Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Merokok

1. Definisi Rokok

Rokok merupakan tembakau yang digulung atau dibungkus dengan kertas,

daun, atau kulit jagung, sebesar kelingking dengan panjang 8-10 cm, biasanya

dihisap seseorang setelah dibakar ujungnya(Meini et al., 2019). Rokok merupakan

bahan kimia berbahaya, hanya dengan membakar dan menghisap sebatang rokok

saja, dapat memproduksi lebih dari 4000 jenis bahan kimia. 400 diantaranya

beracun dan 40 diantaranya bisa berakumulasi dalam tubuh dan dapat

menyebabkan kanker. Rokok juga masuk ke dalam zat adiktif karena dapat

menyebabkan adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan) bagi orang

yang menghisap rokok. Rokok dengan kata lain termasuk golongan NAPZA

(Narkoba, Psikotropika, Alkohol, dan Zat adiktif) (Rossa Larasati et al., 2018)

2. Kandungan Rokok

Adapun kandungan bahan kimia dalam rokok menurut Hattatoğlu et al (2021)

sebagai berikut:

a. Tar

Tar merupakan kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat

asap rokok dan bersifat karsinogen yang dapat merusak paru-paru dan

menyebabkan kanker. Saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut

sebagai uap padat. Setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan

berwarna cokelat pada permukaan gigi, saluran pernafasan, dan paru-paru.


Pengendapan ini bervariasi antara 3 – 40 mg per batang rokok, sementara kadar

tar dalam rokok berkisar 24 – 45 mg.

b. Nikotin

Nikotin paling sering dibicarakan dan diteliti orang. Zat ini dapat meracuni

saraf tubuh, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan penyempitan

pembuluh darah, serta menyebabkan ketagihan dan ketergantungan pada

pemakaianya.

c. Gas karbon monoksida (CO)

Gas karbon monoksida memiliki kecenderungan yang kuat untuk berkaitan

dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah. Hemoglobin seharusnya

berikatan dengan oksigen yang sangat penting untuk pernapasan. Kadar gas

karbon monoksida dalam darah seorang bukan perokok yaitu kurang dari 1%.

Sementara dalam darah perokok mencapai 4-15%.

d. Timah hitam (Pb)

Sebatang rokok menghasilkan timah hitam sebanyak 0,5 ug. Sebungkus rokok

(isi 20 batang) yang habis dihisap dalam 1 hari menghasilkan 10 ug timah

hitam. Sementara ambang batas timah hitam yang masuk ke dalam tubuh

adalah 20 ug perhari.

3. Definisi Perilaku Merokok

Perilaku merokok merupakan suatu perilaku yang dapat terlihat karena

ketika merokok individu melakukan suatu aktivitas yang nampak yaitu menghisap

asap rokok yang dibakar kedalam tubuh dan menghembuskannya kembali keluar

((Gede Purnawinadi & Angelia Baureh, 2019) . Perilaku merokok juga merupakan

suatu aktivitas atau tindakan menghisap gulungan tembakau yang tergulung kertas
yang telah dibakar dan menghembuskannya keluar tubuh yang bertemperatur

900C untuk ujung rokok yang dibakar, dan 300C untuk ujung rokok yang terselip

diantara bibir perokok, dan menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang lain

di sekitar perokok, serta dapat menimbulkan dampak buruk bagi perokok maupun

orang-orang disekitarnya (Yeyen & S, 2019). Perilaku merokok merupakan suatu

aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau

rokok yang dilakukan secara menetap dan terbentuk melalui empat tahap yakni:

tahap preparation, initiation, becoming a smoker dan maintenance of

smoking(Yeyen & S, 2019)

4. Tipe merokok

Adapun tipe merokok diklasifikasikan sebavai berikut:

a. Perokok aktif (active smoker)

Perokok aktif merupakan seseorang yang benar-benar memiliki kebiasaan

merokok. Merokok sudah menjadi bagian dari hidupnya, sehingga seseorang

yang merokok jika sehari saja tidak merokok rasanya tidak mengenakan.

Seseorang dalam kondisi tersebut akan melakukan apapun untuk mendapatkan

rokok dan kemudian merokok (Hawkins et al., 2021)

b. Perokok pasif (passive smoker)

Perokok pasif merupakan seseorang yang dalam kesehariannya tidak

memiliki kebiasaan merokok. Perokok pasif terpaksa harus menghirup asap

rokok orang lain yang kebetulan berada disekitarnya. Meskipun perokok pasif

tidak merokok, tetapi perokok pasif memiliki risiko penyakit yang sama halnya

dengan perokok aktif karena perokok pasif juga menghirup kandungan


karsinogen (zat yang menimbulkan kanker terdapat di asap rokok) dan 4.000

partikel lain yang berada di asap rokok (Hawkins et al., 2021)

5. Tahapan Perilaku Merokok

Menurut Doornenbal & Spisak (2021) terdapat empat tahapan perilaku

merokok, antara lain :

a. Tahapan preparatory, seseorang akan timbul niat merokok jika mendapat

gambaran yang menyenangkan tentang merokok baik itu dengan cara

mendengar, melihat, atau hasil membaca.

b. Tahapan initation, atau yang disebut tahap perintisan yaitu seseorang

mengambil keputusan untuk meneruskan atau berhenti dari perilaku merokok.

c. Tahapan becoming a smoker, seseorang yang cenderung menjadi perokok

karena telah mengkonsumsi rokok sebanyak empat batang perhari.

d. Tahapan maintaining of smoking, dimana kebiasaan merokok dilakukan untuk

mendapatkan efek menyenangkan karena sudah menjadi bagian dari cara

pengaturan diri (self regulating).

6. Aspek dalam perilaku merokok

Seseorang yang merokok memiliki aspek-aspek dalam perilaku

merokoknya. Aspek-aspek dalam perilaku merokok tersebut meliputi :

a. Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari

Perilaku merokok berkaitan dengan masa mencari jadi diri pada remaja.

Fungsi merokok ditunjukkan dengan perasaan yang dialami perokok.

Seseorang yang merokok pada kehidupan sehari-harinya akan mengalami

perasaan yang positif maupun negatif. Perasaan positif seperti mengalami

perasaan yang tenang saat mengkonsumsi rokok (Astuti et al., 2018)


b. Intensitas merokok

Banyaknya rokok yang dihisap oleh perokok dapat diklasifikasikan

menjadi 3 tipe yaitu,

1) Perokok berat, menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam sehari.

2) Perokok sedang, menghisap 5-14 batang rokok dalam sehari.

3) Perokok ringan, menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari.

c. Tempat merokok

Berdasarkan tempat merokok dibagi menjadi dua tipe yaitu:

Kelompok homogen (sama-sama perokok), dimana mereka menikmati

kebiasaan merokok secara bergerombol. Mereka umumnya masih menghargai

orang lain, oleh karena itu mereka sering melakukan kebiasaan merokok di

smoking area (Astuti et al., 2018)

1) Kelompok heterogen, yaitu mereka yang merokok di tengah orang lain yang

tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dll. Merokok ditempat

yang bersifat pribadi

2) Kantor atau di kamar tidur pribadi, dimana orang yang merokok memilih

tempat seperti ini digolongkan sebagai individu yang kurang menjaga

kebersihan diri, penuh rasa gelisah yang mencekam.

3) Toilet, dimana perokok yang digolongkan sebagai orang yang suka

berfantasi.

7. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Merokok

a. Orang tua

Terdapat salah satu temuan tentang remaja perokok yaitu bahwa remaja

yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak
begitu memperhatikan anaknya dan memberikan hukum fisik yang keras

dalam keluarga, akan lebih mudah untuk menjadi perokok di bandingkan

dengan remaja yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia.

Salah satu hal yang paling kuat pengaruhnya adalah apabila orang tua

sendiri menjadi figure contoh sebagai perokok berat, maka anak-anaknya

kemungkinan akan mencontohnya. Perilaku merokok lebih sering ditemui

pada mereka yang tinggal dengan satu orang tua (single parent)(Tregobov et

al., 2020)

b. Teman sebaya

Semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok, maka

semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok dan demikian

sebaliknya (Tregobov et al., 2020)

c. Kepribadian

Beberapa pendapat merefleksikan demi relaksasi atau ketenangan serta

mengurangi kecemasan atau ketegangan. Dapat diartikan merokok

disebabkan oleh kebutuhan untuk mengatasi diri sendiri dengan mudah dan

efektif dan kebutuhan akan rokok sebagai alat penyeimbangan. Seseorang

harus bisa mengenali kebiasaan atau penyebab merokoknya seperti

kebiasaan dan kebutuhan mental (kecanduan/ ketagihan) agar dapat

mengetahui petunjuk yang sesuai untuk mengatasi gangguan fisik maupun

psikologis dalam proses berhenti merokok (Tregobov et al., 2020)

d. Iklan rokok

Iklan yang dilihat dimedia massa dan elektronik memaparkan bahwa orang

yang merokok adalah lambang kejantanan dan glamor yang membuat


remaja mengikuti perilaku iklan tersebut. Remaja adalah salah satu dari

sasaran iklan rokok. Iklan yang ditampilkan oleh industri rokok sangat kuat

pengaruhnya untuk membuat suatu propaganda. Industri rokok menarik

perhatian dengan memasuki kehidupan masyarakat dengan menjadi sponsor

utama (Tregobov et al., 2020)

8. Dampak Merokok

Dampak perilaku merokok sangat banyak, salah satunya di organ paru,

rokok dapat mengakibatkan perubahan struktur serta fungsi saluran napas dan

jaringan paru-paru. Saluran napas besar, sel mukosanya membesar (hipertrofi) dan

kelenjar mucus bertambah banyak (hyperplasia). Saluran napas kecil, akan

mengalami peradangan ringan hingga penyempitan yang disebabkan karena

bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru-paru, akan terjadi

peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Nikotin mengganggu sistem

saraf simpatis sehingga menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen di

miokardium (Tregobov et al., 2020)

Karbon monoksida menyebabkan penurunan saturasi hemoglobin, yang

secara langsung menurunkan persediaan oksigen untuk jaringan seluruh tubuh

termasuk miokardium. Karbon monoksida menggantikan oksigen di hemoglobin,

mengganggu pelepasan oksigen dan mempercepat arterisklerosis

(pengapuran/penebalan dinding pembuluh darah), dengan demikian, karbon

monoksida menurunkan kapasitas latihan fisik, meningkatkan kekentalan darah,

sehingga mempermudah penggumpalan darah. Nikotin, karbon monoksida, dan

bahan lainnya dalam asap rokok telah terbukti merusak endotelium (dinding
dalam pembuluh darah) dan mempermudah 35 penggumpalan darah (Tregobov et

al., 2020)

Disamping itu, asap rokok mempengaruhi profil lemak. Dibandingkan

dengan yang bukan perokok, kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan

trigliserida darah perokok lebih tinggi, sedangkan kolesterol HDL lebih rendah.

Merokok terbukti menjadi faktor terbesar kematian mendadak. Risiko terjadinya

penyakit jantung koroner meningkat 2-4 kali pada perokok dibandingkan dengan

yang bukan perokok. Seiring dengan bertambahnya usia dan jumlah rokok yang di

konsumsi akan meningkatkan risiko penyakit jantung coroner (Tregobov et al.,

2020)

Penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko merokok bekerja secara

sinergis dengan faktor lainya, seperti hipertensi dan kadar lemak atau gula darah

yang tinggi menjadi pencetus penyakit jantung koroner. Akibat dari

penggumpalan (thrombosis) dan pengapuran dinding pembuluh darah

(arterosklerosis), merokok jelas akan merusak pembuluh darah perifer. Penyakit

pembuluh darah perifer yang melibatkan pembuluh darah arteri dan vena

ekstremitas bawah atau tangan sering ditemukan pada dewasa muda perokok

berat, biasanya akan berakhir dengan amputasi (Tregobov et al., 2020)

Banyaknya rokok yang dihisap akan berdampak sangat besar terhadap

kejadian aterosklerosis terutama pada pembuluh darah otak sebagai pemicu

stroke, selain itu merokok juga mengakibatkan gangguan pola tiudr salah satunya

insomnia karena zat yang terkandung dalam rokok membuat individu merasa

terjaga.(Hattatoğlu et al., 2021)

B. Konsep Teori Planned of Behavior


1. Konsep Umum Teori TBP

Teori Perilaku yang direncanakan (Theory of Planned Behavior) yang

disingkat dengan TPB merupakan pengembangan lebih lanjut dari TRA. Seperti

pada teori TRA, faktor inti dari TPB adalah niat individu dalam melakukan

perilaku tertentu. Niat diasumsikan sebagai penangkap motivasi yang

mempengaruhi suatu perilaku. Secara umum, semakin kuat niat untuk terlibat

dalam perilaku maka semakin besar kemungkinan perilaku tersebut dilakukan.

Ajzen (1991) menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu persepsi

terhadap pengendalian yang dapat dilakukan (perceived behavioral control).

Konstruk ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan yang dimiliki

individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu. Dengan kata lain, dilakukan

atau tidak dilakukannya suatu perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan

norma subjektif semata, tetapi juga persepsi individu terhadap kontrol yang dapat

dilakukannya yang bersumber pada keyakinannya terhadap kontrol tersebut

(control belief)

Gambar 2. 1 Konsep The Theory of Planned Behavior


Theory of Planned Behavior mempunyai dasar pendekatan belief yang

membentuk niat (intention) dan mendorong individu untuk menampilkan atau

melakukan suatu perilaku tertentu. Belief dipengaruhi oleh beberapa faktor latar

belakang individu, antara lain yaitu faktor personal yang meliputi (nilai, emosi,

dan kognisi), faktor sosial yang meliputi (usia, jenis kelamin, ras, budaya,

pendapatan, dan agama), serta faktor referensi/informasi yang meliputi

(pengetahuan, pengalaman, dan media) (Ajzen, 2005) Theory of Planned

Behavior (TPB) menyampaikan bahwa perilaku yang ditampilkan oleh individu

timbul karena adanya intensi/ niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat

berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu :

a. Behavioral belief, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku

(belief strength) dan evaluasi atas hasil tersebut (outcome evaluation),

b. Normative belief, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain

(normative belief) dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (motivation

to comply).

c. Control belief, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung

atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control belief) dan

persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat

perilakunya tersebut (perceived power). Hambatan yang mungkin timbul pada

saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari dalam diri sendiri maupun dari

lingkungan. Secara berurutan, behavioral belief menghasilkan sikap terhadap

perilaku positif atau negatif, normative belief menghasilkan tekanan sosial

yang dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subjektif


(subjective norm) dan control belief menimbulkan perceived behavioral

control atau kontrol perilaku yang dipersepsikan dalam (Madden et al., 1992)

2. Komponen Teori TBM

a. Intensi

Menurut Ajzen bahwa intensi merupakan indikasi seberapa kuat keyakinan

seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang

akan digunakan untuk melakukan sebuah perilaku. Intensi merupakan faktor

motivasional yang memiliki pengaruh pada perilaku, sehingga orang dapat

mengharapkan orang lain berbuat sesuatu berdasarkan intensinya. Pada

umumnya, intensi memiliki korelasi yang tinggi dengan perilaku, oleh

karena itu dapat digunakan untuk meramalkan perilaku. Menurut Ajzen

(2005), intensi diukur dengan sebuah prosedur yang menempatkan subjek di

dimensi probabilitas subjektif yang melibatkan suatu hubungan antara

dirinya dengan tindakan. Menurut Theory of Planned Behavior, intensi

memiliki 3 determinan, yaitu : sikap, norma subjektif, dan kendala perilaku

yang dipersepsikan. Pengukuran intensi dapat digolongkan ke dalam

pengukuran belief. Sebagaimana pengukuran belief, pengukuran intensi

terdiri atas 2 hal, yaitu pengukuran isi (content) dan kekuatan (strength). Isi

dari intensi diwakili oleh jenis tingkah laku yang akan diukur, sedangkan

kekuatan responsnya dilihat dari rating jawaban yang diberikan responden

pada pilihan skala yang tersedia.

b. Sikap (attitude toward behavioral)

Sikap merupakan besarnya perasaan positif terhadap suatu objek (favorable)

atau negatif (unfavorable) terhadap suatu objek, orang, institusi, atau


kegiatan. Sikap didefinisikan sebagai kecenderungan psikologis yang

diekspresikan dengan mengevaluasi suatu entitas dalam derajat suka dan

tidak suka. Sikap dipandang sebagai sesuatu yang afektif atau evaluatif.

Konsep sentral yang menentukan sikap adalah belief. Menurut Ajzen (1991)

belief merepresentasikan pengetahuan yang dimiliki seseorang terhadap

suatu objek, di mana belief menghubungkan suatu objek dengan beberapa

atribut. Kekuatan hubungan ini diukur dengan prosedur yang menempatkan

seseorang dalam dimensi probabilitas subjektif yang melibatkan objek

dengan atribut terkait. Sikap seseorang terhadap suatu objek sikap dapat

diestimasikan dengan menjumlahkan hasil kali antara evaluasi terhadap

atribut yang diasosiasikan pada objek sikap (belief evaluation) dengan

probabilitas subjektifnya bahwa suatu objek memiliki atau tidak memiliki

atribut tersebut (behavioral belief). Atau dengan kata lain, dalam theory of

planned behavior sikap yang dimiliki seseorang terhadap suatu tingkah laku

dilandasi oleh belief seseorang terhadap konsekuensi (outcome) yang akan

dihasilkan jika tingkah laku tersebut dilakukan (outcome evaluation) dan

kekuatan terhadap belief tersebut (belief strength).

c. Subjective norm

Norma subjektif merupakan kepercayaan seseorang mengenai persetujuan

orang lain terhadap suatu tindakan, atau persepsi individu tentang apakah

orang lain akan mendukung atau tidak terwujudnya tindakan tersebut.

Norma subjektif adalah pihak- pihak yang dianggap berperan dalam

perilaku seseorang dan memiliki harapan pada orang tersebut, dan sejauh

mana keinginan untuk memenuhi harapan tersebut. Jadi, dengan kata lain
bahwa norma subjektif adalah produk dari persepsi individu tentang belief

yang dimiliki orang lain. Orang lain tersebut disebut referent, dan dapat

merupakan orang tua, sahabat, atau orang yang dianggap ahli atau penting

(Ajzen, 1991)

d. Percieved behavioral control

Kendali perilaku yang dipersepsikan (perceived behavior control)

merupakan persepsi terhadap mudah atau sulitnya sebuah perilaku dapat

dilaksanakan. Variabel ini diasumsikan merefleksikan pengalaman masa

lalu, dan mengantisipasi halangan yang mungkin terjadi. Perceived

behavioral control adalah persepsi seseorang tentang kemudahan atau

kesulitan untuk berperilaku tertentu. Terdapat dua asumsi mengenai kendali

perilaku yang dipersepsikan. Pertama, kendali perilaku yang dipersepsikan

diasumsikan memiliki pengaruh motivasional terhadap intensi. Individu

yang meyakini bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk berperilaku, tidak

akan memiliki intensi yang kuat, meskipun ia bersikap positif, dan didukung

oleh referents (orang-orang disekitarnya). Kedua, kendali perilaku yang

dipersepsikan memiliki kemungkinan untuk memengaruhi perilaku secara

langsung, tanpa melalui intensi,karena ia merupakan substitusi parsial dari

pengukuran terhadap kendali aktual (Ajzen, 2005).

3. Keterkaitan Teori TPB terhadap perilaku merokok

Perilaku merokok sangat erat hubungannya dengan intensi atau niat yang

menjadi dasar dari perilaku tersebut. Ketika seseorang akan melakukan sesuatu,

ada niat atau intensi untuk melakukan perilaku tersebut. Konsep theory of planned

behavior dapat mengkaji perilaku yang berkaitan dengan psikologi kesehatan yang
tujuannya untuk memprediksikan perilaku individu yang didasarkan pada

intensinya. Ketika seseorang tidak memiliki niat untuk mencapai sesuatu perilaku,

maka perilaku tersebut tidak akan muncul atau direalisasikan. Intensi berhenti

merokok merupakan sebuah perilaku yang bertujuan untuk kesehatan secara fisik,

ketika individu memiliki intensi yang didalamnya terdapat sikap, norma subyektif,

dan persepsi kontrol perilaku dapat memprediksi akankah perilaku tersebut

muncul.

Tidak sedikit penelitian yang menyatakan bahwa theory of planned

behavior dapat memprediksi perilaku salah satunya mengkonsumsi zat adiktif .

Ajzen dan Fishbein mengemukakan bahwa intensi menggambarkan seberapa

besar individu akan melakukan perilaku tertentu. Ajzen menyatakan bahwa intensi

merupakan suatu tanda kesiapan yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan

suatu perilaku tertentu. Semua perilaku termasuk juga perilaku merokok, didasari

oleh adanya intensi. Astuti et al (2018) menyatakan bahwa behavioral intention

atau niat (intensi) perilaku adalah sejauh mana seseorang dengan sadar membuat

rencana untuk mau atau tidaknya melakukan suatu perilaku tertentu di masa yang

akan datang.

Mengacu pada definisi intensi dari Ajzen, intensi berhenti merokok

merupakan sebuah indikasi yang memperlihatkan kesiapan seseorang untuk

melakukan perilaku berhenti merokok. Ajzen mengatakan, pada theory planned

behavior, intensi adalah berfungsinya tiga faktor penentu dasar, yaitu faktor

individu tersebut, pengaruh dari sosial, dan yang ketiga berkutat pada masalah

kontrol. Faktor individu adalah sikap individu terhadap perilaku. Sikap adalah

evaluasi yang mendukung atau menghambat yang dirasakan individu dalam


melakukan perilaku tertentu. Faktor intensi kedua adalah persepsi seseorang

tentang tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang

sedang dipertimbangkan. Dan yang terakhir, kontrol yang dirasakan terkait

hambatan dan kekuatan yang dimiliki individu untuk melakukan sesuatu. Ajzen

mengatakan perilaku manusia dikontrol oleh tiga pertimbangan dengan kesadaran

individu (Widiyaningsih & Setyowati, 2021)

Behavioral beliefs yang merupakan keyakinan mengenai kemungkinan

hasil apa yang akan muncul dan didapatkan dari perilaku dan evaluasi dari hasil

(outcomes) tersebut. Behavioral beliefs inilah yang akan memengaruhi bagaimana

attitude toward the behavior yang muncul. Selanjutnya, normative beliefs, yaitu

keyakinan mengenai ekspektasi secara normatif dari orang lain dalam lingkungan

dan movitasi untuk memenuhi harapan tersebut. Normative beliefs ini akan

memengaruhi norma subyektif seseorang. Terakhir, control beliefs, yaitu

keyakinan mengenai faktor-faktor yang dapat memfasilitasi atau justru

menghalangi keberlangsungan perilaku dan kekuatan yang dirasakan dari factor-

faktor tersebut (Widiyaningsih & Setyowati, 2021)

Ajzen memaparkan tiga prediktor yang akan mempengaruhi kekuatan

intensi. Prediktor pertama yaitu sikap terhadap perilaku (attitude toward the

behavior) yang berkaitan dengan perilaku ini ditentukan oleh keyakinan tentang

konsekuensi apa yang dihayati yang terdapat pada suatu perilaku atau secara

singkat disebut keyakinan-keyakinan perilaku (behavioral beliefs) (Ajzen, 1991)

Keyakinan sangat erat hubungannya dengan penilaian secara subyektif

pada seseorang terhadap lingkungannya, kompetensi seseorang tentang diri dan

lingkungannya, yang untuk mendapatkannya dilakukan dengan cara mengkaitkan


antara perilaku tertentu dengan berbagai manfaat atau kerugian yang dirasa akan

didapatkan jika individu melakukan perilaku atau tidak. Keyakinan ini akan

mempengaruhi sikap terhadap perilaku itu apabila berdasarkan evaluasi yang

dilakukan orang tersebut, memperoleh gambaran bahwa perilaku yang akan

dilakukan tersebut dapat memberikan keuntungan bagi dirinya. Sikap terhadap

perilaku juga mengarah pada suka atau tidak suka terhadap suatu perilaku itu, baik

atau buruk, apakah seseorang mau menjalaninya atau tidak. Prediktor selanjutnya

adalah norma subjektif (subjective norm) yang merupakan persepsi individu pada

harapan dari nilai yang dipercayai individu yang mempengaruhinya dalam

kehidupan (significant others) mengenai muncul atau tidaknya perilaku tertentu

(Ajzen, 1991)

Norma subjektif terkait dengan tekanan sosial yang mengharuskan

individu melakukan sesuatu. Persepsi ini sifatnya subjektif sehingga dimensi ini

disebut norma subjektif. Sebagaimana sikap terhadap perilaku, keyakinan juga

mempengaruhi norma subjektif. Namun, jika sikap terhadap perilaku merupakan

fungsi dari keyakinan individu terhadap perilaku yang akan dilakukan (behavioral

belief) maka norma subjektif adalah fungsi dari keyakinan individu yang

didapatkan dari pandangan lingkungan terkait objek sikap yang berhubungan

dengan individu (normative belief) (Madden et al., 1992)

Prediktor terakhir yaitu persepsi kontrol perilaku (perceived behavioral

control) yang merupakan persepsi yang dirasakan individu mengenai mudah atau

sulitnya mewujudkan suatu perilaku . Pusat kendali berhubungan dengan

keyakinan individu yang relatif stabil dalam segala situasi. Persepsi terkait kontrol
perilaku dapat berubah yang sesuai dengan situasi dan jenis perilaku yang akan

dimunculkan (Madden et al., 1992)

C. Konsep Insomnia

1. Definisi Insomnia

Insomnia adalah suatu kesulitan dalam memulai tidur, mempertahankan

tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan selama 1 bulan atau lebih dan keadaan

sulit tidur ini harus menyebabkan gangguan klinis yang signifikan (Fuad Nashori &

Etik Dwi Wulandari, 2017). Insomnia merupakan persepsi yang tidak adekuat dari

kualitas dan kuantitas tidur dan merupakan keluhan paling umum dari gangguan

tidur (Hägg et al., 2020).

Insomnia adalah kondisi yang menggambarkan dimana seseorang

kesulitan untuk tidur. Kondisi ini bisa meliputi kesulitan tidur, masalah tidur,

sering terbangun di malam hari, dan bangun terlalu pagi. Insomnia adalah

gangguan tidur yang menyebabkan penderitaanya sulit tidur, atau tidak cukup

tidur, meskipun terdapat cukup waktu untuk melakukannya. Gangguan tersebut

menyebabkan kondisi penderita tidak prima untuk melakukan aktivitas keesokan

harinya (Fuad Nashori & Etik Dwi Wulandari, 2017)

2. Factor Resiko Insomnia

Adapun factor resiko insomnia menurut Sai et al (2020) sebagai berikut:

a) Faktor Lingkungan

1) Tempat tinggal

2) Ketenangan lingkungan tempat tinggal

b) Faktor gaya hidup

1) Mengonsumsi alcohol
2) Mengonsumsi kopi

3) Mengonsumsi teh

4) Merokok

5) Memainkan gawai (handphone, tablet atau laptop/komputer) 2 jam

sebelum tidur

c) Faktor penggunaan obat-obatan

Penggunaan obat – obatan tertentu golongan (kortikosteroid, statin,

alphablocker, betablocker, ACE inhibitor) dapat meningkatkan kejadian

insomnia.

d) Faktor penyakit kronis

1) Memiliki kondisi medis tertentu (lesi otak, tumor otak, stroke, gerd,

alzheimer, parkinson)

2) Mempunyai riwayat asma

3) Mempunyai penyakit jantung dan/atau hipertensi

e) Faktor gangguan mental

1) Riwayat penyakit gangguan mood (bipolar, ansietas, depresi dan

psikotik)

2) Stress

3. Klasifikasi Insomnia

a) Insomnia Akut

Insomnia akut sering dijumpai dan sebagian besar individu sering

mengalami insomnia akut ini, dimana insomnia ini ditandai dengan

keadaan stress terhadap pekerjaan maupun masalah hidup atau gagal ujian,
tetapi tidak disertai komplikasi yang dapat mengganggu aktivitas sehari –

hari (Brook et al., 2015)

b) Insomnia Kronik

Insomnia kronik yaitu insomnia yang dapat mengganggu kualitas hidup,

gangguan mental maupun fisik.Dimana penderita insomnia kronik ini

rawan mengalami kecelakaan akibat dari insomnia yang mengganggu

aktivitas sehari–hari(Brook et al., 2015)

4. Manifestasi Klinis Insomnia

Insomnia memiliki gejala-gejala atau keluhan sebagai berikut :

a) Kurangnya jumlah jam tidur.

Pada kebanyakan subjek normal lamanya tidur biasanya lebih dari 6 jam,

sedangkan pada penderita insomnia umumnya tidur lebih sedikit dari itu,

penggunaan medsos dalam waktu lama akan membuat jam tidur berkurang (Lee et

al., 2021)

b) Tidur tidak nyenyak.

Gejala ini mengacu pada kualitas tidur, kebanyakan dari subjek normal

tidurnya dalam, akan tetapi pada insomnia mengakibatkan tidur dangkal (Lee et

al., 2021).

c) Sulit untuk masuk tidur.

Orang normal biasanya dapat jatuh tidur dalam waktu 5 sampai 15 menit,

namun para insomnia biasanya lebih lama dari 15 menit bahkan kadang sampai 60

menit (Lee et al., 2021)

d) Tidak dapat mempertahankan tidur (tidur mudah terbangun).


Pada orang normal dapat mempertahankan tidur sepanjang malam,

kadang-kadang mereka terbangun satu sampai dua kali tetapi pada penderita

insomnia biasanya terbangun selama lebih dari tiga kali dan melanjutkan

mengguanakan media sosial seperti Instagram (Lee et al., 2021).

e) Perasaan tidak segar di pagi hari.

Pada orang normal merasa segar setelah tidur di malam hari, sedangkan

pada penderita insomnia seperti pengguna media sosial dalam waktu lama

biasanya bangun tidur tidak segar atau lesu, hal ini disebabkan karena kebutuhan

tidur yang kurang dari 8 jam (Lee et al., 2021).

5. Dampak Insomnia

Menurut (Hu et al., 2020) dampak insomnia bervariasi, dapat berupa

gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, kehilangan motivasi, depresi dan

lain-lain. Selain itu dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi, serta dampak

social dari insomnia mempengaruhi kualitas hidup seperti susah mendapat

promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati hubungan sosial dan

keluarga. Serta beberapa studi menjelaskan insomnia dapat memperpendek angka

harapan hidup atau karena high arousal state. Selain itu, orang yang menderita

insomnia memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan

lalu lintas jika dibandingkan dengan orang yang normal.

D. Konsep Pekerja

1. Definisi Pekerja

Pekerja adalah tenaga yang bekerja didalam maupun luar hubungan kerja

dengan alat produksi utama dalam proses produksi baik fisik maupun pikiran

(Syariffudin & Parma, 2020). Pekerjaan secara umum di definisikan sebagai sebuah
kegiatan aktif yag dilakukan oleh manusia. Istilah pekerjaan digunakan untuk

suatu tugas atau kerja yang menghasilkan sebuah karya yang bernilai imbalan

dalam bentuk uang atau bentuk lainnya.

2. Jenis-Jenis Pekerja

Buruh dapat dibedakan menurut jenis dan pekerjaannya, menurut

Syariffudin & Parma (2020) pekerja dapat dibedakan menjadi :

a) Pekerja harian yaitu buruh yang menerima upah berdasarkan hari masuk kerja

b) Pekerja kasar yaitu buruh yang menggunakan tenaga fisiknya karena tidak

mempunyai keahlian dibidang tertentu

c) Pekerja musiman yaitu buruh yang bekerja pada musim-musim tertentu

d) Pekerja pabrik yaitu buruh yang bekerja di pabrik

e) Pekerja tambang yaitu buruh yang bekerja di pertambangan

f) Pekerja terampil yaitu buruh yang mempunyai keterampilan tertentu

g) Pekerja terlatih yaitu terlatih yaitu buruh yang sudah dilatih untuk keterampilan

tertentu

3. Masalah Kesehatan Pekerja

a) Gangguan tidur

Gangguan tidur yang muncul pada pekerja khususnya peekrja pabrik

biasanya diakibatkan oleh pergantian shift dari pagi, siang, dan malam. Gangguan

tidur berhubungan dengan terganggunya ritme sirkadian atau jam biologis tubuh.

Tidak hanya pekerja yang mendapat shift malam, orang yang diharuskan mulai

bekerja dari subuh juga dapat mengalami gangguan tidur. Selain itu pekerja pabrik

cenderung mempunyai gaya hidup seduktif yang umumnya sering mengkonsumsi


rokok dan kafein untuk mengurangi stress akibat beban kerjanya (Setyoutomo,

2018)

b) Stress

Bagi pekerja pabrik sumber stres dapat berasal dari banyak aspek,

misalnya pekerjaan yang monoton dan begitu-begitu saja, merasa tidak punya

kendali atas pekerjaan dan tidak memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan,

kemampuan yang dimiliki tidak terpakai dalam pekerjaan, perasaan was-was

kehilangan pekerjaan, bayaran yang rendah tetapi tuntutan kerja yang tinggi, tidak

adanya jenjang karir (Setyoutomo, 2018)

c) Nyeri punggung dan cedera

Nyeri punggung merupakan gangguan yang paling sering dialami oleh

pekerja yang diharuskan duduk dalam me1neylesaikan peekrjaannya, karena harus

duduk dalam jangka waktu panjang dengan posisi tubuh yang buruk. Jika

pekerjaan mengharuskan postur statis, maka sering membungkuk, mengangkat

atau memutar secara tiba-tiba dan tak terduga bisa memberikan tekanan yang

lebih pada punggung (Setyoutomo, 2018)

E. Orsinalitas Penelitian

No Judul, Nama, Tahun DSVIA Hasil


1 Sleep quality in D: Perokok aktif dengan
cigarette smokers and cross-sectional kategori menghabiskan
nonsmokers: findings S: rokok >100 batang per 28
from the general 26282 hari menunjukkan kualitas
population in central responden tidur yang buruk
China V: dibandingkan dengan
(Liao et al., 2019) Dependen : perokok pasif.
cigarete
smoking
Independen:
sleep
disturbance
No Judul, Nama, Tahun DSVIA Hasil
I:
Observasi
krakteristik
ketergantungan
merokok dan
kuesioner The
Pittsburgh Sleep
Quality Index
(PSQI)
A:
Chi-squared
tests dan
Wilcoxon rank
sum test
2 Smokers with insomnia D: Kebiasaan merokok menjadi
symptoms are less likely Cohort study factor resiko terjadinya
to stop smoking S: insomnia selama periode
(Hägg et al., 2020) 2568 responden lanjut dibandingkan dengan
V: mereka yang telah berhenti
Dependen : merekok
smokers
Independen:
insomnia
symptom
I:
Kuesioner
A:
Multiple logistic
regression
analyses
3 The Relationship of the D: Kebiasaan merokok dengan
Insomnia Degree With Cross sectional intensitas berat berpengaruh
Smoking Habit S: secara signifikan terhadap
Overtraining 100 responden kejadian insomnia yang
(Kasmad & Husnul, 2020) V: dapat berdampak terhadap
Dependen: kualitas hidup
insomnia
Independen:
smoking habit
overtraining
I:
Kuesioner
A:
Spearman
correlation
4 Smoking and Incidence D: Secara kuantitatif
of Insomnia: a Systematic menunjukkan bahwa
No Judul, Nama, Tahun DSVIA Hasil
systematic review and review merokok dapat secara
meta-analysis of cohort S: signifikan meningkatkan
studies Pencarian kejadian insomnia (OR:
(Hu et al., 2020) literatur melalui 1,07, 95% CI: 1,02,1,13).
database Merokok teratur secara
PubMed, signifikan terkait dengan
EMBASE dan kejadian insomnia
OVID (OR=1.07, 95%
V: CI:1.01,1.13). Untuk
Dependen: perokok sesekali dan
smoking mantan perokok, analisis
Independen: gabungan tidak
inciden menunjukkan hubungan
insomnia yang signifikan (perokok
sesekali: OR=2,09, 95%
CI:0,44,9,95; mantan
perokok; OR=1,02, 95%
CI:0,67,1,54)
REFERENSI

Ajzen, I. (1991). The Theory of Planned Behavior. Academic Press Inc, 50, 179–211.
Astuti, Barinda, Hidayat, Wathan, & D, L. (2018). Smoking Behavior among Male
Adolescent on Private Junior High Schools in Depok. Arkesmas, 3(2), 12.
Brook, J. S., Zhang, C., Rubenstone, E., & Brook, D. W. (2015). Insomnia in adults:
The impact of earlier cigarette smoking from adolescence to adulthood. Journal
of Addiction Medicine, 9(1), 40–45.
https://doi.org/10.1097/ADM.0000000000000083
Doornenbal, B. M., & Spisak, B. R. (2021). The asymmetric relationship between
smoking and sleep: Longitudinal findings from Dutch panel data. Population
Medicine, 3, 1–5. https://doi.org/10.18332/popmed/142891
Fuad Nashori, & Etik Dwi Wulandari. (2017). Psikologi tidur dari segi kualitas tidur
hingga insomnia. Universitas Islam Indonesia Press.
Gede Purnawinadi, I., & Angelia Baureh, M. (2019). HUBUNGAN ANTARA
JUMLAH ROKOK YANG DI KONSUMSI DENGAN INSOMNIA PADA
ORANG DEWASA. Nutrix Journal, 3(1).
Hägg, S. A., Ljunggren, M., Janson, C., Holm, M., Franklin, K. A., Gislason, T.,
Johannessen, A., Jõgi, R., Olin, A. C., Schlünssen, V., & Lindberg, E. (2020).
Smokers with insomnia symptoms are less likely to stop smoking. Respiratory
Medicine, 170. https://doi.org/10.1016/j.rmed.2020.106069
Hattatoğlu, D. G., Aydin, Ş., & Yildiz, B. P. (2021). Does smoking impair sleep
hygiene? Arquivos de Neuro-Psiquiatria, 79(12), 1123–1128.
https://doi.org/10.1590/0004-282X-ANP-2020-0578
Hawkins, F., Gill, N., Taylor, V. C., Thompson, D., & Bell, S. (2021). Examining The
Relationship Between Smoking Cigarettes and Experiences of Sleep
Disturbances. Jpurnal of Prince George Community, 3(2).
Hu, N., Wang, C., Liao, Y., Dai, Q., & Cao, S. (2020). Smoking and Incidence of
Insomnia: a systematic review and meta-analysis of cohort studies. Reseach
Square. https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-27889/v4
Kasmad, R., & Husnul, D. (2020). The Relationship of the Insomnia Degree With
Smoking Habit Overtraining. Atlantis Press, 481, 227–229.
Lee, J., Hong, Y., & Lee, W. (2021). Prevalence of insomnia in various industries and
associated demographic factors in night-shift workers using workers’ specific
health examination data. International Journal of Environmental Research and
Public Health, 18(13). https://doi.org/10.3390/ijerph18136902
Liao, Y., Xie, L., Chen, X., Kelly, B. C., Qi, C., Pan, C., Yang, M., Hao, W., Liu, T., &
Tang, J. (2019). Sleep quality in cigarette smokers and nonsmokers: Findings
from the general population in central China. BMC Public Health, 19(1).
https://doi.org/10.1186/s12889-019-6929-4
Madden, T. J., Ellen, P. S., & Ajzen, I. (1992). A Comparison of the Theory of Planned
Behavior and the Theory of Reasoned Action. Personality and Social Psychology
Bulletin, 18(1), 3–9. https://doi.org/10.1177/0146167292181001
Meini, J., Kairupan, A., Rottie, J. v, Malara, R. T., Studi, P., Keperawatan, I.,
Kedokteran, F., Sam, U., & Manado, R. (2019). HUBUNGAN MEROKOK
DENGAN KEJADIAN INSOMNIA PADA REMAJA DI SMA NEGERI 1
REMBOKEN KABUPATEN MINAHASA. Ejournal Keperawatan (e-Kp), 4(1).
Rossa Larasati, E., Saraswati, W., Utami Setiawan, H., Sabila Rahma, S., Gianina, A.,
Alicia Estherline, C., Nurmalasari, F., Nabiela Annisa, N., Septiani, I., &
Nugraheni, G. (2018). Motivasi Berhenti Merokok pada Perokok Dewasa Muda
Berdasarkan Transtheoretical Model (TTM). Jurnal Farmasi Dan Ilmu
Kefarmasian Indonesia, 5(2), 85.
SAI, X. Y., CHEN, Q., LUO, T. G., SUN, Y. Y., SONG, Y. J., & CHEN, J. (2020).
Analysis of Factors Influencing Insomnia and Construction of a Prediction Model:
A Cross-sectional Survey on Rescuers. Biomedical and Environmental Sciences,
33(7), 502–509. https://doi.org/10.3967/bes2020.067
Setyoutomo, I. (2018). Suatu Tinjauan tentang Tenaga Kerja. Journal The WINNERS,
6(1), 83–93.
Syariffudin, M., & Parma, I. P. G. (2020). DAMPAK LINGKUNGAN KERJA
SERTA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA KINERJA
KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI. Jurnal Manajemen Dan Bisnis, 2(2).
Tregobov, N., Poureslami, I., Shum, J., Aran, N., McMillan, A., & Mark FitzGerald, J.
(2020). Assessing factors influencing smoking and smoking cessation within
Chinese communities in the Greater Vancouver Area: A qualitative exploratory
study. Tobacco Prevention and Cessation, 6, 1–14.
https://doi.org/10.18332/tpc/126631
Widiyaningsih, D., & Setyowati, R. (2021). Peran Tenaga Kesehatan Dan Dukungan
Keluarga Terhadap Pengendalian Perilaku Merokok Lansia Perempuan Di Dieng
Plateau The Role Of Health Personnel And Family Support On Smoking Behavior
Control In Women Elderly In Dieng Plateau Sekolah Tinggi Ilmu Kesehat.
Manajemen Kesehatan Yayasan RS. Dr Soetomo, 7(1), 20–29.
Yeyen, P. E., & S, W. (2019). Action Situation Perilaku Merokok Di Kawasan Tanpa
Rokok Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Jurnal
Keperawatan Muhammadiyah.
 

Anda mungkin juga menyukai