Anda di halaman 1dari 8

Kisah Pembantu Kerajaan – Sebuah peristiwa

pastilah karena kehendak Allah


Gunawan November 18, 2012 Cerita Hikmah - Kisah hikmah islami Leave a comment 6,423 Views

Syahdan di jaman dahulu kala ada seorang Raja yang memimpin sebuah
kerajaan Islam. Kerajaan maupun nama rajanya tidak disebutkan dalam cerita
yang diceritakan turun temurun ini. Raja ini memiliki seorang pembantu yang
sangat ta’at beribadah. Keikhlasannya bahkan mengungguli semua orang di
kerajaan ini. Sekalipun ia mendapatkan musibah, ia justru mengatakan “Al
Khair Mukhtarallah” yang artinya “yang terbaik adalah pilihan Allah”. Suatu
ketika Raja tersebut sedang makan dengan menggunakan pisau. Mungkin
karena kurang hati-hati, pisau tersebut mengenai jari paduka Raja. Jari
tersebut terpotong pisau tersebut.

Dengan spontan pembantunya yang ta’at itu berkata, “Al Khair Mukhtarallah”.
Mendengar perkataan pembantunya itu, sang Raja merasa tersinggung
karena menganggap bahwa pembantunya bergembira terhadap
kemalangannya. Ia memerintahkan prajurit istana untuk menjebloskan
pembantu Raja tersebut ke dalam penjara. Namun anehnya, ketika akan
dimasukkan ke penjara, si pembantu itu berkata lagi “Al Khair Mukhtarallah”.
Lantas sang Raja bertambah murka kepadanya. Namun sang Raja masih
memiliki hati nurani, tidak asal main pancung. Ia hanya memerintahkan
prajurit untuk segera memasukkan pembantu itu ke penjara.
Waktu pun berlalu, hari demi hari, bulan demi bulan, sang pembantu masih
berada di dalam penjara istana. Suatu ketika sang Raja pergi berburu
bersama pengawal dan anak buahnya. Saking asyiknya berburu, ternyata
mereka telah keluar dari wilayah kerajaannya dan memasuki wilayah kerajaan
orang yang menyembah api dan dewa-dewa. Orang-orang ini beragama
Majusi. Sang Raja dan rombongannya ditangkap karena melanggar masuk
wilayah mereka dan akan dijadikan persembahan untuk dewa mereka. Satu
demi satu pengawal dan rombongan Raja dibunuh untuk persembahan.

Dan tibalah giliran sang Raja. Saat sang Raja tersebut akan dipenggal, ada
seorang kaum Majusi yang mengetahui bahwa ada cacat dalam diri Raja
tersebut, yakni jari tangan Raja yang terpotong. Dalam adat mereka,
persembahan haruslah sempurna, tidak boleh ada cacat. Maka dari sang Raja
akhirnya tidak dibunuh dan ia dibebaskan dalam keadaan hidup. Maka ia pun
kembali ke kerajaannya dengan selamat. Raja pun gembira luar biasa. Dalam
kegembiraannya ia teringat pembantunya yang dipenjara. Ia segera meminta
pengawal untuk membebaskan pembantunya itu dan kemudian bertemu
dengannya. Dalam pertemuan itu sang Raja bertanya kepada pembantunya.

“Apa maksudmu ketika dipenjara kamu mengatakan “Al Khair Mukhtarallah”,


wahai abdiku?” tanya sang Raja.

“Jika hamba tidak dipenjara, maka sudah pasti hamba akan dibunuh seperti
pengawal dan anak buah tuan Raja diluar sana,” jawab sang pembantu.

Semenjak itu sang Raja tidak lagi meremehkan kata-kata sang pembantu dan
menyadari bahwa pembantu itu lebih bijak daripada dirinya. (iwan)
Zaid Bin Haristsah : Panglima Kesayangan
Rasulullah (bagian pertama)
Gunawan November 6, 2011 Sahabat Nabi Leave a comment 1,082 Views

Cerita islami, kisah Sahabat Rasulullah Zaid Bin Haristsah Sang panglima
kesayangan Rasulullah
Namanya Zaid. Ibunya bernama Su’da, sedangkan ayahnya bernama
Haritsah. Orang-orang memanggilnya Zaid bin Haritsah. Sosoknya
diceritakan berperawakan biasa, agak pendek, kulitnya cokelat kemerah-
merahan, dan hidungnya terlalu pesek untuk ukuran hidung orang Arab.
Tentang kapan dan dimana Zaid lahir, tidak ada catatan sejarah yang benar-
benar tegas menyebutkannya. Yang pasti, Zaid dikenal sebagai salah
seorang pahlawan agung lslam yang kesetiaan dan pembelaannya terhadap
Rasulullah tidak diragukan lagi.

Sejak kecil Zaid sudah harus berpisah dengan kedua orang tuanya.
Ceritanya bermula ketika Su’da berencana mengunjungi keluarganya di
kampung Bani Ma’an dan bermaksud mengajak Zaid serta. Adapun ayah
Zaid, Haritsah, tidak ikut serta karena ada keperluan lain yang tak kalah
pentingnya. Dia berpikir bahwa cukup baginya menitipkan anak dan istrinya
kepada rombongan kafilah yang hendak berangkat ke sana. Haritsah tidak
pernah tahu bahwa keputusannya itu akan menjadi awal bencana bagi
keluarganya. Demikian pula Su’da, apalagi Zaid yang masih bocah. Kafilah
berangkat, dan Haritsah melepas kepergian istri dan anaknya dengan
sebuah salam perpisahan. Tak lupa, dia juga berpesan kepada istrinya agar
berhati-hati di jalan.

“lstriku, jagalah putra kita dengan baik, dan hati-hatilah di perjalanan.” Kata
Haritsah dengan dada sesak. Diciumnya kening putranya dengan penuh
kasih sayang. Sampai detik itu, Haritsah belum tahu bahwa pertemuan itu
merupakan detik-detik perpisahan dengan anaknya. “Ya, suamiku. Aku pasti
akan menjaga Zaid dengan baik.” Jawab Su’da sambil tersenyum.

Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya


Su’da dan Zaid sampai di kampung Bani Ma’an. Mereka disambut dengan
gembira oleh sanak keluarga yang memang sudah sangat merindukan
mereka. Su’da sendiri juga merasakan kerinduan yang sama, sehingga dia
berniat tinggal agak lama di sana. Apalagi saat dilihatnya Zaid sangat
menikmati suasana kampung kecil yang terletak di perbatasan Arab dan
Syam itu. Zaid yang masih kecil tampak asyik bermain dengan anak-anak
sebayanya.

Namun, keceriaan dan kesenanSan Su’da maupun Zaid tidak berlangsung


lama. Suatu hari menjelang subuh, sepasukan perampok Badui yang ganas
tiba-tiba datang menyerbu kampung Bani Ma’an. Penduduk kampung Bani
Ma’an masih tidur lelap saat para perampok menyerang, sehingga mereka
sama sekali tidak mampu melawan. Akibatnya, kampung Bani Ma’an porak-
poranda. Semua orang lari tunggang-langgang menyelamatkan diri, karena
para perampok itu tidak hanya mengambil harta benda. Seperti kebiasaan
yang berlangsung di kalangan masyarakat Arab jahiliah, para perampok
Badui itu juga menangkap orang-orang untuk dijual sebagai budak

Di antara hasil tangkapan mereka adalah bocah kecil Zaid bin Haritsah.
Sebenarnya Su’da sudah berusaha mati-matian melindungi anaknya, namun
apa daya para perampok Badui yang ganas mengambil Zaid dari
dekapannya dengan paksa. Su’da diancam dengan pedang, lalu dia dipukul
dan didorong hingga jatuh terjerembab ke tanah.

Zaid yang direnggut dari ibunya tentu saja berusaha memberontak. Dengan
sekuat tenaga dia meronta dan menjerit. Kedua tangannya memukul-mukul
sekenanya, sementara kedua kakinya menendang sekuat-kuatnya. Tetapi
apalah arti rontaan, pukulan, dan tendangan seorang bocah kecil bagi
seorang perampok dewasa yang kuat lagi ganas. Tanpa kesulitan, Zaid pun
dibawa paksa oleh para perampok itu. Sementara Su’da hanya bisa
menangisi ketidakberdayaannya. Su’da menjambaki rambutnya sendiri
sambil menangis sejadi-jadinya, pertanda bahwa dia sangat menyesali
kejadian itu dan menyalahkan dirinya yang tidak bisa menjaga amanat
suaminya. Kesedihan dan penyesalan yang tidak terperikan itu membuat
Su’da jatuh pingsan.
Setelah sadar dari pingsannya, Su’da memutuskan untuk segera pulang ke
kampung halamannya. Dia merasa harus menyampaikan berita ini
secepatnya kepada Haritsah. Dia tidak ingin Haritsah mengetahui kabar itu
dari orang lain. Segera Su’da berkemas, kemudian berpamitan kepada
keluarganya. Dengan berat hati mereka mengizinkan Su’da pulang sambil
terus menghiburnya agar tetap sabar dan tabah.

Su’da pulang dengan mengendarai untanya melewati gurun pasir yang


sangat panas dan gersang. Setelah melewati perjalanan yang cukup
melelahkan, akhirnya Su’da tiba di rumahnya. Haritsah berlari keluar
menyambut kedatangannya dengan kerinduan seorang suami dan seorang
ayah.

“Oh, kamu sudah pulang, Su’da. Tapi mengapa wajahmu tampak sedih?
Mana anak kita?” tanya Haritsah demi dilihatnya Su’da datang sendirian
tanpa disertai Zaid.

Ditanya begitu oleh suaminya, tangis Su’da meledak. Dengan terbata-bata


dan sesekali diiringi isak tangis, dia menceritakan semua kejadian yang dia
alami kepada suaminya. Diceritakannya semua kejadian itu dengan runtut,
tanpa ditambah maupun dikurangi. Mendengar cerita itu, Haritsah langsung
menangis hingga jatuh pingsan.

Luqman Hakim adalah salah satu nama orang yang disebut dalam al-Qur`an, tepatnya
surah Luqman (31) ayat 12-19. Luqman Hakim namanya mendunia karena nasihat-
nasihatnya kepada anaknya.

Seperti mengutip laman Islami.co, Selasa (20/6/2017), Ibnu Katsir berpendapat bahwa
nama panjang Luqman ialah Luqman bin Unaqa’ bin Sadun.

Sedangkan mengenai asal usul Luqman, para ulama berbeda pendapat. Ibnu Abbas
menyatakan, bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu yang berasal dari Habsyi.

Riwayat lain menyebutkan ia adalah orang dengan ciri fisik bertubuh pendek dan berhidung
mancung dari daerah Nubah. Sebagian lain mengatakan, bahwa ia berasal dari Sudan.

BACA JUGA
 Cerita Percobaan Pembunuhan Kaum Musyrikin Terhadap Rasulullah
 Kisah Haru Perjalanan Hidup Putri Nabi Zainab
 4 Tips Melakukan Perjalanan Saat Berpuasa

Luqman Hakim memiliki keistimewaan yang mendapat anugerah dari Allah Swt, yakni
berupa ilmu hikmah. Ilmu sangat berguna bagi kepribadian manusia yang pada gilirannya
akan bermanfaat bagi orang di sekitarnya, juga bagi alam semesta.

Allah Swt berfirman:

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman.” (QS. Luqman; 12)

Kata al-hikmah dalam ayat di atas memiliki beragam makna yang di antaranya; meletakkan
segala sesuatu pada tempatnya, selalu benar dalam ucapan dan perbuatan, mengukuhkan
sesuatu dengan ilmu dan amal, kepahaman dan kecerdasan, atau mengetahui apa yang
terjadi dan melakukan kebaikan.

Kata al-hikmah juga bisa diartikan rangkaian kata-kata yang menjadi bahan renungan dan
telah mengalir dari satu generasi ke generasi yang lain. Untaian kata yang bisa membuat
seseorang tidak lagi melulu cinta harta duniawi juga bisa disebut al-hikmah.

Atau kemampuan memahami hakikat sesuatu sesuai kemampuan yang optimal, atau
untaian kata yang indah nan sempurna yang memuat dorongan melakukan sifat terpuji,
ilmu, dan perilaku yang mulia, atau segala sesuatu yang meningkatkan kualitas diri
seseorang, semuanya merupakan arti-arti dari kata al-hikmah.

Ada pendapat lain menyatakan, bahwa al-hikmah berarti ilmu dan amal. Oleh karenanya,
seseorang tidak akan dapat menyandang gelar “Hakim” kecuali jika ia telah mengantongi
keduanya, yakni ilmu dan amal.

Secara sederhana, al-hikmah adalah petunjuk jalan lurus menuju keselamatan dan
kebenaran dalam berkeyakinan, bertingkah laku, berucap, dan melangkah, menurut sisi
pandang Yang Maha Pencipta, maupun cara pandang manusia. Itulah arti kata al-hikmah
secara umum.

Al-hikmah merupakan buah dari pengetahuan yang luas dan keilmuan yang dalam,
kecerdasan serta kesadaran diri yang penuh, penelitian yang menyeluruh dan percobaan
yang teruji, pengamatan terhadap keterkaitan antara satu perkara dengan yang lain, dan
analogi (qiyas) yang dominan antara suatu hal dengan yang lainnya.

Dalam sebuah kesempatan, saat Luqman mengajari puteranya dengan kehidupan nyata di
tengah-tengah masyarakat, Luqman berkata, ”Wahai putraku! Lakukanlah hal-hal yang
mendatangkan kebaikan bagi agama dan duniamu. Terus lakukan hingga kau mencapai
puncak kebaikan. Jangan pedulikan omongan dan cacian orang, Sebab takkan pernah ada
jalan untuk membuat mereka semua lega dan terima. Takkan pula ada cara untuk
menyatukan hati mereka.”
”Wahai puteraku! Datangkan seekor keledai kepadaku, dan mari kita buktikan.”

Luqman bermaksud mengajak puteranya jalan-jalan di tengah masyarakat untuk


membuktikan bahwa membuat semua orang “legawa” itu sangatlah sulit. Bahkan bisa
dibilang sama sekali tidak mungkin terjadi.

Apapun yang diperbuat oleh seseorang akan selalu ada yang mempersalahkan. Selalu saja
ada yang tidak setuju. Kemudian perjalanan mereka segera dimulai.

Luqman menaiki keledai dan menyuruh puteranya berjalan menuntun keledai. Sekelompok
orang yang menangkap pemandangan –yang menurut mereka- aneh tersebut, segera
berkomentar mencaci: ”Anak kecil itu menuntun keledai, sedang orang tuanya duduk
nyaman di atas keledai. Alangkah congkak dan sombongnya orang tua itu.” Luqman pun
berkata: ”Puteraku, coba dengar, apa yang mereka katakan.”

Luqman lalu bergantian dengan puteranya, kini giliran Luqman yang menuntun keledai, dan
puteranya naik di atasnya. Mereka melanjutkan perjalanan hingga bertemu sekelompok
orang.

Tak pelak, orang-orang pun segera angkat bicara setelah menangkap pemandangan yang
tak nyaman di mata mereka. ”Lihatlah, anak kecil itu menaiki keledai, sementara orang tua
itu malah berjalan kaki menuntunnya. Sungguh, alangkah buruknya akhlak anak
itu.” Luqman kemudian berkata kepada puteranya: ”Anakku, dengarlah apa yang mereka
katakan.”

Mereka berdua melanjutkan perjalanan. Kali ini, keduanya menaiki keledai mungil itu.
Mereka berdua terus berjalan hingga melewati sekelompok orang yang duduk-duduk di
pinggir jalan. Lagi-lagi, mereka unjuk gigi saat melihat Luqman dan puteranya.

”Dua orang itu naik keledai berboncengan, padahal mereka tidak sedang sakit. Mereka
mampu berjalan kaki. Ahh, betapa mereka tak tahu kasihan pada hewan,” sindir seseorang
yang melihat luqman. ”Lihatlah apa yang mereka katakan, wahai puteraku!” Luqman
kembali menasihati puteranya.

Tanpa menghiraukan caci maki orang-orang itu, Luqman dan puteranya kembali
melanjutkan perjalanan. Terakhir kali, mereka berjalan kaki bersama, sambil menuntun
keledai.

”Subhanallah! Lihat, dua orang itu menuntun keledai bersama, padahal keledai itu sehat
dan kuat. Kenapa mereka tidak menaikinya saja? Ahh, betapa bodohnya mereka.”

”Dengarlah apa yang mereka katakan! Bukankah telah aku katakan padamu? Lakukan apa
yang bermanfaat bagimu dan jangan kau hiraukan orang lain. Aku harap kau bisa
mengambil pelajaran dari perjalanan ini,” kata Luqman mengakhiri perjalanan bersama
puteranya.

Cerita kebijaksanaan Luqman di atas dapat dipetik hikmahnya, bahwa manusia haruslah
menjadi orang yang kuat, sehingga memiliki pendirian yang teguh dan kokoh.
Tidak goyah dengan terpaan angin. Tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas.
Nasihat-nasihat Luqman sangat banyak sekali, baik yang didokumentasikan di dalam al-
Qur`an ataupun di kitab-kitab para ulama.

Anda mungkin juga menyukai