Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam al-Quran banyak sekali cerita tentang kisah-kisah Nabi, salah

satunya adalah kisah nabi Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah liat

kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Kemudian Allah

meniupkan dari ruhNya ke dalamnya, lalu muncullah tanda-tanda kehidupan,

maka jadilah Adam sebagai manusia yang sempurna.

Kemudian Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada

Adam a.s. dan mereka pun merespon perintah tersebut dengan patuh. Mereka

menyambut kedatangan Adam dengan mengagungkannya, dan mereka rela

menceburkan dahi mereka ke dalam debu karena sujud kepada Adam, kecuali

Iblis. Iblis menentang perintah Tuhannya dan justru membuat maksiat

terhadap-Nya. 1

Iblis menyangka kalau dia lebih baik dari Adam a.s. dari segi materi

dasar diciptakan dan lebih suci dari segi intinya. Dia menyangka kalau tidak

ada satu makhluk pun yang dapat menyainginya dalam hal kemampuannya

yang tinggi dan juga tidak ada satu makhluk pun yang mempunyai posisi lebih

mulia dari dirinya. Iblis berkata dalam surat Shad ayat 76 yang artinya: “Aku

1
Ali Muhammad al-Bajawi, dkk, Untaian Kisah dalam al-Quran, diterjemahkan oleh, Abdul
Hamid, dkk, dengan judul asli, Qashash al-Quran, (Jakarta: Darul Haq, 2007), Cet I, hal. 3

1
2

lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia

Engkau ciptakan dari tanah”.

Maka, Allah pun menghukum dan menyiksanya atas penantangannya

itu. Allah memanggilnya seraya berkata, “Maka keluarlah kamu dari surga,

sesungguhnya kamu adalah makhluk yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-

Ku tetap atasmu sampai Hari Pembalasan”. (Q.S. Shad: 77-78).

Lalu Iblis meminta kepada Allah untuk menagguhkan hukuman

tersebut kepada dirinya sampai Hari Kiamat dan membiarkannya hidup

hingga hari mereka dibangkitkan. Allah pun mengabulkan permintaannya itu.

Ketika permintaannya dikabulkan dan keinginannya tercapai, iblis tidak

berterimakasih kepada Allah atas karunia-Nya. Namun, dia justru menerima

nikmat tersebut dengan kekufuran. Lalu Allah berkata kepadanya,

“Tempuhlah jalan yang telah kamu pilih dan berjalanlah dalam kesesatan

yang telah kamu inginkan”.2

Sementara itu, Allah telah menjadikan iblis mencicipi siksaan-Nya

dengan cara Allah mencabut segala nikmat-Nya, yang sebelumya diberikan

kepada iblis. Lalu Allah menerima kedatangan Adam dan menempatkannya

di surga beserta istrinya. Allah mengingatkan Adam, “Hendaknya kamu selalu

mengingat nikmat-Ku kepadamu. Sesungguhnya Aku telah menciptakanmu

dengan fitrah-Ku yang paling indah. Aku telah menjadikanmu sebagai

manusia yang sempurna dengan kehendak-Ku. Aku telah membuat malaikat-


2
Ibid., hal. 4
3

Ku sujud kepadamu. Jika kamu taat, maka aku akan mencukupkan dirimu

dengan kebaikan dan Aku akan mengekalkan dirimu berada dalam surga ini.

Namun jika kamu meninggalkan perintah-Ku, maka aku akan

mengeluarkanmu dari rumah-Ku dan aku akan menyiksamu dengan neraka-

Ku. Kemudian, kamu jangan lupa kalau iblis ini adalah musuh mu dan musuh

isterimu. Maka dari itu, janganlah sampai dia mengeluarkan kamu berdua dari

surga, karena kamu nanti akan celaka.

Allah menghalalkan bagi mereka berdua untuk memakan segala

kenikmatan yang berada di dalam surga sepuasnya. Allah memberikan

kebebasan kepada mereka berdua untuk memetik segala macam buah yang

mereka inginkan. Namun Allah melarang mereka berdua untuk mendekati

satu jenis pohon diantara pohon-pohon surga yang jumlahnya sangat banyak

sekali. 3

Allah swt melarang Nabi Adam supaya jangan mendekati pohon

tersebut yang berbunyi:

          

       

Artinya: “Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu
surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik
dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini,
yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.

3
Ibid., hal. 8
4

Menurut Quraish Shihab, ayat di atas mendapat perhatian yang tidak

kecil dari kalangan pakar. Di antara mereka ada yang mengemukakan

pertanyaan dan analisis jawaban yang sangat mengagumkan, tetapi ada juga

yang menggelikan karena kesederhanaan dan kekeliruannya. Misalnya apakah

memang ada pohon yang terlarang bagi Adam dan isterinya, atau apakah

kisah Adam yang dilukiskan Al-Quran, termasuk “pohon terlarang” itu

hanyalah simbol-simbol semata? Pohon terlarang pada satu taman yang penuh

dengn pepohonan adalah simbol dari perbandingan antara larangan dan izin

Ilahi terhadap manusia. Jika demikian, larangannya sedikit sekali, hanya satu

pohon tertentu, sisanya silahkan makan, silahkan garap. “Kula minha

raghadan haitsu syi‟tuma”, makanlah kamu berdua dari makanan-makanan

yang banyak lagi baik, dimana saja kamu sukai (QS. Al-Baqarah [2]: 35).4

Allah melarang Adam dan isterinya untuk mendekati pohon tertentu.

Boleh jadi tujuan larangan mendekatinya adalah larangan memakan buahnya.

Akan tetapi, agar tidak termakan, medekatinya pun dilarang. Dalam

penafsiran ini, larangan tersebut di qiyaskan kepada perbuatan zina dan

menggunakan harta anak yatim adalah dua pelanggaran yang dilarang

mendekatinya sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Al-Isra‟: 32-34.

Seperti larangan mendekati pohon itu. Godaannya tidak terbendung. Tuhan

4
M. Quraish Shihab, Secerca Cahaya Ilahi Hidup Bersama al-Quran, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2000), hal. 518
5

kamu tidak melarang kamu mendekati pohon ini kecuali supaya kamu berdua

tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal di dalam

surga (QS Al-A‟raf [7] : 20)5

Ibnu Athiyah berkata, “sebagian cendekia mengatakan bahwa ketika

Allah hendak melarang Adam agar tidak memakan (buah) pohon tersebut,

maka Allah melarangnya dengan menggunakan lafazh yang menghendaki

(makna larangan) makan tersebut, dan juga menggunakan kata yang biasa

digunakan oleh orang Arab (untuk mengemukakan makna larangan makan

tersebut), yaitu lafazh Al-Qarb.” Ibnu Athiya berkata, “Ini merupakan sebuah

contoh yang sangat jelas dalam mengintisipasi hal-hal yang berbahaya”.

Para mufasir berbeda-beda dalam menafsirkan lafaz al-syajarah yang

terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 35 tersebut, al-Thabari berkata, Kata al-

syajarah dalam bahasa Arab berarti setiap yang berdiri di atas batang.6

Menurut al-Thabari Allah hanya memberitahukan kepada para hamba-

Nya bahwa Adam dan isterinya telah memakan buah dari pohon yang dilarang

memakannya sehingga dia telah dianggap berdosa setelah dijelaskan

kepadanya pohon yang ditentukan oleh-Nya dalam firman Allah, namun Allah

tidak menjelaskan kepada para hambanya nama pohon tersebut, baik secara

tekstual maupun kontekstual. Dalam tafsir al-Thabari terdapat beberapa

5
Ibid., 519-520
6
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, diterjemahkan Ahsan Askan
dengan judul asli Jami‟ al-Bayan an Ta‟wil Ayi al-Quran, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), Juz 1, hal.
620-625
6

riwayat yang menjelaskan tentang nama buah pohon yang dilarang Adam

memakannya, sebagian mengatakan itu adalah sunbulah, gandum, anggur,

arak, dan pohon tin.7

Sebuah riwayat mengatakan bahwa pohon terlarang itu bernama “al-

syajarah al-ma‟rifah” (pohon pengetahuan). Karena kecintaanya kepada ilmu

pengetahuan, Adam tergoda untuk memakan buahnya, hingga akhirnya ia

diusir dari surga.8

Sebagian ahli tafsir menyebutkan pohon dalam kisah nabi Adam ini

adalah “al-syajarah al-qamhi” (sejenis pohon gandum). Jika demikian, apa

yang ada pada pohon gandum itu sehingga dilarang Allah mendekati pohon

dan memakan buahnya?.9

Mengingat banyak penafsiran tentang pohon yang terdapat dalam surat

al-Baqarah ayta 35. Penulis ingin meneliti penafsiran yang dilakukan oleh

mufasir secara mendalam. Dalam hal ini, penulis ingin membandingkan

penafsiran klasik dan modern tentang pohon tersebut. Sebagian ulama tafsir

membagi periodisasi penafsiran Alquran ke dalam tiga fase: periode

mutaqaddimini (klasik) pada (abad 1-4 H), Periode mutaakhirin (pertengahan)

pada (abad 4-12H), dan periode modern (abad 12-sekarang).

7
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op, Cit., hal. 620-625
8
Sulaiman al-Tharawana, Rahasia Pilihan Kata dalam al-Quran , diterjemahkan oleh Agus
Faishal Kariem dan Ania Maftukhin, dengan judul asli Dirasah Nashshiyyah Adabiyyah fil Qishshash
al-Quraniyyah, (Jakarta: Tim Qishti Press, 2004), jilid 1, hal. 75
9
Sulaiman al-Tharawana, Loc, Cit., hal. 77
7

Periode klasik mulai dari akhir zaman tabi‟in at-tabi‟in sampai akhir

pemerintahan Dinasti Abbasyiyah, 150 H/782M sampai tahun 656 H/1258 M

atau mulai abad II sampai abad VII H. Periode mutaakhirin/pertengahan

muncul pada zaman kemunduran Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad pada

tahun 656 H/1258 M sampai timbulnya gerakan kebangkitan Islam pada 1286

H/1888 M atau dari abad VII sampai XIII H.10. Sedangkan periode modern ini

dimulai sejak gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaluddin al-Afghani

(1254 H/1838 M–1314 H/1896 M) dan murid beliau Muhammad Abduh

(1266 H/1845 M–1323 H/1905 M), di Pakistan oleh Muhammad Iqbal (1878-

1938), di India oleh Sayyid Ahmad Khan (1817-1989), di Indonesia oleh

Cokroaminoto dengan Serikat Islamnya, K.H.A. Dahlan dengan

Muhammadiyahnya, K.H. Hasyim Asy‟ari (1367 H) dengan Nahdlatul

Ulamanya di Jawa, dan Syekh Sulaiman ar-Rasuli dengan Persatuan Tarbiyah

Islamiyah (w.1970) di Sumatera.11

Penulis membandingkan tafsir klasik dan modern ini, ingin

mengetahui, apakah mufasir klasik berbeda dengan mufasir modern dalam

menafsirkan lafaz al-syajarah dalam surat al-Baqarah ayat 35. Karena

metode, corak dan pendekatan yang dipakai berbeda antara mufasir klasik dan

modern.

10
https://iermafikria.wordpress.com/metodologi-tafsir-klasik-hingga-modern-kontemporer/
11
https, Loc. Cit.,
8

Alasan penulis mengangkat topik penafsiran lafaz al-syajarah dalam

kisah nabi Adam dan Hawa tentang dilarangnya mereka memakan buah dari

pohon yang telah Allah larang memakannya, salah satunya ada di dalam surat

al-Baqarah ayat 35: pertama melihat ayat-ayat al-Quran yang berbicara

tentang al-syajarah tentang larangan sebanyak 15 ayat 12 surat.12 Hal ini

menunjukkan betapa kuatnya larangan yang Allah berikan kepada Nabi Adam

dan isterinya. Kedua pada zaman sekarang, banyak orang yang mengatakan

bahwa sekiranya Adam tidak memakan buah dari pohon itu dan tidak

melanggar perintah Allah dan tertipu oleh godaan setan maka anak cucu

Adam akan bearda di surga. Pernyataaan ini membuat hati penulis resah,

tetapi memang terdapat di dalam buku Tafsir Sya‟rawi.13 Oleh sebab itu

penulis tertarik untuk melanjutkan penelitian ini. Ketiga Nabi Adam diturukan

ke bumi karena memakan buah dari pohon tersebut, di dalam al-Quran dan

hadits tidak ada yang menjelaskan buah pohon apakah itu? Dan kalau

memang nabi Adam memakan buah dari pohon itu, kenapa sampai sekarang

manusia tidak menemukannya, dan di dalam pembahasan penelitian ini,

penulis akan mencari makna dari lafaz al-syajarah tersebut. Apakah yang

Allah pakai dalam kalimat ini bermakna majazi atau hakiki.

12
Muhammad Faud Abd al-Baqi, Mu‟jam al-Mufahras li Alfazh al-Quran al-Karim, (Bairut:
al-fikr,1992)
13
Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Tafsir AL-Sya‟rawi, diterjemahkan oleh, Tim Safir al-
Azhar, dengan judul Tafsir Al-Sya‟rawi, (Jakarta: Duta Azhar, 2004), Cet I, hal. 177
9

Karena penulis menggunakan metode muqaran dalam

pembahasan ini antara mufasir klasik yang diwakili oleh al-Thabari dan al-

Zamakhsyari dan mufasir modern yang di wakili oleh Hamkadan M. Quraish

Shihab, maka perlu penulis mengemukakan alasannya: Dari mufasir klasik

yaitu al-Thabari nama lengkapnya adalah Abu Ja‟far Muhammad Jarir al-

Thabari, seorang ilmuwan yang sangat mengagumkan kemampuannya

mencapai tingkat tertinggi dalam berbagai ilmu. Al-Thabari dilahirkan di

Amil ibukota Tubaristan di Persia (Iran) pada tahun 224 H atau 225 H (847

M). Beliau termasuk salah satu yang pertama kali menulis Tafsir yang

bernama Jami‟ al-Bayan an Ta‟wil Ayi Al-Quran, dan di dalam buku tafsirnya

itu banyak riwayat-riwayat yang dimuatnya dan bercorak Tafsir bil Ma‟tsur14.

Beliau tidak hanya ulama tafsir tapi dia fakar hadis juga. Al-Zamakhsyari,

nama lengkapnya adalah Abu al-Qosim Mahmud bin Umar bin Muhammad

bin Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari lahir di Zamakhsyari pada tanggal

27 Rajab 467 M. beliau wafat pada tanggal 9 Zulhijjah 538 H di desa

Jurjaniah. Nama kitab tafsirnya adalah al-Kasysyaf an Haqaiq at-Tanzil wa

„Uyun, al-Aqawil fi Wujuh at-Ta‟wil. Kitab Tafsir al-Kasysyaf ini memiliki

satu corak yang kental, yakni corak lughawi (bahasa).15

Sedangkan dari mufasir modern yaitu Hamka, nama lengkapnya

adalah Syekh DR. Abdul Karim Amrullah. Ia lahir 17 Februari 1908 di

14
Said Agil husin al-Munawar, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: PT.
CiputatPress, 2005), Cet ke-4, hal. 96
15
Ibid., hal. 102-104
10

Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, (Indonesia).16 Hamka wafat

pada tanggal 24 Juli 1985. Nama tafsirnya adalah tafsir al-Azhar, yang

bercorak tentang al-adabi al-ijtima‟i. Seorang mufasir yang terkenal dengan

tafsirnya dan kesestrawanannya dengan lahirnya novel-novelnya. Salah satu

kelebihan tafsirnya adalah gaya bahasanya menggunakan sastra yang tinggi.

Quraish Shihab, nama lengkapnya adalah Dr. Muhammad Quraish Shihab. M

Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, (Indonesia), pada tanggal

16 Februari 1944. Seorang mufasir modern yang corak tafsirnya kebanyakan

tentang al-adab al-ijtima‟iy. Mufasir yang terkenal dan sudah terbukti

kredibilitas keilmuannya di seluruh dunia melalui karya-karyanya, terutama

sekali kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Misbah.

Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini

lebih mendalam lagi tentang masalah ini. Maka penulis akan

memformulasikannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: Penafsiran al-

Syajarah (Studi Muqaran antara Mufasir Klasik dan Modern).

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berangkat dari landasan pemikiran yang melatarbelakangi

masalah penelitian di atas, yang menjadi masalah pokok dalam pembahasan

ini adalah banyak sekali orang yang mengatakan, seandainya Adam dan Hawa
16
Nasir Tamari, Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), Cet ke-2, hal.51
11

tidak memakan buah yang Allah larang memakannya, dan tidak tertipu oleh

rayuan setan, maka manusia sekarang ini berada di dalam surga. Memang

tedapat juga di dalam buku Tafsir al-Sya‟rawi. Selanjutnya apa penafsiran

lafazh al-syajarah menurut mufasir klasik dan modern?

Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, maka dalam

hal ini secara spesifik permasalahan ini yang akan penulis uraikan

1. Apa penafsiran mufasir klasik terhadap lafaz al-syajarah, dalam hal ini

diwakili oleh al-Thabari dan al-Zamakhsyary?

2. Apa penafsiran mufasir modern terhadap lafaz al-syajarah, dalam hal ini

diwakili oleh Hamka dan M. Quraish Shihab?

3. Apa persamaan dan perbedaan masing-masing mufasir?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan dan batasan masalah yang penulis

paparkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Menguraikan penafsiran klasik tentang lafaz al-syajarah yang diwakili

oleh al-Thabari dan al-Zamakhsariy.

2. Menguraikan penafsiran modern tentang lafaz al-syajarah yang diwakili

oleh Hamka dan M. Qurais Shihab.

3. Memperbandingkan dan menganalisa penafsiran masing-masing mufasir.

Sementara itu, kegunaan penulisan ini adalah:


12

1. Kegunaan yang bersifat akademis, yaitu untuk memenuhi kelengkapan

persyaratan dalam meraih gelar Serjana Agama (S. Ag) dalam studi tafsir

dan hadis

2. Kegunaan yang bersifat intelektual yaitu menambah khazanah intelektual

dan karya ilmiah untuk melengkapi koleksi perpustakaan UIN Imam

Bonjol Padang sebagai sebuah penelitian terhadap penafsiran ulama klasik

dan modern tentang al-syajarah.

3. Kegunaan yang bersifat pribadi yaitu untuk menambah wawasan penulis

dan pembaca tentang pemahaman tentang makna lafazh al-syajarah

menurut mufasir klasik dan modern.

D. Penjelasan Judul

Untuk menghilangkan keraguan dalam pembahasan ini, maka penulis

merasa perlu untuk terlebih dahulu kata-kata penting yang terdapat dalam

judul penelitian tersebut:

Penafsiran : berasal dari kata tafsir, dalam bahasa Arab berarti ‫اإلبانة‬

(menjelaskan), ‫( الكشف‬menyingkap) dan ‫( إظهار‬menerangkan).

Sedangkan secara istilah tafsir adalah ilmu yang membahas

tentang cara pengucapan lafal-lafal al-Quran, dengan petunjuk-

petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri


13

maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan

baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.17

Al-syajarah : satu pohon yang terkumpul atas satu pohon, dua pohon, dan

banyak pohon, dan dikumpulkan di dalamnya banyak

tumbuhan.18 pohon.19 setiap yang berdiri di atas batang.20

Al-Syajarah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah al-syajarah yang

bekaitan dengan peritiwa Adam dan Hawa dilarang memakan buah dari pohon yang

dilarang Allah SWT.

Studi : penyelidikan ilmiah, kajian dan tela‟ahan.21

Muqaran : kata muqaran merupakan bentuk mashdar dari kata qarana,

setimbangan dengan mufa‟alah yang berarti perbandingan.

Tafsir muqaran adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-

Quran yang ditulis oleh sejumlah penafsir kemudian mengkaji

dan meneliti penafsiran mereka melalui kitab-kitab tafsir

mereka.22

17
Manna; Khalil al-Qathan, Mubahits Fiy Ulum Alquran, (Riyadh: Mansyurat Al-„Ashar Al-
Hadits), hal. 323-324
18
Lil „Alami Ibnu Manzur, Lisan Al- Arab, Liban: Bayrut), Juz ke-2, hal. 271
19
Ahmad Warson Al-Munawir, al-Munawwir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawir,
1984) hal. 743
20
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Op, Cit., hal. 10
21
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Cet. 1, hal. 965
22
Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhi‟iy, diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah
dengan judul asli al-Bidayah Fi Tafsir al-Mawdhu‟iy (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), Cet ke-2.
Hal. 30
14

Mufasir : Juru Tafsir, orang yang menerangkan al-Quran terutama tafsir

al-Quran.23

Dari penjelasan di atas maka yang penulis maksud dengan judul ini adalah

mengungkap, menguraikan dan menganalisa persamaan dan perbedaan pandangan

mufasir klasik dan modern dalam menafsirkan lafaz al-syajarah.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode library

researce (penelitian kepustakaan), yaitu penelitian dengan mengumpulkan

data-data dan menelaah buku-buku atau literature perpustakaan yang terkait

dengan pembahasaan ini. Pengumpulan data diperoleh dari sumber data

primer dan sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab-

kitab tafsir, yaitu Jami‟ Al-Bayan an Ta‟wil Ayi al-Quran (Tafsir al-Thabari)

karangan al-Thabari, Tafsir Al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyariy, Tafsir

Al-Misbah karangan M. Quraish Shihab, dan Tafsir al-Azhar karangan

Hamka. Sedangkan sumber sekundernya adalah sejumlah buku yang berkaitan

dengan pembahasan ini.

Kemudian untuk melacak ayat yang berkenaan dengan tema dalam al-

Quran, penulis menggunakan kitab Mu‟jam al-Mufahras Li Alfazh al-Quran

al-Karim karangan Muhammad Fu‟ad Abdul Baqy.

23
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007),
Cet. 1, hal. 843
15

Adapun rujukan untuk pedoman penulisan skripsi ini adalah

menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi IAIN Imam Bonjol Padang

Tahun 2016.

Metode tafsir yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

tafsir perbandingan (muqaran). Dalam ilmu tafsir dikenal tiga klasifikasi

metode muqaran yaitu: pertama memperbandingkan ayat-ayat al-Quran yang

mempunyai redaksi yang mirip. Kedua memperbandingkan ayat-ayat al-quran

dengan hadist-hadist Nabi Saw yang pada zhahirnya bertentangan, dan yang

ketiga memperbandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan ayat-

ayat al-Quran.24

Sedangkan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah jenis

yang ketiga, yaitu memperbandingkan pendapat para mufasir, adapun

langkah-langkahnya adalah:

1. Mengidentifikasi ayat yang menjadi objek penelitian tanpa melihat

redaksinya, mempunyai kemiripan atau tidak.

2. Melacak berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat

tersebut.

3. Memperbandingkan pendapat mereka untuk mendapatkan

informasi yang berkenaaan dengan bagaimana persamaan dan

24
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet
ke-2, hal. 65
16

perbedaan penafsiran para mufasir terhadap ayat yang menjadi

objek kajian.25

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terpadu terhadap

penelitian ini, maka penulis membaginya ke dalam beberapa bab yang

sistematikanya sebagai berikut:

Bab I: bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, memperinci dan

memperkecil ruang lingkup masalah dengan memberikan rumusan

masalah dan batasan masalah, mengungkapkan tujuan dan

kegunaannya, mengungkap tentang penjelasan judul,

mengungkapkan metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : bab ini berisi tentang pengertian, ruang lingkup, kelebihan dan

kekurangan tafsir muqaran, pengertian, karakteristik tafsir klasik

dan tafsir modern dan al-Thabari, al-Zamakhsyari, Hamka dan M.

Quraish Shihab.

Bab III: merupakan bab inti yang terdiri dari penafsiran mufasir klasik

terhadap lafaz al-syajarah, penafsiran mufasir modern terhadap

lafaz al-syajarah, dan analisa penulis.

Bab IV: penutup yang memuat kesimpulan dan saran

25
Ibid., hal. 101

Anda mungkin juga menyukai