Anda di halaman 1dari 3

Murobbi Paru-Paru Tarbiyah

Sungguh tarbiyah adalah nafas bagi kehidupan dakwah ini. “Tarbiyah bukanlah segala-galanya,
tapi segala-galanya berawal dari tarbiyah”, pernyataan itulah yang sering dilontarkan para aktifis
dakwah. Tarbiyah sebagai nafas bagi kehidupan dakwah membutuhkan alat yang sempurna untuk
terus bernafas. Alat yang sempurna itu adalah sang murabbi. Murabbi sebagai paru-parunya
tarbiyah, tidak hanya sekedar alat untuk bernafas namun mempunyai fungsi yang besar bagi
kehidupan dakwah.

Murabbi adalah seorang qiyadah (pemimpin), ustazd (guru), walid (orang tua) dan shohabah
(sahabat) bagi mad’unya (binaanya). Peran yang multifungsi ini menyebabkan seorang murobbi
harus memiliki keterampilan, antara lain keterampilan memimpin, mengajar, membimbing, dan
bergaul. Keterampilan yang akan berkembang seiring dengan pengetahuan dan pengalaman sang
murabbi. Murabbi memiliki peranan lebih khusus karena ia melakukan takwin (pembinaan) yang
lebih khusus sifatnya, dia tidak hanya mengukur keberhasilan pembinaan dari untaian materi yang
disampaikan tetapi juga bertanggungjawab terhadap perkembangan jasmani, spiritual, dan social
mutarobbinya. Namun terkadang hal ini menjadi penghalang seseorang untuk menjadi murabbi.
Begitu berat tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang murabbi terkadang membuat kader
dakwah mengundurkan diri dari bingkai tarbiyah. Adilkah ketika kita hanya ingin menjadi
mutarabi selamanya?………Hanya mau dibina tanpa mau membina!………Tapi dengan
keyakinan iman seharusnya masalah ini tidak menjadi kendala ditambah kalau kita menyadari
bahwa membina berarti kita telah melaksanakan kewajiban syar’I, menjalankan sunnah Rasul,
mencetak pribadi-pribadi unggul, belajar berbagai keterampilan, meningkatkan iman dan taqwa
dan merasakan manisnya ukhuwah islamiyah.

Murabbi sebagai seorang qiyadah (pemimpin), ustazd (guru), walid (orang tua) dan shohabah
(sahabat) bagi mad’unya (binaanya) tentu harus memiliki karakter yang mampu menggabungkan
kelima fungsi tersebut. Tepatnya murabbi dituntut untuk mempunyai karakter yang ideal bagi
mutarabbinya. Wah…..menjadi murabbi ideal???, memang bukan pekerjaan yang mudah, tapi bagi
seorang kader dakwah menjadi murabbi ideal ada harapan. Lalu bagaimana cara untuk menjadi
seorang murabbi ideal???, seperti apa karakter ideal seorang murabbi???.

Seorang murabbi yang ideal mempunyai karakter yang fundamental. Satu, ikhlas, kenapa ikhlas?.
Ikhlas adalah langkah awal bagi seorang murabbi untuk membina sebuah halaqah. Banyak hal
yang akan dikorbankan oleh seorang murabbi. Korban uang, tenaga, waktu dan pikiran. Jika
keikhlasan itu tidak ada mungkin kita segera berhenti dan membubarkan halaqah. Yakinlah bahwa
ikhlaslah yang menjadikan segala terasa ringan. Banyak dari kisah para sahabat yang dapat kita
jadikan sebagai contoh dari keikhlasan yang sempurna. Salah satunya Khalid bin Walid. Seorang
panglima perang islam yang luar biasa. Yang selalu memperoleh kemenangan dengan strategi
perang beliau yang tak terkalahkan. Namun di tengah berkecamuknya perang, Khalid bin Walid
menerima surat tentang pemberhentian beliau sebagai panglima perang dan digantikan oleh
seorang sahabat, Abu ‘Ubaidah.. Tapi subhanallah, beliau membaca surat tersebut dengan tenang
ia menyampaikan salam hormat kepada Abu ’Ubaidah bin Jarrah sebagaimana seorang prajurit
menyampaikan penghormatan kepada panglimanya. Abu ’Ubaidah bin Jarrah mengira sang
panglima sedang bercanda. Setelah ia tahu peristiwa sebenarnya ia mencium kening Khalid karena
takjub kepadanya. Demikianlah, Khalid menerima ”pemberhentian” ini dengan ikhlas

Dua adalah menjadi Qudwah, yaitu keteladanan sang murabbi dengan amal perbuatannya yang
secara real tampak jelas pada perilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya,
pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan
dan pemahaman dalam kehidupan sang murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan
yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya di tengah-tengah masyarakat. Rasulullah
telah mengajarkan kepada kita. Bahwa fatwa memang diperlukan, kata-kata nasihat masih
dibutuhkan, namun keteladanan lebih dikenang dan lebih terpercaya untuk diikuti. Bagaimana jika
ada seorang murabbi yang sering menasihati agar kita zuhud tapi ia sangat stres ketika kehilangan
HP dan ketika mampu membeli HP baru ia memamerkannya dengan wajah yang cinta dunia.
Mana yang diikuti mutarabbi?. Kita bisa meneladani kisah salah seorang sahabat yang menjadikan
teladan sebagai hal yang harus dimiliki oleh seorang murabbi, Abu Hanifah. Ibnu Al-Mubarrok
berkata : ”Pada suatu hari kami berada di masjid jami’. Tiba-tiba ada ular jatuh tepat di dekat
Abu Hanifah. Orang-orang pun melarikan diri. Aku lihat Abu Hanifah tetap tenang. Ia hanya
mengibaskan ular tersebut, lalu duduk seperti semula.” Coba kita bayangkan kalau Abu Hanifah
ketakutan dan ikut lari sebagaimana orang lain. Mungkin orang-orang tidak begitu serius ketika
beliau menasihati dan mentarbiyah mereka. Mungkin kewibawaan beliau tidak setinggi setelah
peristiwa ini terjadi, setelah mereka benar-benar membuktikan ketenangan sang Imam yang kini
lebih populer dengan nama Imam Hanafi.

Tiga adalah faham dan yakin akan fikrah islam, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh
terhadap dasar-dasar keislaman, rambu-rambu petunjuknya dan terhadap apa yang akan
didakwahkannya. Serta keyakinan yang kuat terhadap fikrah islam. karena seorang murabbi akan
mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan
merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang murabbi. Begitu banyak fikrah yang
kini juga ikut meyakinkan umat ini akan solusi terhadap problematika kehidupan yang terjadi.
Kalau para murabbi kemudian ragu-ragu akan efektifitas dan orisinalitas fikrah tarbiyah, lalu
bagaimana dengan para mutarabbinya?

Empat adalah semangat mempelajari ilmu, Manusia ’tunduk’ pada orang yang lebih
’alimInilah sunnah kauniyah yang harus disadari oleh murabbi. Keikhlasan saja tidak cukup.
Kecepatan dalam berharakah saja tidak cukup. Betapa banyak halaqah yang kemudian bubar
karena mereka tidak yakin dengan kafa’ah syar’i murabbinya. Kader-kader baru itupun
kemudian berkesimpulan, ”kalau tarbiyah hanya seperti ini, lebih baik saya membaca buku di
rumah” yang lain berkata ”lebih baik mendengarkan pengajian di kaset dan radio”, yang lain
berkata ”lebih baik menghadiri majlis taklim harokah lain”. Seorang murabbi ideal harus
senantiasa menambah dan mempelajari ilmu agar tidak terjerumus kearah yang sesat dan
menyesatkan.

Lima adalah berakhlak mulia, ”Innamal bu’itstu li utammimma makaarimal akhlaaq”. Akhlak
mulia adalah hal yang mutlak dimiliki oleh seorang murabbi. Jika seorang murabbi memiliki
akhlak yang mulia maka mutarabbinya akan hormat dan kagum kepadanya, sehingga tidak ada
halangan yang akan membuat mutarabbi tidak memilihnya sebagai murabbinya.

Enam adalah tidak berhenti beramal, dakwah ini membutuhkan amal nyata untuk menyelesaikan
problematika umat dan menunjukkan amalnya kepada Allah, Rasul, dan kaum mukminin. Dakwah
ini harus membuktikan diri bahwa ia adalah rahamatan lil ’alamin. Para kadernya harus mampu
menampilkan inilah kader qiyadah mujtamal ’muslim negarawan’. Dakwah ’ammah
senantiasa diperlukan bahkan perkembangannya harus sebanding dengan pesatnya pertumbuhan
halaqah-halaqah. Dan ini tidak cukup hanya sekedar menjadi murabbi. Pada saat yang sama kita
adalah aktifis dakwah, aktifis harokah. Jika murabbi berhenti beramal bagaimana dengan
mutarabbinya, bagaimana bisa melahirakan generasi-generasi unggul yang akan menyelesaikan
problematika umat ini.

Tujuh adalah takwiner. Lebih dari sekedar motivator. Seorang murabbi bukan sekedar motivator.
Ia adalah guru, orang tua, sekaligus sahabat yang memiliki tugas besar membentuk mutarabbi
mencapai muwashshofat kader dakwah. Tugas yang sangat berat dan perlu untuk dilakukan
dengan penuh kesungguhan, sabar, do’a, dan tawakal. Maka, seorang murabbi pun perlu
mendoakan mutarabbinya setiap ia shalat malam agar dijaga oleh Allah dan ditingkatkan
iltizamnya serta menjadi kader dakwah yang mencapai muwashshofatnya.

Delapan adalah Al-khibroh binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan,
karena sesungguhnya lapangan kerja seorang murabbi tidak lain adalah kejiwaan, bergumul
dengannya dan menjadikannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam proses tarbiyah,
sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya,
ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang
keras, bebal dan sebagainya. Disinilah tugas kita sebagai seorang murabbi tidak hanya
membimbing tetapi juga mengawal dan memahami. Semoga kita mampu menjadi seorang
murabbi yang senantiasa memperbaiki diri menjadi seorang murabbi ideal. Amin…

http://satrianingsih.wordpress.com/2012/06/11/murabbi-paru-paru-tarbiyah/

Anda mungkin juga menyukai