus adekuat selama minimal 2 jam

 Kurva persalinan abnormal [26]

Beberapa literatur menyebutkan bahwa CPD baru bisa dicurigai jika dengan
penggunaan oksitosin tetap tidak ada kemajuan persalinan dan baru bisa ditegakkan bila
sudah ada perpanjangan kala I (>12 jam) atau perpanjangan kala II (>2 jam) pada ibu hamil
yang mendapat oksitosin.[1]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding CPD absolut adalah kelainan presentasi wajah, presentasi occiput-
posterior, dan presentasi alis posterior. Membedakan presentasi tersebut dilakukan melalui
pemeriksaan palpasi bagian janin pada dinding abdomen bawah dan juga pemeriksaan dalam/
vaginal toucher meraba bagian terbawah janin.

Adanya jaringan pada uterus seperti fibroid uterus atau kondisi plasenta previa juga dapat
menghambat penurunan kepala janin ke panggul. Massa di luar uterus seperti tumor ovarium
yang besar bahkan impaksi feses juga dapat mengganggu proses penurunan janin saat inpartu.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi dapat digunakan untuk
mendeteksi kelainan-kelainan tersebut.[1,27]

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk CPD pada masa kini kurang begitu berkembang oleh karena
tingkat akurasi yang tidak begitu baik dan mayoritas rumah sakit sudah mampu melakukan
SC bila terjadi kegagalan pada percobaan persalinan (trial of labor).
Diagnosis CPD sangat dibutuhkan pada saat akses ke fasilitas kesehatan dengan kemampuan
melakukan SC sangat terbatas atau jaraknya jauh, seperti pada daerah pedesaan.[19]
Rekomendasi American College of Obstetricians and Gynecology (ACOG) untuk
mendiagnosis CPD adalah melalui tanda klinis pada proses persalinan.
Pemeriksaan penunjang pada kasus CPD tidak terbukti efektif dapat memprediksi CPD dan
hasil yang negatif tidak menjamin nantinya tidak akan terjadi distosia pada proses persalinan.
Belum ada konsensus resmi mengenai penggunaan CT-scan atau MRI untuk pelvimetri.[9]
Pelvimetri X-ray

Indikasi dilakukannya pemeriksaan radiologi pelvimetri antenatal adalah kecurigaan CPD


dan presentasi sungsang yang menetap. Pemeriksaan pelvimetri menggunakan sinar X
digunakan untuk menentukan diameter pelvis dan diameter kepala janin dan membantu untuk
memutuskan metode persalinan yang tepat.[28]

Radiologi pelvimetri digunakan untuk mengevaluasi passageway dan passenger. Beberapa


parameter yang didapat dari pelvimetri adalah jarak konjugata vera, diameter transversal PAP
dan PBP, diameter interspinarum, dan diameter sagital dari permukaan simfisis pubis ke
permukaan sakrum setinggi spinosus.
Lingkar PAP dan PBP dihitung dari ukuran anteroposterior pelvis dan diameter transversal
menggunakan rumus (ap + dt x 1,57). Pelvimetri dengan sinar X dilakukan hingga tahun
2003, kemudian mulai digantikan dengan magnetic resonance imaging (MRI) pelvimetri
pada tahun 2004.[28,29]
Coherence Tomography (CT) Pelvimetri
CT pelvimetri mulai digunakan sejak tahun 1990-an, menggunakan dosis radiasi yang jauh
lebih rendah dibanding sinar X dan waktu pemeriksaan lebih singkat sehingga pasien lebih
nyaman saat pemeriksaan. Namun, CT pelvimetri tidak menunjukkan akurasi yang lebih baik
dibandingkan dengan pelvimetri X-ray.[3]

MRI Pelvimetri

MRI pelvimetri pertama kali diperkenalkan oleh Stark, et al. MRI pelvimetri digunakan
sebagai pemeriksaan yang aman dan dapat diandalkan untuk menilai keadaan pelvis pasien
dibandingkan teknik radiologi menggunakan sinar x. Banyak penelitian dilakukan untuk
membuktikan potensi penggunaan MRI pelvimetri pada antenatal untuk memperkirakan
prognosis persalinan per vaginam. Pemeriksaan MRI pelvimetri menurunkan jumlah sectio
caesarea emergensi secara signifikan.
Keuntungan MRI pelvimetri adalah tidak ada paparan radiasi pengion, pengukuran lebih
akurat, memperoleh gambaran keseluruhan janin, dan dapat digunakan untuk mengevaluasi
kemungkinan distosia akibat jaringan lunak. Namun, beberapa penelitian gagal membuktikan
akurasi MRI pelvimetri untuk menentukan apakah seorang ibu hamil memerlukan tindakan
SC atau tidak.[1]

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengukuran dimensi pelvis dan perkiraan taksiran
berat janin menggunakan MRI pelvimetri memiliki sensitivitas yang rendah (15-62%) untuk
mendeteksi CPD. MRI pelvimetri tidak secara akurat dapat mendeteksi apakah persalinan
dapat secara per vaginam atau dengan SC.[13]

Sampai saat ini penilaian kapasitas panggul menggunakan pelvimetri radiologi belum
menunjukkan keuntungan dan manfaat yang secara signifikan lebih superior dibandingkan
pelvimetri klinis.[3]

Ultrasonografi

Ultrasonografi (USG) digunakan untuk memperkirakan ukuran kepala janin dan taksiran
berat badan janin.

Fetal Pelvic Index (FPI) , yang diperkenalkan pertama kali oleh Thurnau dan Morgan, dapat
memperhitungkan komponen lingkar kepala janin dan lingkar abdomen dari hasil
ultrasonografi dengan ukuran PAP dan PBP pasien dari pelvimetri. Nilai FPI yang positif
berarti ukuran janin lebih besar dari ukuran pelvis, sedangkan hasil yang negatif berarti
ukuran janin lebih kecil dari ukuran pelvis.
Namun, hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa FPI adalah instrumen yang buruk untuk
menentukan apakah persalinan memerlukan secara SC atau tidak.[28] Sampai sekarang ini
pun belum ada pemeriksaan penunjang untuk mengukur kepala janin yang dapat secara
akurat memprediksi CPD.[1,17]

USG juga dapat mendeteksi kelainan kongenital seperti hidrosefalus yang dapat
menyebabkan CPD. Diameter biparietal kepala janin >12 cm menunjukkan CPD absolut.

Taksiran berat janin >4.000 gram dari hasil ultrasonografi memperkirakan janin makrosomia.
Janin makrosomia umumnya memiliki ukuran kepala lebih besar dan tengkorak yang
mengalami kalsifikasi lebih dibanding janin ukuran normal sehingga lebih sulit terjadi
molase/ moulding yang kemudian dapat menimbulkan CPD

Cephalopelvic Disproportion Atau CPD


Adalah Komplikasi Saat Persalinan, Apa
Itu?
Cephalopelvic disproportion atau CPD adalah kondisi ketika panggul
sempit ibu hamil disertai ukuran kepala bayi lebih besar saat melewati
panggul. Apa penyebab dan bagaimana penanganannya?

31 Agt 2020
| Annisa Amalia Ikhsania
Ditinjau oleh dr. Anandika Pawitri
Salin Link

Cephalopelvic disproportion atau CPD adalah kondisi ketika panggul sempit


ibu hamil disertai ukuran kepala bayi lebih besar saat melewati panggu
Table of Content
 Apakah benar kondisi panggul sempit pada ibu hamil sulit
melahirkan normal?
 CPD adalah kondisi komplikasi saat persalinan
 Apa penyebab dan faktor risiko cephalopelvic disproportion?
 Kenali gejala cephalopelvic disproportion ini
 Cara mendiagnosis cephalopelvic disproportion
 Cara penanganan cephalopelvic disproportion
 Risiko komplikasi cephalopelvic disproportion
 Bisakah CPD saat melahirkan normal dicegah?
Banyak orang menganggap anatomi panggul perempuan dapat
menentukan cara melahirkan. Bagi wanita yang memiliki panggul
besar, ia akan lebih mudah melahirkan. Sebaliknya, wanita dengan
pinggul kecil (CPD) dianggap sulit saat melahirkan normal. Apalagi jika
ukuran tubuh bayi sangat besar. Lantas, benarkah demikian?

Pada dasarnya, kondisi panggul sempit pada ibu hamil saat melahirkan
normal ditambah ukuran bayi yang terlalu besar
dinamakan cephalopelvic disproportion. Cephalopelvic disproportion atau
CPD adalah salah satu jenis komplikasi yang dapat terjadi pada saat
persalinan.
Apakah benar kondisi panggul sempit pada ibu hamil sulit melahirkan normal?

Pada dasarnya, ukuran panggul tidak dapat dijadikan patokan


kemungkinan adanya masalah saat melahirkan bayi, termasuk sulit
melahirkan secara normal.

Jika ukuran panggul sempit pada ibu hamil dan ukuran kepala atau
tubuh bayi kecil, kondisi ini mungkin tidak akan menjadi masalah saat
Anda ingin melahirkan normal.

Akan tetapi, kalau ukuran panggul sempit pada ibu hamil dan ukuran
kepala atau tubuh bayi besar, maka bayi tidak memungkinkan untuk
dilahirkan secara normal. Kondisi inilah yang dinamakan cephalopelvic
disproportion atau CPD.

Baca juga: Proses Melahirkan Normal: Tahapan, Proses, dan


Panduan Melaluinya
CPD adalah kondisi komplikasi saat persalinan

Cephalopelvic disproportion umum terjadi saat persalinan normal

Cephalopelvic disproportion atau CPD adalah panggul sempit, yang


dapat diartikan sebagai suatu kondisi di saat kepala atau tubuh janin
terlalu besar dan tidak muat untuk melewati panggul. Ini adalah salah
satu jenis komplikasi yang dapat terjadi saat persalinan.

Ini merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi ketika ukuran kepala
atau tubuh bayi terlalu besar untuk masuk melewati panggul ibu.

Ini artinya, cephalopelvic disproportion atau CPD adalah kondisi


ketidakcocokan akibat ukuran kepala bayi yang terlalu besar
dibandingkan ukuran rongga panggul ibu hamil. 

Walaupun ukuran panggul ibu hamil dapat memengaruhi proses


kelahiran bayi, cephalopelvic disproportion tidak selalu berarti kondisi
ukuran panggul sempit ibu hamil saat melahirkan.

Pasalnya, posisi bayi yang tidak tepat menjelang proses persalinan juga
menjadi salah satu faktor risiko terjadinya cephalopelvic disproportion.
Kondisi tersebut dapat terjadi karena bayi dalam kandungan mungkin
berada dalam posisi yang tidak sesuai saat dilahirkan, seperti
menghadap ke perut Anda.
Apa penyebab dan faktor risiko cephalopelvic disproportion?

Ukuran bayi terlalu besar melewati panggul ibu hamil jadi penyebab
panggul sempit

Umumnya, penyebab cephalopelvic disproportion atau CPD adalah


kondisi panggul sempit ibu hamil atau ukuran kepala bayi yang terlalu
besar.

Namun untuk lebih jelasnya, ada beberapa penyebab dan faktor


risiko cephalopelvic disproportion lainnya:
1. Ukuran bayi terlalu besar

Salah satu penyebab cephalopelvic disproportion atau CPD adalah


ukuran bayi terlalu besar.

Ukuran bayi terlalu besar dapat disebabkan oleh faktor


keturunan, diabetes gestasional atau kondisi lain yang menyebabkan
bayi mengalami makrosomia (berat bayi lebih dari 4000-4500 gram),
serta hidrosefalus (kondisi ketika cairan pada otak bayi menyebabkan
pembengkakan).

Selain itu, ukuran bayi terlalu besar penyebab cephalopelvic


disproportion atau CPD adalah kondisi postmaturity (belum melahirkan
saat usia kehamilan sudah matang) dan multiparitas (bukan kehamilan
yang pertama).
2. Posisi bayi

Selain ukuran bayi terlalu besar, penyebab disproporsi sefalopelvik


adalah posisi bayi yang tidak sesuai. Seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, posisi bayi dalam kandungan bisa saja tidak normal
atau bayi sungsang menjelang waktu persalinan.
3. Panggul sempit pada ibu hamil

Ukuran panggul ibu yang cenderung lebih kecil atau sempit, seperti
kurang dari 9,5 centimeter, dibandingkan ukuran panggul ibu hamil
normal pada umumnya juga menjadi penyebab cephalopelvic
disproportion berikutnya.

Begitu pula apabila ibu hamil memiliki bentuk panggul yang tidak
normal.
4. Kondisi kesehatan ibu hamil

Penyebab cephalopelvic disproportion atau CPD adalah karena kondisi


fisik dan riwayat kesehatan ibu hamil itu sendiri. Misalnya:

 Ibu hamil bertubuh pendek

 Ibu hamil di atas usia 35 tahun

 Usia kehamilan lebih dari 41 minggu


 Ibu mengalami obesitas saat hamil

 Pernah menjalani persalinan melalui operasi caesar sebelumnya

 Terjadi penumpukan air ketuban yang terlalu banyak selama


kehamilan (polihidramnion)

 Riwayat kekurangan kalsium

 Mengalami rakitis saat masa kanak-kanak

 Eksostosis panggul, yakni pertumbuhan tulang di panggul

 Spondylolisthesis, yaitu kondisi di mana tulang belakang


berpindah posisi

Kenali gejala cephalopelvic disproportion ini

Panggul sempit dapat terjadi selama proses persalinan yang diikuti


dengan beberapa gejala tertentu.

Gejala cephalopelvic disproportion atau CPD adalah ketika bayi di dalam


kandungan terus menerus berada di posisi yang sama tanpa adanya
perubahan.

Padahal, kondisi ibu hamil sudah mengalami kontraksi melahirkan


berulang kali. Akibatnya, bayi menjadi sulit melewati panggul Anda
sehingga proses melahirkan normal dapat memakan waktu lama.

Meski demikian, gejala cephalopelvic disproportion tersebut bukanlah


satu-satunya. Dokter dan tim medis akan mencari tahu berbagai
penyebab bayi sulit dilahirkan melalui proses persalinan normal.

Baca juga: 5 Tips Melahirkan Normal Lancar dan Cepat, Tanpa


Rasa Sakit
Cara mendiagnosis cephalopelvic disproportion

Panggul sempit bisa melahirkan adalah kondisi komplikasi yang baru


dapat didiagnosis dengan jelas saat persalinan normal berlangsung.
Maka, kasus ini jarang terlihat apabila persalinan normal belum
dimulai.

Namun, ada berbagai pemeriksaan medis yang dapat dilakukan oleh


dokter untuk membantu mengetahui ukuran panggul ibu hamil dan
kepala bayi.

Beberapa pemeriksaan medis sebagai cara mendiagnosis cephalopelvic


disproportion atau CPD pada ibu hamil adalah sebagai berikut:
1. Pelvimeter

Pelvimeter merupakan salah satu pemeriksaan medis sebagai cara


mendiagnosis CPD. Pelvimeter adalah pemeriksaan fisik pada panggul
untuk mengukur langsung diameter panggul ibu hamil menggunakan
tangan.
2. Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG secara rutin dapat membantu mengukur panggul ibu


dan kepala bayi selama pemeriksaan kehamilan. Ini juga merupakan
cara mendiagnosis CPD lainnya. 
3. Magnetic resonance imaging (MRI) panggul

Sesuai namanya, pemeriksaan medis sebagai cara mendiagnosis CPD


ini bertujuan untuk mengukur panggul ibu dan posisi bayi dalam
kandungan. 

Perlu diingat bahwa cephalopelvic disproportion atau panggul sempit


saat lahiran adalah kondisi yang benar-benar dapat terjadi,   sehingga
tidak dapat didiagnosis sebelum persalinan.
Jadi, jika selama melakukan pemeriksaan kehamilan dokter kandungan
menduga adanya risiko cephalopelvic disproportion, mungkin persalinan
normal masih dapat diusahakan.

Akan tetapi, dokter dan tim medis harus siap untuk segera
melakukan tindakan operasi caesar apabila melahirkan normal dirasa
tidak memungkinkan akibat bayi yang tak kunjung dapat dilahirkan.
Cara penanganan cephalopelvic disproportion

Penanganan cephalopelvic disproportion sebenarnya bisa berbeda-beda


atau tergantung pada tingkat keparahan kondisi ibu hamil jelang
persalinan tiba.

Menurut studi yang dipublikasikan dalam Scandinavian Association of


Obstetricians and Gynaecologists, CPD adalah kondisi yang
membutuhkan tindakan operasi caesar karena dapat berisiko bagi ibu
dan bayi yang dilahirkan.

Jika dokter mendiagnosis Anda mengalami cephalopelvic


disproportion saat pemeriksaan kehamilan rutin dilakukan, maka
penanganan panggul sempit mencangkup perencanaan operasi caesar.

Namun, apabila cephalopelvic disproportion baru terlihat saat persalinan


normal berlangsung, maka penanganannya adalah tindakan operasi
caesar dengan segera.

Tetap melanjutkan proses persalinan normal ketika ibu hamil


didiagnosis cephalopelvic disproportion dapat meningkatkan risiko
trauma pada ibu dan cedera permanen pada bayi.  

Selain itu, penanganan lain CPD adalah dengan symphysiotomy atau


tindakan pembedahan tulang rawan pada kemaluan.
Risiko komplikasi cephalopelvic disproportion

CPD adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kesulitan saat


proses persalinan berlangsung.

Oleh karena itu, ketika seorang ibu hamil memiliki kondisi CPD tetapi
tetap memaksa ingin lahir normal, maka dapat meningkatkan risiko
komplikasi saat dan setelah persalinan.

Adapun risiko komplikasi yang mungkin muncul akibat CPD adalah


sebagai berikut:
1. Kelebihan sintesis oksitosin

Salah satu risiko komplikasi yang muncul akibat CPD adalah kelebihan
sintesis oksitosin.

Pada ibu hamil yang mengalami cephalopelvic disproportion, proses


persalinan normal akan sulit dilakukan sehingga membutuhkan waktu
lama untuk “mengeluarkan” bayi.

Dokter mungkin memberikan obat cair yang merupakan bentuk dari


sintesis oksitosin guna mempercepat persalinan.

Jika pemberian obat cair terlalu berlebihan, maka Anda bisa mengalami
kontraksi berlebihan dan kondisi trauma yang berisiko membahayakan
kondisi bayi.
2. Persalinan terlalu lama

Proses persalinan yang berlangsung terlalu lama atau persalinan


macet karena bayi sulit dilahirkan dapat berisiko membuat bayi
kekurangan asupan oksigen.

Kondisi ini dapat menyebabkan bayi mengalami ensefalopati hipoksia-


iskemik, cerebral palsy, dan perkembangannya menjadi lambat.
Selain itu, kondisi trauma dari persalinan normal yang dipaksakan
dapat meningkatkan risiko perdarahan intrakranial serius atau
perdarahan otak pada bayi.
3. Distosia bahu

Berikutnya, risiko komplikasi persalinan akibat panggul sempit adalah


distosia bahu. Distosia bahu adalah kondisi di mana salah satu bahu
bayi masih berada atau tersangkut di dalam vagina, padahal kepalanya
sudah berhasil berada di luar.
4. Prolaps tali pusar

Peningkatan tekanan pada tali pusar atau prolaps tali pusar juga
menjadi risiko komplikasi persalinan CPD. Pengaruh ukuran panggul
sempit ibu hamil dan sulit melahirkan berisiko membuat bayi terlilit tali
pusar sehingga kekurangan oksigen.
Bisakah CPD saat melahirkan normal dicegah?

Olahraga saat hamil dapat membantu mencegah kondisi CPD


Cephalopelvic disproportion adalah kondisi yang bisa dicegah oleh ibu
hamil jelang proses persalinan normal.

Jika Anda mencurigai diri memiliki panggul sempit serta ukuran janin
yang besar, ada beberapa hal yang dapat dilakukan guna membantu
proses persalinan menjadi normal, yaitu:
1. Periksakan kehamilan secara rutin ke dokter kandungan

Melalui pemeriksaan kehamilan rutin ke dokter kandungan, Anda dapat


menanyakan apakan kondisi panggul sempit ibu hamil yang dialami
dapat memberi peluang untuk melakukan persalinan normal atau
tidak.

Pada kesempatan ini, biasanya dokter akan melakukan pemeriksaan


USG untuk membantu mengetahui ukuran panggul ibu hamil dan
kepala bayi.
2. Rutin berolahraga

Cara mencegah panggul sempit adalah dengan melakukan olahraga


secara rutin. Hal ini sangat penting dilakukan sebelum proses
persalinan terjadi.

Sebab, setiap bayi yang dilahirkan tentu memiliki posisinya masing-


masing. Ada yang posisinya sudah sangat tepat sehingga memudahkan
persalinan, ada pula yang tidak.

Nah, untuk mengatasinya, alangkah baiknya Anda membiasakan diri


dengan olahraga saat hamil, seperti rutin jalan kaki atau jongkok.
Rutinitas ini tentu akan memudahkan posisi janin sehingga
memperlancar proses persalinan.
Baca Juga

 Waspadalah, Kelainan Plasenta Ini Bisa Bahayakan Nyawa Anda


dan Janin
 Melahirkan Sambil Mengangkang Alias Posisi Litotomi, Waspadai
6 Risikonya

 Postmatur, Ketika Bayi Tak Kunjung Lahir Setelah Due Date

Jangan buru-buru beranggapan kalau panggul sempit yang dialami ibu


hamil tidak dapat membuatnya melahirkan secara normal.

Sebab, cephalopelvic disproportion adalah kondisi yang terbilang jarang


terjadi dan hanya dapat didiagnosis saat proses melahirkan normal tiba

Anda mungkin juga menyukai