Anda di halaman 1dari 4

Nama : 1.

Aliffa Putri Surya Balqis

2. Amanda Rizky Liani Putri

3. Aura Lizha

4. Nabila Shahirah Aulia

5. Nurul Septiana

6. Tiara Nabilla

Kelas : XI-ULP 1

Cerpen Keterangan : Mochamad Luqni Maulana

SIAPA PENGKHIANATNYA?

Detak langkah membanggakan melalui desertasi “Het Mekkaansche Feest” (Perayaan Mekkah),
Ia mengakhiri karier akademiknya di Universitas Leiden. Seorang sarjana islam dengan gelar dokter.

“Selamat atas keberhasilanmua, Cucuku” Ujar dengan penuh keharuan dari kakeknya seorang
orator sekaligus penginjil di Rotterdam, Belanda. Kakeknya inilah yang menjadi palang pintu
turunnya hidayah kepada snouck saat menerjemahkan buku islam ke bahasa Belanda.

Badan tinggi besar dan bertopi miring menghampiri dari belakang “Selamat atas kelulusanmu,
teman lamaku” Sebuah perkataan yang lama tak terdengar. Sebuah momen yang langka saat dua
calon penguasa Aceh bertemu.

“Van Hautz” Tanya Snouck dengan raut wajah kebingungan.

“Inilah aku calon penguasa Hindia Belanda” jawabannya sambil membusungkan dada.

“Selamat juga atas terlantiknya manjadi gubernur jendral Hindia Belanda” dengan jabatan
tangan yang penuh harapan.

Panjang dan lebar menjadi tinggi saat percakapan mereka mengenai masa depan tanah jajahan
Belanda.

“Perlawanan Aceh dapat ditumpas apabila dilakukan politik tangan besi, tanpa ampun, tanpa
damai” Ujar Snouck seusai mendengar kekompakan yang berlandaskan spiritual islam yang tinggi.
Prinsip kuat bahwa Aceh anti Non-muslim selalu tertanam kuat di benak hati.

Dirinya merasa bahwa Ia lah lulusan sarjana islam, jadi sudah sepatutnya mengambil alih misi
untuk mengetahui kelemahan rakyat Aceh. “Aku akan pergi ke Mekkah untuk menimba ilmu agar
rakyat Aceh tak curiga dengan ilmu yang kumiliki” Ujar Snouck dengan penuh harapan.

“Semua yang menjadi kebutuhan akan dipertanggungjawabkan negara” Jawab Van Hautz
dengan sangat meyakinkan.

Tibalah pada 16 Januari 1885, otak liciknya mulai muncul tatkala namanya identik dengan orang
Non-muslim. Demi meyakinkan Ia berganti nama menjadi Abdul-Ghaffar al-Laydini (Abdi sang maha
pengasih dan penyayang dari Leiden), dan bahkan melakukan khitan di usia yang tidak muda lagi.
Para ulama ternama mulai luluh hatinya saat melihat keseriusan dalam mencari ilmu. Disana Ia
mulai belajar banyak mengenai islam, mulai dari belajar bahasa arab, hukum islam, dan lainnya.

Tak tinggal diam,“Maukah Engkau dan 400 orang familymu kuberangkatkan ke tanah suci”
bujukan halus Van Hautz kepada seorang abdi kepercayaan kesultanan “Abdurrahman”.

Tanpa curiga, langsung mengambil penawaran yang sekian lama Ia tunggu. Sebelum berangkat
ke Mekkah, Abdurrahman sebagai orang kepercayaan kesultanan sempat mengirim surat kepada
Sultan Aceh.

Namun pihak kesutanan tidak membalasnya, “Bagaimana mungkin jamaahnya sebanyak itu?
Uang dari mana?” Dawuh sultan dengan nada marah. Para punggawa kesultanan berpikir bahwa ada
kaitannya dengan kepentingan Belanda.

Nasi sudah menjadi bubur, Abdurrahman dan 400 orang lainnya diberangkatkan ke Mekkah,
tanpa adanya rasa curiga sedikitpun dari mereka. Sampailah mereka di tanah suci untuk melakukan
ibadah haji seperti biasa.

Pucuk dicinta ulang pun tiba, strategi berjalan dengan lancar. Suatu ketika Abdul Gaffar bertemu
dengan Jemaah dari Aceh. Ia pun tidak menyianyiakan kesempatan itu, bertanya kesana kemari
mengenai berita terkini di Aceh. Hingga akhirnya bertemu dengan Abdurrahman yang menjadi
sasaran wawancara.

“Assalamualaikum” sapaan Abdul Gaffar dengan nada yang kaku.

“Wa’alaikumsalam, madha yumkinuni‘an ‘afeal laky a sydy?” (apa yang dapat saya bantu tuan?)
Jawab Abdurrahman tanpa rasa curiga.

Dengan skil bahasa Arab yang cukup mumpuni, Abdul Gaffar telah berhasil berkomunikasi
dengan Abdurrahman. Lewat kepolosan dan sikap tanpa curiga inilah Ia mendapatkan informasi-
informasi penting mengenai kesultanan Aceh.

Seiring dengan jalannya waktu, pemerintah Saudi Arabia sedang genjarnya mengawasi
keamanan Mekkah, hingga memasang poster di pintu gerbang Mekkah.

“Ghoiru al-muslimin mamnu’un min dukhul Makkah” (Non muslim dilarang masuk Mekkah).

Tak hanya itu, beriring dengan berita yang berkembang bahwa identitas aslinya mulai terbuka
terkait dengan berita barat bahwa Abdul Gaffar yang tujuannya bukanlah mempelajari islam, tetapi
Ia adalah mata-mata Belanda. Sontak Abdul Gaffar memutuskan untuk pergi ke Pinang, Aceh.

Sebelum bergabung dengan Van Hautz di daerah Gayo dan Alas, Abdul Ghaffar memilih Pinang
sebagai pendaratannya menimba ilmu mengenai Aceh. Pinang ialah daerah yang dianak tirikan
kesultanan Aceh.

Dengan nama samaran dan kepandaiannya mengenai hukum islam, rakyat Pinang tanpa curiga
langsung menerimanya. Bahkan mengangkatnya menjadi seorang penasehat pada tahun 1891. Dari
sinilah Abdul Gaffar belajar bahasa, adat, dan segalanya mengenai Aceh.

Hingga akhirnya Ia berhasil menyusun sebuah laporan yang kemuaidan diserahkan kepada
gubernur Jendaral Hindia Belanda, hingga diterbitkan dengan judul “De Atjecher”.

Suara bentakan seseorang menembus gendang telinga Abdul Gaffar, “Apa yang sedang terjadi”
Tanyanya.
Tiba-tiba seorang pemuda berpakaian kucel datang menghadap Abdul Gaffar “Wahai pemuda,
apa yang sudah terjadi denganmu?” pertanyaan dari seorang pemimpin kepada rakyatnya.

“Ampun suhu, entah apa yang harus saya katakan” jawab dengan penuh rasa takut.

“Jawablah dengan apa adanya, pasti saya akan melindungimu dari bahaya yang
mengancammua.

Agama kita mengajarkan untuk saling tolong-menolong” Itulah pendekatan yang miris tak
mempunyai kesalahan dari Abdul Gaffar.

“Tadi Gubernur Heutz telah merebut seekor kambing yang saya gembalakan” jawabnya dengan
aliran tangis air mata.

“Oh jadi itu, tak bisa ditingal diam ini. Kejahatan Belanda sudah melampaui batas” ucap Abdul
Gaffar dengan sikap tegas didepan rakyatnya.

Sebuah akting sempurna diperagakan di depan rakyat, Abdul Gaffar dengan sengaja mengajak
Van Hautz untuk berdiskusi mengenai masalah yang terjadi. Setelah menjinakkan rakyat Pinang.
Sebuah strategi lanjutan terjalin diantara keduanya.

“Pindahlah ke daerah Gayo, daerah yang sangat strategis untuk pemerintahan Belanda” bisikan
lirih Van Hautz.

Rencana itu akhirnya terpenuhi, dengan kelicikan Abdul Gaffar saat pamit dengan rakyatnya
“Saya ingin pergi dari sini ke daerah lain untuk menyebarkan syiar islam”. Rakyat dari dulu memang
sudah sangat patuh dengan apa yang menjadi keputusan Abdul Gaffar.

Tibalah Abdul Gaffar di sebuah perkampungan yang sunyi dan tentram. Hanya ada sebuah
gubuk warung kecil dengan dua orang pelanggannya. “Assalamualaikum, dapatkah engkau
tunjukkan dimana tempat penginapan terdekat?” Tanyanya seusai kelelahan di perjalanan.

“Itu disana tuan” jawab pemilik warung tanpa adanya rasa curiga.

Selangkah demi langkah Ia mendekati sebuah gubuk yang hanya beratap jerami kering. Abdul
Gaffar rela dengan apa yang akan dihadapinya, yang terpenting yaitu dapat menyamar untuk
mengetahui kelemahan dari rakyat Gayo.

“Assalamualaikum, bolehkah saya menginap di sini?” Tanyanya dengan ramah.

“Tentu boleh, hanya 30 perak saja untuk semalam” Jawabnya dengan manadahkan tangan
kepada Abdul Gaffar.

“Ini Tuan, uangnya” sekantong uang receh yang lebih dari cukup untuk menyewa gubuk
sederhana itu lebih dari satu bulan.

Penyamaran di kampong itu pun berhasil, hingga akhirnya Abdul Gaffar bertemu dengan salah
seorang pembantu di rumah itu. Pemuda itu penampilannya rapi dan kinerjanya rajin.

“Siapakah namamu Nak?” Tanya Abdul Gaffar dengan halus.

“Jampuk, tuaku” jawabnya dengan sopan seperti pembantu dengan majikannya.

Mendengar dan melihat gaya berbicara pemuda itu, Abdul Gaffar menyimpulkan bahwa
pemuda itu memiliki pemuda yang cerdas dan memiliki pengetahuan mengenai Gayo dan rakyatnya.
Hingga Ia mulai belajar dengan pemuda itu mengenai tanah Gayo, adat istiadat, bahasa Gayo, dan
yang menjadi inti pembelajaran yaitu kelemahan tersembunyi dari rakyat Gayo.

Sebulan sudah Abdul Gaffar menetap di kampung Gayo, tamatlah sudah belajarnya dengan
Jumpuk. Selama itu, Abdul Gaffar berhasil merampungkan sebuah buku tantang tanah Gayo. “Het
Gejoland en zjine bewoners” atau dalam bahasa Indonesia berjudul “Tabah Gayo dan
Penduduknya”.

“Inilah hasil kerja keras ku selama ini” Abdul Gaffar menyerahkan bukunys ke Van Hautz.

“Kerja bagus temanku, kau memang bisa diandalkan” sembari memeluk dan segelintir
senyuman penuh rasa bangga.

Melalui buku inilah Belanda akan mulai menyusun strategi dalam menguasai Gayo bahkan Aceh
sekalipun. Untuk lebih mempertajam strategi dan sebagai balas budi kepada Abdul Gaffar, Gubermur
Van mengangkatnya menjadi penasehatnya secara diam-diam.

“Siapkah kita untuk menyerang rakyat Gayo” Tanya Abdul Gaffar dengan penuh percaya diri.

“Semua serangan ini kuserahkan kepadamu, kupercayakan bahwa kamu mampu untuk
menguasai tanah Gayo” jawab Van Hautz dengan nada yang penuh harapan besar.

Setelah mendapatkan berbagai bahan titik kelemahan rakyat Gayo, Van Hautz memerintahkan
pasukan Marsose dibawah komando Van Dallen untuk melakukan penyerangan pertama.Terjadilah
pertempuran yang sengit antar kedua pasukan, hingga akhirnya pasukan Belanda lah yang meraih
kemenangan dan berhasil menguasai Aceh.

“Siapakah penghianat yang mendalangi pertempuran ini” dawuh sultan Aceh seusai mendengar
tanah Gayo dikuasai Belanda.

Anda mungkin juga menyukai