Anda di halaman 1dari 54

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat

ternyata membawa perubahan yang mendasar pada sendi-sendi kehidupan

manusia. Perubahan-perubahan tersebut membawa dampak pada setiap

individu untuk meningkatkan kinerja masing-masing pribadi dan masyarakat

luas. Masalah sumber daya manusia secara historis dapat ditinjau dari

perkembangannya sejak dulu. Bahkan masalah sumber daya manusia yang

kelihatannya hanya merupakan masalah intern dari suatu organisasi,

sesungguhnya mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan manusia

dan masyarakat yang telah menimbulkan berbagai konsepsi tentang sumber

daya manusia dan statusnya dalam masyarakat di mana organisasi itu berada.

Salah satu fungsi pemerintah yang utama adalah

menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum

pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi

merupakan instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang

efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa

untuk mampu melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik maka organisasi

birokrasi harus profesional, tanggap, aspiratif terhadap berbagai tuntutan

masyarakat yang dilayani. Seiring dengan hal tersebut pembinaan aparatur

negara dilakukan secara terus menerus, agar dapat menjadi alat yang efisien
2

dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-

tugas umum pemerintah maupun untuk menggerakkan pembangunan secara

lancar dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian terhadap masyarakat.

Seiring dengan lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah maka setiap daerah terutama daerah - daerah

dalam Provinsi Sumatera Utara pada umumnya dan Kabupaten Padang Lawas

Utara pada khususnya dituntut untuk meningkatkan kegiatan - kegiatan

pemerintahan dan pembangunan, otonomi daerah tersebut adalah pelimpahan

sebagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam

rangka percepatan pembangunan daerah. Beranjak dari Undang-Undang No.

32 Tahun 2004 ini Pemerintah Kabupaten melalui Pemerintah Daerah dapat

meningkatkan dan memaksimalkan pendelegasian kewenangan dari Bupati

untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum.

Hakikat dari pelaksanaan otonomi daerah adalah untuk mengukur

sampai sejauh mana kemampuan daerah dalam melaksanakan pemerintahan

dan pembangunan atas dasar kekuatan dan kemampuannya sendiri dengan

memanfaatkan segenap potensi yang dimilikinya, baik potensi sumber daya

alam, sumber daya manusia, maupun sumber – sumber lainnya yang dapat

mendukung kelancaran pelaksanaan otonomi daerah tersebut sehingga

implementasi otonomi daerah akan lebih cepat terwujud.

Banyak faktor yang sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan

otonomi daerah, dan salah satu faktor yang sangat menentukan adalah faktor

sumber daya manusia yang ada di daerah, baik dari segi kuantitas atau
3

jumlahnya maupun dari segi segi kualitas atau mutunya. Sumber Daya

Manusia sangat diperlukan untuk melakukan kegiatan - kegiatan pembangunan

daerah. Dalam rangka melaksanakan kegiatan - kegiatan yang diamanatkan

oleh otonomi daerah tersebut, karena tanpa tersedianya sumber daya manusia

mustahil pembangunan akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan, yaitu

untuk mewujudkan daerah yang mandiri mencapai kesejahteraan masyarakat.

Guna mencapai tujuan yang ditetapkan maka Pemerintah Kabupaten Padang

Lawas Utara harus mampu meningkatkan motivasi kerja pegawai sehingga

akan berdampak pada Organizational Citizenship Behavior (OCB) pegawai.

Posisi pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang

Lawas Utara adalah sebagai garda terdepan dan sentral terlaksananya

Organizational Citizenship Behavior. Organizational Citizenship Behavior

pegawai memerlukan adanya totalitas, dedikasi, maupun loyalitas sebagai

seorang pelayan administrasi bagi masyarakat atau stakeholders terkait.

Faktor yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior

pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara

adalah faktor komitmen profesi. Komitmen profesi paling sering didefinisikan

sebagai keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota profesi tertentu. Keinginan

untuk berusaha keras sesuai keinginan profesi. Keyakinan tertentu, dan

penerimaan nilai dan tujuan profesi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap

yang merefleksikan loyalitas pegawai pada profesi dan proses berkelanjutan di

mana anggota profesi mengekspresikan perhatiannya terhadap profesi dan

keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan, (Husnan, 2005:49), Fenomena


4

yang terjadi di Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas

Utara diantaranya kemampuan teknis fungsional pegawai belum sesuai

harapan, standarisasi antara beban dan tanggung jawab belum baik

Faktor yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior

pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara

adalah faktor disiplin. Penelitian terdahulu yang menyatakan disiplin

berpengaruh terhadap Organizational Citizenship Behavior diantaranya

penelitian dari Ageng (2015), Aldrianto (2016) dan Murty (2014). Menurut

pendapat Sudjana (2004:135), disiplin adalah sikap dari seseorang/kelompok

orang yang senantiasa berkehendak untuk mengikuti/mematuhi segala

aturan/keputusan yang ditetapkan. Berdasarkan data rekapitulasi kehadiran

pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara

Bulan Januari 2018 sampai dengan Februari 2018 menunjukkan bahwa disiplin

pegawai belum menunjukkan kategori yang baik karena masih terlihat ada

pegawai yang datang terlambat ke kantor dan pulang sebelum jam kerja

Faktor lain yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior

pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara

adalah faktor job insecurity. Hal ini didukung oleh penelitian terdahulu dari

Antonio (2005) dan Pasewark (2001). Job insecurity merupakan kondisi

ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan

dalam situasi kerja yang mengancam. Perasaan tidak aman akan membawa

dampak pada job attitudes pegawai, penurunan komitmen, bahkan keinginan

untuk to quit yang semakin besar. Smithson (2000:144)  mengartikan  job 


5

insecurity  sebagai  kondisi psikologis  seseorang  (pegawai)  yang

menunjukkan  rasa  bingung  atau  merasa tidak aman dikarenakan kondisi

lingkungan yang  berubah-ubah  (perceived impermanance). Kondisi ini

muncul karena banyaknya  jenis  pekerjaan  yang  sifatnya sesaat  atau 

pekerjaan  kontrak.  Makin banyaknya  jenis  pekerjaan  dengan  durasi waktu

yang sementara atau tidak permanen, menyebabkan  semakin  banyaknya

pegawai yang mengalami job insecurity. Anoraga (2014:98) menjelaskan

beberapa definisi penting mengenai job insecurity di antaranya menurut

Hellgren, Sverke dan Isaksson (2009:88) yang membedakan dua bentuk

ketidakamanan kerja yaitu ketidakamanan pekerjaan kuantitatif, yaitu khawatir

tentang kehilangan pekerjaan itu sendiri, dan perasaan khawatir kehilangan

pekerjaan. Sementara ketidakamanan pekerjaan kuantitatif mengacu pada

perasaan potensi kerugian dalam kualitas posisi organisasi, seperti

memburuknya kondisi kerja, kurangnya kesempatan karir, penurunan gaji

pengembangan. Kedua sisi yang berbeda dari ketidakamanan kerja yang ada di

umum asumsi yang mendasari bahwa ketidakamanan pekerjaan adalah

dimaksudkan untuk menjadi pengalaman subjektif, berdasarkan pada persepsi

individu dan pemahaman tentang lingkungan dan situasi, dan mengacu pada

antisipasi dari peristiwa stres kehilangan pekerjaan itu sendiri. Sebagai salah

satu akan harapkan, “obyektif” ketidakamanan pekerjaan, berasal dari situasi

tersebut sebagai organisasi perampingan, restrukturisasi, pemecatan, umumnya

mengarah ke yang lebih besar ketidakamanan “subyektif” pekerjaan.

Fenomena tentang job insecurity pada Dinas Komunikasi dan Informatika


6

Kabupaten Padang Lawas Utara di antaranya sistem promosi, mutasi atau

rotasi yang tidak diketahui pegawai dan kejujuran, ketekunan, kreativitas serta

ilmu pengetahuan yang dimiliki pegawai perlu masih perlu peningkatan

Variabel lain yang teridentifikasi mempengaruhi Organizational

Citizenship Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten

Padang Lawas Utara adalah fasilitas kerja. Fasilitas kerja yang baik akan

meningkatkan OCB pegawai dalam bekerja. Meskipun fasilitas kerja hanya

sebagian kecil dari faktor-faktor yang mempengaruhi OCB, namun

keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, tanpa adanya fasilitas

kerja kegiatan di Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas

Utara tidak akan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan tujuan yang

diharapkan. Menurut Sanusi (2005: 44) mengemukakan bahwa, fasilitas kerja

merupakan kelengkapan kerja yang harus dimiliki oleh organisasi. Pada intinya

fasilitas kerja terdiri dari sarana dan prasarana. Sarana adalah segala sesuatu

yang berkaitan secara langsung dengan pegawai dan mendukung kelancaran

serta keberhasilan proses kerja yang meliputi ruangan kerja, penerangan,

perlengkapan lainnya seperti komputer, lemari, meja, kursi dan lain

sebagainya. Sedangkan prasarana merupakan segala sesuatu yang tidak secara

langsung berkaitan dengan pegawai, namun dapat mendukung kelancaran dan

keberhasilan proses kerja pegawai yang meliputi jalan, kamar kecil dan lain

sebagainya.
7

Berdasarkan pada fenomena di atas, maka peneliti melakukan

penelitian dengan judul : Pengaruh Komitmen Profesi, Disiplin, Job

Insecurity dan Fasilitas Kerja Terhadap Organizational Citizenship

Behavior Pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang

Lawas Utara.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa

permasalahan yang dapat peneliti identifikasi, yaitu :

1. Pegawai bekerja hanya untuk memenuhi tuntutan atau kewajibannya

sehari-hari tanpa memperhatikan aturan-aturan yang ada.

2. Kepuasan kerja pegawai belum menunjukkan hal yang maksimal, hal ini

dapat terlihat dari tingkat pelayanan aparatur Sekretariat belum

dikategorikan baik.

3. Masih ada pegawai yang sulit dijumpai pada waktu jam kerja, sehingga

masyarakat yang berurusan merasa kecewa.

4. Fasilitas kerja seperti jaringan internet (WiFi) belum baik.

5. Fasilitas kerja seperti komputer masih perlu penambahan.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Dalam melakukan penelitian perlu adanya batasan masalah terhadap

masalah yang akan diteliti, hal ini menjaga agar masalah yang akan diteliti
8

tidak terlepas dari pokok permasalahan yang akan ditentukan. Oleh karena

itu dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup permasalahan

yang akan diteliti mengenai komitmen profesi, disiplin, job insecurity dan

fasilitas kerja serta Organizational Citizenship Behavior pegawai

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1) Bagaimana pengaruh komitmen profesi terhadap Organizational

Citizenship Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika

Kabupaten Padang Lawas Utara.

2) Bagaimana pengaruh disiplin terhadap Organizational Citizenship

Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten

Padang Lawas Utara.

3) Bagaimana pengaruh job insecurity terhadap Organizational

Citizenship Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika

Kabupaten Padang Lawas Utara.

4) Bagaimana pengaruh fasilitas kerja terhadap Organizational

Citizenship Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika

Kabupaten Padang Lawas Utara.

5) Bagaimana pengaruh komitmen profesi, disiplin, job insecurity dan

fasilitas kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior pegawai

Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara


9

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh komitmen profesi terhadap

Organizational Citizenship Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan

Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh disiplin terhadap

Organizational Citizenship Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan

Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh job insecurity terhadap

Organizational Citizenship Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan

Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara.

4. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh fasilitas kerja terhadap

Organizational Citizenship Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan

Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara.

5. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh komitmen profesi, disiplin,

job insecurity dan fasilitas kerja terhadap Organizational Citizenship

Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang

Lawas Utara.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini adalah :


10

1. Dari segi ilmiah penelitian ini dapat digunakan bagi Dinas Komunikasi

dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara sebagai acuan dalam

pengambilan keputusan.

2. Dari segi praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi bagi pembaca dan pihak yang berkepentingan, untuk mengetahui

pengaruh komitmen profesi, disiplin, job insecurity dan fasilitas kerja

terhadap OCB pegawai.

3. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan peneliti

4. Sebagai referensi untuk penelitian sejenis dimasa yang akan datang.


11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Uraian Teoretis

1. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

1.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Menurut Organ dalam Mohammad (2011:55) menyatakan bahwa

Organizational Citizenship Behavior (OCB) is an individual behavior that is

discretionary, not directly or explicitly recognized by the formal reward system,

and in the aggregate promotes the efficient and effective functioning of the

organization. OCB didefinisikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan

perilaku yang tidak mengikat, tidak berkaitan dengan sistem reward formal yang

organisasi, dan secara keseluruhan meningkatkan efektivitas fungsi organisasi.

Selain itu, OCB melampaui indikator kinerja yang dibutuhkan oleh sebuah

organisasi dalam deskripsi pekerjaan formal. OCB mencerminkan tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh pegawai yang melampaui ketentuan minimum yang

diharapkan oleh peran organisasi dan mempromosikan kesejahteraan rekan kerja,

kelompok kerja, dan perusahaan. OCB adalah sebuah perilaku positif, dalam hal

ini adalah perilaku membantu pekerjaan individu lain yang ditunjukkan oleh

seseorang dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Kontribusi yang ditunjukkan

oleh pekerja itu berupa pekerjaan di luar pekerjaan yang harus dia lakukan,

pekerja tersebut menunjukkan perilaku menolong pada orang lain dalam sebuah

perusahaan sehingga tindakan tersebut mungkin dapat memperbaiki kinerja


12

organisasi atau perusahaan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa Organizational

Citizenship Behavior (OCB) merupakan :

1) Perilaku yang bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan yang terpaksa

terhadap hal-hal yang mengedepankan kepentingan perusahaan.

2) Perilaku individu sebagai wujud dari kepuasan berdasarkan kinerja, dan tidak

diperintah secara formal.

1.2. Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Penelitian terhadap OCB dimulai pada awal 1980-an (Bateman & Organ,

Mohammad 2011:66). Ada dua dimensi perilaku pegawai yaitu general

compliance (kepatuhan umum), melakukan apa yang baik yang pegawai harus

dilakukan dan altruism, membantu orang lain yang lebih spesifik. Konsep tersebut

menjalani beberapa transformasi/perubahan. Misalnya, dalam review penelitian,

Dennis W.Organ dalam Mohammad (2011:67) mengungkapkan ada lima dimensi

dalam OCB yaitu altruism, conscientiousness, sportsmanship, courtesy, dan civic

virtue. Penelitian Organ tersebut adalah salah satu dari penelitian yang dilakukan

oleh para peneliti dan ilmuan lain yang mempelajari dan menguji OCB pada

pekerja dalam sebuah  perusahaan. Dalam beberapa penelitian banyak ditemukan

adanya hubungan positif antaraOCB dengan aspek-aspek pekerjaan lainnya,

seperti job satisfaction dan job characteristic. Pegawai yang sudah merasa puas

dengan pekerjaannya mempunyai potensi yang lebih besar untuk menunjukkan

OCB dalam pekerjaannya, hal tersebut disebabkan oleh kepuasan dan rasa

nyaman yang sudah dia dapat dalam menjalani pekerjaannya. Adanya job design
13

dan workplace yang nyaman juga dapat mempengaruhi muculnya OCB. Banyak

faktor-faktor yang dapat mempengaruhi munculnya OCB, namun secara internal

Organ membagi 5 dimensi yang ada dalam perilaku OCB.

Lima Dimensi dalam Organizational Citizenship Behavior menurut Dennis

W.Organ (Purba dan Seniati 2004:32).

1) Altruism

Altruism adalah tindakan suka rela yang dilakukan oleh seseorang atau pun

kelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa

pun, kecuali mungkin perasaan telah melakukan perbuatan baik (Sears dkk,

Irfa 2012). Sedangkan menurut Walstern dan Piliavin dalam artikel Irfa

(2012), perilaku altruistik adalah perilaku menolong yang timbul bukan

karena adanya tekanan atau kewajiban, melainkan tindakan tersebut bersifat

suka rela dan tidak berdasarkan norma-norma tertentu.

Refleks menolong akan muncul apabila individu yang altruistif melihat

seseorang yang perlu untuk dibantu, seperti orang yang sudah dikenalnya

ataupun orang asing yang belum dikenal (stranger). Ciri-ciri lain dari perilaku

ini adalah “only inone-shot episode” yang berarti bahwa ketika seseorang

melakukan tindakan altruisme pada beberapa orang, tindakan altruisme

tersebut tidak berhubungan dengan tindakan altruismenya yang lain, karena

individu yang altruistif tersebut memang tidak mengharapkan ada imbalan

dari tindakannya tersebut di masa depan.


14

2) Conscientiousness

Conscientiousness mengacu pada sikap lebih berhati-hati dan mendengarkan

kata hati. Big Five Teorimemaparkan individu yang mempunyai skor tinggi

pada traits conscientiousnessmemiliki kontrol diri yang bagus, terorganisir,

memprioritaskan tugas, mengikuti norma dan peraturan, dan lain sebagainya.

Adanya perilaku tersebut dapat mengindikasikan bahwa para pekerja telah

menerima dan mematuhi aturan dan prosedur yang ada di dalam perusahaan.

Jadi bila ditinjau dalam konteks sebuah perusahaan adanya perilaku ini

tentunya akan sangat menguntungkan, karena pekerja dengan

conscientiousness yang tinggi akan memiliki sikap yang bagus daripada

rekan-rekan kerjanya yang lain dengan menunjukkan ketaatan pada regulasi

dan prosedur perusahaan yang lebih baik.

3). Courtesy

Dimensi courtesy dapat digambarkan dengan sebuah bentuk tindakan yang

bertujuan untuk mencegah munculnya masalah, sedangkan secara arti

katacourtesy dapat diartikan dengan sikap sopan, dan mempertimbangkan

orang lain. TindakanCourtesydapat dicontohkan dengan menawari teman

kerja untuk makan bersama, apabila sedang memiliki tugas yang sama selalu

mengingatkan teman kerjanya agar tidak lupa atau mungkin menawarinya

untuk salingsharingdan bertukar pikiran menyelesaikan tugas tersebut, dan

lain sebagainya.     
15

3) Sportsmanship

Dimensi Sportsmanshipdapat dilihat dari aspek toleransi dan keluhan

(complain) individu dalam pekerjaannya. Individu dengan sikap

sportsmanship yang tinggi akan sangat memperhatikan hal-hal detail dalam

pekerjaannya, dapat secara fair menjalankan pekerjaanya dan sedikit

mengeluh, dan kemampuan beradaptasi yang tinggi dengan situasi dan

lingkungan kerjanya. Dalam konteks sebuah perusahaan sikap ini tentunya

akan sangat menguntungkan, karena para pekerja akan dengan mudah

beradaptasi dengan perubahan yang ada di perusahaanya, sebagai contoh

apabila perusahaan mengeluarkan kebijakan baru mengenai suatu hal, pekerja

yang memiliki sikap sportsmanship tinggi akan dengan mudah menerima

kebijakan baru itu dan mengesampingkan masalah-masalah kecil yang

mungkin muncul disebabkan oleh kebijakan baru tersebut. Jadi individu

dengan sikap sportmanship yang bagus dapat dengan mudah beradaptasi

dengan linkungannya dan sedikit mengeluh. Hal tersebut didukung oleh

penjelasan Organ et al dalam artikel Irfa (2012) define sportmanship as an

employee’s “ability to roll with the punches” even if they do not like or agree

with the changes that are occurring within the organization. By reducing the

amount of complaints from employees that administrators have to deal with,

sportsmanship conserves time and energy. Mendefinisikan sportsmanship

sebagai "kemampuan untuk menyesuaian diri dengan perubahan/masalah"

bahkan jika mereka tidak suka atau setuju dengan perubahan yang terjadi

dalam perusahaan. Dengan mengurangi jumlah keluhan dari pegawai dengan


16

perilaku sportsmanship dapat menghemat waktu dan energi dari

administrators.

5). Civic virtue         

Civic virtue ditunjukkan dengan perilaku turut serta secara penuh (self

involvement) dan perhatian lebih pada perusahaan dimana individu tersebut

bekerja. Individu dengan civic virtue yang tinggi akan sangat memperhatikan

kepentingan perusahaannya. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan selalu

berperan aktif dalam semua kegiatan yang ada dalam perusahaan,

sepertitraining pegawai, workshop, dan lain sebagainya, selalu

memperhatikan informasi penting baik dari luar ataupun dari dalam

perusahaan yang dapat bermanfaat bagi perusahaannya.  Dalam bukunya

Organ This dimension also encompasses positive involvement in the concerns

of the organization (Organ et al.,Irfa 2012). Jadi dapat disimpulkan bahwa

pekerja dengan civic virtue yang bagus akan mempunyai loyalitas dan

perhatian yang lebih bagi perusahaannya.

1.3. Manfaat Organization Citizenship Behavior

Menurut Gunawan (2011:88) ada beberapa manfaat dari OCB antara lain :

1) OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja

a. Pegawai yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian

tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas

rekan tersebut
17

b. Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan

pegawai akan membantu menyebarkan bestpracticeke seluruh unit kerja

atau kelompok.

2) OCB meningkatkan produktivitas manajer

a. Pegawai yang menampilkan perilaku civicvirtue akan membantu manajer

mendapatkan saran dan atau umpan balik yang berharga dari pegawai

tersebut, untuk meningkatkan efektivitas unit kerja

b. Pegawai yang sopan, yang menghindari terjadinya konflik dengan rekan

kerja, akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen.

3) OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi

secara keseluruhan

a. Jika pegawai saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah dalam

suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya

manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti

membuat perencanaan

b. Pegawai yang menampilkanconcentioussness yang tinggi hanya

membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat

mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini

berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas

yang lebih penting

c. Pegawai lama yang membantu pegawai baru dalam pelatihan dan

melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya

untuk keperluan tersebut


18

d. Pegawai yang menampilkan perilaku sportmanship akan sangat menolong

manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk berurusan dengan

keluhan-keluhan kecil pegawai.

4) OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk

memelihara fungsi kelompok

a. Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril

(morale), dan kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota

kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi dan waktu

untuk pemeliharaan fungsi kelompok

b. Pegawai yang menampilkan perilaku courtesyterhadap rekan kerja akan

mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan

untuk menyelesaikan konflik manajemen berkurang

5) OCBdapat menjadi sarana efektif untuk mengoordinasi kegiatan-kegiatan

kelompok kerja

a. Menampilkan perilaku civic virtue(seperti menghadiri dan berpartisipasi

aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi

diantara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan

efektivitas dan efisiensi kelompok

b. Menampilkan perilaku courtesy(misalnya saling memberi informasi

tentang pekerjaan dengan anggota dari tim lain) akan menghindari

munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk

diselesaikan.
19

6) OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan

mempertahankan pegawai terbaik

a. Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta perasaan

saling memiliki diantara anggota kelompok, sehingga akan meningkatkan

kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan

pegawai yang baik

b. Memberi contoh pada pegawai lain dengan menampilkan perilaku

sportmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-

permasalahan kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada

perusahaan.

7) OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi

a. Membantu tugas pegawai yang tidak hadir di tempat kerja atau yang

mempunyai beban kerja berat sehingga akan meningkatkan stabilitas dari

kinerja unit kerja

b. Pegawai yang conseientiuous cenderung mempertahankan tingkat kinerja

yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada

kinerja unit kerja.

8) OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan

perubahan lingkungan

a. Pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan pasar dengan sukarela

memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di lingkungan dan

memberi saran tentang bagaimana merespons perubahan tersebut, sehingga

organisasi dapat beradaptasi dengan cepat


20

b. Pegawai yang seeara aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-

pertemuan di perusahaan akan membantu menyebarkan informasi yang

penting dan harus diketahui oleh perusahaan

c. Pegawai yang menampilkan perilaku conseientiousness (misalnya

kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian

baru) akan meningkatkan kemampuan perusahaan dapat beradaptasi

dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.

2. Komitmen Profesi

2.1. Pengertian Komitmen Profesi

Menurut Susilo (2002:77), komitmen profesi paling sering didefinisikan yaitu :

a). Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota profesi tertentu;

b). Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan profesi;

c). Keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan profesi.

Sedangkan (Handoko, 2000:88), komitmen profesi merupakan sikap

yang merefleksikan loyalitas pegawai pada profesi dan proses berkelanjutan di

mana anggota profesi mengekspresikan perhatiannya terhadap profesi dan

keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan

Mowday, Porter dan Streers dalam Nitisemito (2001:75), menyebutkan

bahwa komitmen profesi adalah sifat hubungan seorang dengan profesi dengan

memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:

1) Menerima nilai-nilai dan tujuan profesi;

2) Mempunyai keinginan berbuat untuk profesinya;


21

3) Mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap bersama dengan

profesinya.

Mathis (2002:115), menyatakan bahwa komitmen profesi adalah sikap

yang mencerminkan sejauh mana seorang mengenal dan terikat pada profesinya.

Pegawai-pegawai yang merasa lebih berkomitmen pada profesi memiliki

kebiasaan-kebiasaan yang bisa diandalkan, berencana untuk tinggal lebih lama di

dalam profesi, dan mencurahkan lebih banyak upaya dalam bekerja.

Kinicki (2003:193) memberikan pengertian bahwa pegawai yang mempunyai

komitmen terhadap satuan kerja menunjukkan kuatnya pengenalan dan

keterlibatan pegawai dalam satuan kerja yang dinyatakan sebagai berikut: ”

organizational commitement was defined as the strength of on al’s identification

with and involvement in a particular organization”. Pegawai yang memiliki

komitmen terhadap satuan kerja kemungkinan untuk tetap bertahan lebih tinggi

dari pada pegawai yang tidak mempunyai komitmen. Mereka cenderung

menunjukkan keterlibatan yang tinggi diwujudkan dalam bentuk sikap dan

perilaku. Pegawai yang menunjukkan sikap komitmennya akan merasa lebih

senang dengan pekerjaan mereka, berkurangnya membuang-buang waktu dalam

bekerja dan berkurangnya kemungkinan meninggalkan lingkungan kerja.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik

Indonesia No. 25/KEP/M.PAN/2002, pengertian komitmen adalah keteguhan hati,

tekad yang mantap, dan janji untuk melakukan atau mewujudkan sesuatu yang

diyakini.
22

Gibson (2004:125), ada dua motif yang mendasari seseorang untuk

berkomitmen pada profesi atau unit kerjanya antara lain:

a. Side-Best Orientations

Side-Best Orientations ini memfokuskan pada akumulasi dari kerugian yang

dialami atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh kepada profesi apabila

meninggalkan profesi tersebut. Dasar pemikiran ini adalah bahwa

meninggalkan profesi akan merugikan, karena takut kehilangan hasil kerja

kerasnya yang tidak bisa diperoleh di tempat lain.

b. Goal-Congruence Orientations

Goal-Congruence Orientations ini memfokuskan pada tingkat kesesuaian

antara tujuan personal dan profesi sebagai hal yang menentukan komitmen

pada profesi. Pendekatan ini menyatakan bahwa komitmen pegawai pada

profesi dengan Goal-Congruence Orientations akan menghasilkan pegawai

yang memiliki penerimaan atas tujuan dan nilai-nilai profesi, keinginan untuk

membantu profesi dalam mencapai tujuan, serta hasrat untuk tetap menjadi

anggota profesi.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian mengenai

komitmen pada dasarnya menekankan bagaimana hubungan pegawai dan satuan

kerja menimbulkan sikap yang dapat dipandang sebagai rasa keterikatan pada

falsafah dan satuan kerja untuk mencapai tujuan tertentu.

Dessler (2002:135), mendefenisikan komitmen profesi sebagai sebuah

konsep yang memiliki tiga dimensi (bentuk) yaitu affective, normative, dan

continuance commitment. Affective Commitment adalah tingkat seberapa jauh


23

seorang pegawai secara profesi terikat, mengenal, dan terlibat dalam profesi.

Continuance Commitment adalah suatu penilaian terhadap biaya yang terkait

dengan meninggalkan profesi. Normative Commitment merujuk kepada tingkat

seberapa jauh seseorang secara phsychological terikat untuk menjadi pegawai dari

sebuah profesi yang didasarkan kepada perasaan seperti kesetiaan, afeksi,

kehangatan, kepemilikan, kebanggaan, kesenangan, kebahagian, dan lain-lain.

Menurut Dessler (2002:182), bentuk-bentuk Komitmen Profesi adalah:

a. Affective Commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam bekerja bagi

profesi atau perusahaan disebabkan karena dia setuju dengan tujuan-tujuan

profesi tersebut dan ingin melakukannya.

b.Continuance Commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam

melanjutkan pekerjaannya bagi profesi disebabkan karena dia membutuhkan

pekerjaan tersebut dan tidak dapat melakukan pekerjaan yang lain.

c. Normative Commitment ialah kuatnya keinginan seseorang dalam melanjutkan

pekerjaannya bagi profesi disebabkan karena dia merasa berkewajiban dari

orang lain untuk dipertahankan.

Triton (2005:55) berpendapat bahwa setiap komponen memiliki

dasar yang berbeda. Pegawai dengan komponen afektif tinggi, masih

bergabung dengan profesi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota

profesi. Sementara itu pegawai dengan komponen continuance tinggi, tetap

bergabung dengan profesi tersebut karena mereka membutuhkan profesi.

Pegawai yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi

anggota profesi karena mereka harus melakukannya. Setiap pegawai


24

memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen profesi

yang dimilikinya. Pegawai yang memiliki komitmen profesi dengan dasar

afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan pegawai yang berdasarkan

continuance. Pegawai yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan

untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan profesi. Sebaliknya,

mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial

dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak

maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil

dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban

yang dimiliki pegawai. Komponen normatif menimbulkan perasaan

kewajiban pada pegawai untuk memberi balasan atas apa yang telah

diterimanya dari profesi.

Menurut Dessler (2002:184), konsekuensi dari komitmen, yaitu:

a. Commited employees are less likely to withdraw

Pegawai yang memiliki komitmen mempunyai kemungkinan lebih kecil

untuk mengundurkan diri. Semakin besar komitmen pegawai pada profesi,

maka semakin kecil kemungkinan untuk mengundurkan diri. Komitmen

mendorong orang untuk tetap mencintai pekerjaannya dan akan bangga

ketika dia sedang berada di sana.

b. Commited employees are less willing to sacrifice for the organization

Pegawai yang memiliki komitmen bersedia untuk berkorban demi

profesinya. Pegawai yang memiliki komitmen menunjukkan kesadaran


25

tinggi untuk membagikan dan berkorban yang diperlukan untuk

kelangsungan hidup instansi.

2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komitmen Profesi

Dessler (2002:221) mengembangkan sebuah model hubungan sebab akibat

terjadinya komitmen terhadap profesi. Menurut Steers ada tiga penyebab

komitmen profesi, yaitu: fasilitas kerja pribadi (kebutuhan berprestasi, masa

kerja/jabatan, dan lain-lain), fasilitas kerja pekerjaan (umpan balik, identitas tugas,

kesempatan untuk berinteraksi, dan lain-lain) dan pengalaman kerja. Keterlibatan,

loyalitas yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap profesinya. Dimana

identifikasi yaitu penerimaan tujuan profesi, di mana penerimaaan ini merupakan

dasar komitmen profesi. Keterlibatan yaitu sesuai dengan peran dan tanggung

jawab pekerjaaan di profesi tersebut. Pegawai yang memiliki komitmen tinggi

akan menerima hampir semua tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang

diberikan.

Banyak faktor yang mempengaruhi komitmen profesi, diantaranya adalah :

Menurut Gibson (2002:77), faktor yang mempengaruhi komitmen profesi

adalah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan organisasi dan tingkat

keterlibatan dalam pengambilan keputusan.

Sedangkan menurut Hasibuan (2002:165), faktor yang mempengaruhi

komitmen profesi adalah menciptakan iklim yang kondusif untuk bekerja dan

prestasi kerja.
26

Menurut Mathis (2002:155) faktor yang mempengaruhi komitmen profesi

adalah feedback dari lingkungan atas tugas yang telah dilaksanakan dan kepuasan

kerja.

Menurut Robbins (2003:112), faktor yang mempengaruhi komitmen

profesi adalah pengertian pegawai terhadap tugas dan keahliannya, kepuasan

kerja, tingkatan tugas dan dukungan administratif.

3.Disiplin

3.1.Pengertian Disiplin

Secara etimologi, disiplin berasal dari bahasa latin “disipel” yang berarti

pengikut. Seiring dengan perkembangan jaman, kata tersebut mengalami

perubahan menjadi “disipline” yang artinya kepatuhan atau yang menyangkut

tata tertib. Disiplin kerja adalah suatu sikap ketaatan seseorang terhadap

aturan/ketentuan yang berlaku dalam organisasi, yaitu : menggabungkan diri

dalam organisasi itu atas dasar kainsafan, bukan unsur paksaan, Wibowo

(2014:66).

Selanjutnya Sinungan (2005:44), disiplin adalah sikap dari

seseorang/kelompok orang yang senantiasa berkehendak untuk

mengikuti/mematuhi segala aturan/keputusan yang ditetapkan.. Disiplin kerja

adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku

seseorang, kelompok masyarakt berupa ketaatan (obedience) terhadap

peraturan, norma yang berlaku dalam masyarakat.


27

Menurut Handoko (2001:96) disiplin diartikan sebagai suatu

keadaan tertib dimana orang-orang tergabung dalam organisasi tunduk pada

peraturan yang telah ditetapkan dengan senang hati. Orang/sekelompok orang.

Kedisiplinan adalah kesadaran dan ketaatan seseorang terhadap peraturan

perusahaan/lembaga dan norma yang berlaku.

Dari beberapa pendapat itu dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja

adalah sikap ketaatan dan kesetiaan seseorang/sekelompok orang terhadap

peraturan tertulis/tidak tertulis yang tercermin dalam bentuk tingkah laku dan

perbuatan pada suatu organisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Tujuan disiplin baik kolektif maupun perorangan yang sebenarnya

adalah untuk mengarahkan tingkah laku pada realita yang harmonis. Untuk

menciptakan kondisi tersebut, terlebih dahulu harus di wujudkan keselarasan

antara hak dan kewajiban pegawai.

3.2.Jenis-Jenis Disiplin

Menurut Hasibuan (2005:88), jenis-jenis disiplin adalah sebagai berikut :

1) Self Dicipline

Disiplin ini timbul karena seseorang merasa terpenuhi kebutuhannya dan

telah menjadi bagian dari organisasi, sehingga orang akan tergugah hatinya

untuk sadar dan secara sukarela mematuhi segala peraturan yang berlaku.

2) Command Dicipline

Disiplin ini tumbuh bukan dari perasaan ikhlas, akan tetapi timbul karena

adanya paksaan/ancaman orang lain.


28

Dalam setiap organisasi, yang diinginkan pastilah jenis disiplin yang pertama,

yaitu datang karena kesadaran dan kinsyafan. Akan tetapi kenyataan selalu

menunjukkan bahwa disiplin itu lebih banyak disebabkan oleh adanya

semacam paksaan dari luar. Disiplin mengacu pada pola tingkah laku dengan

ciri-ciri sebagai berikut :

a) Adanya hasrat yang kuat untuk melaksanakan sepenuhnya apa yang sudah

menjadi norma, etika, kaidah yang berlaku

b) Adanya perilaku yang terkendali

c) Adanya ketaatan

Untuk mengetahui ada tidaknya disiplin kerja seseorang pegawai dapat dilihat

dari :

a) Kepatuhan pegawai terhadap peraturan yang berlaku, termasuk tepat

waktu dan tanggung jawab terhadap pekerjaannya.

b) Bekerja sesuai prosedur yang ada

c) Pemeliharaan sarana dan perlengkapan instansi dengn baik.

3.3. Tipe-Tipe Disiplin

Menurut Sedarmayanti (2007:133), tipe-tipe kegiatan disiplin ada tiga tipe yaitu :

1) Disiplin preventif yaitu kegiatan yang mendorong pada pegawai untuk

mengikuti berbagai standart dan aturan, sehingga penyelewengan dapat

dicegah. Sasaran pokok dari kegiatan ini adalah untuk mendorong disiplin

diri dari diantara para pegawai/pegawai. Dengan cara ini para


29

pegawai/pegawai bekerja dengan ikhlas, bukan karena karena paksaan

manajemen.

2) Disiplin korektif adalah kegiatan yang diambil untuk menangani

pelanggaran yang dilakukan pegawai/pegawai terhadap peraturan yang

berlaku dan mencegah terjaidnya pelanggaran lebih lanjut. Kegiatan korektif

sering berupa bentuk hukuman dan disebut tindakan disiplin. Contohnya

dengan tindakan skorsing terhadap pegawai.

3) Disiplin progresif yaitu tindakan memberi hukuman berat terhadap

pelanggaran yang berulang. Contoh dari tindakan disiplin progresif antara

lain :

a) Teguran secara lisan oleh atasan

b) Teguran tertulis

c) Skorsing dari pekerjaan selama beberapa hari

d) Diturunkan pangkatnya

e) Dipecat.

3.4. Prinsip-Prinsip Disiplin

Dengan adanya tata tertib yang ditetapkan, dengan tidak sendirinya para

pegawai akan mematuhinya, maka perlu bagi pihak organisasi mengkondisikan

pegawainya dengan tata tertib instansi. Untuk mengkondisikan pegawai agar

bersikap disiplin, maka dikemukakan prinsip disiplin sebagai berikut :

1) Disiplin dilakukan secara pribadi


30

Disiplin ini dilakukan dengan menghindari menegur kesalahan dihadapan

orang banyak, karena bila hal tersebut dilakukan menyebabkan pegawai yang

bersangkutan malu dan tidak menutup kemungkinan akan sakit hati.

2) Disiplin yang bersifat membangun

Selain menunjukkan kesalahan yang dilakukan pegawai, haruslah disertai

dengan memberi petunjuk penyelesaiannya, sehingga pegawai tidak merasa

bingung dalam menghadapi kesalahan yang dilakukan.

3) Keadilan dalam disiplin

Dalam melakukan tindakan disiplin, hendaknya dilakukan secara adil tanpa

pilih kasih serta tidak membeda-bedakan antar pegawai.

4) Disiplin dilakukan pada waktu pegawai tidak absen

Pimpinan hendaknya melakukan disiplin ketika pegawai yang melakukan

kesalahan hadir, sehingga secara pribadi mengetahui kesalahannya.

5) Setelah disiplin hendaknya dapat bersikap wajar

Hal itu dilakukan agar proses kerja dapat berjalan lancar seperti biasa dan

tidak kaku dalam bersikap.

Adapun disiplin kerja dipengaruhi oleh faktor yang sekaligus sebagai

indikator dari disiplin kerja yaitu :

1) Ketepatan Waktu

Para pegawai datang ke instansi tepat waktu, tertib dan teratur, dengan begitu

dapat dikatakan disiplin kerja baik.

2) Menggunakan peralatan instansi dengan baik


31

Sikap hati-hati dalam menggunakan peralatan instansi, dapat menunjukkan

bahwa seseorang memiliki disiplin kerja yang baik, sehingga peralatan

instansi dapat terhindar dari kerusakan.

3) Tanggung jawab yang tinggi

Pegawai yang senantiasa menyelesaikan tugas yang di bebankan kepadanya

sesuai dengan prosedur dan bertanggung jawab atas hasil kerja, dapat pula

dikatakan memiliki disiplin kerja yang baik.

4) Ketaatan terhadap aturan instansi

Pegawai memakai seragam instansi, menggunakan kartu tanda pengenal/

identitas, membuat ijin bila tidak masuk instansi, juga merupakan cerminan

dari disiplin yang tinggi.

4. Job Insecurity

4.1.Pengertian Job Insecurity

Job insecurity merupakan kondisi ketidakberdayaan untuk

mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam situasi kerja yang

mengancam. Perasaan tidak aman akan membawa dampak pada job attitudes

pegawai, penurunan komitmen, bahkan keinginan untuk to Quit yang

semakin besar.

Smithson (2000:143)  mengartikan  job  insecurity  sebagai  kondisi

psikologis  seseorang  (pegawai)  yang menunjukkan  rasa  bingung  atau 

merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang  berubah-ubah 


32

(perceived impermanance). Kondisi ini muncul karena banyaknya  jenis 

pekerjaan  yang  sifatnya sesaat  atau  pekerjaan  kontrak.  Makin banyaknya 

jenis  pekerjaan  dengan  durasi waktu yang sementara atau tidak permanen,

menyebabkan  semakin  banyaknya pegawai yang mengalami job insecurity.

Job  insecurity  diukur berdasarkan  komponen-komponen  yang 

dikemukakan  Greenhalgh  dan  Rosenblatt dan  Ashford,  et  al.  dalam

Pasewark  dan  Strawser  (2001)  yaitu  :  (1)  tingkat  pentingnya  aspek-

aspek pekerjaan  yang  dirasakan  individu,  (2) kemungkinan  perubahan 

negatif  pada aspek-aspek  kerja  tersebut  bagi  individu, (3)  tingkat 

kepentingan  yang  dirasakan individu mengenai potensi  setiap peristiwa

yang  secara  negatif  dapat  mempengaruhi keseluruhan  kerja  individu,  (4)

kemungkinan  munculnya  peristiwa-peristiwa tersebut yang secara negatif

dapat mempengaruhi  keseluruhan  kerja  individu, dan  (5) 

ketidakberdayaan  yang  dirasakan individu.

Suryana (2001:121) menjelaskan beberapa definisi penting mengenai

job insecurity di antaranya menurut Hellgren, Sverke dan Isaksson yang

membedakan dua bentuk ketidakamanan kerja yaitu ketidakamanan pekerjaan

kuantitatif, yaitu khawatir tentang kehilangan pekerjaan itu sendiri, dan

perasaan khawatir kehilangan pekerjaan. Sementara ketidakamanan pekerjaan

kuantitatif mengacu pada perasaan potensi kerugian dalam kualitas posisi

organisasi, seperti memburuknya kondisi kerja, kurangnya kesempatan karir,

penurunan gaji  pengembangan.


33

Kedua sisi yang berbeda dari ketidakamanan kerja yang ada di umum

asumsi yang mendasari bahwa ketidakamanan pekerjaan adalah dimaksudkan

untuk menjadi pengalaman subjektif, berdasarkan pada persepsi individu dan

pemahaman tentang lingkungan dan situasi, dan mengacu pada antisipasi dari

peristiwa stres kehilangan pekerjaan itu sendiri.

Sebagai salah satu akan harapkan, “obyektif” ketidakamanan

pekerjaan, berasal dari situasi tersebut sebagai organisasi perampingan,

restrukturisasi, pemecatan, umumnya mengarah ke yang lebih besar

ketidakamanan “subyektif” pekerjaan. Berdasarkan uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa job insecurity atau ketidakmanan kerja merupakan

persepsi ancaman, peluang dan mengendalikan individu memiliki tanggung

jawab tentang mereka di tempat kerja. Ketika ancaman dianggap lebih besar

dari peluang, ketika ada dirasakan kurangnya kontrol dan perubahan

karakteristik pekerjaan, maka pegawai korban akan mengalami

ketidakamanan pekerjaan.

Antonio (2005:225) mendefinisikan job insecurity sebagai

ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan

dalam kondisi kerja yang terancam.

Sementara Smithson dan Lewis (2000, p680) mengartikan job

insecurity sebagai kondisi psikologis seseorang (pegawai) yang

menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi

lingkungan yang berubah-ubah (perceived impermanence). Kondisi ini

muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau


34

pekerjaan kontrak. Makin banyaknya jenis pekerjaan dengan durasi waktu

yang mengalami. Menurut Margiati (200%) pegawai di Negara maju pun

mengalami rasa tidak aman yang makin meningkat karena ketidakadilan

terhadap status kepegawaian mereka dan tingkat pendapatan yang makin

tidak bisa diramalkan. Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam

organisasi, pegawai sangat mungkin terasa terancam, gelisah, dan tidak aman

karena potensi perubahan untuk mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan

hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi.

5. Fasilitas Kerja

5.1. Pengertian Fasilitas Kerja

Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja, salah satu diantara faktor-

faktor tersebut adalah fasilitas kerja. Meskipun fasilitas kerja hanya sebagian

kecil dari faktor- faktor yang mempengaruhi kerja, namun keberadaannya

tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab, tanpa adanya fasilitas kerja kegiatan

kerja bekerja tidak akan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan tujuan

yang diharapkan. Fasilitas kerja sangat dibutuhkan dalam kegiatan kerja

bekerja secara formal yang pada umumnya berlangsung di suatu organisasi.

Ketika berbicara masalah fasilitas kerja dan sebelum membahas lebih dalam

mengenai fasilitas kerja, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai

definisi atau pengertian fasilitas kerja. Sanusi (2005: 44) mengemukakan

bahwa, fasilitas kerja merupakan kelengkapan kerja yang harus dimiliki oleh

organisasi.
35

5.2. Macam Macam Fasilitas Kerja

Pidarta (2002: 14) membagi fasilitas kerja menjadi dua macam, yaitu:

sarana dan prasarana. Lebih lanjut Pidarta (2002: 15) mengungkapkan

definisi dari sarana adalah segala sesuatu yang berkaitan secara langsung

dengan pegawai dan mendukung kelancaran serta keberhasilan proses kerja

yang meliputi ruangan kerja, penerangan, perlengkapan lainnya seperti

komputer, lemari, meja, kursi dan lain sebagainya. Sedangkan Prasarana

merupakan segala sesuatu yang tidak secara langsung berkaitan dengan

pegawai, namun dapat mendukung kelancaran dan keberhasilan proses kerja

pegawai yang meliputi jalan, kamar kecil dan lain sebagainya. Prasarana

kantor adalah segala sesuatu yang dipergunakan pegawai dalam pelaksanaan.

5.3. Perlengkapan Organisasi

Alpian (2000: 42) mengungkapkan bahwa salah satu persyaratan

untuk membuat suatu organisasi adalah pemilikan gedung organisasi yang

didalamnya meliputi ruang kantor. Suatu organisasi yang kekurangan ruang

kerja, akan banyak menemukan masalah seperti suasana kerja menjadi kurang

kondusif.

Adapun pejelasan mengenai sarana dan prasarana menurut Rohani (2001:89)

adalah sebagai berikut.

a. Jalan menuju organisasi


36

Letak organisasi yang jauh dari keramaian (pasar, bengkel, pabrik,

dan lainlain) akan memudahkan anak berkonsentrasi dalam kerjanya. Jalan

menuju organisasi berhubungan dengan letak organisasi. Jalan yang jauh dan

sulit di tempuh oleh pegawai membutuhkan tenaga yang lebih besar untuk

dapat sampai ke organisasi. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi keadaan

pegawai ketika hendak menerima pelajaran. Sebab, pegawai datang ke

organisasi dalam keadaan lelah, sehingga konsentrasi berkurang dan pada

akhirnya pegawai kurang oimal dalam menerima pelajaran. Hal ini sejalan

dengan apa yang dikemukakan oleh Purwanto bahwa faktor yang juga dapat

mempengaruhi hasil kerja adalah jarak antara rumah dengan organisasi yang

terlalu jauh, sehingga melelahkan. Dengan demikian, hal tersebut dapat

mempengaruhi prestasi kerja pegawai.

b. Penerangan

Di waktu siang, cahaya matahari harus bisa masuk ke dalam ruang

kerja dengan leluasa, sehingga ruang kerja cukup terang untuk keperluan

membaca dan menulis. Pemberian penerangan di dalam ruang kerja dapat

dilakukan dengan cara membuka jendela-jendela yang ada pada ruang kerja

tersebut. Dengan demikian, selain cahaya matahari dapat masuk ke dalam

ruang kerja, sirkulasi udara yang di dalam ruang kerja menjadi lancar

sehingga ruang kerja tidak pengap dan dapat menerangi pegawai ketika

menulis ataupun menbaca pada waktu kegiatan kerja berlangsung. Adapun

kelengkapan fasilitas yang dimilki oleh organisasi haruslah dapat membantu

terselenggaranya proses kerja bekerja seperti tersedianya fasilitas yang baik


37

untuk bekerja. Proses diharapkan dapat bergairah dan dapat membantu

pegawai. Berbicara mengenai masalah fasilitas kerja yang terkait dengan

proses kerja, sesungguhnya tidak hanya organisasi saja sebagai lembaga

formal yang berperan aktif dalam menyediakan fasilitas yang menunjang

keberhasilan akan tetapi, pegawai, mahasiswa juga ikut berperan dalam

menyumbang tersedianya fasilitas kerja.

6. Penelitian Terdahulu

1) Mahendra (2009), meneliti pengaruh kepuasan kerja, komitmen profesi

dan lingkungan kerja terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB)

pegawai bagian umum kantor sekretariat daerah Kabupaten Semarang.

Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan

kepuasan kerja terhadap OCB, terdapat pengaruh positif dan signifikan

komitmen organisasi terhadap OCB, terdapat pengaruh positif dan

signifikan lingkungan kerja terhadap OCB dan terdapat pengaruh positif

dan signifikan kepuasan kerja dan komitmen organisasi terhadap OCB.

2) Wahyuningsih (2009), meneliti pengaruh komitmen organisasi terhadap

Organizational Citizenship Behavior pegawai Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Yogyakarta. Hasil penelitian menunujukkan bahwa

komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap OCB. Berdasarkan

kajian teori dan penelitian terdahulu, maka dirumuskan hipotesis sebagai

berikut:

H1: Kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap OCB


38

H2: Komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap OCB

3) Mohammad, Farzana Quoquab Habib and Mohmad Adnan Alias (2011)

Penelitian ini dirancang untuk mengukur dua dimensi perilaku kewargaan

organisasi (OCB) yaitu OCBI dan OCBO dan untuk mengetahui

bagaimana OCB terkait dengan dua aspek kepuasan kerja (intrinsik dan

ekstrinsik). Untuk mencapai tujuan penelitian, metode survei yang

digunakan. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja

baik ekstrinsik dan intrinsik sangat penting dalam memprediksi OCB.

Implikasi dan keterbatasan penelitian dibahas bersama dengan saran untuk

penelitian di masa depan.

B. Kerangka Konseptual

Komitmen Profesi
(X1)

Disiplin OCB
(X2) (Y)

Job Insecurity
(X3)

Fasilitas Kerja
(X4)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual


39

C. Hipotesis

Berdasarkan uraian teoreteis dan kerangka konseptual di atas, maka dapat

ditarik hipotesis penelitian ini sebagai berikut :

1. Komitmen profesi berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Organizational Citizenship Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan

Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara.

2. Disiplin berpengaruh terhadap Organizational Citizenship Behavior

pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara.

3. Job insecurity berpengaruh terhadap Organizational Citizenship Behavior

pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara.

4. Fasilitas kerja berpengaruh terhadap Organizational Citizenship Behavior

pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara.

5. Komitmen profesi, disiplin,job insecurity dan fasilitas kerja berpengaruh

terhadap Organizational Citizenship Behavior pegawai Dinas Komunikasi dan

Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara.


40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi,Objek dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Dinas Komunikasi dan Informatika

Kabupaten Padang Lawas Utara. Dengan alamat Jalan Gunungtua-

Padangsidimpuan Km. 7 Gunung Tua

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika

Kabupaten Padang Lawas Utara, dengan variabel yang diteliti adalah

komitmen profesi, disiplin, job insecurity dan fasilitas kerja dan

organizational citizenship behavior.

3. Waktu Penelitian

Penelitian ini peneliti rencanakan dimulai bulan Februari 2018 sampai

dengan Mei 2018, dengan time schedule penelitian sebagai berikut :

Tabel 3.1. Waktu penelitian


BULAN
41

KETERANGAN Februari Maret April Mei


2018 2018 2018 2018
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Riset awal dan Proses
pembuatan proposal
Bimbingan dan seminar
proposal tesis
Penelitian lapangan dan
pengolahan data tesis
Bimbingan tesis,
seminar hasil dan ujian
comprehensive
B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Sugiyono (2004:90) populasi adalah wilayah generasi yang

terdiri dari atas objek/subjek yang mempunyai kualitas karakteristik tertentu

yang disajikan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya. Berdasarkan data pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika

Kabupaten Padang Lawas Utara yang berjumlah 43 orang, dengan rincian

dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Kerangka populasi berdasarkan jabatan

No Jabatan Jumlah
1. Kepala Dinas 1
2. Kepala Bidang 4
3. Kepala Seksi 7
4. Kasubbag 3
5. Staf 28

Jumlah 43
Sumber : Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang
Lawas Utara -2018

2. Sampel
42

Menurut Sugiyono (2004:93), sampel adalah elemen-elemen populasi

yang dipilih atas dasar kemampuan mewakilinya. Untuk menjadi pedoman

jika subjeknya atau populasinya kurang dari 100, maka lebih baik diambil

semua sebagai sampel, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.

Selanjutnya jika jumlah subjeknya atau populasinya besar atau lebih dari 100,

maka dapat diambil persentasenya. Dengan menggunakan teknik penarikan

sampel secara total sampling, maka sampel dalam penelitian ini berjumlah 41

orang pegawai Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas

Utara, dimana Kepala Dinas dan peneliti tidak dihitung sebagai sampel dengan

rincian sebagai berikut :

Tabel 3.3. Kerangka sampel berdasarkan jabatan

No Jabatan Jumlah

1. Kepala Bidang 4

2. Kepala Seksi 7

3. Kasubbag 3

4. Staf 27

Jumlah 41
Sumber : Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang
Lawas Utara -2018

3. Jenis Data dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat

dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu:

1) Data primer, yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus

menyelesaikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data


43

dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau

tempat objek penelitian dilakukan.

2) Data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan

dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder

adalah literatur, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan

dengan penelitian yang dilakukan. Selain data primer, sumber data yang

dipakai peneliti adalah sumber data sekunder, data sekunder didapat

melalui berbagai sumber yaitu literatur artikel, serta situs di internet yang

berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1. Studi kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu yang dilakukan dengan

membaca buku-buku dan majalah yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti, skripsi maupun tesis sebagai acuan penelitian terdahulu, dan

dengan cara browsing di internet untuk mencari artikel-artikel serta jurnal-

jurnal atau data-data yang dapat membantu hasil dari penelitian.

2. Studi lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang dilakukan

dengan cara langsung ke instansi, untuk mendapatkan data primer melalui

penyebaran kuesioner yang dibagikan kepada responden. Responden


44

diminta menanggapi pertanyaan yang diberikan dengan cara menjawab

daftar pertanyaan. Jenis kuesioner yang akan digunakan adalah kuesioner

terbuka dimana responden diminta untuk menjawab pertanyaan dengan

memilih jawaban yang telah disediakan dengan Skala Likert.

3. Instrumen Penelitian

Untuk membuktikan hipotesis yang telah dikemukakan, maka dalam

penelitian ini digunakan 2 macam metode analisis deskriptif yaitu

1). Analisis kualitatif

Yaitu metode analisis yang digunakan dengan cara menjelaskan

beberapa argumentasi yang berkaitan langsung dengan permasalahan.

Dalam hal ini, peneliti menggunakan beberapa teori atau konsep mengenai

komitmen profesi, disiplin,job insecurity, fasilitas kerja dan OCB pegawai

serta hubungan antar variabel tersebut.

2). Analisis kuantitatif

Analisis kuantitatif dalam penelitian ini dimulai dengan

mengumpulkan data dan menyatakan variabel-variabel yang

menggambarkan persepsi para pegawai terhadap komitmen profesi,

disiplin,job insecurity, fasilitas kerja dan OCB dalam kategori-kategori

yang ada pada akhirnya menjadi total skor dari pengisian kuesioner oleh

responden. Dalam pengukuran aspek komitmen profesi, disiplin,job

insecurity, fasilitas kerja dan OCB pegawai digunakan Skala Tingkat

(Likert) dengan keterangan sebagai berikut:

1) Skor 5 untuk jawaban Sangat Setuju (SS)


45

2) Skor 4 untuk jawaban Setuju (S)

3) Skor 3 untuk jawaban Kurang Setuju (KS)

4) Skor 2 untuk jawaban Tidak Setuju (TS)

5) Skor 1 untuk jawaban Sangat Tidak Setuju (STS)

4. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu variabel

independen/bebas dan variabel dependen/terikat. Variabel merupakan

suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang

mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

dan ditarik kesimpulannya. (Sugiyono, 2007:93). Variabel penelitian dapat

dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Variabel Independen/Bebas merupakan variabel yang mempengaruhi

atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel

dependen. Variabel independen penelitian ini adalah komitmen profesi,

disiplin,job insecurity, fasilitas kerja

2) Variabel Dependen/Terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau

yang menjadi akibat karena adanya variabel independen. Dalam

penelitian ini yang dijadikan sebagai variabel dependen adalah OCB.

Agar penelitian ini dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan,

maka perlu dipahami berbagai unsur-unsur yang menjadi dasar dari suatu

penelitian ilmiah yang termuat dalam operasionalisasi variabel penelitian.

Secara lebih rinci, definisi operasionalisasi variabel.


46

5. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3.4. Definisi Operasional Variabel


Skala
No Defenisi Variabel Indikator Pengukuran
Pengukuran
1. Komitmen profesi adalah 1) Waktu
sifat hubungan seorang Variabel penyelesaian kerja Skala
dengan profesi dengan ciri- bebas 2) Menerima Ordinal
ciri menerima nilai-nilai masukan
dan tujuan profesi, 3) Kreativitas
mempunyai keinginan 4) Pendidikan
berbuat untuk profesinya 5) Pengalaman
dan mempunyai keinginan 6) Atasan
yang kuat untuk tetap Nitisemito (2001:78)
bersama profesinya.
Nitisemito (2001:75)
2. Disiplin adalah sikap Variabel 1) Ketekunan
mental yang tercermin bebas 2) Kejujuran Skala
dalam perbuatan atau 3) Kerjasama Ordinal
tingkah laku seseorang, 4) Tepat waktu
kelompok masyarakt 5) Absensi
berupa ketaatan (obedience) 6) Kompensasi
terhadap peraturan, norma 7) Ruang kerja
yang berlaku dalam 8) Waskat
masyarakat.
Handoko (2001 : 145)
3. Job insecurity adalah 1)Aspek-aspek
sebagai  kondisi psikologis  pekerjaan Skala
seseorang  (pegawai)  yang Variabel 2)Perubahan negatif Ordinal
menunjukkan  rasa  bebas pada pekerjaan.
bingung  atau  merasa tidak 3)Tingkat kepentingan
aman dikarenakan kondisi 4) Ketidakberdayaan
lingkungan yang  berubah- pegawai
ubah . 5) Tanggungjawab
Smithson (2000:154) terhadap pekerjaan
Fasilitas kerja merupakan 1)Kendaraan dinas
4. kelengkapan kerja yang 2)Rumah Dinas Skala
harus dimiliki oleh . Variabel 3)Meja, kursi kerja Ordinal
47

Sanusi (2005: 44) bebas 4)IT


5)Penerangan
6)Keasrian ruang
kerja
5. OCB adalah perilaku kerja Variabel 1) Altruism
yang sesuai dengan hati terikat 2) Conscientiousness Skala
nurani, tidak berhubungan 3) Sportmanship Ordinal
dengan suatu sistem 4) Courtesy
formalitas organisasi dan 1)Civic virtue
secara bersamaan
meningkatkan keberhasilan
fungsi suatu organisasi

D. Teknik Analisis Data

1. Analisis Regresi Linier Berganda

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

regresi berganda. Regresi linear berganda yaitu suatu metode statistik umum yang

digunakan untuk meneliti hubungan antara sebuah variabel dependen dengan

variabel independen. Tujuan analisis regresi linear berganda adalah menggunakan

nilai-nilai variabel yang diketahui, untuk meramalkan nilai variabel dependen.

Teknik analisis ini sangat dibutuhkan dalam berbagai pengambilan keputusan baik

dalam perumusan kebijakan manajemen maupun dalam telaah ilmiah. Analisis

regresi berganda dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui pengaruh

fasilitas kerja dan kepuasan kerja terhadap motivasi kerja dan dampaknya

terhadap OCB pegawai Sekretariat Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara.

Formulasi persamaan regresi berganda sendiri adalah sebagai berikut:

Y2 = a + b2X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 +€

Keterangan :

Y : Organizational Citizenship Behavior (OCB)


48

X1 : Komitmen profesi

X2 : Disiplin

X3 : Job insecurity

X4 : Fasilitas kerja

a : Konstanta

b : Koefisien regresi.

€ : Kesalahan Residual (Standar error).

2. Uji Validitas dan Uji Relibilitas

Untuk mengetahui validitas dan reliabilitas kuesioner perlu dilakukan

pengujian atas kuisioner dengan menggunakan uji validitas dan uji reliabilitas.

Karena validitas dan reliabilitas ini bertujuan untuk menguji apakah kuesioner

yang disebarkan untuk mendapatkan data penelitian adalah valid dan reliabel,

maka untuk itu, penulis juga akan melakukan kedua uji ini terhadap instrumen

penelitian (kuisioner).

2.1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu

kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner

mampu untuk mengungkap sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut.

Misalnya dalam mengukur kepuasan kerja di mata konsumen diukur dalam

tiga pertanyaan berupa satu pertanyaan tiap indikator. Untuk mengukur variabel

kepuasan kerja, jawaban responden dikatakan valid apabila item-item dalam

kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur dalam kuesioner


49

tersebut. Dalam uji validitas dapat digunakan SPSS (Statistical Product and

Service Solutions) Triton (2005:167).

Uji validitas dapat dilakukan dengan melihat korelasi antara skor masing-

masing item dalam kuesioner dengan total skor yang ingin diukur, yaitu dengan

menggunakan Coefficient Correlation Pearson dalam SPSS. Jika nilai signifikansi

(P Value) > 0,05, maka tidak terjadi hubungan yang signifikan. Sedangkan,

apabila nilai signifikansi (P Value) < 0,05, maka terjadi hubungan yang signifikan.

2.2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah alat ukur untuk mengukur suatu kuesioner yang

merupakan indikator dari variabel. Suatu kuesioner dikatakan reliable atau handal

jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari

waktu ke waktu. (Triton, 2005:168)

Selain menggunakan bantuan SPSS, uji reliabilitas dapat dilakukan dengan

menggunakan koefisien alpha (α) dari Cronbach:

dan

Dimana:

r11 = reliabilitas instrument


k = banyak butir pertanyaan

= jumlah varian butir

= varian total

n = jumlah responden
X = nilai skor yang dipilih
50

Dalam penelitian ini misalnya variabel fasilitas kerja, konflik peran, motivasi

kecerdasan emosional serta OCB masing-masing diukur dalam tiga pertanyaan

berupa satu pertanyaan tiap indikator. Untuk mengukur variabel kepuasan kerja 1

jawaban responden dikatakan reliabel jika masing-masing pertanyaan dijawab

secara konsisten. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Cronbach

Alpha. Koefisien Cronbach Alpha yang > 0,60 menunjukkan kehandalan

(reliabilitas) instrumen (bila dilakukan penelitian ulang dengan waktu dan dimensi

yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang sama) dan jika koefisien

Cronbach Alpha yang < 0,60 menunjukkan kurang handalnya instrumen (bila

variabel-variabel tersebut dilakukan penelitian ulang dengan waktu dan dimensi

yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda). Selain itu, Cronbach

Alpha yang semakin mendekati 1 menunjukkan semakin tinggi konsistensi

internal reliabilitasnya.

3. Uji t (Pengujian Secara Parsial)

Uji t dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen

secara parsial terhadap variabel dependen. Uji t dilakukan dengan embandingkan t

hitung terhadap t tabel dengan ketentuan sebagai berikut :

H0 : β = 0, berarti tidak ada pengaruh signifikan dari masing-masing variabel

independen terhadap variabel dependen.

Ha : β > 0, berarti ada pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel

independen terhadap variabel dependen secara partial.


51

Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau taraf signifikan 5% (α =

0,05) dengan kriteria sebagai berikut :

a. Jika t hitung > t tabel dan probabilitas (nilai signifikan) < tingkat

signifikansi 5% (α = 0,05) maka Ha diterima dan H0 ditolak berarti ada

pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel independen

terhadap variabel dependen.

b. Jika t hitung < t tabel dan probabilitas (nilai signifikansi) > tingkat

signifikansi 5% (α = 0,05) maka H0 diterima dan Ha ditolak berarti tidak

ada pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel independen

terhadap variabel dependen. Dimana t tabel ditentukan dengan mencari

derajat bebasnya yaitu df = N-k.

4. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa besar

kemampuan variabel penjelas yaitu (X1), (X2), (X3), (X4) dalam menerangkan

variasi variabel dependen yaitu (Y). Nilai koefisien determinasi adalah antara

nol (0) dan satu (1). Nilai R 2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel

independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai

yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir

semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel

dependen. Secara umum koefisien determinasi untuk data silang (crosssection)

relatif rendah karena adanya variasi yang besar antara masing-masing

pengamatan, sedangkan untuk data runtun waktu (time series) biasanya


52

mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi. Kelemahan mendasar

penggunaan koefisien determinasi adalah bias terhadap jumlah variabel

independen yang dimasukkan kedalam model. Setiap tambahan satu variabel

independen, maka R2 pasti meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut

berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena itu

banyak peneliti menganjurkan untuk menggunakan nilai Adjusted R2 (Adjusted

R Square) pada saat mengevaluasi mana model regresi terbaik. Tidak seperti

R2, nilai Adjusted R2 dapat naik atau turun apabila satu variabel independen

ditambahkan ke dalam model. Untuk variabel bebas lebih dari dua

menggunakan Adjusted R2.


53

DAFTAR PUSTAKA

Alpian Kartiono, 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : Bumi


Aksara

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Jakarta : . Rhineka. Cia

Gunawan Imam. 2011.Organizational Citizenship Behavior.Education Policy


Analysisarchives,(Online),(http://masimamgun.blogspot.com/2011/02/
organization-citizenship-behavior.html?m=1, diakses 9 September 2012)

Handoko T. Hani, 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta . Ghalia


Indonesia.

Hasibuan SP Malayu, 2006. Organisasi dan Motivasi Dasar Peningkatan


Produktifitas, Bandung : Bina Aksara.

__________, 2001. Manajemen . Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta :


Rineka Cipta.

Haq Irfa Ziaul.2012.Organizational Citizenship Behavior. Education Policy


Analysisarchives,
(Online),http://irfa-z-fpsi10.web.unair.ac.id/artikel_detail-50174-Umum-
KAU%20BAB%20II.html, diakses 9 September 2012)

Krietner R dan Angelo Kinicki, 2005 , Perilaku Organisasi, Salemba Empat


Jakarta.

Luthans, Fred, 2000 . Organizational Behavior, Me Graw Hill, Inc, San


Fransisco, New York, USA

Kaplan, Robert M., and Denis P Saccuzzo, 2003., Phychological Testing


(Principles, Aplication, and Issues), 3rd Edition Books, Cole Publishing
Company, California.

Martoyo Susilo, 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : BPFE

Muchdarsyah Sinungan, 2000. Produktifitas, Apa dan Bagaimana. Jakarta :


Bumi Aksara.
54

Muhammad, Habib and Alias.2011. Job Satisfaction and Organisational


Citizenship Behavior: An Empirical Study At Higher Learning Institution.
Jurnal Ilmu Pendidikan, (Online), Jilid 16, No. 2.
http://web.usm.my/aamj/16.2.2011/AAMJ_16.2.7.pdf, diakses 8
September 2012).

Nitisemito , Alex S. (2000), Manajemen Personalia. Manajemen Sumber Daya


Manusia. Galiah Indonesia ,Jakarta.
.
Organ, D.W. 2000. Organizational Citizenship Behavior: The Good Soldier
Syndrome. Lexinton book. Lexington,MA

Rivai, Veithzal (2004). Organisasi dan Perilaku Organisasi. PT Raja Grafindo


Persada, Jakarta

Robbins, S.P. (2006). Perilaku Organisasi : Konsep Kontraversi, Aplikasi, ED


Alexmedia Konputinso

Sedarmayanti (2003), Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja ,


Bandung : Mandar Maju

Siagian P.Sondang (2002), Teori Motivasi dan Aplikasinya, Cetakan Kedua,


PT.Rineka Cipta,Jakarta.

Soejono, 2007. Sistem dan Prosedur Kerja. Jakarta : Bumi Aksara.

Sugiyono, 2006. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Terry GR, 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Liberty.

Triton PB (2005), Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, Tugu


Yogyakarta.

______________ (2006), SPSS 13.00 Terapan Riset Statistik Parametrik, Andi


Yogyakarta

Winardi, 2000, Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta : Rineka Cipta.

Wursanto, 2007. Manajemen Kepegawaian. Yogyakarta : Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai